MENGEMBANGKAN KOMPETENSI SOSIAL DAN INTERPERSONAL ANAK DALAM PENDIDIKAN JASMANI. Oleh: Soni Nopembri Universitas Negeri Yogyakarta

dokumen-dokumen yang mirip
MENGEMBANGKANKOMPETENSI SOSIAL DANINTERPERSONALANAKDALAM PENDIDIKANJASMANI

PENGALAMAN BELAJAR PENDIDIKAN JASMANI YANG MENYENANGKAN PADA PENDIDIKAN DASAR. Oleh: Soni Nopembri Jurusan Pendidikan Olahraga FIK UNY.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Masyarakat Pedesaan dan Masyarakat Perkotaan. dan Warren, masyarakat pedesaan memiliki karakteristik sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di

SMA/MA IPS kelas 10 - SOSIOLOGI IPS BAB 4. SOSIALISASI DAN PEMBENTUKAN KEPRIBADIANLATIHAN SOAL BAB 4. Pemerintah. Masyarakat. Media Massa.

PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN ANAK MELALUI PENDIDIKAN JASMANI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kelompok Sosial dan Organisasi Sosialisasi

EVOLUSI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI. Oleh. Soni Nopembri. Saya begitu terkesan semenjak mendapatkan buku ini, karena buku ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antropolog, telah mengembangkan Teori Peran. Teori Peran menggambarkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dede Shinta Mustika, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini, di Indonesia pilihan jalur untuk menempuh pendidikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial, individu di dalam menjalin hubungan dengan individu lain perlu

SOSIOLOGI X SOSIALISASI TAHUN PELAJARAN STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR TUJUAN PEMBELAJARAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Hakikat Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan di Sekolah Dasar

2016 PENGARUH PELAKSANAAN FULL DAY SCHOOL TERHADAP INTERAKSI SOSIAL DAN SOSIALISASI ANAK DI LINGKUNGAN MASYARAKAT

BAB V SOSIALISASI DAN PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN

PENGEMBANGAN PERILAKU SOSIAL ANAK USIA DINI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PERAN ORANG TUA DALAM MENDIDIK ANAK UNTUK MEWUJUDKAN KELUARGA SEJAHTERA

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB III PENILAIAN A. Benar-Salah. Petunjuk:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KARAKTERISTIK ANAK USIA SD Oleh : Sugiyanto

Roesdiyanto Universitas Negeri Malang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya, sosialisasi memberikan dua kontribusi fundamental

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal

KENAKALAN REMAJA : PENYEBAB & SOLUSINYA. Oleh : Eva Imania Eliasa, M.Pd

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya. Perkembangan anak terjadi melalui beberapa tahapan dan setiap

BAB I PENDAHULUAN. manusia Indonesia seutuhnya, pembangunan di bidang pendidikan. pendidikan banyak menghadapi berbagai hambatan dan tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia senantiasa mengalami perkembangan dalam masa hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

2015 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PEER TEACHING DANMODEL INKUIRI TERHADAP HASIL BELAJAR SENAM PADA SISWI DI SMP NEGERI 5 BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. sebaya ataupun orang dewasa lainnya (Yusuf,2001;122, Mubiar: 2008;13).

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Muhammad Hasbiyal Farhi, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Perkembangan Anak Usia Dini Ernawulan Syaodih

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) Pendidikan adalah Usaha sadar dan

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman diabad 21 ini memperlihatkan perubahan yang begitu

BAB II KAJIAN PUSTAKA

TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SMP

METODE SIMULASI UNTUK MENINGKATKAN ASPEK PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI DENGAN MEDIA PERMAINAN TRADISIONAL

BAB I PENDAHULUAN. manusia perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan. dari mereka sulit untuk menyesuaikan diri dengan baik.

BAB 1 PENDAHULUAN. komunikasi sesuai dengan keunikan dan tahap tahap perkembangan yang. dilalui oleh anak usia dini (Saputra, 2005: 11)

I. PENDAHULUAN. Lingkungan merupakan sesuatu yang berada di luar batasan-batasan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang DwiMurtiningsih,2014

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan kemanusian untuk menjawab berbagai tantangan dan permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan usia dini (Early childhood education) adalah pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Deni Diki Hardiansyah, 2014

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia

ESENSI BERMAIN BAGI ANAK USIA DINI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. karena kehidupan manusia sendiri tidak terlepas dari masalah ini. Remaja bisa dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Djahiri (1999), nilai adalah harga, makna, isi pesan dan semangat, atau

BAB I PENDAHULUAN. beradaptasi di tengah kehidupan masyarakat yang lebih luas.

