BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HEMODIALYSIS PADA ANAK. Tatik Dwi Wahyuni, SKep Ns RSUP Dr Sardjito Yogyakarta

Kata kunci : PGK, hemodialisis, quick of blood dan RRU

Gagal Ginjal Kronis. 1. Apa itu Gagal Ginjal Kronis?

BAB I PENDAHULUAN. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan jumlah. penderita gagal ginjal pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari tahun

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang progresif dan lambat yang biasanya berlangsung beberapa tahun.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. melalui membran semipermeabel atau yang disebut dengan dialyzer (Thomas,

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan

BAB I PENDAHULUAN. (penting untuk mengatur kalsium) serta eritropoitein menimbulkan keadaan yang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak

PROSIDING KONFERENSI NASIONAL PPNI JAWA TENGAH Imam Hadi Yuwono*, Yunie Armiyati**, Chanif ***

BAB I PENDAHULUAN. hidup saat ini yang kurang memperhatikan keseimbangan pola makan. PGK ini

BAB I PENDAHULUAN. Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit gagal ginjal adalah kelainan struktur atau fungsi ginjal yang ditandai

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Hubungan Hipertensi dan Diabetes Melitus terhadap Gagal Ginjal Kronik

BAB I PENDAHULUAN. Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kerusakan ginjal yang menyebabkan ginjal tidak dapat membuang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. untuk menyingkirkan substansi yang tidak diinginkan dari darah sementara

I. PENDAHULUAN. keluhan maupun gejala klinis kecuali sudah terjun pada stadium terminal (gagal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Estimasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. yang progresif dan irreversibel akibat berbagai penyakit yang merusak nefron

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronis atau End Stage Renal Desease (ESRD) merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN ANTARA QUICK OF BLOOD (Qb) DENGAN ADEKUASI HEMODIALISIS PADA PASIEN YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISIS DI RUANG HD BRSU DAERAH TABANAN BALI

BAB I PENDAHULUAN. atau fungsi ginjal yang berlangsung 3 bulan dengan atau tanpa disertai

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Pada manusia, fungsi ini sebagian besar dijalankan oleh ginjal (Brenner,

3.4 Prinsip Hemodialisa Prinsip mayor/proses hemodialisa

Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. GFR < 60 ml/menit/1,73 m 2 selama 3 bulan dengan atau tanpa

M.Nuralamsyah,S.Kep.Ns

BAB 1 PENDAHULUAN. Singapura dan 9,1% di Thailand (Susalit, 2009). Di Indonesia sendiri belum ada

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

GAGAL GINJAL Zakiah,S.Ked. Kepaniteraan Klinik Interna Program Studi Pendidikan Dokter FKK Universitas Muhammadiyah Jakarta

PENATALAKSANAAN KOMPLIKASI SELAMA DIALISIS DIALYSIS DISEQUILIBRIUM SYNDROME (DDS) Imam Hadi Yuwono PD. IPDI Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN. Hemodialisis (HD) Adalah pengobatan dengan alat yaitu Dialyzer, tujuan

BAB I PENDAHULUAN. dapat disembuhkan. Penyakit ini ditandai turunnya fungsi ginjal sehingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

penyakit yang merusak massa nefron ginjal.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Esa Unggul

perkembangan penyakit DM perlu untuk diperhatikan agar komplikasi yang menyertai dapat dicegah dengan cara mengelola dan memantau perkembangan DM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Imam Hadi Yuwono 1, Yunie Armiyati 2, Chanif 3

BAB I PENDAHULUAN. fungsi ginjal dengan cepat sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan

Proses Peritoneal dialisis dan CAPD. Dahlia Lara Sikumalay Putri Ramadhani Tria Wulandari

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah pasien gagal ginjal kronis setiap tahun semakin meningkat,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditentukan, dengan maksud agar kebutuhan pasien terpenuhi secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. multipel. Semua upaya mencegah gagal ginjal amat penting. Dengan demikian,

BAB I PENDAHULUAN. didefenisikan sebagai kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan berupa

PENELITIAN PENGARUH HEMODIALISIS TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH PADA PASIEN DM. Elya Hartini *, Idawati Manurung **, Purwati **

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia banyak sekali masyarakat yang mengkonsumsi produk

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit Diabetes Millitus (DM) yang juga di kenal sebagai penyakit kencing manis/

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan gejala-gejala atau kecacatan yang membutuhkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) dan hanya menggantikan

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Ginjal kiri letaknya lebih tinggi dari ginjal kanan, berwarna merah keunguan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. serta terjadinya kerusakan ginjal dan penurunan fungsi ginjal dengan Glomerular

Afniwati, Amira Permata Sari Tarigan, Yunita Ayu Lestari Tarigan Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan. Abstrak

BAB I.PENDAHULUAN. dengan penurunan glomerular filtrate rate (GFR) serta peningkatan kadar

a. Cedera akibat terbakar dan benturan b. Reaksi transfusi yang parah c. Agen nefrotoksik d. Antibiotik aminoglikosida

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan

Terapi Pengganti Ginjal. Ledy Martha Aridiana, S.Kep. Ns. M.Kes

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan peningkatan angka morbiditas secara global sebesar 4,5 %, dan

I. PENDAHULUAN. pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).

PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I

transplantasi adalah pasien dan hanya ada 920 pasien yang menerima transplantasi (NHSBT, 2014). Hemodialisis merupakan metode perawatan umum

