PERBAIKAN FERTILITAS MELALUI APLIKASI HORMONE GONADOTROPIN PADA INDUK SAPI BALI ANESTRUS POST-PARTUM DI TIMOR BARAT Amirudin Pohan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTT ABSTRAK Induk Sapi Bali yang melahirkan pada puncak musim kemarau sering tidak birahi kembali dan untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan penyuntikan kombinasi hormone progesterone dan estrogen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengatahui kombinasi yang tepat antara progesterone dan estrogen agar ternak dapat menjadi fertile kembali. 30 ekor ternak induk yang telah melahirkan lebih dari 90 hari yang tidak mengalami estrus menjadi objek penelitian. Ternak-ternak tersebut dikelompokan dalam 3 kelompok perlakuan dengan masing-masing perlakuan terdiri dari 10 ekor sebagai ulangan. Perlakuan satu ternak diberikan progesteron sebanyak 62,5 mg satu kali penyuntikan, perlakuan dua diberikan 2 x 46,87 mg dan perlakuan tiga diberikan progesteron 62,5 mg dikombinasikan dengan estrogen sebanyak 1,0 mg. Parameter yang diamati meliputi Onset estrus, lama estrus, dan angka kebuntingan. Hasil yang dapat dilaporkan bahwa secara keseluruhan onset estrus muncul antara 1-3 hari setelah perlakuan. Prosentase keserentakan estrus tertinggi (37,5 %) muncul antara hari kedua sampai hari ketiga setelah perlakuan. Onset estrus tercepat terjadi pada perlakuan kombinasi pemberian satu kali penyuntikan 62,5 mg progesteron dan penyuntikan 1,0 mg oestradiol benzoat muncul antara hari ke satu sampai hari ketiga setelah perlakuan dengan prosentase yaitu 11,1 %. Sedangkan pada perlakuan pemberian tunggal 62,5 mg progesteron dan estrogen tunggal 1,0 mg estrogen masing-masing memperoleh persentase estrus sebesar 100 % dan 90 %. Kisaran lama estrus terpendek yaitu 12 sampai 23 jam hanya diperlihatkan oleh ternak perlakuan satu kali penyuntikan 62,5 mg progesteron yaitu 1 ekor (10%) dari 10 ekor. Sedangkan pada kedua perlakuan lainnya ternak memperlihatkan lama estrus lebih dari 23 jamangka konsepsi masih rendah yaitu 35,7 % akan tetapi angka kebuntingan cukup tinggi yaitu 75 % diperoleh dari perlakuan kombinasi 62,5 mg progesterone dan 1,0 mg estrogen. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa fertilitas ternak yang mengalami anestrus post-partum dapat diperbaiki melalui pemberian hormone gonadotropin. Kata kunci : progesteron, estrogen, kombinasi, fertilitas, angka kebuntingan Kata kunci : fertilitas, hormone gonadotropin, sapi bali dan Timor Barat PENDAHULUAN. Nusa Tenggara Timur (NTT), merupakan salah satu provinsi penghasil ternak potong Nasional. Dalam kurun waktu antara tahun 2000 2003 rata-rata pengeluaran sapi potong berkisar antara 40.000-50.000 ekor/tahun, namun dalam kurun waktu 3 tahun terjadi penurunanun ternak yang diantarpalaukan berkisar antara 30.000-40.000 ekor/tahun (Anonim, 1996). Salah satu faktor yang mempengaruhi penurunan jumlah tersebut adalah penurunan populasi akibat dari penurunan fertilitas. Hormone Gonadotropin (progesteron dan estrogen) sangat berperan dalam suatu siklus reproduksi ternak. Jika terjadi gangguan sistem hormonal, maka ternak akan mengalami penurunan fertilitas. Salah satu faktor yang sangat memperngaruhi terhadap sistem hormonal adalah pakan. Konsentrasi hormon gonadotropin dalam darah akan mempengaruhi sistem kerja dari ovarium. Toelihere (1997) menyatakan bahwan hipofungsi ovarium pada ternak sapi periode postpartum disebabkan oleh kekurangan dan ketidakseimbangan hormonal sehingga terjadi anestrus atau birahi tenang (silent heat) dan estrus yang tidak disertai ovulasi. Kekurangan pakan pada ternak yang melahirkan dapat mengakibatkan penundaan estrus antara 5 sampai 18 bulan. Untuk mengatasi kondisi ovarium ini perlu dilakukan penyuntikan hormon gonadotropin, namun penggunaan preparat ini tidak ekonomis untuk ternak potong yang digembalakan karena memerlukan biaya yang relatif mahal. Sebagai penggantinya dapat dipakai hormon progesteron. Dasar fisiologik dari penggunaan progesteron melalui umpan balik negatifnya terhadap hipothalamus untuk sementara waktu dan setelah efek hambatannya hilang, maka akan terjadi sekresi FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone)