SOSIOLOGI KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

MENINGKATKAN KOMPETENSI SOSIAL MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan dari

BAB 2 DATA DAN ANALISA

Dalam bahasa latin Individu berasal dari kata individuum. Artinya : yang tak terbagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan. Ketika remaja dihadapkan pada lingkungan baru misalnya lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekolah, mengontrol diri dan bertanggungjawab serta berperilaku sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

PENDIDIKAN DALAM KELUARGA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu

BAB I PENDAHULUAN. ke arah positif maupun negatif, maka intervensi edukatif dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. banyak disampaikan menggunakan bahasa yang berbeda-beda. Sehingga

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR GERAK DASAR MELALUI PENDEKATAN BERMAIN. Hendra Saputra 1. Abstrak

BAB 1 PENDAHULUAN. interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua orang individu atau lebih,

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Anak usia dini merupakan populasi yang cukup besar (12,85% dari

2015 PERBAND INGAN PERILAKU SOSIAL ANTARA SISWA YANG MENGIKUTI EKSTRAKURIKULER CABANG OLAHRAGA IND IVIDU D AN BEREGU D I SMA PASUND AN 2 BAND UNG

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

Pendidikan merupakan aset pen ng bagi kemajuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB I PENDAHULUAN. terutama bagi masyarakat kecil yang hidup di perkotaan. Fenomena di atas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

MENGEMBANGKAN KOMPETENSI SOSIAL DAN INTERPERSONAL ANAK DALAM PENDIDIKAN JASMANI Oleh: Soni Nopembri Universitas Negeri Yogyakarta ABSTRAK Berawal dari kenyataan bahwa anak sering kali mengalami kesulitan dalam proses sosialisasi dirinya. Kesulitan dalam bersosialisasi akan mempengaruhi keterampilan sosial anak. kesulitan yang dihadapi ketika bersosialisasi diakibatkan pula oleh salah asuh orang tua terhadap anaknya. Kemajuan teknologi juga mempengaruhi proses sosialisasi anak, oleh karena banyak bermunculannya permainan-permainan teknologi tinggi yang kurang mendukung proses sosialisasi itu sendiri. Hasil yang ingin dicapai dari sosialisasi adalah orang yang kompeten secara sosial. Seseorang harus mempunyai keterampilan, pengetahuan, dan katakter untuk dapat berfungsi di masyarakat, melalui belajar sosial. Pendidikan jasmani menyediakan tempat untuk anak belajar sosial melalui berbagai aktivitas jasmani yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya. Bermain dan permainan merupakan contoh nyata model sosialisasi bagi anak. ekspresi emosi dan sosial akan tertumpah dalam kegiatan bermain dan permainan. Pendidikan jasmani di sekolah harus dapat berfungsi secara sosial dalam mengembangkan kompetensi interpersonal dan sosial anak melalui pembelajaranpembelajaran yang dilakukan. Perlunya menggunakan berbagai metode dan model pembelajaran yang dapat mengembangkan kompetensi sosial dan interpersonal tanpa mengesampingkan aspek-aspek lainnya dalam diri anak. Kata Kunci: Sosialisasi, Pendidikan Jasmani PENDAHULUAN Manusia merupakan makhluk sosial. Pernyataan itulah yang sering terungkap apabila kita membicarakan tentang manusia. Konsekuensinya bahwa manusia harus senantiasa berhubungan baik dengan sesamanya, maupun dengan lingkungannya. Manusia hidup di dunia ini senantiasa memerlukan bantuan dari manusia lain atau 1

