PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN DANGKAL KARANG CONGKAK DAN KARANG LEBAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS PAN-SHARPENED

dokumen-dokumen yang mirip
2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian.

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

3. METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN LAUT DANGKAL DI GUGUSAN PULAU TIGA, KABUPATEN NATUNA DENGAN MENGGUNAKAN CITRA ALOS AVNIR-2 LA ODE AHMAD MUSTARY

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

ix

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN ANALISA. 3.1 Penentuan Batas Penetrasi Maksimum

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

BAB III METODE PENELITIAN

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juni 2015, ISSN

Jatinangor, 10 Juli Matius Oliver Prawira

BAB III METODE PENELITIAN

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

III. BAHAN DAN METODE

PERBANDINGAN RESOLUSI SPASIAL, TEMPORAL DAN RADIOMETRIK SERTA KENDALANYA

3. METODOLOGI PENELITIAN

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

EVALUASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN WILAYAH PERAIRAN PESISIR SURABAYA TIMUR SIDOARJO DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTITEMPORAL

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang s

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

Citra Satelit IKONOS

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Diterima: 9 Februari 2008; Disetujui: 9 November 2008 ABSTRACT ABSTRAK

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

SAMPLING DAN KUANTISASI

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III BAHAN DAN METODE

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

PEMETAAN HABITAT PERAIRAN DANGKAL KARANG LEBAR, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA DENGAN CITRA LANDSAT-7 ETM+ SLC-OFF DAN LANDSAT-8 OLI LA ODE ABDUL HAFID

Pola Sebaran Total Suspended Solid (TSS) di Teluk Jakarta Sebelum dan Sesudah Reklamasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

PERUBAHAN DELTA DI MUARA SUNGAI PORONG, SIDOARJO PASCA PEMBUANGAN LUMPUR LAPINDO

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV PENGOLAHAN DATA

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya)

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

BAB III METODE PENELITIAN

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung

Pembuatan Alur Pelayaran dalam Rencana Pelabuhan Marina Pantai Boom, Banyuwangi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

Studi Perubahan Fisik Kawasan Pesisir Surabaya dan Madura Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu Menggunakan Citra Satelit

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS PENENTUAN EKOSISTEM LAUT PULAU- PULAU KECIL DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT RESOLUSI TINGGI STUDY KASUS : PULAU BOKOR

Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1A untuk Pembuatan Peta Dasar Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan)

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

3. METODE PENELITIAN

PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

3. METODOLOGI. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Oktober Survei

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

Transkripsi:

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN DANGKAL KARANG CONGKAK DAN KARANG LEBAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS PAN-SHARPENED CORYELISABETY DIANOVITA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

RINGKASAN CORYELISASABETY DIANOVITA. Pemetaan Batimetri Perairan Dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar Dengan Menggunakan Citra IKONOS Pan-Sharpened. Dibimbing oleh JONSON LUMBAN GAOL DAN VINCENTIUS P. SIREGAR. Batimetri perairan dangkal sangat penting untuk studi morfologi dasar laut, pengelolaan dan manajemen sumber daya zona pesisir. Pendugaan batimetri dengan menggunakan metode penginderaan jauh umumnya dilakukan pada kondisi air yang jernih. Survei batimetri dilakukan untuk mendapatkan data kedalaman aktual. Data kedalaman tersebut digunakan dalam mengestimasi kedalaman dengan menggunakan algoritma yang telah dikembangkan oleh Lyzenga. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji penggunaan citra IKONOS Pan-Sharpened dalam memetakan batimetri perairan dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar. Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, diantaranya adalah pengumpulan data survei lapang, pengumpulan data sekunder, pengolahan citra dan analisis data. Survei lapang dilakukan pada tanggal 5 dan 6 Juni 2010, pengumpulan data sekunder (data pasang surut) dilakukan pada bulan Oktober- November 2010, pengolahan citra dan analisis data akhir pada bulan Desember 2010-Januari 2011. Pengambilan data kedalaman in situ dilakukan pada bagian dalam tubir gobah baik Karang Congkak maupun Karang Lebar. Model pendugaan kedalaman dikembangkan dengan menggunakan 3 kanal (merah, hijau, dan biru) Citra IKONOS Pan-Sharpened yang menunjukkan bahwa kanal hijau lebih baik digunakan untuk pemetaan batimetri. Model tersebut adalah ZZ = 3,602 ln(vv VV SS kkkkkkkkkk hiiiiiiii) 16,86 dengan nilai koefisien korelasi dan determinasi sebesar 0,88 dan 0,78. Perbandingan antara nilai kedalaman estimasi dan kedalaman aktual menunjukkan galat sebesar 1,61 m. Walaupun demikian, korelasi antara kedalaman estimasi dan aktual sangat baik dengan nilai sebesar 0,88 m. Kedalaman dibagi menjadi 5 kelas. Kelas kedalaman yang terwakili dengan baik adalah kelas kedalaman 0 hingga 1,3 m, kelas 2 hingga 4,3 m, dan kelas 4,4 hingga 8 m dengan nilai producer accuracy lebih dari 50%. iii

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN DANGKAL KARANG CONGKAK DAN KARANG LEBAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS PAN-SHARPENED CORYELISABETY DIANOVITA SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian/seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN DANGKAL KARANG CONGKAK DAN KARANG LEBAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS PAN-SHARPENED adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2011 CORYELISABETY DIANOVITA C54061233