Author : Liza Novita, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau Doctor s Files: (

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis

BAB I PENDAHULUAN. banyak pabrik-pabrik yang produk-produk kebutuhan manusia yang. semakin konsumtif. Banyak pabrik yang menggunakan bahan-bahan

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 1. Sistem Ekskresi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 1

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya semakin meningkat setiap tahun di negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. dari mulai faal ginjal normal sampai tidak berfungsi lagi. Penyakit gagal ginjal

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Pertukaran cairan tubuh sehari-hari (antar kompartemen) Keseimbangan cairan dan elektrolit:

Transkripsi:

9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab II menguraikan dasar dasar teori yang berkaitan dengan: 1) PGK, yang meliputi definisi PGK, penyebab PGK, tanda dan gejala PGK, patofisiologi, komplikasi PGK dan penatalaksanaan, 2) Hemodialisis, meliputi pengertian hemodialisis, tujuan hemodialisis, prinsip dalam proses hemodialisis, komponen hemodialisis, komplikasi proses hemodialisis, akses vaskuler dan dosis hemodialisis, 3) Quick of Blood (QB), 4) Ureum, meliputi faktor yang mempengaruhi RRU, pemeriksaan ureum sebelum dan sesudah hemodialisis, 5) Kerangka Teori, 6) Kreangka Konsep Penelitian, 7) Variabel Penelitian, 8) Hipotesis. A. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) 1. Definisi Penyakit Ginjal Kronik Penyakit Ginjal Kronik adalah merupakan tahapan akhir gagal ginjal dimana Glomerular Fultrasi Rate (GFR) < 15ml/menit, sehingga tubuh gagal mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia yaitu retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah (Ignatavicius & Workman, 2006 ; dalam Erwinsyah, 2009).

10 Penyakit Ginjal Kronik adalah kerusakan atau gangguan fungsi dan struktur ginjal selama tiga bulan atau lebih dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus diseratai manifestasi kelainan patologi ginjal atau kerusakan ginjal meliputi komposisi darah atau urin dan ada kelainan pada uji pencitraan ginjal. PGK adalah bila ginjal mengalami penurunan fungsi laju filtrasi glomerulus dibawah 60 ml/min/1.73m² dengan atau tanpa kerusakan ginjal (NKF DOQI, 2002). Tahapan Penyakit Ginjal Kronik (NKF DOQI, 2002; Levey,dkk., 2007) a. Tahap 1 : Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau GFR > 90ml/min/1.73m 2. b. Tahap 2 : Kerusakan ginjal ringan dengan GFR 60-89ml/min/1.73m 2 c. Tahap 3 : Kerusakan ginjal sedang dengan GFR 30-59ml/min/1.73m 2. d. Tahap 4 : Kerusakan ginjal berat dengan GFR 15-29ml/min/1.73m 2. e. Tahap 5 : Gagal ginjal, GFR <15ml/min/1.73m 2. Tahap ini sering disebut End Stage Renal Disease (ESRD) dan perlu tindakan hemodialisis.

11 Pengukuran nilai GFR untuk menentukan tahapan PGK yang paling akurat adalah dengan menggunakan Chronic Kidney Disease Epidemiology Collaburation (CKD-EPI) dibanding dengan model Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) atau dengan rumus Cockcroft-Gault (Michels, Grootendorst & Verduijn, 2010). Praktek pengukuran GFR untuk menentukan tahapan PGK yang sering digunakan adalah menggunakan rumus Cockcroft-Gault. Adapun rumus dari Cockcroft-Gault dalam Ahmed & Lowder (2012) adalah : Rumus Cockcroft-Gault untuk laki-laki : GFR = (140-umur) x BB 72 x serum Creatin Sedangkan untuk wanita adalah : GFR = (140-umur) x BB x 0,85 72 x serum Creatin 2. Penyebab Penyakit Ginjal Kronik Penyebab PGK adalah diabetes militus, hipertensi, iskemia pada ginjal, zat toxic, sumbatan atau obstruksi, penyakit autoimun dan karena infiltrasi pada ginjal (Snively & Gutierres, 2004). Sedangkan penyebab PGK menurut National Kidney Foundation / NKF (2010) adalah :

12 a. Diabetes militus dan Hipertensi Dua penyebab utama penyakit ginjal kronis diabetes dan tekanan darah tinggi. Diabetes militus terjadi ketika gula darah terlalu tinggi, menyebabkan kerusakan pada banyak organ dan otot dalam tubuh, termasuk ginjal dan jantung, serta pembuluh darah, saraf, dan mata. Tekanan darah tinggi atau hipertensi, terjadi ketika tekanan darah meningkat pada dinding pembuluh darah. Jika tidak dikontrol dengan baik, tekanan darah tinggi bisa menjadi penyebab serangan jantung, stroke dan PGK. b. Glomerulonefritis Glomerulonefritis menyebabkan peradangan dan kerusakan unit penyaringan ginjal, merupakan penyebab ketiga yang paling sering terjadi pada penyakit ginjal kronis. c. Polikistik Ginjal Polikistik ginjal merupakan penyakit ginjal bawaan sejak lahir. Keadaan ini mengakibatkan kista pada ginjal yang akan merusak jaringan disekitarnya. d. Lupus. Penyakit ini dalam ilmu kedokteran disebut Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu ketika penyakit ini sudah menyerang seluruh tubuh atau sistem internal manusia. e. Malformasi pada saluran perkemihan f. Adanya sumbatan karena tumor, batu ginjal atau sumbatan karena ada pembesaran kelenjar prostat pada pria