dari lingkungannya. Kelahiran ke dunia inipun sebenarnya kita sudah mendapatkan pertolongan dari orang lain, bahkan sampai kita menjelang ajal. Kita sebagai manusia dapat membayangkan kalau kita benar-benar tidak bisa bersosialisasi. Perasaan ketidaktenangan dan ketidaknyamanan akan senantiasa memburu kita kemanapun kita pergi. Kemampuan dan keterampilan bersosialisasi mutlak diperlukan dan harus dimiliki oleh setiap individu manusia. Kenyataan inilah yang membuat manusia harus belajar dan mencari jalan untuk bersosialisasi. Anak merupakan salah satu organisme manusia yang masih mencari cara untuk bersosialisasi. Proses ini merupakan bagian yang memerlukan waktu dan tenaga yang cukup banyak. Mulai dari keinginan anak untuk mengenal kedua orangtuanya, saudaranya, keluarganya, teman-temanya, sampai pada masyarakat secara umum. Kemampuan bersosialisasi harus terus diasah. Sebab, seberapa jauh anak bisa meniti kesuksesannya, amat ditentukan oleh banyaknya relasi yang sudah dijalin. Banyaknya teman juga membuat anak tidak gampang stres karena ia bisa lebih leluasa memutuskan kepada siapa akan mengadu. Agar kemampuan bersosialisasi anak bisa lebih terasah, sedini mungkin orang tua mesti membukakan jalan baginya. Mulailah ketika usia anak menginjak batita, saat anak sudah bisa dikenalkan pada sebayanya, apakah itu sepupu, tetangga, atau anak-anak di kelompok bermain. Silaturahmi antar keluarga pun sangat efektif membina sosialisasi anak. Bagi seorang anak berteman atau pergaulan merupakan bagian dari proses sosialisasi dan pengalaman berharga bagi kehidupannya di masa depan. Di dunianya yang yang mulai terbuka ini, ia bisa merasa lebih berarti dan mempunyai kehidupan 2

yang menyenangkan. Tidak heran bila seringkali anak-anak lebih senang menghabiskan waktunya bermain bersama teman-temannya daripada berada di rumah. Kemampuan sosialisasi ini bisa mengasah kemampuan beradaptasi. Anak yang senang bersosialisasi bisa mengenal banyak orang berikut sifat, karakter, kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Ia bisa cepat bergaul dengan berbagai tipe orang (Nakita, 2006:1). Kesulitan dalam bersosialisasi akan mempengaruhi perkembangan keterampilan sosial anak. Anak akan selalu menyendiri karena merasa dirinya terkucilkan oleh kelompoknya. Kurangnya bersosialisasi seringkali diakibatkan juga oleh salah asuh orang tua terhadap anak. Keadaan ini akan mengakibatkan (1) anak menjadi selalu takut pada orang asing, (2) selalu diliputi ketakutan saat keluar rumah, karena merasa lingkungannya tidak aman, (3) perkembangan motoriknya bisa tidak seimbang, karena kurangnya gerakan yang ia lakukannya, yang sebenarnya dapat dipenuhi melalui beragam permainan yang dilakukannya bersama teman-temannya, (4) kemampuannya untuk berbagi jadi terbatas, sehingga ia jadi lebih senang main sendirian, (5) selalu kesulitan saat berkomunikasi dengan orang lain, (6) sulit bekerja dalam tim, (6) akibat jarang dan sulit berinteraksi, rasa empati anak menjadi tidak terasah, (7) selalu ragu untuk mengemukakan pendapatnya (Saiidah, 2005:1). Kemajuan teknologi yang semakin canggih juga membawa masalah bagi proses sosialisasi anak. Berbagai alat permainan dengan memanfaatkan perangkat teknoloogi tersebut membuat anak menjadi lebih sering meyendiri di rumah. Anakanak lebih asyik bermain Computer Games dan berbagai permainan dalam Video 3

Games. Bahkan Tedjasaputra (2000:113) mengemukakan bahwa komputer dan video games lebih banyak membuat anak membatasi interaksi sosialnya dengan orang lain. Hal ini dikarenakan mereka lebih banyak berinteraksi dengan komputer/video games tersebut, meskipun bermain bersama temannya. Di samping itu juga kemunculan Televisi dan Film telah mempercepat anak untuk bersosialisasi melalui berbagai macam peniruan, terutama pada pengembangan bahasa anak yang notabene berguna dalam berkomunikasi. Sehingga dampak negatif dan positif dari adanya televisi dan film juga berimbang, tergantung dari pengawasan dan bimbingan orang tuanya. PROSES SOSIALISASI Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu (Wikipedia Indonesia, 2006:1). Sedangkan Aeri dan Verma (279:2004) mengemukakan bahwa sosialisasi adalah proses interaksi dengan orang lain. Lebih lanjut Martens (1975:90) menjelaskan bahwa sosialisasi adalah proses dimana anak belajar mengenai peran dan status mereka di masyarakat. Proses dimana masyarakat melatih anak untuk bertingkah laku seperti halnya orang dewasa (Baldwin dalam Martens, 1975:90). Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Berger dan Luckmann 4

