PENGUKURAN LONGITUDINAL FAKTOR FISIKA KIMIA KUNCI DI SEGARA ANAKAN Oleh : Cristin Claudia Trivena. Kaope H1K013004 Kelompok Satu Asisten: Jamalludin JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2014
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salinitas merupakan jumlah gram garam yang terlarut dalam satu kilogram air laut ( Millero and Sons, 1992). Konsentrasi garam dikontrol oleh batuan alami yang mengalami pelapukan, tipe tanah, dan komposisi kimia dasar perairan. Salinitas merupakan indikator utama untuk mengetahui penyebaran massa air lautan sehingga penyebaran nilai-nilai salinitas secara langsung menunjukkan penyebaran dan peredaran massa air dari satu tempat ke tempat lainnya. Salinitas juga mempunyai peran penting dan memiliki ikatan erat dengan kehidupan organisme perairan termasuk ikan, dimana secara fisiologis salinitas berkaitan erat dengan penyesuaian tekanan osmotik ikan tersebut. Penyebaran salinitas secara alamiah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain curah hujan, pengaliran air tawar ke laut secara langsung maupun lewat sungai dan gletser, penguapan, arus laut, turbulensi percampuran, dan aksi gelombang (Meadows dan Campbell., 1988; Illahude, 1999). Menurut Meadows dan Campbell (1988) densitas air laut naik sejalan dengan kenaikan salinitas dan tekanan serta penurunan temperatur. Menurut Nurhayati (2006) dan Priliandi (2014) bahwa bagian terpenting dari suatu perairan laut adalah deskripsi dari penyebaran atau distribusi spasial maupun temporal dari parameter suhu dan salinitas. Aspek distribusi parameter seperti reaksi kimia dan proses biologi merupakan fungsi dari suhu sebagai variable yang menentukan, sedangkan salinitas adalah faktor penting bagi penyebaran organisme
laut. Faktor fisika kimia ini sebagai salah satu faktor kunci bagi keberlangsungannya ekosistem laut. Menurut Beveridge (1987) perairan dengan salinitas lebih rendah atau lebih tinggi dari pada pergoyangan normal air laut merupakan faktor penghambat (limiting factor) untuk penyebaran biota laut tertentu. Ada dua cara menentukan salinitas air yaitu dengan menentukan Total Disolved Salt (TDS) dan Electric Conductivity (EC). Pengukuran TDS amat sulit dilakukan dilapangan, sedangkan pengukuran EC sangat sederhana, cepat dan sangat berguna di lapangan. Salinitas mempunyai peran penting dan memiliki ikatan erat dengan kehidupan organisme perairan termasuk ikan, dimana secara fisiologis salinitas berkaitan erat dengan penyesuaian tekanan osmotik ikan tersebut.. 1.2 Tujuan Mengetahui pola longitudinal faktor fisik-kimia kunci di Segara Anakan
II. MATERI dan METODE 2.1 Materi Tali, Botol Aquades, dan Hand Refraktometer atau Conductivity (alat pengukur salinitas). 2.2 Metode 1. Ikat tali pada botol untuk kemudian botol dijatuhkan kedalam air. 2. Air yang ada didalam botol, dimasukkan kedalam Handrefraktometer. 3. Arahkan Handrefraktometer pada arah datangnya cahaya kemudian lihat angka yang muncul. 4. Catat data yang didapat dan lakukan hal tersebut secara berulang selama 15 menit sekali.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Tabel 1.Salinitas dari Perahu A dan B Sungai Pelawangan. Salinitas/ppt No Waktu Kelompok 1 2 1 15 menit ke-1 28 28 2 15 menit ke-2 25 25 3 15 menit ke-3 25 25 4 15 menit ke-4 22 22 5 15 menit ke-5 23 23 6 15 menit ke-6 16 21 7 15 menit ke-7 22 22 8 15 menit ke-8 22 22 9 15 menit ke-9 22 24
3.2 Pembahasan 30 25 20 15 10 5 0 15 30 45 60 75 90 105 120 135 Salinitas Grafik 1. Data Salinitas pada laguna SegaraAnakan Pada pengambilan data salinitas kali ini dilakukan di sungai Serayu yang bermuara di Segara Anakan samapai ke laut Cilacap. Pengambilan sampel dilakukan selama 15 menit sebanyak 9 kali. 15 menit pertama, kelompok 1 dan 2 mendapatkan data salinitas yang sama yaitu sebesar 28 ppt. Pada 15 menit kedua dan tiga data salinitas yang diperoleh dari kelompok 1 dan 2 masih tetap sama sebesar 25 ppt. Kemudian pada 15 menit ke empat dan lima data salinitas yang diperoleh kelompok 1 dan 2 mengalami kenaikan namun masih tetap sama, yaitu sebesar 22 ppt dan 23 ppt. Selanjutnya pada 15 menit keenam kelompok satu mengalami penurunan data yang cukup jauh berbeda dengan kelompok dua, yaitu kelompok satu 16 ppt dan kelompok dua 21 ppt, hal ini disebabkan karena kesalahan pengukuran handrefrakto meter oleh anggota kelompok satu. Selanjutnya 15 menit ketujuh dan kedelapan
