Bab IV Hasil dan Pembahasan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab V Hasil dan Pembahasan

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab III Metodologi Penelitian

PENENTUAN KUALITAS AIR

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan, khususnya lingkungan perairan, dan memiliki toksisitas yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. serta lapisan kerak bumi (Darmono, 1995). Timbal banyak digunakan dalam

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN PAKAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS AKHIR (SB )

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh Variasi Dosis Tepung Ikan Gabus Terhadap Pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran logam berat yang berlebihan di lingkungan akibat dari

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

BAB IV BAHAN AIR UNTUK CAMPURAN BETON

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN)

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Surabaya, 24 Februari Penulis. Asiditas dan Alkalinitas Page 1

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. Prinsipnya jumlah air di alam ini tetap dan mengikuti sebuah alur yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

REAKSI KIMIA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

: Komposisi impurities air permukaan cenderung tidak konstan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pertumbuhan penduduk dan populasi penduduk yang tinggi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, fungsinya bagi kehidupan tidak pernah bisa digantikan oleh senyawa

BAB I. Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

PELAKSANAAN KEGIATAN BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN PERAIRAN DARAT TAHUN 2015

Effect of Temperature on the Accumulation and Depuration of Copper (Cu) and Cadmium (Cd) in Nile Tilapia Fish (Oreochromis niloticus)

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. penampilannya atau lebih tahan tehadap korosi dan keausan. Dampak negatif dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. pesisir laut. Batas-batas wilayah tersebut yakni Laut Jawa di sebelah timur, selat

BAB I PENDAHULUAN. Air adalah sebutan untuk senyawa yang memiliki rumus kimia H 2 O. Air. Conference on Water and the Environment)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan manusia, karena air diperlukan untuk bermacam-macam kegiatan seperti

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air adalah kebutuhan esensi untuk semua kebutuhan manusia mulai dari air minum, pertanian, dan energi

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGOLAHAN AIR SUNGAI UNTUK BOILER

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

BAB IV TINJAUAN SUMBER AIR BAKU AIR MINUM

MANAJEMEN KUALITAS AIR PADA BUDIDAYA IKAN NILA (Orechromis niloticus) DI KOLAM AIR DERAS

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sumber pencemar bagi lingkungan (air, udara dan tanah). Bahan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena

HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

I. PENDAHULUAN. akumulatif dalam sistem biologis (Quek dkk., 1998). Menurut Sutrisno dkk. (1996), konsentrasi Cu 2,5 3,0 ppm dalam badan

Transkripsi:

Bab IV Hasil dan Pembahasan Penelitian ini terdiri atas 2 tahap utama, yaitu tahap akumulasi dan tahap depurasi. Tahap akumulasi dilaksanakan di lapangan dan tahap depurasi dilakukan di laboratorium. Pada tahap akumulasi, pengambilan sampel dilakukan pada saat bibit ikan ditebarkan, pada minggu ke-3, minggu ke-6, dan pada minggu ke-9. Lokasi sampling di lapangan berasal dari Waduk Cirata dan Kolam Air Deras. Sedangkan pada tahap depurasi, ikan yang digunakan adalah ikan berumur 9 minggu yang berasal dari Waduk Cirata dan Kolam air deras. Pada lokasi sampling waduk Cirata, selain ikan yang berumur 9 minggu dengan berat rata-rata ±165 g per ekor juga diambil ikan mas dengan berat rata-rata ±250 g dan ±125 g per ekor untuk tahap depurasi. IV.1. Parameter Kualitas Air IV.1.1. Suhu Setiap organisme memiliki kisaran toleransi yang bervariasi terhadap suhu. Kisaran suhu bagi budidaya ikan mas adalah 20-30 0 C (Khairuman, 2003). Sedangkan suhu optimum bagi pertumbuhan ikan mas berkisar antara 20 0 C hingga 25 0 C (Santoso, 1993). Masing-masing spesies memiliki suhu optimum bagi pertumbuhannya dan juga suhu kritis pada setiap siklus hidupnya (Welch, 1980). Hasil pengukuran suhu air pada tahap akumulasi di KJA memiliki rata-rata berkisar antara 29,2 0 C hingga 29,71 0 C, sedangkan di KAD suhu rata-rata berkisar antara 23,95 0 C hingga 24,83 0 C (Tabel IV.1). Kisaran suhu di KJA lebih tinggi dibandingkan dengan kisaran suhu di KAD. Hal ini terutama dipengaruhi oleh waktu pengambilan sampel yang berbeda dan perbedaan aliran. Seperti yang dikemukakan oleh Effendi (2003) bahwa suhu suatu badan air diperngaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Walaupun demikian, kisaran suhu pada kedua lokasi tersebut masih berada dalam rentang yang disarankan bagi budidaya ikan mas. 27

Ikan tergolong hewan berdarah dingin. Ikan dapat menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu lingkungan akuatik. Perubahan suhu akan mempengaruhi proses biologis dan kemampuan dalam pengaturan suhu internal tubuh organisme (Campbell et al., 2000). Menurut Effendi (2003) peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya oksigen (Ismail, 1992; Effendi, 2003) dan karbondioksida (Effendi, 2003). Peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme akuatik, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen (Effendi, 2003). Walaupun variasi suhu dalam air tidak sebesar di udara hal ini merupakan faktor pembatas utama karena organisme akuatik sering kali mempunyai toleransi yang sempit (stenotermal) (Odum, 1998). Tabel IV.1 Suhu Air ( 0 C) selama Tahap Akumulasi Lokasi Waduk Cirata Kolam air deras Waktu Sampling KJA 1 KJA 2 KAD 1 KAD 2 KAD 3 KAD 4 saat ditebarkan 29 29,9 24 24 21 23 setelah 3 minggu 29 29,35 25,1 25,5 25,4 25,7 setelah 6 minggu 29,3 29,9 25,6 25,8 25,6 25,9 setelah 9 minggu 29,5 29,7 24,6 24 23,8 23,9 Rata-rata 29,2 29,71 24,83 24,83 23,95 24,63 Maksimum 29,5 29,9 25,6 25,8 25,6 25,9 Minimum 29 29,35 24 24 21 23 Pada tahap depurasi pengukuran suhu air di setiap akuarium depurasi dilakukan pada hari ke-0, hari ke-1, hari ke-7, hari ke-14, dan hari ke-21. Hasil pengukuran menunjukkan kisaran rata-rata suhu adalah 25,7 0 C hingga 26,7 0 C dengan suhu maksimum 28,4 0 C dan suhu minimum 25 0 C untuk akuarium depurasi dengan asal ikan KJA, sedangkan untuk asal ikan KAD rata-rata kisaran suhu adalah 26,14 hingga 26,18 dengan suhu maksimum 27,8 0 C dan suhu minimum 25 0 C (Tabel IV.2). Tidak terdapat perbedaan rata-rata kisaran suhu antara akuarium depurasi, hal ini disebabkan oleh karena akuarium-akuarium tersebut menggunakan air yang sama (PDAM) dan ditempatkan dalam ruangan yang sama di laboratorium. Selain itu tidak terdapat perbedaan intensitas cahaya yang akan mempengaruhi suhu akuarium tersebut. 28