13 g. Infeksi saluran kencing yang berulang. 3. Tanda dan gejala penyakit ginjal kronik (Walzer, 2004) a. Gejala yang paling umum dari penyakit ginjal kronik, dan salah satu yang paling awal, adalah kelelahan. b. Kram otot, sering terjadi pada otot betisi dan bisa terjadi kram pada semua kelompok otot. c. Mual dan muntah, merupakan akibat ureum dan kreatinin darah yang tinggi. Gejala ini disertai pula dengan hilangnya nafsu makan. d. Mudah memar, bisa karena proses kerapuhan kapiler sehingga mudah terjadi bintik-bintik merah pada lengan. Belum ada pengobatan yang efektif untuk mengobati gejala mudah memar. e. Gatal, gejala ini umum terjadi pada penderita PGK. Gatal disebabkan karena konstribusi asidosis dan anemia. f. Sesak nafas, merupakan gejala dari adanya komplikasi kardiovaskuler atau anemia pada penderita PGK. Sesak nafas bisa terjadi karena hiperkalemi dan atau overhidrasi. g. Gejala lain dari PGK yang kadang muncul adalah haus, susah tidur, kurang konsentrasi, gelisah, mengantuk, diare, sembelit, sakit kepala, gangguan memori, mati rasa dan kesemutan pada tangan dan kaki.

14 4. Patofisiologi Patofisiologi ginjal sangat erat hubungannya dengan struktur ginjal, fungsi ginjal, kerusakan, cedera dan perbaikan ginjal. Ginjal dialiri darah sebanyak 400 ml/100 gr jaringan/menit, aliran ini lebih besar dari organ yang lain seperti jantung, hati dan otak. Perubahan aliran darah ke ginjal atau adanya zat patogen yang masuk ke ginjal berpotensi mengganggu kestabilan kerja ginjal dan menggangu laju filtrasi glomerulus. Filtrasi glomerulus dalam ginjal sangat tergantung dan terpengaruh oleh tekanan dalam glomerulus dan rentan terjadi cedera hemodinamik bahkan dalam kondisi fisiologis. Peningkatan tekanan pada glomerulus dan hiperfiltrasi dipercaya berkontribusi besar terhadap penyebab terjadinya PGK (Motavinovic, 2009). Cedera glomerulus berpengaruh pada proses filtrasi dan difusi, sehingga molekul yang bertekanan negatif tidak bisa menahan makromolekul anionik. Kondisi ini mengakibatkan filtrasi protein plasma terganggu sehingga keluar lewat urine. Glomerulus yang mengalami cedera akan mengakibatkan muncul jaringan baru di kapiler dan merusak sebagian nefron. Proses ini akan mengakibatkan reaksi inflamasi pada glomerulus dan bisa meluas ke jaringan lain dan jaringan intertisial disekitarnya. Penurunan perfusi glomerulus akan mengakibatkan penurunan sirkulasi dan barakibat hipoksia di

15 glomerulus dan nefron selanjutnya mengakibatkan perubahan bentuk dan fungsi pada jaringan tersebut. Penyakit atau gangguan pada glomerulus sering disebabkan karena gangguan metabolisme, gangguan kekebalan tubuh dan tekanan pada kerja glomerulus yang meningkat. Secara patologis dan patogenetik penyakit pada glomerulus dapat dibagi 3 kelompok (Motavinovic, 2009). a. Penyakit glomerulus nonpoliferasi atau penyakit glomerulus tanpa peradangan. Kemungkinan penyebab karena mekanisme kerja imunoglobulin yang merangsang pembentukan subepitil pada glomerulus. b. Penyakit glomerulus poliferatif yaitu terjadi peradangan pada glomerulus, seperti pada penyakit glomerolonefritis proliferatis. c. Penyakit glomerulus yang komplek, seperti karena diabetes militus, amilodiosis dan paraproteinemia. 5. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik Komplikasi PGK yang banyak terjadi adalah gangguan kardiovaskuler dan infeksi (Naqvi & Collins, 2006). Infeksi pada PGK yang belum menjalani tindakan mempunyai prevalensi 3 kali dari yang sudah menjalani dialisis. Penyakit infeksi yang sering terjadi adalah pneumonia, infeksi saluran kemih dan sepsis (Appel dkk ; 2000 dalam

16 Naqvi & Collins, 2006). Komplikasi dari CKD adalah anemia, gangguan kardiovaskuler, dislipidemia dan gangguan nutrisi (Thomas, Kanso & Sedor, 2008). 6. Penatalaksanaan Tindakan hemodialisis dimulai saat laju filtrasi glomerulus 15 30ml/menit/1.73m 2 atau PGK tingkat 4. Panderita PGK dengan gangguan uremik yang membahayakan dirinya seperti uremik ensefalopati atau neuropati, perikarditis dan pleuritis harus segera mendapat tindakan hemodialisis. Sedangkan penderita PGK dengan kelebihan cairan di ekstraselluler, hipertensi, hiperkalemia dan asidosis metabolik yang respon terhadap obat, muntah dan hyperphosfatemia bukan merupakan keadaan yang mendesak dilakukan tindakan hemodialisis (Han, 2009) B. Hemodialisis 1. Pengertian Hemodialisis Dialisis menghilangkan nitrogen sebagai produk limbah, mengoreksi elektrolit, air, dan kelainan asam-basa yang berhubungan dengan gagal ginjal. Dialisis tidak memperbaiki kelainan endokrin karena gagal ginjal, atau mencegah komplikasi kardiovaskular. Proses dialisis membutuhkan membran semipermeabel yang akan membersihkan bagian air dengan berat molekul kecil (zat terlarut), tetap tidak untuk