kelompok 1 dan 2 memperoleh data yang sama sebersar 22 ppt. Kemudian 15 menit kesembilan terjadi perbedaan data yang dihasilkan, dimana kelompok 1 sebesar 22 ppt dan kelompok 2 sebesar 24 ppt. Dari data salinitas yang diperoleh dari kedua kelompok terjadi penurunan dan kenaikan di setiap 15 menit nya, hal ini disebabkan karena wilayah dimana dilakukan pengukuran sudah semakin jauh dari wilayah perairan laut, juga karena perairan tersebut telah tercemari oleh limbah-limbah organik dan anorganik, dan karena ketidak telitian oleh anggota kelompok dalam pengukuran. Salinitas air laut bebas memiliki kisaran 30-36 ppt (Bambang dan Tjahjo, 1997). Sedangkan daerah Segara Anakan tempat prkatikum kali ini memiliki kisaran salinitas 20-30 ppt. Hal ini berarti daerah Segara Anakan memiliki salinitas dibawah standar dari perairan laut yang seharusnya. Pola longitudinal adalah pola memangjang dari hilir ke hulu untuk mengetahui faktor fisika kimia suatu lingkungan perairan dan mengetahui organisme yang hidup di perairan tersebut. Pola longitudinal digunakan disuatu perairan seperti sungai. Distribusi longitudinal terjadi dimana kemiringan tidak jauh berbeda dari hulu ke hilir. Daerah hulu biasanya menunjukan toleransi yang besar sampai sepanjang sungai. Perubahan longitudinal yang jelas berhubungan dengan perubahan yang sangat terlihat yaitu suhu, kecepatan arus dan ph (Odum, 1973). Salinitas mempunyai peranan penting dalam kehidupan organisme, misalnya distribusi biota akuatik yang sangat erat hubungannya dengan salinitas. Karena salinitas ditentukan oleh pencampuran massa air, maka distribusi salinitas merupakan suatu parameter penting dalam mempelajari gerak massa air (Sidjabat,
1976). Hutabarat (2000), menyatakan bahwa salinitas perairan estuary biasanya lebih rendah daripada salinitas perairan sekelilingnya (laut). Daerah estuary merupakan peralihan antara air sungai dan air laut sehingga mengakibatkan daerah ini mempunyai salinitas yang lebih rendah daripada laut terbuka. Salinitas merupakan faktor dominan di perairan estuari. Secara definitif satu gradient salinitas akan tampak pada suatu saat tertentu. Tetapi pola gradient bervriasi bergantung pada musim topografi estuari, pasang surut dan jumlah air tawar. Tetapi ada juga faktor lain yang berperan dalam mengubah pola salinitas. Pasang sururt merupakan salah satu kekuatan. Oleh karena itu, pada berbagai musim suatu titik tertentu di estuari dapat mengalami salinitas yang berbeda-beda. Estuari memiliki peralihan (gradien) salinitas yang bervariasi terutama tergantung pada permukaan air tawar dari sungai dan air laut melalui pasang surut (Pratikto, 2006). Pasang surut sebagai salah satu kekuatan angin dapat mempengaruhi salinitas, maka tempat yang pasang surutnya besar pasang naik akan mendorong air laut lebih dulu ke hulu estuari sebagai akibatnya pada daerah yang salinitasnya berubah-ubah sesuia dengan keadaan pasang surut (Nybakken, 1998).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan. Perubahan longitudinal yang jelas berhubungan dengan perubahan yang sangat terlihat yaitu suhu, kecepatan arus dan ph. Selain itu ada beberapa faktor fisika kimia yang mempengaruhi perubahan pola salinitas, antara lain pasang surut, musim, dll. Daerah Segara Anakan memiliki salinitas yang di bawah standar dari perairan laut yang seharusnya, dimana salinitas pada Segara Anakan berkisar 20-30 ppt, sedangkan perairan laut bebas 30-36 ppt. 4.2 Saran Dalam pengambilan data salinitas harus dilakukan secara cermat dan teliti agar memperoleh data yang akurat, dan harus pula hati-hati dalam menggunakan alat karena alat tersebut tergolong cukup mahal.
DAFTAR PUSTAKA Anderson, Helen dan Cummings, David.. 1999. Measuring The Salinity of Water, Landcare Notes. Department of Sustainability and Environment, State Of Victoria, Australia. Bambang dan Tjahjo (1997); Suwandana (1996) dalam Prasetyawati(2001). Indikator Kualitas Air, Kanisius. Yogyakarta. Beveridge. M. 1987. Cage Aquaculture. Fishing News Books Ltd, Farnhan Surrey. Hansen, Vaughn E., Israelsen, Orson W., Stringham, Glen E., Tachyan. 1992.. Dasardasar dan Praktek Irigasi. Terjemahan Endang P. Penerbit Erlangga, Jakarta Hutabarat, S. 2000. Peranan Kondisi Oceanografi terhadap Perubahan Iklim. Produktivitas dan Distribusi Biota Laut. UNDIP, Semarang. Meadows, P.S., Campbell, J.I.1988, An Introduction to Marine Science, John Wiley and Sons, New York. Millero, F.J. dan Sohn, M.L., 1991, Chemical Oceanography, CRC Press, London Nurhayati. 2006. Distribusi Vertikal Musiman Suhu Permukaan Laut Dan Klorofil-A Dalam Hubungannya Dengan Penangkapan Lemuru Di Periaran Selat Bali. Tesis. Program Pascasarjana, Institus Pertanian Bogor, Bogor.
Nybakken, J, W. 1998. Biologi Laut. Suatu pendekatan ekologis. Jakarta: Gramedia. Odum, E.P.1973. Dasar-dasar Ekologi. diterjemahkan oleh Thahmosamingan. Yogyakarta : Gadjah Mada Press. Pratikto, L & Rochaddi, B. 2006. Ekologi Perairan Delta Wulan Demak, Jawa Tengah : korelasi sebaran gastropoda dan bahan organik dasar di kawasan mangrove. Ilmu Kelautan 11 (4): 76-78. Priliandi, Wahyu. 2014. Pola Distribusi Vertikal Dan Horizontal Suhu, Salinitas Dan Densitas Di Perairan Selat Bali. Skripsi. Program Sarjana Ilmu Kelautan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Siidjabat. M. M. 1976. Pengantar Oceanografi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.