dalam jumlah yang lebih banyak dari biasanya. Dengan demikian akan terjadi proses pertumbuhan dan pematangan folikel sehingga terjadi ovulasi. Informasi tentang efek pemberian hormon progesteron dan estrogen baik secara tunggal maupun kombinasi keduanya sangat diharapkan. Hasil penelitian ini adalah suatu rekomendasi pemberian progesteron dan estrogen yang tepat dalam upaya memperbaiki fertilitas ternak. MATERI DAN METODE Ternak dan pemberian perlakuan Sebanyak 30 ekor induk sapi Bali yang tidak menunjukkan gejala estrus setelah melahirkan lebih dari 3 (tiga) bulan dikelompokan menjadi 3 (tiga) kelompok. Pakan yang diberikan pada siang hari adalah rumput alam dan jerami padi, sedangakan pada malam hari diberikan tambahan campuran daun turi, gamal dan lamtoro sebayak 5 kg/ekor/hari. Bahan habis pakai yang digunakan untuk penelitian meliputi hormon progesteron, estrogen dan antibiotik. Kelompok Pertama diberikan satu kali penyuntikan secara intramuskular 62,5 mg progesteron per ekor. Kelompok Kedua diberikan 2 kali penyuntikan 46,87 mg progesteron secara intramuskular dengan selang waktu lima hari antar penyuntikan sedangkan kelompok Ketiga diberikan satu kali penyuntikan secara intra muskuler 62,5 mg progesteron, disusul tiga hari kemudian dengan penyuntikan secara intramuskuler 1,0 mg oestradiol benzoat. Onset estrus yang timbul pada Kelompok Pertama, digunakan sebagai dasar untuk menentukan waktu pada perlakuan pada Kelompok Kedua dan Ketiga. Ternak-ternak yang menunjukan gejala estrus kemudian dilakukan inseminasi atau Kawin Alam. Rancangan, Analisis data dan Variabel Penelitian ini menggunakan rancangan acal lengkap (RAL) dengan tiga kelompok perlakuan dan masing-masing perlakuan tediri atas 10 ekor sebagai ulangan. Data yang terkumpul dianalisis statistic menggunakan general linear model (GLM) dari program SAS dan diuji dengan menggunakan uji Duncan. Adapun parameter yang Diamati meliputi : Kecepatan timbulnya estrus, lama estrus, dan angka kebuntingan. HASIL DAN DISKUSI Pengaruh Perlakuan Terhadap Onset dan Presentase Estrus Pengaruh dari pada perlakuan adalah timbulnya respons ternak akibat penyuntikan hormon progesteron dan estrogen. Salah satu kriteria seekor ternak dikatakan fértil adalah timbulnya estrus dalam satu siklus reproduksi. Kecepatan estrus merupakan jarak waktu antara akhir perlakuan sampai awal penampakan gejala klinis estrus. Gejala klinis yang timbul yaitu pembekakan serta perubahan warna pada vulva, yaitu dari warna merah pucat kemerah terang dan keluar lender transparan. Pengaruh perlakuan terhadap Onset estrus dikelompokan dalam empat interval waktu yaitu : 1-2 hari, >2 3 hari, >3-4 hari dan >4-5 hari seperti yang ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Onset estrus dalam hari yang diberikan progesteron dan estrogen Kelompok perlakuan Onset estrus (hari) 1-2 >2-3 >3-4 >4-5 --------------------------- % ------------------ Perlakuan I 0,00 0,00 30,0 a 70,0 a Perlakuan II 0,00 22,2 a 66,7 b 11,1 b Perlakuan III 11,1 88,9 b 0,00 0,00 Catatan : huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (p<0,05) Pada Tabel 1 terlihat bahwa, onset estrus tercepat muncul pada hari pertama sampai kedua dialami oleh kelompok perlakuan III, kemudian diikuti oleh Kelompok Perlakuan II dan I. Sedangkan