dalam Wikipedia Indonesia (2006:1) mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya. Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya. Sedangkan, sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami 'pencabutan' identitas diri yang lama. Menurut George Herbert Mead (Wikipedia Indonesia, 2006:1) proses sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan melalui tahap-tahap sebagai berikut: (1) Tahap persiapan (Preparatory Stage), (2) Tahap meniru (Play Stage), (3) Tahap siap bertindak (Game Stage), (4) Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage). Sedangkan Charles H. Cooley lebih menekankan peranan interaksi dalam teorinya. Konsep Diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self 5

terbentuk melalui tiga tahapan sebagai berikut; (1) Kita membayangkan bagaimana kita di mata orang lain, (2) Kita membayangkan bagaimana orang lain menilai kita, (3) Bagaimana perasaan kita sebagai akibat dari penilaian tersebut (Wikipedia Indonesia, 2006:1). Ketiga tahapan di atas berkaitan erat dengan teori labeling, dimana seseorang akan berusaha memainkan peran sosial sesuai dengan apa penilaian orang terhadapnya. Jika seorang anak dicap "nakal", maka ada kemungkinan ia akan memainkan peran sebagai "anak nakal" sesuai dengan penilaian orang terhadapnya, walaupun penilaian itu belum tentu kebenarannya. Dalam bukunya, Martens (1975: 90) menggambarkan proses sosialisasi pada Gambar 1. Proses sosialisasi dapat dikatakan berhasil apabila menghasilkan orang yang kompeten secara sosial. Kompetensi dalam hal ini adalah kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dengan suatu lingkungan, baik secara fisik maupun sosial. Untuk dapat berfungsi secara efektif dalam setiap masyarakat, seseorang harus mempunyai keterampilan, pengetahuan, dan karakter. Kunci untuk didapatkannya keterampilan, pengetahuan, dan karakter ini adalah belajar sosial, sebuah proses yang berbeda dengan kematangan. Kematangan adalah pembeberan potensi suatu organisme yang kurang lebih terjadi secara otomatis. Sedangkan belajar sosial adalah belajar kebudayaan masyarakat melalui proses penguatan, terutama penguatan sosial, peniruan atau belajar mengamati, dan proses pembandingan sosial, termasuk persaingan. 6

Agencies: Keluarga Kelompok teman sebaya Sekolah masyarakat Perantara: Orang tua Saudara Teman sebaya Guru Perangkat kebudayaan: Status sosial Ras, etnik, perbedaan agama Melalui proses belajar sosial Peniruan Penguatan Proses perbandingan Mengajar, menanamkan, menyebarkan kebudayaan Keterampilan: Motorik Lisan Sosial Pengetahuan: Bahasa Kesehatan Kesenangan Karakter: Motivasi Sikap Karakter Menghasilkan orang yang kompenten secara sosial. Gambar 1. Proses Sosialisasi (sumber: Martens, 1975: 90) Kebudayaan masyarakat di sini adalah jumlah total dari penyebaran secara sosial pola tingkah laku, kesenian, kepercayaan, organisasi, dan semua hasil masyarakat yang dilewati dari generasi ke generasi. Kebudayaan menyediakan manusia dengan pandangan yang terpadu dan pendekatan untuk hidup, ini 7

menyediakan kenyataan sosial. Melalui beberapa agencies seperti keluarga, kelompok teman sebaya, sekolah, dan masyarakat, dan dibawah pengaruh perangkat budaya sosial seperti status sosial, ras, etnik, dan perbedaan agama, agen-agen sosialisasi dari pergaulan mengajar, menanamkan, dan menyebarkan kebudayaan kita. Agen-agen sosialisasi ini mungkin banyak anggota dari masyarakat, tetapi untuk anak agen utamanya adalah orang tua, saudara-saudaranya, teman sebayanya, dan guru-guru. Tujuan dari proses sosialisasi itu adalah orang yang kompeten secara sosial atau kompetensi sosial (Martens, 1975: 91). Adanya salah konsepsi mengenai sosialisasi adalah bahwa proses ini hanya memperhatikan pengembangan keterampilan atau kompetensi hubungan antar pribadi (Interpersonal). Sebenarnya proses sosialisasi bukan hanya memperhatikan pengembangan keterampilan hubungan antar pribadi, tetapi semua keterampilan, pengetahuan, dan karakter lain, yang mana semuanya itu membantu untuk membuat seseorang itu kompetensi secara sosial dalam masyarakanya (Martens, 1975:92). Sehingga perlu adanya pembedaan batasan antara kompetensi hubungan antar pribadi (Interpersonal Competence) dan kompetensi sosial (Social Competence). Salah konsep yang lain mengenai proses sosialisasi adalah bahwa hal ini pembatas kekanak-kanakan dan kedewasaan. Sosialiasi adalah proses yang berkelanjutan selama kehidupan karena tuntutan dari perubahan masyarakat dengan waktu, sama seperti perubahan seseorang dengan waktu (Martens. 1975:92). Martens juga mengemukakan bahwa sosialisasi penting juga bagi orang dewasa dalam memperoleh pekerjaan, dan dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat, orang 8