Suhu minimum dan maksimum pada akuarium depurasi masih berada pada rentang suhu yang disyaratkan bagi kelangsungan hidup ikan mas, yaitu 20 0 C 30 0 C (Khairuman dan Amri, 2003). Sehingga dapat dinyatakan bahwa dari parameter suhu, air yang digunakan untuk percobaan depurasi layak bagi kelangsungan hidup ikan mas. Tabel IV.2 Suhu Air ( 0 C) selama Tahap Depurasi Lokasi Asal ikan KJA Asal ikan KAD Waktu Depurasi KJA 1 KJA 2 A B C A B C KAD 1 KAD 2 hari ke-0 25 25 25 25 25 25 25 25 hari ke-1 26,3 26,1 26,2 26,3 26,8 26,9 25,8 25,9 hari ke-7 26,1 25,9 25,8 27,7 27,8 28,4 25,6 25,5 hari ke-14 25,3 25,3 25,1 27,5 27,4 27,1 26,8 26,5 hari ke-21 26,7 26,2 26,5 26 26,1 26,1 27,7 27,8 Rata-rata 25,88 25,7 25,72 26,5 26,62 26,7 26,18 26,14 Maksimum 26,7 26,2 26,5 27,7 27,8 28,4 27,7 27,8 Minimum 25 25 25 25 25 25 25 25 IV.1.2. ph Pengukuran ph dilakukan karena menurut Odum (1998) konsentrasi ion hidrogen (ph) sangat penting di dalam mengatur respirasi dan sistem-sistem enzim dalam tubuh. ph menunjukkan konsentrasi ion hidrogen (H + ) dalam air atau lebih tepatnya aktivitas ion hidrogen (Sawyer et al., 2003). ph sangat penting karena ph mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Ikan dan organisme akuatik lainnya memiliki kisaran ph tertentu. Hasil pengukuran terhadap ph air selama tahap akumulasi, yang diperlihatkan pada Tabel IV.3, di KJA menunjukkan kisaran rata-rata 7,65 7,9 dengan ph maksimum 8,2 dan ph minimum 7,4. Sedangkan ph di KAD memiliki kisaran rata-rata 7,98 8,28 dengan ph maksimum 8,9 dan ph minimum 7,5. Tidak terdapat perbedaan ph yang ekstrim antara kedua lokasi tersebut dan kisaran ph tersebut masih dalam rentang ph yang disarankan bagi budidaya ikan mas, yaitu pada kisaran ph 6 9 (Khairuman dan Amri, 2003). 29

ph mempengaruhi toksisitas suatu senyawa. Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan pada ph rendah (Effendi, 2003). ph merupakan salah satu faktor yang turut menentukan besarnya konsentrasi tembaga di lingkungan perairan. Selain itu, ph juga mempengaruhi kelarutan seng di air (Simon-Hettich et al., 2001; Lenntech, 2007). Tabel IV.3 ph Air selama Tahap Akumulasi Lokasi Waduk Cirata Kolam air deras Waktu Sampling KJA 1 KJA 2 KAD 1 KAD 2 KAD 3 KAD 4 saat ditebarkan 8,2 7,4 8,9 8,7 8,5 8,6 setelah 3 minggu 7,8 7,7 8,3 8,3 8,1 8,1 setelah 6 minggu 7,8 7,4 8,4 8,1 7,7 7,8 setelah 9 minggu 7,8 8,1 7,5 7,6 7,6 7,6 Rata-rata 7,9 7,65 8,28 8,18 7,98 8,03 Maksimum 8,2 8,1 8,9 8,7 8,5 8,6 Minimum 7,8 7,4 7,5 7,6 7,6 7,6 Tabel IV.4 menunjukkan hasil pengukuran ph air selama tahap depurasi yang dilakukan di laboratorium. Kisaran rata-rata ph selama depurasi di akuarium asal ikan KJA adalah 7,1 7, 46 dengan ph maksimum 7,8 dan ph minimum 6,5. Sedangkan pada akuarium asal ikan KAD, ph berkisar antara 7,2-7,5. Menurut Khairuman dan Amri (2003) kisaran ph air untuk pemeliharaan ikan mas adalah 6 9. Hasil pengukuran ph air pada akuarium depurasi masih dalam rentang yang disarankan. Tabel IV.4 ph Air selama Tahap Depurasi Lokasi Asal ikan KJA Asal ikan KAD Waktu Depurasi KJA 1 KJA 2 A B C A B C KAD 1 KAD 2 hari ke-0 7,1 7,1 7,1 7,1 7,1 7,1 7,1 7,1 hari ke-1 7,5 7,4 7,5 7,5 7,2 7,2 7,5 7,5 hari ke-7 7,7 7,6 7,6 7,6 7,7 7,4 7,4 7,4 hari ke-14 7,2 7,3 7,4 6,5 6,8 7,8 7,8 7,5 hari ke-21 7,8 7,7 7,6 7 6,7 6,6 7,7 6,5 Rata-rata 7,46 7,42 7,44 7,14 7,1 7,22 7,5 7,2 Maksimum 7,8 7,7 7,6 7,6 7,7 7,8 7,8 7,5 Minimum 7,1 7,1 7,1 6,5 6,7 6,6 7,1 6,5 30

IV.1.3. Oksigen Terlarut (DO) Kadar oksigen terlarut sangat penting bagi organisme akuatik termasuk ikan. Ikan dan organisme akuatik yang lain membutuhkan oksigen terlarut dalam jumlah yang cukup. Kebutuhan oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu, dan sangat bervariasi diantara organisme (Effendi, 2003). Ikan mas memerlukan DO minimal 3 mg/l (Khairuman dan Amri, 2003). Hasil pengukuran oksigen terlarut di lokasi sampling KJA berkisar antara 5,1 mg/l hingga 5,19 mg/l dengan DO maksimum 7,9 mg/l dan DO minimum 3.4 mg/l (Tabel IV.5). Nilai DO minimum tersebut dipengaruhi oleh suhu perairan yang pada saat pengukuran adalah 29,5 o C. Semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigen semakin berkurang (Effendi, 2003). Sedangkan hasil pengukuran DO di KAD menunjukkan kisaran rata-rata 8,55-8,78 mg/l dengan DO maksimum 9,5 mg/l dan DO minimum 7,7 mg/l (Tabel IV.5). DO minimum di semua lokasi ini masih memenuhi syarat hidup bagi ikan mas, sedangkan nilai maksimum DO yang mencapai 9,5 mg/l tidak menyebabkan gangguan bagi kehidupan ikan. Karena tidak ada batasan nilai maksimum DO untuk kehidupan ikan. Menurut Effendi (2003) hampir semua jenis organisme akuatik menyukai perairan dengan DO lebih dari 5 mg/l. Tabel IV.5 DO (mg/l) Air selama Tahap Akumulasi Lokasi Waduk Cirata Kolam air deras Waktu Sampling KJA 1 KJA 2 KAD 1 KAD 2 KAD 3 KAD 4 saat ditebarkan 7,9 5,4 8,5 8,8 8,8 8,8 setelah 3 minggu 5,3 3,95 8,7 8,8 8,8 8,2 setelah 6 minggu 3,8 4,2 7,9 8,2 7,9 7,7 setelah 9 minggu 3,4 7,2 9,2 9,3 9,5 9,5 Rata-rata 5,1 5,19 8,58 8,78 8,75 8,55 Maksimum 7,9 7,2 9,2 9,3 9,5 9,5 Minimum 3,4 3,95 7,9 8,2 7,9 7,7 Rata-rata kadar oksigen terlarut di KJA lebih rendah dibandingkan dengan oksigen terlarut di KAD. Hal ini dipengaruhi oleh adanya difusi oksigen dari atmosfer ke dalam air karena agitasi atau pergolakan massa air (Effendi, 2003) yang lebih besar pada kolam air deras dibandingkan pada waduk Cirata. Sehingga 31

kolam air deras lebih kaya akan oksigen terlarut dibandingkan dengan waduk Cirata. Pada tahap depurasi, pengukuran oksigen terlarut menunjukkan bahwa pada setiap akuarium depurasi kebutuhan oksigen bagi ikan mas terpenuhi dengan rata-rata berkisar antara 4,16 4,96 mg/l, DO maksimum 5,8 mg/l dan DO minimum 3,8 mg/l. Pada setiap akuarium depurasi digunakan beberapa aerator dengan tujuan untuk menjaga kadar oksigen terlarut tetap di atas 3 mg/l. Tabel IV.6 DO (mg/l) Air selama Tahap Depurasi Lokasi Asal ikan KJA Asal ikan KAD Waktu Depurasi KJA 1 KJA 2 A B C A B C KAD 1 KAD 2 hari ke-0 5 5 5 5 5 5 5 5 hari ke-1 5 4,2 3,8 4 4 4 5 4,8 hari ke-7 5,8 4,8 5 4,2 4 3,8 5 4 hari ke-14 5 5,2 5,4 4 4 4 4 4 hari ke-21 4 4 3,8 4 4,4 4 4 4 Rata-rata 4,96 4,64 4,6 4,24 4,28 4,16 4,6 4,36 Maksimum 5,8 5,2 5,4 5 5 5 5 5 Minimum 4 4 3,8 4 4 3,8 4 4 IV.1.4. Residu terlarut (TDS) Hasil pengukuran residu terlarut (TDS) pada tahap akumulasi dapat dilihat pada Tabel IV.7 sedangkan TDS pada tahap depurasi dapat dilihat pada Tabel IV.8. Baku mutu air untuk kriteria residu terlarut berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 untuk Kelas II dan III (air dengan peruntukkan budidaya ikan air tawar) adalah 1000 mg/l. Hasil pengukuran baik pada tahap akumulasi di lapangan maupun tahap depurasi di laboratorium menunjukkan nilai TDS dan rata-rata TDS berada dibawah baku mutu. Pada tahap akumulasi di lapangan nilai rata-rata TDS di KJA lebih tinggi (dengan kisaran 116,25-129,75 mg/l) dibandingkan KAD yang memiliki TDS dengan kisaran rata-rata 104,75-108,5 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa padatan terlarut di KJA lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan KAD. Selain itu, perbedaan ini juga disebabkan oleh karena berbagai kegiatan di sekitar sungai-sungai yang 32