17 molekul besar (misalnya protein). (MW urea = 60, kreatinin = 113, vitamin B12 = 1355, albumin = 60 000, IgG = 140 000 Da.) Membran dialisis pertama dipakai adalah sellulosa sederhana, tetapi sekarang bahan yang dipakai adalah membran berbahan sintetis (Levy,dkk., 2004). Hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermiabel (dialyzer) ke dalam dialysate. Dialyzer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma ( dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dialyzer yang dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat dan dunia. Dialyzer atau ginjal buatan memiliki dua bagian, satu bagian untuk darah dan bagian lain untuk cairan dialysate. Di dalam dialyzer antara darah dan dialisat tidak bercampur jadi satu tetapi dipisahkan oleh membran atau selaput tipis. Sel-sel darah, protein dan hal penting lainnya tetap dalam darah karena mempunyai ukuran molekul yang besar sehingga tidak bisa melewati membran. Produk limbah yang

18 lebih kecil seperti urea, kreatinin dan cairan bisa melalui membran dan dibuang. Sehingga darah yang banyak mengandung sisa produk limbah bisa bersih kembali (National Kidney Foundation / NKF, 2006). Proses hemodialisis yang terjadi didalam membran semipermiabel terbagi menjadi tiga proses yaitu osmosis, difusi dan ultrafiltrasi (Curtis, Roshto & Roshto, 2008). Osmosis adalah proses perpindahan zat terlarut dari bagian yang berkonsentrasi rendah kearah konsentrasi yang lebih tinggi. Difusi adalah proses perpindahan zat terlarut dari konsentrasi tinggi kearah konsentrasi yang rendah. Sedangkan ultrafiltrasi adalah perpindahan cairan karena ada tekanan dalam membran dialyzer yaitu dari tekanan tinggi kearah yang lebih rendah (Curtis, Roshto., & Roshto, 2008) 2. Tujuan Tindakan Hemodialisis Hemodialisis tidak mengatasi gangguan kardiovaskuler dan endokrin pada penderita PGK. Tindakan hemodialisis bertujuan untuk membersihkan nitrogen sebagai sampah hasil metabolisme, membuang kelebihan cairan, mengoreksi elektrolit dan memperbaiki gangguan keseimbangan basa pada penderita PGK (Levy, dkk., 2004). Tujuan utama tindakan hemodialisis adalah mengembalikan keseimbangan cairan intraseluler dan ekstraseluler yang terganggu akibat dari fungsi ginjal yang rusak (Himmelfarb & Ikizler, 2010)

19 3. Prinsip dalam Proses Hemodialisa Secara sederhana proses dialisis hanya memompa darah dan dializat melalui membran dializer (Levy,dkk., 2004) a. Dialysate adalah larutan air murni yang mengandung, klorida, natrium kalium, magnesium, kalsium, dextrose, bicarbonat atau asetat. b. Di dalam dialyzer darah dan dialysate dipisahkan oleh membran semipermiabel. Darah mengandung sisa produk metabolisme berupa ureum, creatin, dan lainnya. Sedangkan dialysate tidak mengandung produk sisa metabolisme. Karena perbedaan konsentrasi ini akan terjadi proses difusi dalam dialyzer. c. Proses difusi akan maksimal bila arah aliran darah dan dialisat berlawanan (counter current flow). Kecepatan aliran darah dan dialisat dalam dialiser juga berpengaruh pada peningkatan proses difusi. d. Proses konveksi dalam dialyzer dapat ditingkatkan dengan meningkatkan tekanan dalam membran dialyzer (trans membrane pressure). Pada proses Hemodialisa konvensional, molekul dengan ukuran kecil tidak semua terlepas denagan proses konveksi saja. Tetapi hampir semua molekul dengan ukuran kecil terlepas dengan proses difusi. Sebaliknya molekul dengan ukuran besar (B2 - mikroglobulin dan vit B12) dikeluarkan efektif dengan proses konveksi. Hal ini telah menyebabkan peningkatan penggunaan

20 metode UF di Hemodialisa untuk meningkatkan penghapusan molekul MW lebih besar. 4. Komponen Hemodialisa a. Mesin Hemodialisa Mesin hemodialisa memompa darah dari pasien ke dialyzer sebagai membran semipermiabel dan memungkinkan terjadi proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi karena terdapat cairan dialysate didalam dialyzer. Proses dalam mesin hemodialisa merupakan proses yang komplek yang mencakup kerja dari deteksi udara, kontrol alarm mesin dan monitor data proses hemodialisa (Misra, 2005) Gambar.2.1. Sirkuit hemodialisis Sumber http://www.gml-dialyza.cz/index.php