dewasa mungkin perlu untuk belajar pekerjaan baru beberapa waktu dalam hidupnya. Sosialisasi merupakan bagian terpenting dari pernikahan dan kedudukan sebagai orang tua. PROSES SOSIALISASI DAN DIPEROLEHNYA KETERAMPILAN SERTA PENGETAHUAN TENTANG GERAK DAN KEBUGARAN JASMANI Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa sosialisasi adalah proses dimana masyarakat menyebarkan kebudayaannya kepada para anggotanya sehingga mereka mungkin akan belajar untuk berfungsi sebagai anggota yang kompeten di masyarakat. Sebagai sebuah agencies dan bagian dari sistem pendidikan, fungsi sosialisasi yang utama dari pendidikan jasmani adalah mengajarkan keterampilan dan pengetahuan mengenai gerak dan kebugaran jasmani (Martens, 1975:93). Sedangkan fungsi sosialisasi yang kedua dari pendidikan jasmani adalah mengembangkan kompetensi interpersonal. Mengajarkan keterampilan dan pengetahuan tentang gerak dan kebugaran jasmani dilakukan oleh agen dari masyarakat melalui berbagai proses pembelajaran, terutama proses belajar sosial yang terdiri dari sebagaian besar peniruan, penguatan, dan proses pembandingan. Setelah itu proses belajar sosial difokuskan pada pengaruh tingkah laku motorik. Olahraga mempunyai 7 fungsi dalam masyarakat (Bucher, 1995: 248-249), yaitu; (1) pelepasan emosional, (2) pernyataan identitas, (3) kontrol sosial, (4) sosialisasi, (5) agen pembaharu, (6) kolektivitas suara hati, (7) kesuksesan. Sehingga masyarakat perlu untuk berpartisipasi dalam olahraga atau aktivitas jasmani lainnya. 9

Pendidikan jasmani di sekolah berusaha dalam pembelajaran untuk dapat meningkatkan keterampilan sosial anak melalui berbagai aktivitas jasmani yang sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan anak. Dalam Pembelajaran, Model Sosial, sebagai implikasi yang menekankan pada keadaan sosial alami kita, bagaimana kita belajar tingkah laku sosial, dan bagaimana interaksi sosial dapat meningkatkan pembelajaran secara akademis (Joyce, Weil, & Clahoun, 2000:29). Pembelajaran pendidikan jasmani yang terus berkembang sampai pada penerapan model sosial tersebut dalam model pembelajaran, seperti: bermain peran dan Cooperative Learning, Peer Teaching model, (Matzler, 2000: 220 & 286) Pengaruh perangkat budaya, seperti status sosial terhadap proses sosialisasi dalam memperoleh keterampilan dan pengetahuan mengenai gerak dan kebugaran jasmani belum dapat dipastikan. Penelitian yang dilakukan oleh Ponthieux dan Barker (dalam Martens,!975: 94) melaporkan bahwa anak perempuan yang berstatus rendah lebih cepat mempunyai koordinasi yang baik, dan mempunyai lebih daya tahan. Di sisi lain, anak perempuan berstatus atas menjadi lebih kuat pada kekuatan tangan dan bahu, pada otot perut dan paha, dan pada kekuatan eksplosif otot. Hal ini diakibatkan oleh status sosial yang mungkin penting apabila dihubungkan dengan variabel-variabel lainnya, apa pentingnya, bagaimana perbedaan status sosial mempengaruhi tingkah laku motorik dan kebugaran jasmani. Dengan kata lain, hubungan antara status sosial dan tingkah laku motorik atau kebugaran jasmani akan lebih baik dipahami jika ditelaah mengacu pada proses sosialisasi seluruhnya. 10