SKRIPSI Judul Penelitian : PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN DANGKAL KARANG CONGKAK DAN KARANG LEBAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS PAN- SHARPENED Nama Mahasiswa : Coryelisabety Dianovita Nomor Pokok Departemen : C54061233 : Ilmu dan Teknologi Kelautan Menyetujui, Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA NIP.196600721 199103 1 002 NIP. 19561103 198503 1 003 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M. Sc NIP. 19580909 198303 1 003 Tanggal Ujian : 15 Agustus 2011

KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua karunia yang telah diberikan-nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai. Skripsi yang berjudul Pemetaan Batimeri Perairan Dangkal Karang Lebar dan Karang Congkak Dengan Menggunakan Citra IKONOS Pan-Sharpened diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan. Selama penyusunan skripsi penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si dan Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA selaku Pembimbing Skripsi atas arahan dan bimbingan selama proses penyelesaian skripsi. 2. Bapak Sam Wouthuyzen atas bimbingannya selama penelitian. 3. Bapak M. Banda Selamat atas bimbingannya selama penelitian. 4. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan kasih sayang dan perhatian serta dukungan baik secara moril maupun materil. 5. Teman-teman yang selalu memberikan semangat dan motivasi. Penulis menyadari bahwa proposal ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca. Penulis berharap skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi diri sendiri maupun pembacanya. Bogor, September 2011 Coryelisabety Dianovita vii

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... vii x xi xii 1. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Tujuan... 3 2. TINJAUAN PUSTAKA... 4 2.1. Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal... 4 2.1.1. Batimetri... 4 2.1.2. Pemetaan batimetri perairan dangkal... 6 2.2. Satelit IKONOS... 10 2.2.1. Citra Pan-Sharpened IKONOS... 12 3. METODOLOGI... 14 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian... 14 3.2. Alat dan Bahan... 14 3.3. Metode Perolehan Data... 16 3.3.1. Kedalaman... 16 3.3.2. Pasang Surut... 17 3.4. Metode Pengolahan Citra... 19 3.5. Pemetaan Batimetri... 20 4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 27 4.1. Pemetaan Batimetri... 27 4.1.1. Transformasi Algoritma Lyzenga... 31 4.1.2. Peta Batimetri... 35 4.1.3. Matriks Kesalahan... 33 4.2. Galat (Error) Model Nilai Digital Asli dengan Algoritma Lyzenga... 37 5. KESIMPULAN DAN SARAN... 40 5.1. Kesimpulan... 40 5.2. Saran... 40 DAFTAR PUSTAKA... 41 viii

LAMPIRAN... 43 RIWAYAT HIDUP... 51 ix

DAFTAR TABEL Halaman 1. Spesifikasi Satelit IKONOS... 11 2. Matriks kesalahan (confusion matrix)... 26 3. Korelasi antara nilai kedalaman lapang dengan nilai digital transformasi citra Ikonos... 30 4. Matriks kesalahan kelas nilai kedalaman lapang dan kedalaman estimasi... 35 5. Matriks kesalahan kelas kedalaman aktual dan kedalaman estimasi (reclass)... 36 x

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya jumlah gelombang cahaya yang diterima sensor setelah melalui massa air... 7 2. Konversi kedalaman ke kedalaman bawah datum... 9 3. Piksel asli MS, piksel PAN, dan piksel pan-sharpened MS... 13 4. Citra pan-sharpened IKONOS yang digabung dari citra pankromatik dan multispektral... 13 5. Lokasi Penelitian di Karang Congkak dan Karang Lebar, Kep. Seribu, DKI Jakarta... 15 6. Diagram alir pengolahan data batimetri dengan citra satelit IKONOS 21 7. Citra IKONOS Pan-Sharpened hasil transformasi nilai ln(v-vs) pada algoritma Lyzenga di perairan dangkal Karang Lebar... 28 8. Grafik model persamaan regresi linier dan koefisien determinasi Karang Lebar dari hasil plot kedalaman pemeruman dan nilai digital citra IKONOS pan-sharpened... 29 9. Kedalaman estimasi perairan dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar dengan menggunakan algoritma Lyzenga... 33 10. Kedalaman estimasi perairan dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar dengan menggunakan algoritma Lyzenga (reclass)... 34 11. Grafik perbandingan antara nilai kedalaman duga (estimated depth) terhadap nilai kedalaman sebenarnya (actual depth)... 37 12. Grafik analisis residual antara nilai kedalaman sebenarnya dengan kedalaman duga hasil model regresi linier... 39 xi