menjadi input bagi waduk Cirata menyumbangkan berbagai polutan yang berpotensi meningkatkan angka TDS di Waduk Cirata. Sedangkan di KAD hanya terdapat satu sumber air sehingga nilai TDS sangat bergantung pada kondisi sungai sebagai sumber air bagi kolam. Seperti yang dinyatakan oleh Effendi (Effendi, 2003) bahwa nilai TDS perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik (berupa limbah domestik dan industri). TDS biasanya disebabkan oleh bahan organik yang berupa ion-ion yang biasa ditemukan di perairan. Tabel IV.7 Zat Padat Terlarut (TDS) (mg/l) Air selama Tahap Akumulasi Lokasi Waduk Cirata Kolam air deras Waktu Sampling KJA 1 KJA 2 KAD 1 KAD 2 KAD 3 KAD 4 saat ditebarkan 130 114 101 104 102 104 setelah 3 minggu 124 118 110 86 110 107 setelah 6 minggu 132 117 107 106 106 107 setelah 9 minggu 133 116 101 136 116 110 Rata-rata 129,75 116,25 104,75 108 108,5 107 Maksimum 133 118 110 136 116 110 Minimum 124 114 101 86 102 104 Pada tahap depurasi, nilai TDS di air akuarium pada akhir periode depurasi mengalami peningkatan dibandingkan dengan TDS pada awal periode depurasi di semua akuarium. Hal ini dipengaruhi oleh adanya sekresi ikan berupa feses dan sisa pakan ikan, sehingga meningkatkan padatan terlarut di akuarium depurasi. Walaupun rata-rata TDS akuarium depurasi (Tabel IV.8) lebih besar dibandingkan dengan rata-rata TDS di lapangan (Tabel IV.7), akan tetapi nilai TDS tersebut masih berada di bawah baku mutu yang disyaratkan. Angka TDS yang cukup besar tersebut tidak berbahaya untuk kehidupan ikan, selain itu juga dapat mengurangi toksisitas tembaga dan seng karena dapat mengabsorpsi bahan kimia pada permukaan partikel padatannya. 33

Tabel IV.8 Zat Padat Terlarut (TDS) (mg/l) Air selama Tahap Depurasi Lokasi Asal ikan KJA Asal ikan KAD Waktu KJA 1 KJA 2 Depurasi A B C A B C KAD 1 KAD 2 hari ke-0 138 138 138 138 138 138 138 138 hari ke-1 201 213 226 169 150 147 165 182 hari ke-7 238 260 292 216 214 223 242 228 hari ke-14 295 278 268 197 142 141 240 282 hari ke-21 385 379 254 156 182 163 223 222 Rata-rata 251,4 253,6 235,6 175,2 165,2 162,4 201,6 210,4 Maksimum 385 379 292 216 214 223 242 282 Minimum 138 138 138 138 138 138 138 138 IV.1.5. Daya Hantar Listrik (DHL) Konduktivitas (Daya Hantar Listrik) adalah gambaran numerik dari kemampuan air untuk menghantarkan aliran listrik (Effendi, 2003). DHL akan mempengaruhi besarnya konsentrasi tembaga dan kelarutan seng di perairan (Dameron dan Howe, 1998; Simon-Hettich et al., 2001). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengukuran DHL pada lokasi sampling. Hasil pengukuran DHL menunjukkan kisaran rata-rata 192,75-221,75 µs/cm di KJA dan 178,13-187,33 µs/cm di KAD (Tabel IV.9). Kisaran nilai rata-rata DHL di KJA lebih besar dibandingkan dengan KAD. Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak terdapat garam-garam terlarut yang terionisasi di KJA dibandingkan dengan KAD. Selain itu, terdapat kemungkinan konsentrasi tembaga dan seng di KJA lebih besar dibandingkan dengan KAD karena dipengaruhi oleh nilai DHL pada perairan tersebut. Tabel IV.9 DHL (µs/cm) Air selama Tahap Akumulasi Lokasi Waduk Cirata Kolam air deras Waktu Sampling KJA 1 KJA 2 KAD 1 KAD 2 KAD 3 KAD 4 saat ditebarkan 242 190,3 196,4 192,2 159,5 160,6 setelah 3 minggu 199 183,65 190,1 189,6 189,1 188,5 setelah 6 minggu 222 199,8 182,3 182,6 181,3 182,7 setelah 9 minggu 224 196,1 180,5 181,5 182,6 182,8 Rata-rata 221,75 192,46 187,33 186,48 178,13 178,65 Maksimum 242 199,8 196,4 192,2 189,1 188,5 Minimum 199 183,65 180,5 181,5 159,5 160,6 34

Pada tahap depurasi, rata-rata DHL di akuarium asal ikan KJA berkisar antara 428 hingga 496,4 µs/cm sedangkan akuarium asal ikan KAD berkisar antara 480,6-538,4 µs/cm (Tabel IV.10). Nilai DHL di setiap akuarium cenderung mengalami peningkatan pada periode akhir depurasi. Hal ini dipengaruhi oleh adanya aktivitas sekresi ikan baik berupa urin maupun feses, selain itu sisa pakan juga menyebabkan peningkatan DHL. Tabel IV.10 DHL (µs/cm) Air selama Tahap Depurasi Lokasi Asal ikan KJA Asal ikan KAD Waktu Depurasi KJA 1 KJA 2 A B C A B C KAD 1 KAD 2 hari ke-0 247 247 247 247 247 247 247 247 hari ke-1 346 363 386 228 254 244 283 313 hari ke-7 529 527 538 543 549 635 566 524 hari ke-14 546 512 566 722 617 447 786 627 hari ke-21 662 703 745 416 617 567 810 692 Rata-rata 466 470,4 496,4 431,2 456,8 428 538,4 480,6 Maksimum 662 703 745 722 617 635 810 692 Minimum 247 247 247 228 247 244 247 247 IV.1.6. Chemical Oxygen Demand (COD) COD menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O (Effendi, 2003) pada suasana asam (Sawyer et al., 2003). Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan untuk mengoksidasi sampel air (Effendi, 2003). Parameter COD (Chemical Oxygen Demand) dapat digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran oleh senyawa organik. Batas maksimum COD untuk kelas II dan III berdasarkan PP No.82 Tahun 2001 adalah 25 mg/l dan 50 mg/l. Hasil pengukuran COD di lokasi sampling KJA menunjukkan nilai maksimum 21,79 mg/l dan nilai maksimum 18,86 mg/l di KAD (Tabel IV.11). Nilai ini masih berada di bawah baku mutu yang disyaratkan, 35