Pengaruh agencies dan agen dalam belajar keterampilan motorik sebagian besar intuitif atau berbasis pengalaman (Martens, 1975: 96-97). Berbagai pola hubungan orang tua-anak, interaksi teman sebaya, dan interaksi guru-siswa semuanya muncul menjadi faktor penentu langsung dan tidak langsung dalam diperolehnya keterampilan dan pengetahuan gerak dan kebugaran. Pemahaman interaksi yang lengkap antara faktor-faktor sosial-lingkungan yang mungkin mempengaruhi pengembangan fisik dan motorik anak seyogyanya penting jika guru pendidikan jasmani berkeinginan untuk merancang kurikulum yang membantu mengembangkan orang yang kompeten secara sosial (Martens, 1975:97). Menurut Martens (1975: 97) ada 3 set agencies dan agen yang bertanggung jawab dalam hal itu, yaitu: (1) keluarga sebagai agencies dan orang tua sebagai agen sosialisasinya, (2) Kelompok teman sebaya sebagai agencies dan teman sebaya sebagai agen sosialisasinya, (3) sekolah sebagai agencies dan guru sebagai agen sosialisasinya. Mekanisme sosialiasi-penguatan, peniruan, dan proses pembandingan merupakan yang pertama diperkenalkan pada anak dalam keluarga. Karena menurut Martens (1975:97), anak menerima hadiah dan hukuman pertamanya, melihat model tingkah laku pertamanya, dan membuat semua pembandingan pertamanya dalam keluarga. Seharusnya memang keluaraga mempengaruhi pengembangan awal kompetensi motorik dan ketertaikan anak dalam aktivitas jasmani. Sehingga pertanyaan penting yang datang, bagaimana keluarga mempengaruhi pengembangan kompetensi motorik dan kebugaran jasmani?. Munculnya ketertarikan dalam aktivitas jasmani berhubungan dengan kemampuan menyediakan ruang dan peralatan yang 11

disediakan oleh orang tua. Lebih lanjut Matens memberikan alasan, bahwa orang tua merupakan orang yang menghadiahi diperolehnya keterampilan motorik, orang yang menilai kebugaran jasmani, dan orang yang melibatkan diri mereka dalam aktivitas jasmani akan mempunyai anak yang lebih kompeten dan tertarik dalam aktivitas jasmani. Guru merupakan agen sekolah, harus sungguh-sungguh bertindak sebagai sebuah model penting dan penguat untuk pengembangan memperluas jangkauan keterampilan, pengetahuan, dan karakter. Pendidikan jasmani merupakan suatu satu kesatuan dalam sekolah yang fungsi sosialisasi utamanya adalah menyebarkan keterampilan dan pengetahuan mengenai kebugaran jasmani dan gerak (Martens, 1975: 99). Agencies masyarakat lainnya juga penting dalam pengajaran keterampilan dan pengetahuan, tetapi diperoleh mereka adalah fungsi kedua dari agencies ini. Lebih lanjut Martens mengemukakan pertanyaan penting, seberapa sukses pendidikan jasmani dalam memenuhi fungsi sosialisas utamanya? apakah agenciesagencies lain seperti keluarga, kelompok teman sebaya, dan organisasi rekreasi dan olahraga menyumbang kurang atau lebih daripada pendidikan jasmani untuk memenuhi fungsi itu? Pendidikan jasmani seringkali menyarankan agar orang mengembangkan sifat yang baik seperti harga diri, percaya diri, toleransi, karakter kepribadian yang prositif, kerjasama, sikap murah hati (atau apa yang kita punya termasuk kompetensi Interpersonal). 12

PLAY DAN GAMES SEBAGAI SEBUAH MODEL SOSIALISASI BAGI ANAK Aktivitas jasmani termasuk olahraga mempunyai potensi untuk mengembangkan kompetensi interpersonal. Partisipasi dalam aktivitas jasmani termasuk, permainan, bermain, dan olahraga menyediakan kesempatan untuk pertimbangan interaksi sosial dibawah situasi dengan jangkauan luas. Tetapi belajar sosial yang positif mungkin terjadi dari partisipasi yang sepeti itu, dan tingkah laku sosial yang negatif mungkin juga diperoleh (Martens, 1975:100-101). Melihat posisi itu, semua masyarakat menggunakan aktivitas jasmani termasuk permainan, bermain dan olahraga sebagai cara yang penting untuk anak-anak bersosialisasi. Bermain dan permaian memang mempunyai pengaruh terhadap perkembangan tingkah laku sosial anak. seperti misalnya bermain peran/role Playing, anak dapat mengetahui keinginan dan harapan dari teman-teman sebanya. Bermain itu sendiri merupakan aktivitas jasmani yang dilakukan dengan sungguh-sungguh atas dasar rasa senang (Sukintaka, 1990 :2). Sedangkan Fromberg dalam Dockett & Fleer (1999:16) mendefinisikan bahwa bermain bagi anak adalah simbolis, sangat bermakna, aktif, menyenangkan, sukarela, aturan yang tidak baku, dan berkisah. Semua itu merupakan elemen-elemen penting dalam bermain. Dalam permainan olahraga, anak banyak menggunakan energi fisiknya, sehingga sangat membantu perkembangan fisiknya. Di samping itu, kegiatan ini mendorong sosialisasi anak dengan belajar bergaul, bekerja sama, memainkan peran pemimpin, serta menilai diri dan kemampuannya secara realistik dan sportif (Temu Ilmiah Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, 2003:1). Sedangkan Tedjasaputra 13