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Metadata Citra IKONOS Pan-Sharpened yang diakuisisi pada tanggal 8 Juli 2008.... 44 2. Histogram pengkelasan nilai kedalaman... 45 3. Hasil analisis regresi statisik hubungan antara nilai kedalaman aktual dan nilai kedalaman estimasi dari algoritma Lyzenga (1985) yang dikembangkan... 46 4. Data nilai kedalaman survei lapang dan kedalaman dugaan, nilai digital kanal hijau citra IKONOS pada pengembangan model Lyzenga, dan nilai biasnya... 47 xii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hidrografi adalah cabang ilmu yang berkaitan dengan pengukuran dan deskripsi dari fitur fisik perairan, wilayah pesisir, danau, dan sungai, serta dengan prediksi evolusi mereka, dengan tujuan utama keselamatan navigasi dan kegiatan kelautan lainnya seperti, pengembangan ekonomi, keamanan dan pertahanan, penelitian ilmiah, dan perlindungan lingkungan laut (IHO, 2010). Survei hidrografi umumnya banyak dimanfaatkan untuk memetakan dasar laut yang digunakan untuk berbagai kegiatan di laut seperti pengerukan, navigasi, pengendalian sedimentasi dan banjir. Kondisi hidrografi mengalami perubahan tanpa batas waktu tertentu. Perubahan kondisi hidrografi umumnya disebabkan oleh beberapa faktor seperti pengikisan pantai oleh gelombang, sedimentasi, penggunaan lahan di wilayah pesisir, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, revisi terhadap peta-peta batimetri perlu dilakukan terus menerus, walaupun telah banyak perairan yang dipetakan melalui survei hidrografi. Kajian mengenai kondisi fisik perairan perlu dilakukan dengan cepat dan akurat sehubungan dengan faktor-faktor penting seperti keselamatan pelayaran. Karena luas perairan Indonesia yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, maka perlu dilakukan survei untuk pemeruman kedalaman (batimetri) yang lebih efisien dan efektif tanpa memerlukan biaya yang besar dan waktu yang lama (Wouthuyzen, 2001). Survei batimetri merupakan salah satu kegiatan dari survei hidrografi yang digunakan untuk mendapatkan data kedalaman dan menampilkan topografi dasar laut. Teknik awal survei batimetri dilakukan secara konvensional, 1

2 yaitu dengan menggunakan tali atau kabel berat terukur yang diturunkan dari sisi kapal. Metode konvensional ini dianggap tidak efisien karena setiap satu kali pengukuran hanya dapat dilakukan dalam satu waktu saja. Selain itu, metode ini tidak cocok digunakan dalam pemetaan perairan dangkal karena kapal yang digunakan untuk memetakan daerah perairan dangkal akan sulit untuk bergerak leluasa dan berbahaya bagi badan kapal apabila substrat dasar tidak beraturan. Oleh karena itu, saat ini teknik penginderaan jauh banyak digunakan sebagai alternatif untuk survei batimetri tersebut dalam pendugaan kedalaman perairan, terutama perairan dangkal. Penginderaan jauh yang dimanfaatkan untuk pendugaan batimetri ini adalah penginderaan jauh warna air laut atau dikenal dengan istilah penginderaan jauh ocean color dengan memanfaatkan radiasi gelombang elektromagnetik pada panjang gelombang cahaya tampak yang dipantulkan kembali dari bawah permukaan laut. Metode ini memiliki beberapa keunggulan seperti data yang dihasilkan berupa data digital dalam bentuk foto atau citra yang memudahkan manusia untuk mengolahnya, cakupan daerah yang diobservasi luas dan mampu mendeteksi daerah yang sulit dijangkau atau berbahaya bagi manusia, dan tidak memerlukan pengeluaran yang besar karena biayanya yang relatif murah. Pendugaan batimetri dengan menggunakan metode ini dapat dilakukan hingga ke kedalaman ±25 m pada kondisi air yang jernih, dan kurang dari itu pada kondisi air yang keruh (Green et al., 2000). Namun pemetaan batimetri juga sering mengalami pembauran pada warna yang disebabkan oleh variasi pada albedo substrat, misal perubahan dari pasir putih hingga lamun berwarna gelap (Green et al., 2000). Pendugaan batimetri dengan menggunakan data satelit ini

3 memiliki kesalahan (error) di dalamnya karena nilai dugaan yang dihasilkan merupakan hasil olahan data yang tercatat oleh sensor satelit. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu pengukuran langsung (ground truth) untuk mengetahui keakuratan dan ketelitian dari data satelit yang masih dipengaruhi faktor lain seperti keterbatasan daya tembus radiasi gelombang elektromagnetik. Pendekatan algoritma merupakan salah satu metode yang digunakan untuk memecahkan kelemahan-kelemahan pendugaan batimetri dengan data satelit. Pada penelitian ini kedalaman perairan diestimasi dengan menggunakan algoritma yang telah dikembangkan oleh Lyzenga (1985). Algoritma yang digunakan berfungsi untuk menerjemahkan data yang direkam oleh sensor satelit IKONOS. Namun, algoritma ini memiliki kesulitan untuk memecahkan masalah lain seperti faktor kekeruhan air, efek atmosfir, dan lainnya. Penelitian pendugaan batimetri ini dilakukan pada perairan dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, perairan yang cukup jernih dan ekosistem yang cukup beragam. Informasi dari pendugaan batimetri juga memudahkan upaya karakterisasi habitat sehingga juga dapat digunakan untuk memetakan kondisi habitat karang dan pendugaan potensi pemutihan karang (Siregar dan Selamat, 2010). 1.2. Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji penggunaan citra IKONOS Pan-Sharpened dalam memetakan batimetri perairan dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar dengan mengaplikasikan algoritma Lyzenga.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal Data kedalaman merupakan salah satu data dari survei hidrografi yang biasa digunakan untuk memetakan dasar lautan, hal ini sangat penting dalam keselamatan navigasi. Pemetaan dasar perairan (batimetri) juga sangat penting untuk menunjang pengembangan wilayah pantai dan pesisir sehingga dapat diketahui tempat-tempat berpotensi rawan dan berbahaya. Pemetaan kedalaman perairan telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti dengan menggunakan citra satelit. Citra satelit yang umum digunakan untuk memetakan batimetri perairan terutama perairan dangkal (shallow water), yaitu citra Landsat TM dan Landsat MSS, SPOT XS, dan Airborne MSS (Green et al., 2000). Beberapa peneliti pada abad ini menggunakan citra yang beresolusi tinggi untuk memetakan kedalaman perairan kedalaman, seperti Mishra (2001) yang menggunakan citra multispektral IKONOS untuk memetakan kedalaman perairan pulau Roatan, Honduras dan Deng et al. (2008) memetakan Estuaria Beilun, China dengan menggunakan citra multispektral Quickbird dan Landsat-7 ETM+. 2.1.1. Batimetri Batimetri menjelaskan tentang pengukuran kedalaman dasar perairan, seperti danau, sungai, dan laut. Pengetahuan mengenai batimetri berawal dari pemetaan topografi dasar laut yang telah lama dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti Biertwith, Lyzenga, dan masih banyak lagi yang melakukan pemetaan 4