sehingga perairan tersebut masih layak bagi pembudidayaan ikan dilihat dari parameter COD. Nilai rata-rata COD di KJA lebih besar dengan kisaran antara 8,79 13,24 mg/l dibandingkan dengan di KAD yang berkisar antara 7,13 10,75 mg/l. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah senyawa organik yang harus dioksidasi secara kimiawi di KJA lebih banyak dibandingkan dengan di KAD. Nilai COD di KJA yang lebih besar tersebut dipengaruhi oleh sungai-sungai yang menjadi sumber air bagi Waduk Cirata. Sungai-sungai tersebut telah menerima masukan berbagai senyawa organik dari kegiatan domestik, industri, maupun pertanian disekitar sungai. Tabel IV.11 COD (mg/l) Air selama Tahap Akumulasi Lokasi Waduk Cirata Kolam air deras Waktu Sampling KJA 1 KJA 2 KAD 1 KAD 2 KAD 3 KAD 4 saat ditebarkan 19,61 9,8 9,8 9,8 9,8 4,9 setelah 3 minggu 21,79 9,1 4,59 4,59 4,59 4,59 setelah 6 minggu 6,85 6,6 9,76 9,76 11,71 4,88 setelah 9 minggu 4,72 9,64 14,15 18,86 4,72 14,15 Rata-rata 13,24 8,79 9,58 10,75 7,71 7,13 Maksimum 21,79 9,8 14,15 18,86 11,71 14,15 Minimum 4,72 6,6 4,59 4,59 4,59 4,59 IV.1.7. Kesadahan Kesadahan merupakan penunjuk kemampuan air untuk membentuk busa apabila apabila dicampur dengan sabun (APHA, 1998; Sawyer et al., 2003; Purwakusuma, 2007). Semakin besar kesadahan air, semakin sulit bagi sabun untuk membentuk busa karena terjadi presipitasi. Kesadahan yang tinggi dapat menghambat sifat toksik dari logam berat karena kation-kation penyusun kesadahan (kalsium dan magnesium) membentuk senyawa kompleks dengan logam berat tersebut (Effendi, 2003). Kesadahan penting bagi organisme akuatik karena setiap jenis organisme memiliki nilai kesadahan pada selang tertentu untuk hidupnya (Purwakusuma, 2007). Oleh karena hal tersebut, maka dilakukan pengukuran terhadap nilai kesadahan di perairan. 36

Hasil pengukuran kesadahan pada sampel KJA berkisar pada 61,36 64,16 mg/l CaCO 3 sedangkan di KAD nilai rata-rata kesadahan berkisar antara 75,68-78,43 mg/l CaCO 3 (Tabel IV.12). Klasifikasi perairan berdasarkan nilai kesadahan menurut Peavy et al. (1985) dalam Effendi (2003), perairan dengan kisaran kesadahan 50 150 mg/l CaCO 3 termasuk perairan dengan kesadahan menengah (moderately hard). Jadi baik air di KJA maupun KAD tergolong pada perairan dengan kesadahan menengah. Tabel IV.12 Kesadahan (mg/l CaCO 3 ) Air selama Tahap Akumulasi Lokasi Waduk Cirata Kolam air deras Waktu Sampling KJA 1 KJA 2 KAD 1 KAD 2 KAD 3 KAD 4 saat ditebarkan 59,18 53,06 69,39 67,35 71,43 69,39 setelah 3 minggu 53,06 62,245 78,75 80,61 77,55 69,39 setelah 6 minggu 75,51 70,81 77,55 75,51 73,47 81,63 setelah 9 minggu 68,9 59,33 88,03 84,21 84,21 82,29 Rata-rata 64,16 61,36 78,43 76,92 76,67 75,68 Maksimum 75,51 70,81 88,03 84,21 84,21 82,29 Minimum 53,06 53,06 69,39 67,35 71,43 69,39 Tidak terdapat baku mutu tertentu bagi parameter kesadahan. Menurut Purwakusuma (2007) nilai kesadahan yang disarankan untuk pembudidayaan ikan air tawar adalah lebih dari 20 ppm. Walaupun demikian, nilai kesadahan di KAD yang lebih besar dari KJA tidak membahayakan bagi kehidupan ikan, karena kesadahan yang tinggi dapat menghambat sifat toksik dari tembaga dan seng. IV.1.8. Alkalinitas Alkalinitas air merupakan pengukuran terhadap kemampuan air untuk menetralisir asam (Sawyer et al., 2003; Purwakusuma, 2007) atau kuantitas anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen (Effendi, 2003). Alkalinitas pada perairan alami sebagian besar disebabkan oleh hidroksida dalam air, ion karbonat dan bikarbonat (Sawyer et al., 2003). Ketiga ion tersebut di dalam air akan bereaksi dengan ion hidrogen sehingga menurunkan keasaman dan menaikkan ph. Hasil pengamatan terhadap parameter alkalinitas menunjukkan kisaran rata-rata 1,57 2,95 mg/l CaCO 3 di KJA dan 2,2-4,23 mg/l CaCO 3 di KAD (Tabel IV.13). Nilai alkalinitas yang tinggi akan memudahkan perairan kembali ke ph 37

semula, hal ini akan berpengaruh pada osmoregulasi di dalam tubuh ikan, serta dapat mempengaruhi konsentrasi dan bioavailabilitas tembaga dan seng. Tabel IV.13 Alkalinitas (mg/l CaCO3) Air selama Tahap Akumulasi Lokasi Waduk Cirata Kolam air deras Waktu Sampling KJA 1 KJA 2 KAD 1 KAD 2 KAD 3 KAD 4 saat ditebarkan 0,81 0,81 0,4 0,4 0,4 0,81 setelah 3 minggu 0,81 0,865 1,85 0,93 4,63 5,55 setelah 6 minggu 0,92 1,85 4,08 2,04 3,06 4,08 setelah 9 minggu 9,25 2,77 5,55 5,55 5,55 6,47 Rata-rata 2,95 1,57 2,97 2,23 3,41 4,23 Maksimum 9,25 2,77 5,55 5,55 5,55 6,47 Minimum 0,81 0,81 0,4 0,4 0,4 0,81 IV.1.9. Asiditas Pada dasarnya asiditas (keasaman) tidak sama dengan ph. Asiditas melibatkan dua komponen, yaitu jumlah asam, baik asam kuat maupun asam lemah (misalnya asam karbonat dan asam asetat), dan konsentrasi ion hidrogen (Effendi, 2003). Asiditas adalah kemampuan air untuk menetralisir ion OH -. Seperti halnya larutan buffer, asiditas merupakan pertahanan air terhadap pembasaan. Asiditas terjadi sebagai akibat hadirnya asam lemah. Kontributor utama asiditas adalah CO 2 dan H 2 S yang sangat volatil. Oleh karena itu, pengukuran asiditas dilakukan sesegera mungkin dan bila memungkinkan dilakukan di tempat pengambilan sampel. Gas CO 2 yang berasal dari atmosfer atau yang berasal dari aktivitas penguraian zat organik oleh mikroorganisme akan menyebabkan asiditas dalam air, karena gas tersebut akan berdifusi dan bereaksi dengan air membentuk asam karbonat yang bersifat asam (Sawyer et al., 2003). Angka asiditas berpengaruh pada kelarutan tembaga dan seng. Semakin tinggi asiditas maka kelarutan juga meningkat. Oleh karena hal tersebut, maka perlu dilakukan pengukuran terhadap asiditas perairan. Nilai rata-rata asiditas berdasarkan hasil pengukuran di KJA berkisar antara 73,19 78,49 mg/l CaCO 3 dan 68,21-86,24 mg/l CaCO 3 di KAD (Tabel IV.14). Terdapat sedikit perbedaan kisaran rata-rata pada kedua lokasi sampling tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik perairan yang berbeda pula. Pada KAD, sumber karbondioksida sebagai kontributor utama asiditas sebagian besar berasal 38