21 b. Ginjal Buatan (dialyzer) Dialyzer atau ginjal buatan adalah tabung yang bersisi membran semipermiabel dan mempunyai dua bagian yaitu bagian untuk cairan dialysate dan bagian yang lain untuk darah (Levy,dkk., 2004). Beberapa syarat dialyzer yang baik (Heonich & Ronco, 2008) adalah volume priming atau volume dialyzer rendah, clereance dialyzer tinggi sehingga bisa menghasilkan clearence urea dan creatin yang tinggi tanpa membuang protein dalam darah, koefesien ultrafiltrasi tinggi dan tidak terjadi tekanan membran yang negatif yang memungkinkan terjadi back ultrafiltration, tidak mengakibatkan reaksi inflamasi atau alergi saat proses hemodialisa (hemocompatible), murah dan terjangkau, bisa dipakai ulang dan tidak mengandung racun. Syarat dialyzer yang baik adalah bisa membersihkan sisa metabolisme dengan ukuran molekul rendah dan sedang, asam amino dan protein tidak ikut terbuang saat proses hemodialisis, volume dialyzer kecil, tidak mengakibatkan alergi atau biocompatibility tinggi, bisa dipakai ulang dan murah harganya (Levy, dkk., 2004)

22 c. Dialysate Dialysate adalah cairan elektrolit yang mempunyai komposisi seperti cairan plasma yang digunakan pada proses hemodialisis (Hoenich & Ronco, 2006). Cairan dialysate terdiri dari dua jenis yaitu cairan acetat yang bersifat asam dan bicarbonat yang bersifat basa. Kandungan dialysate dalam proses hemodialisis menurut Reddy & Cheung ( 2009 ) Tabel.2.1. Kandungan dialysate Elektrolit / zat yang lain Sodium Potasium Calsium Magnesium Chlorida Bicarbonat Dextrose Acetat Konsentrasi 135 145 mmol/l 0 4 mmol/l 1.5 mmol/l 0.25 0.5 mmol/l 102 106 mmol/l 30 39 mmol/l 11 mmol/l 2.0 4.0 mmol/l d. Blood Line (BL) atau Saluran Darah Blood line untuk proses hemodialisa terdiri dari dua bagian yaitu bagian arteri berwarna merah dan bagian vena berwarna biru. BL yang baik harus mempunyai bagian pompa, sensor vena, air leak detector (penangkap udara), karet tempat injeksi, klem vena dan arteri dan bagian untuk heparin (Misra, 2005). Fungsi dari BL adalah menghubungkan dan mengalirkan darah pasien ke dialyzer selama proses hemodialisis

23 e. Fistula Needles Fistula Needles atau jarum fistula sering disebut sebagai Arteri Vena Fistula (AV Fistula) merupakan jarum yang ditusukkan ke tubuh pasien PGK yang akan menjalani hemodialisa. Jarum fistula mempunyai dua warna yaitu warna merah untuk bagian arteri dan biru untuk bagian vena 5. Komplikasi selama Hemodialisis Selama proses hemodialisis sering muncul komplikasi yang berbedabeda untuk setiap pasien. Komplikasi hemodialisis menurut Katanko dan Levin (2008) adalah intradialytic hipotension, kram otot, mual muntah, emboli udara dan sakit kepala. Menurut Armiyati (2010) salah satu komplikasi selama hemodialisis adalah hipertensi. a. Intradialytic Hypotension (IDH) Intradialytic Hypotension adalah tekanan darah rendah yang terjadi ketika proses hemodialisis sedang berlangsung. IDH terjadi karena penyakit diabetes millitus, kardiomiopati, left ventricular hypertrophy (LVH), status gizi kurang baik, albumin rendah, kandungan Na dialysate rendah, target penarikan cairan atau target ultrafiltrasi yang terlalu tinggi, berat badan kering terlalu rendah dan usia diatas 65 tahun.

24 b. Kram otot Kram otot yang terjadi selama hemodialisis terjadi karena target ultrafiltrasi yang tinggi dan kandungan Na dialysate yang rendah. c. Mual dan muntah Komplikasi mual dan muntah jarang berdiri sendiri, sering menyertai hipotensi dan merupakan salah satu presensi klinik disequillibrium syndrom. Bila tidak disertai gambaran klinik lainnya harus dicurigai penyakit hepar atau gastrointestinal. d. Sakit kepala Penyebab tidak jelas, tapi bisa berhubungan dengan dialisat acetat dan disequillibrium syok syndrome (DDS). e. Emboli udara Emboli udara dalam proses hemodialisis adalah masuknya udara kedalam pembuluh darah selama prose hemodialisis. f. Hipertensi Keadaan hipertensi selama proses hemodialisis bisa diakibatkan karena kelebihan cairan, aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron, kelebihan natrium dan kalsium, karena erythropoietin stimulating agents dan pengurangan obat anti hipertensi. Komplikasi yang muncul dalam proses hemodialisis tidak bisa diduga sebelumnya dan harus segera diatasi. Menurut Sukandar (2006) ketika

25 terjadi hipotensi intradialisis dan kram otot, penanganan yang harus dilakukan adalah menurunkan QB, menurunkan ultrafiltrasi dan memberikan cairan NaCl 0,9%. Bila terjadi komplikasi sakit dada atau terjadi disequillibrium syok syndrome (DSS) penanganan yang dilakukan adalah menurunkan QB, menurunkan quick of dialysate, menurunkan ultrfiltrasi, dan pemberian oksigen. 6. Akses Vaskuler American Journal of Kidney Diseases (AJKD) merekomendasikan bahwa pasien PGK stadium 4 dan 5 sudah harus dipasang akses vaskuler untuk persiapan tindakan hemodialisis yang berupa kateter subklavia atau Arteriovenous shunt (AJKD, 2006). Pembuatan akses vaskuler untuk proses hemodialisis bertujuan untuk mendapatkan aliran darah yang optimal agar proses hemodialisis bisa berjalan dengan baik (Reddy & Cheung, 2009). Akses vaskuler yang disarankan adalah AV Shunt atau cimino, double lumen dan arteriovenosa grafts (AVG) (NKF DOQI, 2006). AV Shunt merupakan akses vaskuler yang paling aman saat ini tetapi bila saat insersi tidak menggunakan tehnik yang benar akan mengakibatkan kerusakan. a. Arteriovenous Fistula (AVF)