5 batimetri dengan tujuan tertentu. Peta batimetri biasanya menyajikan tentang relief suatu dasar perairan dengan garis-garis kontur yang disebut dengan kontur kedalaman (depth contour atau isobath) dan informasi tambahan berupa informasi navigasi permukaan. Batimetri perairan dangkal sangat penting untuk studi morfologi dasar laut, pengelolaan dan manajemen sumber daya zona pesisir. Selain itu informasi batimetri juga dapat digunakan dalam pembuatan peta lainnya, seperti pemetaan kondisi habitat karang. Pengaruh reflektansi dasar perairan sering sekali menjadi faktor penghambat dalam pemetaan habitat dasar perairan. Oleh karena itu perlu pengetahuan mengenai nilai reflektansi dasar perairan agar memperoleh model elevasi digital kedalaman perairan yang memadai, terutama untuk sistem terumbu karang (Mumby et al., 1998). Pengukuran kedalaman perairan diawali dengan menggunakan metode konvensional yang dilakukan dengan menggunakan tali tambang terukur dengan pemberat yang diturunkan dari kapal ke dalam perairan. Pendekatan konvensional ini mengandalkan survei lapangan kedalaman air di lokasi penelitian. Namun pendekatan ini memerlukan tenaga kerja yang banyak dan memerlukan waktu yang lama. Sejak tahun 1970-an hingga saat ini, teknologi satelit penginderaan jauh telah banyak digunakan sebagai alternatif untuk memperkecil kerja lapangan untuk pemetaan batimetri air jernih (Deng, et al. 2008), metode ini memetakan kedalaman dengan menggunakan sistem foto udara dan penginderaan jarak jauh dengan sensor satelit.

6 2.1.2. Pemetaan batimetri perairan dangkal Gelombang elektromagnetik yang digunakan untuk memetakan perairan dangkal berada dalam kisaran spektrum sinar tampak (400-700 nm). Sinar tampak (merah, hijau, dan biru) yang dipancarkan dari sensor satelit mampu menembus badan air sehingga dapat penetrasi kedalaman ke dalam beberapa kelas kedalaman. Pada saat sinar tampak menembus air laut, sinar tersebut akan mengalami atenuasi akibat interaksi dengan kolom perairan. Intensitas cahaya akan berkurang (I d ) setelah memasuki kedalaman perairan tertentu p, dimana dapat dirumuskan seperti berikut (Green et al., 2000): II dd = II 0. ee pppp... (1) dimana, I o = intensitas awal sebelum memasuki permukaan air dan k = koefisien atenuasi yang bervariasi tergantung oleh panjang gelombang elektromagnetik tersebut. Koefisien atenuasi akan semakin besar pada kanal yang memiliki panjang gelombang yang besar, seperti yang dikemukakan pada penelitian Selamat dan Nababan (2009) yang menggunakan citra satelit SPOT untuk memetakan batimetri Pulau Pandangan. Dikatakan bahwa kanal dengan panjang gelombang sinar hijau yang mampu menembus air hingga ke kedalaman maksimum yang mampu direkam oleh satelit SPOT memiliki koefisien atenuasi terkecil dibandingkan dengan kanal merah (panjang gelombang sinar merah) dan kanal inframerah (panjang gelombang inframerah) pada satelit SPOT. Perairan yang jernih memungkinkan sensor satelit dapat mendeteksi kedalaman ±30 m (Green et al., 2000). Pada kondisi perairan yang jernih, kanal dengan cahaya biru dan hijau mampu mempenetrasi kedalaman hingga ke dasar