(2003: 41) menerangkan bahwa melalui bermain anak belajar berkomunikasi dengan sesama teman baik dalam mengemukakan isi pikiran dan persaannya maupun memahami apa yang diucapkan oleh teman tersebut, sehingga hubungan dapat terbina dan dapat saling bertukar informasi (pengetahuan). Perlu diperhatikan bahwa bermain peran dapat menjadi media bagi anak untuk mempelajari budaya setempat, peranperan sosial, dan peran jenis kelamin yang berlangsung di dalam masyarakat. Sehingga dari sinilah anak akan belajar tentang sistem nilai, kebiasaan-kebiasaan dan standar moral yang dianut oleh masyarakatnya. Bahkan menurut Setiawani (2000:41-44), salah satu fungsi bermain adalah belajar hidup bersama/berkelompok. Bermain adalah kesempatan yang baik bagi anak untuk terjun ke dalam kelompok dan belajar menyesuaikan diri dalam kehidupan yang harmonis di masyarakat Moore dan Andersen dalam Martens (1975: 191) melihat bahwa; (1) Puzzles sebagai model hubungan antara manusia dengan alam, (2) Games of change sebagai model hubungan antara manusia dengan aspek yang tidak pasti keberdaannya, (3) Games of strategy sebagai model hubungan antara manusia dan interaksi dengan manusia lain, (4) Aesthetic entities atau bentuk seni, yang memberikan manusia kesempatan untuk membuat norma penilaian atau evaluasi pengalamannya. Pentingnya aktivitas jasmani, terutama permainan, sebagai metode memperoleh kompetensi interpersonal sudah diterima perhatian tambahan dalam beberapa studi lintas-budaya. Robert, et all dalam Martens (1975:102) telah menemukan bukti bahwa berbagai macam permainan menyediakan kesempatan-kesempatan untuk menguasai berbagai bagian lingkuangan. Mereka juga menyatakan bahwa Games of 14

strategy berhubungan dengan penguasaan sistem sosial, Games of physical skill berhubungan dengan penguasaan lingkungan fisik, dan Games of chance berhubungan dengan sesuatu yang supranatural. Penelitian yang dilakukan oleh Robert dan Sutton-Smith (Martens, 1975:102) pada 111 masyarakat dengan menggunakan kategori-kategori permainan di atas dalam menganalisis praktik pengasuhan-anak, mereka menemukan bahwa; (1) masyarakat menekankan latihan ketaatan yang dititikberatkan pada games of strategy, (2) masyarakat menekankan latihan bertanggungjawab yang dititikberatkan pada games of chance, (3) masyarakat lebih memperhatikan pencapaian latihan dengan menekankan pada games of physical skill. Aktivitas jasmani dapat memberikan sumbangan pada pengembangan kompetensi interpersonal. Hal ini diperkuat oleh berbagai penelitian, diantaranya dilakukan oleh Cowell (Martens, 1975:103) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang sedang antara beberapa variabel sosial dengan partisipasi dalam aktivitas jasmani. Sedangkan Layman yang dikutip Martens menemukan dalil-dalil berikut ini; (1) partisipasi dalam olahraga meningkatkan kebugaran jasmani, kebugaran jasmani berhubungan dengan kesehatan emosi yang baik dan kurangnya kebugaran dengan kesehatan emosi yang minim, (2) memperoleh keterampilan motorik melalui olahraga menyumbang terhadap pertemuan kebutuhan dasar keselamatan dan penghargaan pada anak, (3) pengawasan yang dimainkan orang tua berpotensi untuk meningkatkan keseharan emosi dan mencegah kegagalan. (4) ketika bermain, rekreasi, dan aktivitas olahraga dirancang dengan kebutuhan individu dalam pikiran, hal itu 15