26 AVF dibuat dengan cara menyambung sisi arteri dengan ujung dari vena yang dipotong atau dengan tehnik end to side. b. Arteriovenous Graft (AVG) AVG dibuat apabila operasi pembuatan AVF sudah tidak mungkin dilakukan lagi. Pembuatan AVG dilakukan dengan cara menyambung antara arteri dan vena yang dihubungkan dengan saluran sintetis yang terbuat dari bahan Litetrafluoroetilena (PTFE) atau turunannya yaitu PTFE (eptfe). Sedangkan untuk polyurethaneurea (PUU) jarang digunakan. Gambar 2.2. AVF dan AVG. Sumber : www.cvtsa.com/listofconditions http /A-444-176.html Komplikasi dari akses arteriovenous yang sering muncul adalah stenosis, trombosis, iskemik bagian distal, anurisma, kematian jaringan, gagal jantung dan infeksi (Reddy & Cheung, 2009).

27 c. Double lumen atau temporary catheters Kateter sementara ini dipasang pada pasien di vena jugularis, vena femoralis atau vena subklaivia. Komplikasi yang sangat sering terjadi pada pemasangan kateter ini adalah infeksi. Gambar.2.3. Letak pemesangan double lumen catheter Sumber http://www.vygon.co.uk/images/upload/body.jpg 7. Dosis Hemodialisis Dosis waktu hemodialisis untuk 3 kali seminggu adalah 12 jam sampai dengan 15 jam atau 5 jam setiap kali tindakan. Sedangkan target Kt/V yang harus dicapai adalah 1,2 dengan rasio reduksi ureum 65% (NKF DOQI, 2006). Rekomendasi dari PERNEFRI (2003) target Kt/V adalah 1,2 untuk hemodialisis 3 kali seminggu selama 4 jam setiap hemodialisis dan Kt/V 1,8 untuk hemodialisis 5 jam setiap hemodialisis. RRU yang ideal adalah diatas 65% setiap kali tindakan hemodialisis (PERNEFRI, 2003). Dosis hemodialisis yang berdasarkan

28 target Kt/V bisa dihitung dengan rumus generasi kedua dari rumus Daugirdas yaitu Kt/V = -Ln( R - 0,008 x t ) + ( 4 3,5 x R ) x UF/W Keterangan : a. Ln adalah logaritma natural b. R adalah BUN setelah hemodialisis dibagi BUN sebelum hemodialisis c. t adalah lama waktu hemodialisis d. UF adalah jumlah ultrafiltrasi dalam liter e. W adalah berat badan pasien setelah hemodialisis Target dosis hemodialisis disamping dengan Kt/V dapat juga dihitung berdasarkan RRU. C. Quick of blood (QB) Rata-rata quick of blood atau kecepatan aliran darah adalah 4 kali berat badan. Proses hemodialisis dengan waktu 4 jam QB yang dibutuhkan adalah berkisar antara 250ml/menit sampai dengan 400 ml/menit. QB lebih besar dari 450 ml/menit bisa digunakan bila memakai dialyzer dengan KoA yang tinggi. KoA merupakan koefesien luas permukaan transfer yaitu kemampuan penjernihan ureum dalam ml/menit pada kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran dialysate tertentu (Gatot, 2003). Faktor yang mempengaruhi QB adalah tekanan darah, fistula dan fungsi kateter serta sirkulasi sirkuit ekstracorporeal ( NIDDK, 2009).

29 Tahun 2006 di Amerika terdapat 330.000 pasien PGK yang menjalani hemodialisis dengan akses vaskuler berupa kateter dan AV shunt dengan QB yang disyaratkan diatas 300 ml/menit (Besarab & Pandey, 2011). QB yang memenuhi syarat agar tercapai dosis hemodialisis yang ideal adalah antara 200 ml/menit sampai dengan 300 ml/menit (PERNEFRI, 2003). D. Rasio Reduksi Ureum Kadar ureum bisa dijadikan parameter untuk menilai adekuasi tindakan hemodialisis. Ureum adalah sisa produk metabolisma yang berupa nitrogen sebagai senyawa terbesar yang dikeluarkan oleh ginjal yang berasal dari makanan yang dikonsumsi (Bruyne & Whitney, 2008 dalam Nabella, 2011). Ureum adalah suatu senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen dengan rumus CON 2 H 4 atau (NH 2 ) 2 CO. Uremia merupakan sampah organik dari sisa metabolisme tubuh yang tidak dapat dibersihkan oleh ginjal karena ginjal mengalami gangguan yang bisa muncul saat fungsi ginjal dibawah 50% (Meyer & Hostetter, 2007). Keadaan uremic meningkatkan kebutuhan oksigen dan akan memperburuk keadaan hipoksia pada tubulus ginjal melalui peningkatan sters oksidatif. Uremia juga menggangu produksi hormon eritropoitin dalam ginjal (Chiang, Tanaka & Nangaku, 2012). Adekuasi tindakan hemodialisis dihitung dengan mengukur RRU (NIDDK, 2009). RRU adalah presensi nilai ureum yang turun pada setiap