7 perairan, kemudian dipantulkan kembali dan ditangkap oleh sensor. Berbeda dengan cahaya biru dan hijau, cahaya merah umumnya akan diserap atau dihamburkan di kolom perairan sehingga tidak mampu menembus lebih jauh lagi ke dasar perairan. Meaden dan Kapetsky (1991) mengemukakan bahwa tingkat kecerahan pada setiap kedalaman memiliki nilai yang berbeda. Kontur kedalaman digambarkan berdasarkan tingkat kedalaman yang sama. Penetrasi energi cahaya kedalaman perairan dipengaruhi oleh fitoplankton dan kekeruhan air yang umumnya terdiri dari partikel sedimen tersuspensi dan komponen organik terlarut (Gambar 1). Komponen-komponen tersebut akan menghamburkan dan mengabsorbsi cahaya yang masuk ke dalam air sehingga mengakibatkan atenuasi semakin besar dan perubahan sifat optik air laut. Sensor L S Matahari L T E 0 Atmosfir L P T Φ θ T θ E D R E R WS Permukaan air R W Z R B Substrat Sumber: Biertwith, et al. (1993). Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya jumlah gelombang cahaya yang diterima sensor setelah melalui massa air (dimana, E 0 = pencahayaan sinar matahari di atas atmosfir; T Φ, T θ = Transmitansi atmosfir; E D = hamburan cahaya dari langit; R WS = pantulan dari permukaan air; R w = pantulan dari molekul-molekul dan partikelpartikel di kolom air; R B = pantulan dari subtrat dasar; R E = pantulan efektif dari badan air (tidak termasuk R WS ); L P = hambur balik di atmosfir; L T = radiasi dari target yang ditransmisikan oleh atmosfir; L S = radiasi sinar tampak yang diterima oleh sensor)

8 Ada beberapa metode yang dikenal untuk memetakan batimetri, seperti metode Benny dan Dawson, metode Jupp, dan metode Lyzenga (Green et al., 2000). Metode-metode pemetaan batimetri ini umumnya mengasumsikan 3 hal, yaitu (i) atenuasi cahaya merupakan fungsi eksponensial untuk kedalaman, (ii) kualitas air tidak tampak berbeda pada citra, (iii) albedo dari substrat adalah konstan. Biasanya metode satu dengan yang lain merupakan metode yang dikembangkan dari metode sebelumnya, seperti metode Jupp merupakan pengembangan dari metode Lyzenga. Metode yang digunakan untuk menduga batimetri melalui citra juga dapat menimbulkan permasalahan apabila terjadi variasi pemantulan yang signifikan pada substrat dasar sehingga perlu dilakukan validasi data kedalaman yang biasanya menggunakan metode survei lapang. Oleh karena itu dibutuhkan suatu uji akurasi atau validasi data yang berfungsi untuk menguji ketelitian dari data atau informasi yang dihasilkan dari pengolahan citra. Pada umumnya uji akurasi ini dilakukan untuk membandingkan antara kedua data atau informasi, yaitu data dari hasil analisis penginderaan jauh dan data dari survei lapang (ground truth), dimana data dari survei lapang berisi sumber informasi atau data yang lebih akurat dan detail. Hasil dari uji akurasi ini biasanya disusun dalam bentuk matriks kesalahan yang juga dinamakan dengan matriks konfusi. Selain mengindentifikasi kesalahan dalam suatu kategori, matriks konfusi juga dapat mengindentifikasi kesalahan pada klasifikasi antar kategori (Siregar et al., 2008). Kedalaman perairan yang terukur, baik secara in situ maupun melalui citra satelit, terukur mulai dari bawah permukaan air. Pengukuran kedalaman secara in situ umumnya menggunakan sistem pemeruman melalui suatu alat perum seperti

9 GPS sounder atau Map souder. Pada saat pengukuran dapat terjadi suatu kesalahan yang dapat diindikasikan dari presisi dan akurasinya. Presisi mengacu dari ulangan bacaan alat tersebut, sedangkan akurasi mengacu pada pendekatan pengukuran terhadap angka sebenarnya (Chapra dab Canale dalam Siregar et al., 2008). Hubungan antara nilai aproksimasi dan nilai sebenarnya dirumuskan sebagai berikut: X s = X a + ΔX... (2) dimana, Xs = nilai sebenarnya Xa = nilai aproksimasi (pendekatan) ΔX = kesalahan (bias) Ketinggian air pada waktu t h t datum Z t Z Dasar Laut Sumber: Green et al. (2000). Gambar 2. Konversi kedalaman ke kedalaman bawah datum. Z t = kedalaman air pada saat waktu t (baik di lapangan, maupun pada saat pengukuran melaui penginderaan jauh), h t = ketinggian pasut di atas datum pada saat waktu t. Kedalaman dasar perairan dihitung mulai dari bawah datum, yaitu Z t - h t Koreksi data kedalaman perlu dilakukan sehubungan dengan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi pengukuran kedalaman tersebut, seperti tinggi pasang surut (pasut) pada waktu pengukuran. Ketinggian pasang surut dalam satu hari dapat berbeda-beda sehingga hal ini sangat mempengaruhi