dari atmosfer karena lebih banyak kontak dengan udara melalui pergerakan massa air. Sedangkan di KJA CO 2 lebih banyak berasal dari aktivitas mikroorganisme, karena kontak air dengan udara lebih sedikit (air tenang). Tabel IV.14 Asiditas (mg/l CaCO3) Air selama Tahap Akumulasi Lokasi Waduk Cirata Kolam air deras Waktu Sampling KJA 1 KJA 2 KAD 1 KAD 2 KAD 3 KAD 4 saat ditebarkan 92,08 77,15 104,53 102,04 97,06 94,57 setelah 3 minggu 82,13 83,555 100,98 59,16 100,98 60,18 setelah 6 minggu 67,32 66,03 87,72 83,64 81,6 87,72 setelah 9 minggu 72,42 66,03 17,04 100,11 61,77 30,35 Rata-rata 78,49 73,19 77,57 86,24 85,35 68,21 Maksimum 92,08 83,555 104,53 102,04 100,98 94,57 Minimum 67,32 66,03 17,04 59,16 61,77 30,35 IV.2 Kondisi Perkembangan Ikan Pada saat berada di lapangan, baik ikan di KJA maupun di KAD, berat basah ikan mengalami peningkatan karena dipengaruhi oleh asupan makanan yang cukup dan kualitas lingkungan air yang masih berada dalam rentang toleransi ikan mas. Pakan ikan diberikan setiap 3 kali sehari sebanyak 4% hingga 5% dari berat total ikan yang ditebarkan. Bibit ikan mas yang umumnya digunakan oleh para petani di Waduk Cirata berasal dari Cianjur dan Majalaya dengan berat rata-rata berkisar antara 20-30 gram per ekor. Bibit ikan mas mengkonsumsi protozoa dan zooplankton yang berada di perairan. Selain itu ikan mas muda juga diberikan makanan sintetis berupa pelet oleh para petani ikan untuk mempercepat pertumbuhan dan perkembangan ikan tersebut. Berat ikan mas yang berumur 9 minggu berkisar antara 130-150 gram per ekor. Hasil analisa statistik dengan Independent Sample T test terhadap berat basah dan panjang ikan mas di KJA dan KAD pada tahap akumulasi tidak menunjukkan perbedaan rata-rata berat dan panjang yang signifikan (p = 0,839 dan p = 0,416). Hal ini mengindikasikan bahwa pada kedua lokasi tersebut tidak terdapat perbedaan pertumbuhan dan perkembangan ikan yang signifikan secara statistik. 39

Berat basah dan panjang ikan mas cenderung mengalami peningkatan selama tahap akumulasi (Gambar IV.1 dan IV.2). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat gangguan pertumbuhan pada ikan-ikan yang dibudidayakan pada kedua lokasi tersebut. Ikan-ikan yang dibudidayakan tersebut berada dalam lingkungan akuatik dengan parameter kualitas air yang masih berada dalam batas toleransi hidupnya, terutama oksigen dan asupan makanan yang cukup. Pada tahap depurasi, berat basah dan panjang ikan asal KJA dan KAD cenderung mengalami fluktuasi (Gambar IV.3 dan IV.4). Hal ini bukan berarti terjadi penghambatan pertumbuhan ikan, akan tetapi lebih disebabkan proses adaptasi ikan terhadap lingkungan baru sehingga terjadi perubahan tingkah laku (sensitif terhadap gerakan, tidak nafsu makan) dan metabolisme internal tubuh. Pada tahap depurasi ikan mas cenderung lebih inaktif (jarang bergerak) dan nafsu makan ikan berkurang jika dibandingkan dengan pada saat berada di lapangan. Hal ini disebabkan oleh karena proses adaptasi terhadap perpindahan lokasi tempat hidupnya. Hasil analisa statistik terhadap berat dan panjang ikan pada akuarium-akuarium depurasi menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan berat dan panjang ikan yang signifikan antara ikan yang berasal dari Cirata dengan KAD (p = 0,290 dan p = 0,063). Waduk Cirata Kolam Air Deras 125.00 127.51 Berat basah ikan (gr) 100.00 90.53 96.06 75.00 58.37 50.00 43.38 29.22 25.00 21.64 18.18 0 3 6 9 Waktu akumulasi (minggu) 0 3 6 9 Waktu akumulasi (minggu) Gambar IV.1 Berat basah ikan pada tahap akumulasi 40

Panjang (cm) Waduk Cirata Kolam Air Deras 20.00 17.50 17.63 17.69 15.00 16.73 14.38 12.50 13.73 11.83 11.36 11.03 10.00 0 3 6 9 Waktu akumulasi (minggu) 0 3 6 9 Waktu akumulasi (minggu) Gambar IV.2 Panjang ikan pada tahap akumulasi 140.00 Waduk Cirata 139.67 144.17 145.41 Kolam Air Deras Berat basah ikan (gr) 120.00 134.05 128.84 117.50 110.00 105.47 100.00 80.00 82.50 65.79 0 1 7 14 21 Waktu Depurasi (hari) 0 1 7 14 21 Waktu Depurasi (hari) Gambar IV.3 Berat basah ikan pada tahap depurasi 20.00 Waduk Cirata Kolam Air Deras 19.00 19.58 20.00 19.05 19.83 18.73 19.05 18.00 Panjang (cm) 18.00 18.38 17.00 16.75 16.00 15.00 14.75 0 1 7 14 21 Waktu Depurasi (hari) 0 1 7 14 21 Waktu Depurasi (hari) Gambar IV.4 Panjang ikan pada tahap depurasi 41

Rata-rata panjang dan berat basah ikan di KJA lebih besar dari KAD, baik di tahap akumulasi maupun depurasi. Walaupun demikian, hasil analisa statistik dengan Independent T-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan varian dan perbedaan rata-rata yang signifikan antara panjang dan berat basah ikan di KJA dan KAD (Lampiran B Tabel B.1). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan secara statistik pada laju pertumbuhan ikan di kedua lokasi tersebut. IV.3 Keramba Jaring Apung (KJA) Waduk Cirata IV.3.1 Konsentrasi Tembaga (Cu) dan Seng (Zn) di Air Tembaga atau copper (Cu) merupakan logam berat yang dijumpai pada perairan alami dan merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan dan hewan. Apabila masuk ke dalam perairan alami yang alkalis, ion tembaga akan mengalami presipitasi dan mengendap sebagai tembaga hidroksida dan tembaga karbonat. Defisiensi tembaga dapat mengakibatkan anemia, namun tembaga di air pada dosis tinggi dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan seperti kerusakan hati dan ginjal, selain itu juga dapat menimbulkan rasa kesat di air, warna pada air, dan korosi pada besi dan aluminium (Dameron dan Howe, 1998). Seng (zinc) termasuk unsur yang terdapat dalam jumlah yang sangat melimpah di alam. Kadar seng dalam air sangat dipengaruhi oleh bentuk senyawanya. Kelarutan unsur seng dan oksida seng dalam air relatif rendah, akan tetapi seng yang berikatan dengan klorida dan sulfat mudah terlarut. Seng tidak bersifat toksik pada manusia, akan tetapi pada kadar yang tinggi akan menimbulkan rasa pada air (Effendi, 2003). Sumber pencemaran seng diantaranya berasal dari industri seperti keramik, kosmetik, alloy, pigmen dan karet (Roosmini et al., 2006). Konsentrasi Cu dan Zn di Waduk Cirata dipengaruhi oleh Cu dan Zn sungai yang menjadi input bagi waduk dan berbagai aktivitas masyarakat di sekitar waduk (KJA, transportasi air). Kegiatan yang berlangsung di sepanjang sungai tersebut, yaitu: Pertambangan emas (Purwakarta, Soreang, Pengalengan, Ciparay); Industri tekstil (Majalaya, Dayeuhkolot, Ketapang, Batujajar); Industri bahan kimia (Batujajar); Industri semen (Batujajar); 69,1% penduduk membuang langsung 42

limbah domestiknya ke sungai (Hadisantosa, 2006). Sedangkan konsentrasi Cu dan Zn di kolam air deras juga sangat tergantung pada kandungan Cu dan Zn sungai yang menjadi sumber airnya (dipengaruhi oleh banyaknya industri tekstil dan pelapisan logam di bantaran sungai yang menyumbang Cu dan Zn bagi sungai). Konsentrasi Cu dan Zn di Waduk Cirata dan Kolam air deras juga dipengaruhi oleh parameter kualitas air seperti, COD, ph, asiditas, alkalinitas, DHL, dan kesadahan. Pada lokasi sampling KJA konsentrasi tembaga cenderung berfluktuasi, yang diperlihatkan pada Gambar IV.5. Baku mutu kadar tembaga di air yang diperbolehkan menurut PP No.82 Tahun 2001 adalah 0,02 mg/l. Lokasi sampling KJA 1 pada pengambilan sampel minggu ke-6 (sebesar 0,024 mg/l), konsentrasi tembaga di air melebihi baku mutu yang ditetapkan tersebut. Akan tetapi, konsentrasi tembaga pada lokasi sampling yang lain masih berada di bawah baku mutu tersebut. Sehingga masih dapat dipergunakan bagi keperluan budidaya perikanan. Hasil pengukuran seng di air pada tahap akumulasi (Gambar IV.5) menunjukkan konsentrasi tertinggi di titik sampling KJA 1, yaitu sebesar 0,2056 mg/l. Angka ini sudah melebihi baku mutu air berdasarkan PP No.82 Tahun 2001 (untuk Kelas II dan III), yaitu sebesar 0,05 mg/l. Tingginya konsentrasi seng di Waduk Cirata disebabkan oleh menurunnya kualitas air sungai Citarum sebagai sumber air utama bagi waduk. Menurut Hadisantosa (2006) terjadi pencemaran air sungai Citarum oleh buangan industri-industri yang berada di daerah Bandung, Cimahi dan sekitarnya. Rata-rata konsentrasi tembaga di air KJA 1 sebesar 0,01035 mg/l sedangkan ratarata konsentrasi tembaga di air KJA 2 sebesar 0,0066 (Lampiran C Tabel C.3). Nilai rata-rata tembaga di kedua lokasi tersebut masih berada dibawah baku mutu PP RI No.82 Tahun 2001 (Lampiran E). Rata-rata konsentrasi seng di KJA 1 sudah melebihi baku yang ditetapkan (Lampiran E), yaitu sebesar 0,11 mg/l, akan tetapi rata-rata konsentrasi Zn di KJA 2 masih berada dibawah baku mutu, yaitu 0,0441 mg/l (Lampiran C Tabel C.3). Walaupun rata-rata konsentrasi Cu dan Zn di KJA 1 lebih besar dibandingkan dengan Cu dan Zn di KJA 2, akan tetapi secara 43