30 tindakan hemodialisis. Nilai minimal RRU yang disarankan oleh PERNEFRI (2003) dan NKF DOQI (2006) adalah 65%. Demikian juga nilai minimal yang direkomendasikan oleh NIDDK (2009) adalah 65%. Adapun rumus untuk menghitung RRU yang disarankan oleh NKF DOQI (2006) adalah RRU = (Co -C)/Co. Co adalah nilai hasil ureum sebelum hemodialisis dan C adalah hasil ureum setelah hemodialisis. Cara penghitungan RRU ini hanya berdasarkan nilai ureum sebelum dan sesudah tindakan hemodialisis saja tanpa melihat sisa clereance yang ada. dan faktor ultrafiltrasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi nilai RRU adalah luas permukaan dialyzer, jenis dialyzer, QB, lama waktu tindakan hemodialisis, quick of dialysate, makan selama hemodialisis, bekuan darah pada sirkuit ekstrakorporeal atau dialyzer (Chowdhury, Islam & Zafreen, 2011; Eknayon, Beck, Cheung dkk, 2002; Borzou, Gholyaf, Zandina, Amin, Goodars, & Torkaman, 2009; PERNEFRI, 2003; Abbas & Al Salihi, 2007; Kara & Acikel, 2009; Brimble, Treleaven, Onge, dkk., 2003). 1. Luas permukaan membran dialyzer 1,2 m 2 menghasilkan rata-rata RRU sebesar 45,9% sedangkan membran dialyzer 1,3m 2 menghasilkan RRU 50,76%. (Chowdhury, Islam, & Zafreen, 2011). NIDDK (2009) menyatakan bahwa luas permukaan membran dialyzer berpengaruh terhadap pembersihan ureum, agar RRU meningkat maka harus meningkatkan pula luas permukaan membran dialyzer.

31 2. Menurut Eknayon, Beck, Cheung, dkk., (2002) dalam penelitiannya melaporkan banwa nilai RRU dengan dialyzer high flux lebih tinggi dari dialyzer low flux.. RRU dari dialyzer high flux mendapatakan hasil antara 72,7% sampai 77,7% dan RRU dari dialyzer low flux antara 63,3% sampai 68,8%. 3. Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai bersihan ureum atau RRU pada proses hemodialisis adalah kecepatan aliran darah (Zyga & Sarafis, 2009). Kecepatan aliran darah 250ml/menit mempunyai RRU yang lebih tinggi dari kecepatan aliran darah 200ml/menit ( Borzou, Gholyaf, Zandina, Amin, Goodars, & Torkaman, 2009). Kecepatan aliran darah yang disarankan PERNEFRI (2003) adalah antara 200 ml/menit sampai dengan 300ml/menit. Kecepatan aliran darah diatas 300 ml/menit merupakan kecepatan aliaran darah yang ideal untuk mencapai adekuasi hemodialisis yang diharapkan yaitu Kt/V > 1,2 dan RRU > 65% (NIDDK, 2009). 4. Frekuensi menjalani tindakan hemodialisis yang sering akan menurunkan angka mortalitas pasien PGK karena bisa mengontrol kondisi kelebihan cairan, kekurangan albumin, hipertensi dan hyperphosphatemia (Chertow, Levin, Beck, dkk., 2010). PERNEFRI (2003) merekomendasikan waktu minimal tindakan hemodialisis yang baik setiap minggu adalah antara 10 samapi dengan 15 jam yang terbagi minimal dalam 2 kali tindakan hemodialisis.

32 5. Kecepatan aliran cairan dialysate atau QD 500 ml/menit menghasilkan RRU yang lebih rendah dari QD 800ml/menit, sehingga motode ini bisa diterapkan pada hemodialisis dengan waktu 3 jam karena dengan QD 800ml/menit telah mencapai doisis RRU yang ditetapkan yaitu minimal 65% (Abbas & Al Salihi, 2007). Nilai bersihan urea atau nilai RRU dipengaruhi oleh kecepatan aliran darah, kecepatan aliran dialyzat, permabilitas membran dialyzer dan resirkulasi (Zyga & Sarafis, 2009). 6. Asupan makanan selama proses hemodialisis akan mempengaruhi hasil RRU karena makanan tersebut akan menghasilkan sisa metabolisme yang salah satunya berupa ureum. Mengkonsumsi makanan selama proses hemodialisis akan menghasilkan RRU yang lebih rendah dari yang tidak makan selama proses hemodialisis (Kara & Acikel, 2009). 7. Pembekuan darah pada sirkuit ekstracorporeal atau pada dialyzer akan mempengaruhi hasil Kt/V dan RRU (Brimble, Treleaven, Onge, dkk., 2003). Ketepatan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan ureum sangat menentukan hasil RRU yang didapatkan. Ketepatan waktu pengambilan sampel merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan (Depner & Daugirdas, 2006). Sampel darah untuk pemeriksaan ureum sebelum dan sesudah hemodialisis diambil saat hemodialisis pada hari yang sama