10 pengambilan data kedalaman tersebut. Agar menghindari kesalahan klasifikasi pada pembuatan peta batimetri, maka perlu dilakukan koreksi data kedalaman terhadap data pasang surut (Gambar 2). Nilai kedalaman dasar perairan yang diukur adalah nilai kedalaman sebenarnya ditambah dengan nilai pasut. Oleh karena itu penting untuk mencatat waktu pada saat pengukuran kedalaman agar datum yang diperoleh dapat dikoreksi dengan benar. Perhitungan ketinggian pasang surut di atas datum (Gambar 2) pada saat survei lapang umumnya dilakukan secara langsung dengan menggunakan alat perum seperti GPS Sounder. Namun saat ini ketinggian pasang surut juga dapat diukur melalui alat perekam kedalaman otomatis seperti GPS Sounder. 2.2. Satelit IKONOS IKONOS merupakan salah satu satelit observasi bumi dan satelit komersial pertama dengan resolusi spasial dan radiometrik yang tinggi (Grodecki dan Dial, 2001). Satelit IKONOS diluncurkan pertama kali pada tanggal 24 September 1999 di Vandenberg Air Force Base, California dan telah mengirimkan data komersial sejak tahun 2000. IKONOS berasal dari bahasa Yunani, yaitu Eye Koh Nos yang berarti image atau citra. Satelit IKONOS mengindera dan merekam citra pankromatik dengan resolusi spasial 1 meter dan multispektral 4 meter dalam 4 kanal. Resolusi radiometrik pada citra IKONOS sebesar 11 bit per pixel yang berarti adanya perluasan pada nilai tingkatan warna sehingga pengguna (user) bisa melihat lebih banyak penampakan objek yang lebih detail pada citra (Tabel 1). Namun dari

11 waktu ke waktu, citra IKONOS diskala ulang hingga 8 bit dengan tujuan untuk memperkecil ukuran dari file citra tersebut (GeoEye, 2010). Satelit ini dirancang untuk beroperasi selama 10 tahun yang mengorbit di ketinggian 681 km dari permukaan laut, dengan orbit sinkron matahari (sunsynchronous) dengan sudut inklinasi 98,1º (Pike dan Brown dalam Hildanus, 2002). Pada lintang 40º satelit IKONOS memiliki waktu revisit selama 2,9 hari pada 1 meter Ground Sampling Distance (GSD) dan 1,5 hari pada 1,5 GSD. Waktu revisit akan lebih sedikit pada lintang yang lebih tinggi dan akan lebih panjang untuk bujur yang mendekati ekuator (Grodecki dan Dial, 2001). Tabel 1. Spesifikasi Satelit IKONOS. Imaging Mode Pankromatik Multispektral Pan-Sharpened Resolusi Spasial 0.82 m 3.2 m 1 m Resolusi Spektral Band Blue 450-950 nm 450-520 nm Green - 520-600 nm Red - 625-695 nm Near IR - 760-900 nm Lebar Sapuan 11 x 11 km Off-Nadir Imaging ±60 Resolusi Radiometrik 11 bit per pixel Masa pengoperasian ±10 Tahun Resolusi Temporal 3-5 hari (off-nadir) dan 144 hari (true-nadir) Ketinggian (altitude) 681 km Waktu penurunan nodal 10:30 AM Tipe orbit Sun-synchronous (Sumber : GeoEye, 2010) Seperti yang terlihat pada Tabel 1 satelit IKONOS memiliki 3 kanal dengan panjang gelombang sinar tampak (merah, hijau, dan biru) dan 1 kanal pankromatik yang berguna untuk mengukur panjang gelombang yang menampilkan karakteristik spektral dari suatu obyek di bumi yang terlihat oleh mata. Kanal inframerah dekat yang mengukur reflektansi spektrum

12 elektromagnetik pada bagian yang inframerah dekat sangat membantu dalam mengklasifikasikan vegetasi (Hildanus, 2002). Produk citra IKONOS yang dikeluarkan oleh perusahaan GeoEye ini menyediakan standar pengkoreksian citra IKONOS. Citra IKONOS yang disediakan oleh GeoEye umumnya telah terkoreksi radiometrik dan geometrik. Citra dikoreksi radiometrik dengan melakukan rescale pada data mentah hasil transmisi dari satelit. Selama tidak ada permintaan perubahan dynamic range adjusment dalam proses produksi, akurasi radiometrik yang asli akan tetap dipertahankan dan piksel dalam citra tetap direkam dalam 11 bit. Koreksi geometrik biasa digunakan untuk menghilangkan distorsi pada citra (Wang et al., 2004). 2.2.1. Citra Pan-Sharpened IKONOS Penggabungan citra (image fusion) dilakukan dengan menggabungkan beberapa citra (multiple images) untuk meningkatkan kualitas citra. Salah satu teknik penggabungan ini adalah pan-sharpening. Teknik pan-sharpening menggantikan estimasi informasi kecerahan yang berasal dari kanal-kanal citra multispektral (MS) beresolusi spasial rendah dengan nilai-nilai yang ada pada resolusi spasial tinggi kanal pankromatik (PAN). Hal ini dapat dilihat dari ilustrasi Gambar 3 penggabungan 1 piksel MS dengan 16 piksel PAN sehingga menghasilkan 16 piksel pan-sharpened MS (Hanaizumi, et al., 2008).

13 Gambar 3. (a) piksel asli MS, (b) piksel PAN, dan (c) piksel pan-sharpened MS MS (Hanaizumi, et al., 2008) Salah satu citra pan-sharpened adalah Citra IKONOS Pan-sharpened yang menggabungkan citra (image fusion) resolusi 1 meter pankromatik (black/white image) dan resolusi 4 meter multispektral (colour image) sehingga tampilan ekstraksi fitur tampak lebih detail dalam warna dan kejernihannya karena menyajikan true-color dan false-color dalam resolusi 1 meter. Ilustrasi penampakan detail citra hasil penggabungan (citra pan-sharpened) antara citra pankromatik dan multispektral dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Citra pan-sharpened IKONOS yang digabung dari citra pankromatik (kiri) dan multispektral (tengah); (Sumber: Geosage, 2010)