mungkin maknanya lebih bernilai dari mengembangkan kesehatan emosi diantara para pasien yang sakit secara emosi, (5) bermain dan olahraga memberikan jalan keluar untuk mengekspresikan emosi dan mengekpresikan emosi di bagian luar pada aktivitas yang disetujui berguna untuk pengembangan dan pemeliharaan kesehatan emosi, (6) olahraga kompetitif, jika pantas digunakan, mungkin meningkatkan kesehatan emosi dan memperoleh sifat kepribadian yang didambakan. KESIMPULAN Kemampuan bersosialisasi sangat diperlukan oleh manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia ini. Manusia memulai sosialisasinya ketika masih anak-anak. sehingga pada masa itu perlu adanya bimbingan dan arahan oleh berbagai agencies dan agen melalui belajar sosial baik dengan peniruan, penguatan, maupun pembandingan. Tiga pola agencies dan agen perlu diupayakan untuk dapat bekerja maksimal dalam membentuk anak menjadi seseorang yang kompeten secara sosial sebagai hasil dari proses sosialisasi. Adanya faktor-faktor pendukung dan penghambat proses sosialisasi anak, mengharuskan adanya perancangan model sosialisasi yang cocok untuk anak. Aktivitas jasmani yang dilakukan oleh anak dalam kesehariannya, terutama yang berhubungan dengan teman dan lingkungannya sudah menjadi suatu model sosialisasi secara otomatis. Sehingga perlunya anak berpartisipasi dalam berbagai bentuk aktivitas jasmani, bermain, permainan, dan olahraga. Bermain dan permaian merupakan suatu bentuk aktivitas jasmani yang dapat menyenangkan para pelakunya. 16

Tetapi di sisi lain, diterangkan juga bahwa keduanya mempunyai manfaat dalam mengembangan keterampilan sosial, terutama anak-anak yang mempunyai dunia sendiri, yaitu dunia bermain. Berbagai pemikiran dan penelitian telah memberikan sumbangannya dalam membuktikan kebermanfaatan bermain dan permainan pada fungsi sosial anak. Pendidikan jasmani yang merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan menjadi jalan yang tepat untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan dalam gerak dan kebugaran jasmani. Selain itu, pendidikan jasmani di sekolah harus dapat berfungsi secara sosial dalam mengembangkan kompetensi interpersonal dan sosial anak melalui pembelajaran-pembelajaran yang dilakukan. Berbagai model pembelajaranpun telah digunakan untuk diperolehnya orang yang kompeten secara sosial di masyarakat. Fungsi sosial dari pendidikan jasmani ini harus ditekankan dalam berbagai pembelajaran yang dilakukan. 17

DAFTAR PUSTAKA Aeri, Priyanka & Verma, S.K. 2004. Child s Socialization through Play among 2-4 Years Old Children. Anthropologist, 6 (4): 279 281. Bucher, C.A. 1995. Foundation of Physical Education. St. Louis. C.V. Mosby Company. Dockett, Susan & Fleer, Marilyn. 1999. Play and Pedagogy in Early Childhood : Bending The Rules. Marrickville, Australia. Hartcourt Brace & Company. Joyce, Bruce., Weil, Marsha., & Calhoun, Emily. 2000. Models of Teaching. Boston. Allyn an Bacon. Martens. 1975. Social Psychology and Physical Activity. New York. Harper & row, Publishers, Inc. Metzler, Michael W. 2000. Instructional Models for Physical Education. Massachusetts: Allyn and Bacon, A Person Education Company. Nakita. 2006. Sampai Di Mana Kemampuan Anak Prasekolah. Available on line at www.tabloid-nakita.com/artikel.php3?edisi=06313&rubrik=prasekolah - 54k. Saiidah, Najmah. Membangun Kemampuan Bersosialisasi pada Anak. Majalah Ummi. 2005. No. 7/XVII November 2005/1426 H. Setiawani, Mary Go. 2000. Menerobos Dunia Anak. Bandung. Yayasan Kalam Hidup. Sukintaka. 1990. Teori Bermain. Yogyakarta. Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan. Institut Keguruan Ilmu Pendidikan Yogyakarta. Tedjasaputra, Mayke S. 2003. Bermain, Mainan, dan Permainan. Jakarta. PT. Grasindo. Wikipedia Indonesia. 2006. Sosialisasi. Available on line at http://id.wikipedia.org/wiki/sosialisasi. 18