33 (Gatot, 2003). Pengambilan sampel darah sebelum proses hemodialisis untuk pemeriksaan ureum dilakukan sebelum terjadi proses hemodialisis. Pengambilan sampel harus terbebas dari cairan NaCl 0,9% atau heparin (Depner & Daugirdas, 2006). Pengambilan sampel darah sesudah hemodialisis harus dihindarkan kontak dengan NaCl 0,9%, karena bisa mempengaruhi hasil pemeriksaan ureum. Pengaruh resirkulasi akses dapat dihindarkan dengan cara memperlambat QB menjadi 50-100 ml/menit selama 15 detik atau lebih kemudian sampel darah diambil dari jalur arteri. Cara yang lain adalah dengan menghentikan aliran cairan dialysate kedalam dialyzer selama 3 menit kemudian darah diambil untuk sampel (Depner & Daugirdas, 2006). Penyebab cardiopulmonary resirculation (CPR) adalah penghentian secara cepat aliran darah pada arteriovenous shunt yang terhubung dengan jarum fistula setelah hemodialisis selesai. Kondisi ini bisa dihindari dengan mengambil sampel setelah hemodialisis berhenti selama dua menit atau lebih. Remote kompartemen rebound terjadi karena proses keseimbangan ureum dalam darah belum kembali normal akibat proses hemodialisis. Pengambilan sampel sebaiknya dilakukan pada 30-60 menit setelah proses hemodialisis selesai agar efek remote kompartemen rebound telah hilang (Daugirdas, Greene, Depner, dkk., 2004).

34 E. Kerangka Teori Kerangka teori menggambarkan hubungan variabel-variabel yang akan diteliti. Kerangka teori pada penelitian ini digambarkan sebagai berikut Penyakit Ginjal Kronis Therapi Pengganti Ginjal Hemodialisis Adekuasi Hemodialisis Faktor yang mempengaruhi RRU 1. QB 2. J Jenis dialyzer 3. Luas membran dialyzer 4. Lama hemodialisis 5. Quick of dialysate 6. Makan selama proses hemodialisis 7. Bekuan darah di sirkuit ekstrakorporeal dan dialyzer 1. RRU > 65% 2. Kt/V > 1.2 Skema 2.1. Kerangka Teori Penelitian Menurut NKF DOQI (2002), Brimble, Treleaven, Onge, dkk.,(2003), Han (2009), Zyga & Sarafis (2009), Kara & Acikel (2010) F. Kerangka Konsep Penelitian Konsep adalah abstraksi dari suatu realita agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar variabel baik variabel yang diteliti atau atau yang tidak diteliti (Nursalam, 2003).

35 Konsep adalah abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal yang khusus (Notoatmodjo, 2010). Kerangka konsep terdiri dari variabel-variabel serta hubungan variabel satu dengan yang lain. Kerangka konsep diperlukan sebagai landasan berpikir untuk melakukan penelitian berdasarkan teori yang ada. Teoriteori ini sebagian membahas tentang variabel dari penelitian yang akan dilakukan. Pada penelitian ini penulis membahas tentang PGK, Hemodialisis, RRU, Ureum dan QB. Nilai RRU merupakan salah satu parameter tentang keberhasilan tindakan hemodialisis yang dipengaruhi oleh QB, jenis dialyzer, luas membran dialyzer, lama waktu hemodialisis, QD dan makan saat proses hemodialisis. Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengaturan QB terhadap nilai RRU pada proses hemodialisis.

36 Variabel Independen Quick of Blood Variabel Dependen Nilai RRU 1. Jenis dialyzer 2. Luas membran dialyzer 3. Lama waktu hemodialisis 4. Quick of dialysate 5. Makan saat hemodialisis 6. Bekuan darah di sirkulasi ekstrakorporeal dan dialyzer Variabel Confounding Keterangan : diteliti : tidak diteliti Skema 2.2. Kerangka Konsep Penelitian G. Variabel Penelitian Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2010). Variabel dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga variabel yaitu 1. Variabel Independen Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain. Variabel bebas biasanya dimanipulasi, diamati, dan diukur untuk diketahui hubungannya atau pengaruhnya terhadap variabel lain (Nursalam, 2003). Variabel bebas pada

37 penelitian ini adalah QB. QB atau quick of blood pada penelitian ini mencakup 3 kelompok yaitu QB 150 ml/menit, 175 ml/menit dan 200 ml/menit. 2. Variabel Dependen Variabel dependen atau variabel terikat, yang termasuk variabel ini adalah nilai RRU. Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen (Notoatmodjo, 2010). 3. Variabel Confounding Variabel confounding atau variabel perancu adalah variabel yang nilainya ikut menentukan vaariabel terikat baik secara langsung ataupun tidak langsung (Nursalam, 2003). Variabel perancu yang akan mempengaruhi niali RRU adalah jenis dialyzer, luas permukaan dialyzer, lama waktu hemodialisis, quick of dialysate, makan saat hemodialisis dan bekuan darah pada sirkuit ekstrakorporeal dan dialyzer. Variabel perancu pada penelitian ini tidak diteliti, akan tetapi dikontrol sebagai variabel yang mempengaruhi nilai RRU. H. Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara dari pertanyaan penelitian dan dirumuskan dalam bentuk hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat (Notoatmodjo, 2010). Hipotesis adalah pernyataan yang membutuhkan pembuktian. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada

38 pengaruh pengaturan QB terhadap nilai RRU pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisis RSUD Kota Semarang.