3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, diantaranya adalah pengumpulan data survei lapang, pengumpulan data sekunder (pendukung), serta pengolahan citra dan analisis data. Survei lapang pengukuran kedalaman perairan dilakukan pada tanggal 4, 5, dan 6 Juni 2010, pengumpulan data sekunder (data pasang surut) dilakukan pada bulan Oktober-November 2010, dan tahap akhir dilakukan pengolahan citra dan analisis data akhir pada bulan Desember 2010- Januari 2011. Letak geografis lokasi pengambilan data lapang di perairan Karang Congkak dan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta terletak pada koordinat 106 33 BT -106 38 BT dan 5 41 LS -5 46 LS (Gambar 5). 3.2. Alat dan Bahan Pembuatan peta batimetri ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan berupa data Satelit IKONOS yang telah digabung menjadi Citra IKONOS Pan-Sharpened dengan resolusi spasial 1 meter yang sudah terkoreksi geometrik dan radiometrik (Lampiran 1). Citra IKONOS Pan- Sharpened ini diakuisisi pada tanggal 8 Juli 2008 dengan koordinat liputan citra 5 40 39 LS 5 46 15 LS (669998,02 mt 679749,15 mt) dan 106 32 7 BT 106 37 23 BT (9361898,89 mu 9372219,68 mu). Selain data satelit, data kedalaman yang diambil pada saat survei lapang juga digunakan sebagai data primer. 14

Gambar 5. Lokasi Penelitian di Karang Congkak dan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 15

16 Pada saat survei lapang, data pasang surut diukur untuk digunakan sebagai koreksi kedalaman perairan. Selain itu data sekunder juga digunakan pada penelitian ini, data sekunder yang digunakan adalah data ramalan pasang surut perairan Kepulauan Seribu tahun 2008 dan 2010 yang diperoleh dari Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL (DISHIDROS TNI-AL) dengan titik stasiun terdekat yang digunakan adalah stasiun Tanjung Priok. Alat yang digunakan dalam penelitian terbagi menjadi dua kategori, yaitu perangkat lunak dan perangkat keras. Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah Microsoft Excel, Idrisi Andes, dan ArcGIS 9.3. Perangkatperangkat lunak tersebut digunakan untuk pengolahan citra (Idrisi dan ArcGIS) dan analisis data (M. Excel). Perangkat keras yang digunakan adalah sebagai berikut. 1. Personal Computer (PC) untuk analisis data. 2. Printer untuk mencetak dokumen. 3. Global Positioning System (GPS) Map 420 Si untuk menentukan posisi dan pengukuran kedalaman perairan pada titik-titik pengamatan. 4. Papan Pasang Surut (Pasut) yang digunakan untuk mengukur tinggi rendah muka air pada saat penelitian dilakukan. 3.3. Metode Perolehan Data 3.3.1. Kedalaman Pengambilan data lapang dilakukan dengan pengukuran secara langsung (ground check) pada lokasi penelitian. Parameter yang diambil pada survei lapang ini adalah kedalaman dan pasang surut. Karena lokasi penelitian

17 merupakan perairan dangkal, alat transportasi yang digunakan pada saat pengukuran berupa perahu kecil bertenaga motor. Pada perahu dipasang alat instrumentasi GPS Sounder pada bagian salah satu sisi perahu. Sebelum dilakukan perekaman data GPS Sounder diatur ke pengaturan merekam informasi, seperti kedalaman, secara otomatis selama suvey lapang berlangsung. Data yang tersimpan dalam GPS Sounder dalam format GDB file kemudian ditransfer ke dalam PC untuk disimpan dalam format text (*.txt) dan diolah. Pengambilan data kedalaman pada Karang Congkak dilakukan sekitar pukul 09.00-15.00, dan Karang Lebar dilakukan sekitar pukul 07.40-12.00 dan 12.30-15.30 WIB. Metode pengambilan data dilakukan dengan membuat suatu jalur berbentuk zig-zag pada bagian dalam tubir gobah baik Karang Congkak maupun Karang Lebar, jalur tersebut merupakan jalur yang dapat dilalui oleh perahu kecil yang biasa digunakan oleh nelayan. 3.3.2. Pasang Surut Karena waktu pengambilan data lapang dengan waktu perekaman citra berbeda, maka ada kemungkinan perbedaan kedalaman pada wilayah kajian yang diteliti. Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi kedalaman perairan dengan melakukan kalibrasi data kedalaman lapang terhadap pasang surut. Koreksi kedalaman perairan ini didasari oleh kondisi muka air laut yang bersifat dinamis sehingga adanya perbedaan pasang surut dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi perbedaan data kedalaman yang terukur. Koreksi kedalaman perairan dilakukan dengan mengkalibrasi data kedalaman lapang terhadap data kedalaman perairan pada waktu perekaman citra. Pada proses koreksi kedalaman ini menggunakan data pasang surut pada saat