statistik tidak terdapat perbedaan konsentrasi Cu dan Zn yang signifikan antara KJA 1 dengan KJA 2 (Lampiran B Tabel B.1). Hal ini juga dipengaruhi oleh kesadahan, alkalinitas, DHL, ph, dan padatan terlarut pada kedua lokasi tersebut tidak memiliki perbedaan. Menurut Dameron dan Howe (1998) dalam lingkungan perairan, konsentrasi tembaga tergantung pada parameter-parameter tersebut selain adanya antara sedimen dan air. Gambar IV.5 Konsentrasi Cu dan Zn di air (mg/l) Waduk Cirata Keterangan: KJA 1 : Lokasi sampling di Cijambu, Waduk Cirata KJA 2 : Lokasi sampling di Jangari, Waduk Cirata IV.3.2 Konsentrasi Tembaga (Cu) dan Seng (Zn) di Ikan dan Organ ikan Tembaga (Cu) dan seng (Zn) merupakan logam yang diperlukan dalam jumlah sedikit untuk keperluan metabolisme internal tubuh ikan. Menurut Darmono (1995) distribusi dan akumulasi logam tersebut sangat berbeda-beda untuk setiap organisme air. Hal tersebut sangat tergantung pada spesies, konsentrasi logam di air, ph, fase pertumbuhan dan kemampuan untuk pindah tempat. 44

Tembaga berperan sebagai cofactor bagi sejumlah protein penting (seperti superoxide dismutase, dan ceruloplasmin). Tembaga memainkan peranan penting dalam respirasi seluler, dengan cytochrome c oxidase menjadi protein tembaga yang penting (Bury et al., 2003). Tembaga diperlukan dalam pemanfaatan besi pada proses pembentukan hemoglobin darah, dan sebagian besar krustasea dan moluska memiliki hemosianin yang mengandung tembaga sebagai pembawa oksigen utama dalam protein darah (Dameron dan Howe, 1998). Seng merupakan logam yang diperlukan bagi proses metabolisme ikan, contohnya seng terdapat pada enzim carbonic anhydrase yang mengkatalisis pembentukan asam karbon dari karbon dioksida dalam darah. Terdapat mekanisme internal tertentu pada tubuh ikan untuk mengatasi kelebihan seng di perairan. Ketika seng dalam air meningkat pada level dimana jumlah yang masuk ke organisme melalui insang melebihi keperluan maka sisanya harus diekskresikan dan proses ini memerlukan sejumlah energi. Pada suatu tingkatan dimana jumlah seng sangat banyak di perairan maka dapat saja mekanisme detoksifikasi ini tidak mencukupi sehingga seng menimbulkan efek toksik bagi ikan (Lloyd, 1992). Gambar IV.6 menunjukkan konsentrasi Cu dan Zn di ikan KJA. Pada awal periode akumulasi sudah terdapat Cu dan Zn dalam ikan (4,512 mg/kg dan 179,915 mg/kg) (Lampiran C Tabel C.4), hal ini menunjukkan bahwa terdapat Cu dan Zn pada bibit ikan dengan konsentrasi yang cukup tinggi, bahkan untuk konsentrasi Zn baik di KJA 1 (193,657 mg/kg) maupun KJA 2 (166,172 mg/kg) sudah melebihi baku mutu yang ditetapkan, yaitu sebesar 100 mg/kg (Lampiran E). Konsentrasi Cu di ikan KJA masih berada di bawah baku mutu yang ditetapkan, sebesar 20 mg/kg (Lampiran E). Rata-rata konsentrasi Cu di ikan KJA 2 (4,7733 mg/kg) lebih besar dari pada KJA 1 (3,9271 mg/kg) (Lampiran C Tabel C.4). Sedangkan konsentrasi Zn di ikan KJA telah melebihi baku mutu yang ditetapkan. Rata-rata konsentrasi Zn di ikan KJA 1 (323,3102 mg/kg) lebih besar dari pada KJA 2 (228,9655 mg/kg) (Lampiran C Tabel C.4). Analisa statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata konsentrasi Cu dan Zn di KJA 1 dengan KJA 2 (Lampiran B Tabel B.1). 45

Gambar IV.6 Konsentrasi Cu dan Zn di ikan Waduk Cirata Keterangan: KJA 1 : Lokasi sampling di Cijambu, Waduk Cirata KJA 2 : Lokasi sampling di Jangari, Waduk Cirata Konsentrasi Cu dan Zn di ikan KJA di kedua lokasi sampling cenderung berfluktuasi. Akan tetapi, peningkatan konsentrasi Cu dan Zn di air tidak selalu di ikuti oleh peningkatan konsentrasi Cu dan Zn di ikan tersebut dan sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa ikan tidak hanya mengambil Cu dan Zn dari air tetapi juga dari pakan ikan yang ternyata juga mengandung Cu dan Zn. Ikan merupakan vertebrata yang unik karena dapat mengambil logam dengan dua cara, yaitu dari makanan dan dari air (Bury et al., 2003). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Komunde (2002) menemukan bahwa Oncorhynchus mykiss lebih banyak melakukan pengambilan Cu dari pakan dari pada dari air. Sun dan Jeng (1998) menemukan bahwa ikan mas dapat mengambil Zn dari pakan ikan 3 sampai 6.8 kali lebih besar dibandingkan ikan lainnya. 46

Hasil pengukuran terhadap pakan yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan adanya Cu dan Zn dalam konsentrasi yang besar (Gambar IV.7). Penelitian oleh Triastutiningrum (2005) juga menunjukkan hal yang serupa bahwa terdapat konsentrasi Cu pada pakan X, Y, dan Z berturut-turut sebesar 4,41 mg/kg, 12,54 mg/kg, dan 13,72 mg/kg, sedangkan untuk Zn berturut-turut adalah 62,6 mg/kg, 69,02 mg/kg, dan 90 mg/kg (Triastutiningrum, 2005). Gambar IV.7 Konsentrasi tembaga dan seng pada pakan ikan Selain logam pada ikan, penelitian ini juga mengukur logam pada beberapa organ ikan. Hasil pengukuran konsentrasi tembaga (Cu) dalam organ ikan yang diamati diperlihatkan pada Gambar IV.8 berikut. Konsentrasi tembaga terbesar di kedua lokasi sampling KJA berada di hati, diikuti oleh insang, sisik, dan konsentrasi terkecil berada di otot (hati>insang>sisik>otot). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Sutarto (2007) yang menunjukkan bahwa hati merupakan organ dengan konsentrasi tembaga terbesar. Menurut Kalay dan Canli (2000) penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa jaringan pada hati merupakan organ yang memproduksi sebagian besar protein pengikat-logam. Pemaparan logam berat menginduksi protein-protein pengikatlogam (metal-binding protein) dengan berat molekul yang rendah seperti metallothionein (MT), oleh karena hal tersebut maka konsentrasi tembaga di hati ikan lebih besar dibandingkan konsentrasi tembaga pada organ yang lain. 47