berdasarkan banyaknya ternak yang mengalami estrus diperlihatkan oleh Kelompok Perlakuan III yaitu pada hari kedua sampai ketiga, kemudian diikuti oleh Kelompok Perlakuan I dan II. Hasil uji statistik terhadap keserentakan estrus, menunjukan tidak berbeda nyata antara perlakuan. Keserentakan estrus ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian implan CIDR dengan atau tanpa estrogen selama tujuh, 12 dan 14 hari yang berkisar antara dua sampai tiga hari (Vargas et al. 1994). Tidak adanya perbedaan yang nyata disebabkan karena baik hormon progesteron maupun hormon estrogen dapat bekerja secara umpan balik positif dan negatif terhadap timbulnya estrus. Tingginya konsentrasi progesteron dalam plasma darah akan menghambat sekresi FSH dan LH dari hipofisis sedangkan turunnya konsentrasi dalam darah setelah beberapa hari kemudian menyebabkan efek hambatan tersebut hilang dan akan terjadi banjir FSH dan LH dan disusul dengan pertumbuhan gelombang folikel pertama yang baru (Fortune, 1993). Bo et al. (1995) menyatakan bahwa implan progesterone bersama oestradiol benzoat juga dapat memperpendek interval antara perlakuan dengan ovulasi. Kejadian ini dapat dipahami karena mekanisme kerja hormon estrogen yang diinjeksi pada saat konsentrasi progesteron dalam plasma rendah akan berpengaruh pada susunan syaraf pusat yang berhubungan dengan tingkah laku estrus. Pengaruh Perlakuan terhadap Lama Estrus. Informasi tentang lama estrus sangat dibutuhkan dalam pengaturan perkawinan seekor ternak. Lama estrus dihitung sejak ternak menunjukan gejala klinis (terutama gejala perubahan vulva) sampai gejala tingkah laku tidak terlihat lagi. Hasil penelitian menujukan bahwa kisaran lamanya estrus antara 12 samapi 48 jam. Lama estrus dengan kisaran 24 36 jam merupakan jumlah terbanyak dari ternak yang mengalami estrus sedangkan lama estrus 12-23 jam merupakan jumlah yang terkecil dari ternak yang mengalami estrus. Hasil selengkap disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Respons akibat perlakuan berdasarkan lama estrus Kelompok perlakuan Kisaran lama estrus (jam) 12-23 24-36 37-48 >48 -------------------------- (%)------------------------- Perlakuan I 10,0 50,0a 20,0a 20,0a Perlakuan II 0,00 55,6ª 22,2ª 22,2ª Perlakuan III 0,00 44,4ab 33,3a 22,2a Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak ada perbedaan yang nyata pada taraf P<0,05 Pada Tabel 2 diatas, dapat terlihat bahwa julah ternak terbanyak mengalami estrus selama 24-36 jam. Sedangkan sebagian kecil ternak mengalami estrus selama 12-23 jam. Uji statistik menunjukan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05) antara perlakuan pertama dan kedua dengan perlakuan ketiga namun tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan pertama dengan ketiga. Hasil ini agak berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh Toelihere, (1990) yang menyatakan bahwa lama estrus normal dari ternak sapi Bali berkisar antara 18 sampai 19 jam. Adanya perbedaan ini disebabkan oleh mekanismen kerja hormon progesteron yang konsentrasinya lebih banyak pada ternak penelitian sehingga menghambat sekresi estrogen beberapa waktu. Setelah konsentrasi progesteron turun, maka sekresi estrogen dalam darah meningkat sehingga menyebabkan konsentrasi dalam darah juga meningkat dan dalam waktu yang lebih lama keberadaannya. Pengaruh Perlakuan terhadap Angka Kebuntingan. Secara keseluruhan rataan angka konsepsi dari ternak setelah dilakukan perkawinan alam maupun IB, cukup tinggi (10 ekor dari 28 ekor). Angka konsepsi yang diperlihatkan pada kelompok perlakuan kedua adalah yang tertinggi sedangkan perlakuan ketiga yang paling rendah seperti yang terlihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Respons akibat perlakuan terhadap keberhasilan kebuntingan. Kelompok Perlakuan Banyaknya ternak yang bunting (ekor/%) IB IB II IB III Tidak bunting Perlakuan Pertama 40,0 10,0 10,0 40,0 Perlakuan Kedua 44,4 33,3 0,00 22,2 Perlakuan Ketiga 22,2 44,4 22,2 11,1 