Gambar IV.8 Konsentrasi Cu pada organ ikan di Waduk Cirata Keterangan: KJA 1 : Lokasi sampling di Cijambu, Waduk Cirata KJA 2 : Lokasi sampling di Jangari, Waduk Cirata Gambar IV.9 menunjukkan konsentrasi seng pada organ-organ ikan yang diamati. Urutan konsentrasi seng mulai dari yang terbesar, berdasarkan hasil analisa statistik, yaitu hati>insang>sisik>otot. Urutan ini tidak memiliki perbedaan dengan tembaga, akan tetapi angka konsentrasi seng jauh lebih besar dibandingkan konsentrasi tembaga pada organ ikan. Hal ini dipengaruhi oleh konsentrasi seng di perairan yang lebih besar dari pada konsentrasi tembaga. Menurut Sutarto (2007) jika dalam suatu perairan memiliki konsentrasi seng dalam jumlah yang tinggi maka probabilitas seng untuk dapat masuk ke dalam tubuh ikan sangat besar dibandingkan logam lainnya atau dalam istilah lain seng memenangkan kompetisi dalam memasuki tubuh organisme. 48

Gambar IV.9 Konsentrasi seng (Zn) pada organ ikan di Waduk Cirata Keterangan: KJA 1 : Lokasi sampling di Cijambu, Waduk Cirata KJA 2 : Lokasi sampling di Jangari, Waduk Cirata Seperti halnya tembaga, konsentrasi seng terbesar pada kedua lokasi sampling berada di hati. Hal ini disebabkan oleh adanya protein pengikat logam dalam jumlah banyak di hati, seperti metallothionein (MT). MT merupakan protein yang memegang peranan penting dalam proses homeostasis dari tembaga dan seng (Campenhout et al., 2004). Pada ikan, pengeluaran dan pengaturan MT telah dipelajari pada organ-organ yang memainkan peranan utama dalam uptake dan akumulasi logam, seperti hati, ginjal, dan insang. Selain itu telah diketahui bahwa perbedaan yang signifikan terjadi pada pengaturan dan induksi MT diantara jaringan pada spesies ikan yang sama (Olsson, 1993 dalam Campenhout et al., 2004). Hasil uji statistik dengan Independent Sample T test terhadap konsentrasi tembaga di organ ikan pada tahap akumulasi menyatakan bahwa di kedua titik KJA tidak memiliki perbedaan konsentrasi tembaga di hati ikan yang signifikan (p = 0,819), 49

konsentrasi tembaga di otot ikan (p = 0,087), insang ikan (p = 0,621), dan juga sisik ikan (p = 0,411). Untuk konsentrasi seng di organ ikan hanya seng di otot yang memiliki perbedaan yang signifikan (p = 0,024) pada kedua titik di Waduk Cirata, hal ini mungkin dipengaruhi oleh perbedaan metabolisme internal pada setiap individu ikan mas. Sedangkan konsentrasi seng di hati (p =0,936), sisik (p=0,105), dan insang (p =0,113) tidak berbeda pada kedua KJA tersebut. Konsentrasi tembaga dan seng di insang ikan pada tahap akumulasi untuk lokasi Waduk Cirata tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini juga dipengaruhi oleh konsentrasi tembaga di air pada lokasi-lokasi tersebut juga tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Akumulasi tembaga di insang ikan dipengaruhi oleh konsentrasi tembaga di air, karena insang merupakan organ yang mengadakan kontak langsung dengan air sebagai tempat hidupnya melalui proses respirasi. Pada proses respirasi ikan, terjadi pengikatan tembaga bersamaan dengan pengikatan oksigen di air. Jaringan pada insang ikan terpapar langsung pada tembaga yang berada di lingkungan dalam taraf yang lebih besar dibandingan jaringan pada organ lain dan hal ini menyebabkan lebih banyak akumulasi dan adsorpsi tembaga pada insang (Kalay dan Canli, 2000). Seng dapat memasuki tubuh ikan melalui insang yang mengadsorpsi logam, kemudian diteruskan ke peredaran darah dan mensirkulasikannya ke seluruh tubuh. Menurut Lloyd (1992) jika konsentrasi dari bahan kimia toksik cukup tinggi, sel tipis pada lamela sekunder insang dapat mengalami kerusakan dan hal ini akan mempengaruhi fungsi respirasi dan regulasi garam pada insang. Konsentrasi tembaga dan seng pada sisik ikan menempati urutan ketiga setelah hati dan insang di kedua lokasi sampling (hati>insang>sisik>otot). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat tembaga dalam jumlah yang cukup besar pada sisik ikan karena sisik juga terpapar langsung dengan kondisi lingkungan akuatik yang mengandung tembaga. Selain itu, menurut Lloyd (1992) terdapat mekanisme uptake melalui kulit ikan walaupun dalam jumlah sangat sedikit. Logam yang terikat pada partikel-partikel kecil di air dapat masuk ke tubuh ikan melalui kulit bersamaan dengan masuknya bakteri. 50

Otot ikan atau yang lebih umum dikenal sebagai daging, merupakan bagian tubuh ikan yang paling banyak di konsumsi oleh konsumen. Akumulasi tembaga pada ikan di organ ini berpotensi menyebabkan efek yang merugikan bagi konsumen ikan. Pada manusia, keracunan tembaga akan menyebabkan sirosis hati, kerusakan otak, reduksi myelin, kerusakan ginjal, dan penumpukan tembaga di kornea mata (Lenntech, 2007). Konsentrasi tembaga dan seng di otot ikan berada di urutan terendah diantara organ lain yang diperiksa (hati>insang>sisik>otot) pada kedua titik sampling. Hal ini dikarenakan pada organ ini mungkin terjadi pengaturan jumlah tembaga dan seng dimana tembaga dan seng berlebih akan ditransfer ke hati untuk proses detoksifikasi (Kalay dan Canli, 2000). Batas maksimum cemaran logam dalam makanan menurut Kep. DIRJEN Pengawasan Obat dan Makanan No:0375/B/SK/VII/89 untuk tembaga (Cu) dan seng (Zn) dalam ikan dan hasil olahannya adalah sebesar 20 mg/kg dan 100 mg/kg. Rata-rata tembaga dalam otot masih berada di bawah baku mutu tersebut, akan tetapi rata-rata tembaga dalam hati ikan di KJA (29,04 mg/kg) melebihi baku mutu yang ditetapkan tersebut, sehingga apabila dikonsumsi dalam jumlah berlebih berpotensi menimbulkan keracunan tembaga. Sedangkan rata-rata seng dalam otot masih berada di bawah baku mutu, akan tetapi rata-rata seng pada organ lainnya sudah melebihi batas maksimum yang diperbolehkan tersebut. IV.3.3 Pengaruh Perbedaan Lokasi Asal ikan KJA terhadap Proses Depurasi Tembaga (Cu) dan Seng (Zn) Konsentrasi tembaga dan seng di air pada akuarium depurasi cenderung berfluktuasi. Hal ini dipengaruhi oleh adanya proses sekresi tembaga dan seng oleh ikan mas ke lingkungan air sehingga secara umum terdapat penambahan konsentrasi tembaga di air. Secara statistik konsentrasi tembaga dan seng di akuarium asal ikan KJA tidak memiliki perbedaan yang signifikan (Tabel B.2 Lampiran B). 51

Gambar IV.10 Konsentrasi Cu dan Zn di air akuarium depurasi KJA Pada akuarium depurasi asal ikan KJA terjadi penambahan konsentrasi Cu dan Zn di air, hal ini mengindikasikan terjadinya depurasi Cu dan Zn oleh ikan ke lingkungan air. Akan tetapi ikan juga melakukan pengambilan Cu dan Zn yang ditandai dengan nilai rate uptake yang positif, hal ini menunjukkan bahwa uptake Cu dan Zn oleh ikan lebih besar dari pada depurasi Cu dan Zn. Walaupun kenyataannya terdapat banyak cara eleminasi dibandingkan rute uptake, akumulasi logam tetap lebih besar dibandingkan eleminasi logam, dikatakan jika suatu logam telah terakumulasi pada jaringan maka sangat sulit untuk mengeliminasi logam tersebut dari tubuh (Kalay dan Canli, 2000). Rata-rata penambahan Cu di air akuarium asal ikan KJA 1 lebih besar 1,45 kali dari penambahan Cu di akuarium asal ikan KJA 2 (Tabel IV.15). Sedangkan rate uptake oleh ikan di akuarium asal ikan KJA 1 sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan rate uptake pada asal ikan KJA 2 (Tabel IV.15). Walaupun secara statistik konsentrasi tembaga di air dan ikan pada tahap depurasi di akuarium asal ikan KJA tidak memiliki perbedaan yang signifikan, akan tetapi konsentrasi tembaga di organ sisik ikan memiliki perbedaan rata-rata konsentrasi 52