Pada Tabel 3 terlihat bahwa secara statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) antara ketiga perlakuan, namun terdapat kecenderungan bahwa Perlakuan Kedua memberikan angka kebuntuingan yang relatif lebih tinggi, jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Jumlah keseluruhan ternak yang bunting setelah diinseminasi/dikawinkan sebanyak tiga kali berturut-turut maka persentase kebuntingannya cukup tinggi yaitu 21 dari 28 ekor (75 %). Persentase kebuntingan setelah diinseminasi sebanyak tiga kali dari yang tertinggi ke yang tendah berturut-turut adalah pada kelompok Perlakuan Ketiga yaitu sebesar 88,9 % kemudian diikuti oleh perlakuan Kedua sebesar 77,8 % dan terendah dialami oleh kelompok Perlakuan Pertama yaitu sebesar 60 %. Rendahnya angka konsepsi pada inseminasi pertama yang dialamai oleh kelompok Perlakuan Ketiga di sebabkan oleh sulitnya menentukan waktu yang tepat untuk diinseminasi/dikawinkan karena sebagian besar ternak yang menunjukan gejala estrus mempunyai waktu estrus yang lebih lama hingga beberapa hari setelah diinseminasi dan ternak masih terus memperlihatkan estrus setelah diinsemnasi dua sampai tiga kali.. Diduga bahwa pemberian oestradiol benzoat tiga hari setelah pemberian progesteron menyebabkan konsentrasi estrogen menjadi tinggi pada awal pertumbuhan folikel. Tingginya konsentrasi estrogen ini memicu terjadi lonjakan LH sehingga folikel yang berpotensi untuk tumbuh menjadi dominan, akan berhenti bertumbuh sebelum mencapai fase dominan. Keberadaan LH yang mendadak tinggi menyebabkan folikel tersebut berovulasi sebelum waktunya, sehingga fertilitasnya menurun. Angka konsepsi setelah ternak dikawinkan pertama yang masih rendah pada penelitian ini dapat dimaklumi karena ternak yang digunakan mengalami
hipofungsi ovarium pada saat awal, namun hasil ini masih lebih baik dari pada yang dilaporkan Savio et al. (1992) bahwa implan hormon progesteron sembilan hari tanpa hormon estrogen mempunyai angka kebuntingan yang rendah (37 %). KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini serta pembahasannya dapat disimpulkan bahwa : 1. Respons estrus pada sapi anestrus umumnya tinggi. Respons tertinggi terjadi pada perlakuan Pertama. 2. Kecepatan timbulnya estrus umumnya berkisar antara >2-3 hari yaitu pada Kelompok Perlakuan Ketiga. 3. Angka kebuntingan dari jumlah keseluruhan ternak sapi setelah dikawinkan sebanyak 3 kali memberikan persentase yang cukup tinggi (75 %). Total angka kebuntingan (89,9 %) terjadi pada kelompok perlakuan Ketiga, sedangkan angka kebuntingan terendah (60 %) terjadi pada perlakuan Pertama. Saran Melihat hasil pada perkawinan pertama setelah perlakuan yang masih rendah maka, disarankan agar ternak-ternak yang mengalami anestrus postpartum sebaiknya dikawinkan setelah menunjukan gejala birahi secara alami setelah diberikan penyuntikan progesteron dan oestradiol benzoat. DAFTAR PUSTAKA Bo, G.A, G.P. Adams, R.A. Pierson and R.J. Mapletotf. 1995. Exogenous control of Follicular wave emergence in cattle. Theriogeology, 43:31-40. McDougall, L.D. S., C.R. Burke, K.L. Macmillan and N.B. Williamson. 1995. Follicle patterns during extenced periods of postpartum ovulation in pasture-fed dairy cows. Res. Vet. Sci. 58 : 212-216. Savio, J.D., W.W. Thacher, L. Badinga, R.L. de la Sota and D. Wolfenson. 1992. Regulation of dominant follicle turnofer during the estrous cycle in coes. J. Reprod. Fert. 97 : 197-203. Toelihere, M.R., I.G.N. Jelantik, P. Kune dan T.L. Yusuf. 1990. Pengaruh musim terhadap kesuburan ternak sapi Bali di Besipae. Laporan Hasil Penelitian Fakultas Peternakan, Undana. Teolihere, M.R., 1997. Peran Bioteknologi reproduksi dalam pembinaan produksi peternakan di Indonesia. Makalah disampaikan pada pertemuan teknis dan koordinasinproduksi Peternakan Nasional. Cisarua, 4-6 Agustus 1997.