(p=0,01). Sisik merupakan organ yang terpapar langsung dengan lingkungan akuatik sehingga peningkatan tembaga pada percobaan depurasi juga menyebabkan peningkatan tembaga di sisik ikan. Selain itu sisik juga merupakan salah satu organ depurasi tembaga di ikan, yaitu melalui sekresi mukus (Kalay dan Canli, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan regulasi Cu antara ikan asal KJA 1 dengan ikan asal KJA 2. Tabel IV.15 Rate uptake (mg/kg/hari) dan peningkatan konsentrasi di air (mg/l) akuarium asal ikan KJA Asal ikan Rate Uptake ikan Cu Zn KJA 1 0.3566 26.5437 Waduk Cirata KJA 2 0.0360 5.9782 Rata-rata 0.1963 16.2609 Peningkatan Asal ikan Konsentrasi di air Cu Zn KJA 1 0.0035 0.0508 Waduk Cirata KJA 2 0.0024 0.0587 Rata-rata 0.0030 0.0548 Rata-rata rate uptake seng di ikan pada akuarium depurasi asal ikan KJA 1 empat kali lebih besar dibandingkan rate uptake seng oleh ikan dari KJA 2. Sedangkan penambahan konsentrasi seng di air pada kedua akuarium depurasi tersebut tidak memiliki perbedaan yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa ikan asal KJA 1 lebih banyak melakukan uptake seng daripada depurasi seng dibandingkan dengan ikan dari KJA 2, yang mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan regulasi Zn antara ikan KJA 1 dengan ikan KJA 2. Hasil analisa stitistik juga menunjukkan bahwa konsentrasi Zn di ikan (p=0,000), hati (p=0,007), sisik (p=0,000), dan insang (p=0,000) memiliki perbedaan yang signifikan antara hasil depurasi KJA 1 dan KJA 2 (Tabel B.2 Lampiran B). Jadi perbedaan lokasi asal ikan KJA tidak mempengaruhi proses depurasi Cu tapi mempengaruhi proses depurasi Zn oleh ikan. 53

IV.3.4 Pengaruh Perbedaan Variasi Berat terhadap Proses Depurasi Tembaga (Cu) dan Seng (Zn) Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi Cu di ikan besar pada akuarium depurasi asal KJA memiliki konsentrasi Cu yang lebih besar daripada ikan dengan ukuran lebih kecil. Semakin besar ukuran ikan, maka semakin besar pula rata-rata konsentrasi Cu di ikan. Berdasarkan analisa statistik konsentrasi Cu pada ikan di akuarium A > B > C. Besarnya rata-rata konsentrasi Cu di ikan akuarium A, B, dan C berturut-turut adalah 6,369 mg/kg, 5,486 mg/kg, dan 5,071 mg/kg. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran ikan mempengaruhi kandungan Cu dalam tubuh ikan. Hasil analisa statistik juga menunjukkan adanya perbedaan konsentrasi Cu di ikan yang signifikan berdasarkan variasi berat. Sedangkan konsentrasi Zn di ikan tidak selalu lebih tinggi pada ikan besar atau sebaliknya, analisa statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari perbedaan berat ikan terhadap konsentrasi Zn. Menurut Rahmawati (2006) konsentrasi Cu pada ikan kecil umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan ikan besar. Sedangkan menurut Sutarto (2007) konsentrasi logam berat pada ikan berukuran kecil tidak selalu lebih besar konsentrasinya dibandingkan dengan konsentrasi logam berat pada ikan besar. Konsentrasi Cu dan Zn pada organ ikan juga tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (Tabel B.2 Lampiran B). Hal ini mungkin disebabkan oleh karena ikan melakukan eksresi logam, dalam arti terpisah dari hati, insang dan kulit, sehingga tidak terdeteksi pada penelitian ini. Menurut (Soto et al., 2003) ekskresi logam pada ikan secara umum adalah melewati ginjal. Fungsi utama organ ini adalah dalam osmoregulasi dalam medium inner untuk mengeliminasi kelebihan air dan elektrolit, dan ekskresi substansi toksik. Logam yang ditransformasikan dalam darah disaring dalam glomerulus dan diekskresikan lewat urine. Telah dilaporkan bahwa jumlah renal lesions yang diproduksi logam lebih sedikit dibanding dalam hati, yang berarti bahwa substansi ini cukup teregulasi dengan baik. Gambar IV. 11 dan Gambar IV.12 menunjukkan konsentrasi Cu dan Zn di air dan ikan akuarium depurasi dengan ikan yang berasal dari Waduk Cirata. Dari gambar 54

tersebut terlihat bahwa kenaikan konsentrasi Cu dan Zn di air tidak selalu diikuti oleh penurunan konsentrasi Cu dan Zn di ikan. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan tidak hanya mengambil Cu dan Zn dari air tetapi ikan juga mengabsorbsi Cu dan Zn dari pakan (Kamunde et al., 2002; Bury et al., 2003). Rate uptake tahap depurasi pada penelitian ini menunjukkan bahwa pada akuarium depurasi asal ikan KJA sebagian besar ikan melakukan lebih banyak uptake dibandingkan dengan depurasi Cu, hanya tiga akuarium depurasi yang ikannya lebih banyak melakukan depurasi dibandingkan uptake Cu (Lampiran C Tabel C.14 dan Tabel C.16). Hal yang sama juga terjadi untuk rate uptake Zn (Lampiran C Tabel C.18 dan Tabel C.20). Selain itu, ikan dengan ukuran yang lebih besar tidak selalu memiliki rate uptake yang lebih besar dari ikan kecil dan sebaliknya. Peningkatan konsentrasi Cu dan Zn di air pada akuarium dengan ikan besar juga tidak selalu lebih besar dari ikan yang lebih kecil atau sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa variasi berat tidak menyebabkan perbedaan terhadap pengaturan Cu dan Zn oleh ikan. Gambar IV.11 Konsentrasi Cu di air dan ikan akuarium depurasi asal ikan KJA Keterangan: A : Akuarium depurasi dengan berat ikan ± @250 g. B : Akuarium depurasi dengan berat ikan ± @165 g. C : Akuarium depurasi dengan berat ikan ± @125 g. 55

Gambar IV.12 Konsentrasi Zn di air dan ikan akuarium depurasi asal ikan KJA Keterangan: A : Akuarium depurasi dengan berat ikan ± @250 g. B : Akuarium depurasi dengan berat ikan ± @165 g. C : Akuarium depurasi dengan berat ikan ± @125 g. Perbedaan berat ikan tidak mempengaruhi proses depurasi. Beberapa ikan lebih banyak mengambil kembali Cu dan Zn, tapi pada satu kondisi lebih banyak mengeliminasi. Regulasi Cu dan Zn di ikan tergantung pada metabolisme internal ikan serta kebutuhan ikan terhadap Cu dan Zn. Ikan membutuhkan Cu per hari sebanyak 1-4 mg/kg berat kering pakan dan Zn sebesar 15-30 mg/kg berat kering pakan (Bury et al., 2003). IV.4 Kolam Air Deras (KAD) IV.4.1 Konsentrasi Tembaga (Cu) dan Seng (Zn) di Air Gambar IV.13 menunjukkan konsentrasi tembaga dan seng pada lokasi sampling KAD. Pada KAD konsentrasi tembaga cenderung meningkat dari sampling pertama saat ikan ditebarkan ke kolam hingga sampling minggu ke-9 sedangkan konsentrasi seng cenderung mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan oleh karena dalam lingkungan perairan konsentrasi tembaga dan seng juga dipengaruhi oleh kesadahan, alkalinitas, daya ionik, ph, dan padatan terlarut di perairan. 56