18 survei lapang, data ramalan pasang surut pada waktu pengambilan data kedalaman lapang dan data ramalan pasang surut pada waktu perekaman citra. Pengambilan data pasang surut dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan papan pasut dan GPS Sounder yang merekam data secara otomatis pada saat melakukan survei lapang. Perolehan data dengan menggunakan papan pasang surut biasanya diletakkan pada daerah yang terendam dengan air laut di salah satu dermaga Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Kemudian data diperoleh dengan melakukan pengamatan terhadap tinggi rendahnya muka air laut yang terkena papan pasut setiap 30 menit. Karena data hasil pengamatan lapang dengan menggunakan papan pasang surut tidak dilakukan sesuai dengan waktu survei lapang yang dilakukan, maka data tidak dapat digunakan. Data pasang surut dari pemeruman GPS Sounder digunakan untuk melihat pola pasang surut selama 2 hari pengamatan, namun untuk pengoreksian kedalaman perairan terhadap pasang surut menggunakan data ramalan pasang surut DISHIDROS TNI-AL bulan Juni 2010 dari stasiun terdekat, yaitu Tanjung Priok. Karena data ramalan pasang surut dengan data pengukuran di lapang tidak berbeda jauh dan data ramalan merupakan data 30 hari sehingga pola pasang surut dapat terlihat lebih jelas, maka data ini cukup baik untuk digunakan pada pengoreksian kedalaman perairan pada saat survei lapang. Koreksi pasang surut dilakukan dengan cara melakukan kalibrasi data pasang surut pada waktu pengambilan data lapang terhadap data pasang surut pada saat perekaman citra, yaitu pada pukul 10.30 WIB. Hal ini dilakukan agar informasi dari data kedalaman lapang sama dengan informasi yang diperoleh data hasil perekaman citra.

19 3.4. Metode Pengolahan Citra Pemrosesan citra dilakukan secara bertahap, yaitu pengolahan citra awal dan pengolahan citra lanjutan. Pemrosesan citra awal meliputi Pemulihan citra (image restoration). Pemulihan citra terdiri dari koreksi geometrik dan radiometrik, dalam penelitian ini citra yang digunakan telah mengalami koreksi geometrik dan radiometrik. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan pada pengolahan citra lanjutan yang meliputi tahap pengekstraksian citra untuk memperoleh nilai reflektansi atau digital number (DN) citra dengan menggunakan algoritma Lyzenga yang telah dikembangkan. Pemotongan citra IKONOS Pan-Sharpened disesuaikan dengan lokasi penelitian yang diteliti, yaitu perairan dangkal Karang Lebar. Potongan citra ini digunakan untuk mengekstrak nilai DN pada area kajian (training area) yang diteliti. Masking citra dilakukan untuk memisahkan obyek laut dan obyek yang bukan laut, dimana obyek yang bukan laut diberi nilai nol. Masking citra ini perlu dilakukan sebelum citra digunakan untuk pengolahan lebih lanjut, hal ini bertujuan untuk memfokuskan area kajian ke daerah perairan pada saat pengolahan data citra. Data yang diperoleh pada saat ground truth/check disimpan ke dalam bentuk file berekstensi GDB, kemudian dikonversi ke format text (*.txt). Data kedalaman ini direduksi dengan data pasang surut (pasut) dan data koreksi lainnya sehingga diperoleh nilai kedalaman tanpa dinamika gelombang air laut (Selamat dan Nababan, 2009). Pada tahap ekstraksi citra dilakukan analisis data dengan membandingkan nilai kedalaman in situ dan nilai reflektansi gelombang yang dipancarkan dari

20 kanal satelit yang berupa nilai digital (digital number) yang disajikan dalam bentuk grafik Cartesian. Ketiga kanal citra dianalisis untuk melihat perbandingan antara ketiga kanal dan menentukan kanal citra yang paling baik untuk digunakan pada proses pemetaan batimetri (Gambar 6). Digital Number (DN) ketiga kanal citra IKONOS Pan-Sharpened hasil ekstraksi dari citra yang merupakan nilai pantulan radiansi (reflektansi) dengan kisaran panjang gelombang sinar tampak (kanal biru, hijau dan merah) dianalisis relasinya terhadap nilai kedalaman aktual. Agar dapat mengetahui kekuatan relasi dari kedua variabel tersebut, maka dilakukan uji statistik terhadap persamaan regresi linier yang diperoleh dari data hasil olahan ketiga kanal citra. Nilai koefisien korelasi linier (r) dan determinansi (R 2 ) akan diperoleh dari hasil uji regresi linier masing-masing persamaan regresi. 3.5. Pemetaan Batimetri Informasi yang diperoleh dari hasil pemeruman adalah data kedalaman dan data pasang surut. Data kedalaman ini akan digunakan untuk menentukan model dugaan terbaik dari ketiga kanal Citra IKONOS Pan-Sharpened dalam mengestimasi kedalaman perairan di Karang Congkak dan Karang Lebar. Data pasang surut digunakan untuk pengkoreksian data kedalaman itu sendiri seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.

21 Citra IKONOS yang sudah terkoreksi Survei lapang Data sekunder Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL Cropping citra 1. Kedalaman (Z lapang) 2. Pasang surut 1. Pasang surut 2008 (waktu perekaman citra) 2. Pasang surut 2010 (waktu survei) Masking citra awal Tracking area Koreksi kedalaman lapang terhadap pasang surut (koreksi pasang surut) Nilai reflektansi gelombang berupa digital number (DN) Kedalaman terkoreksi Pengolahan citra (Perhitungan nilai X) dimana, X = ln (Vi-VS). Penentuan kanal dengan model regresi terbaik Kanal terpilih (model regresi terbaik) Uji Akurasi (RMS Error) Masking citra akhir Peta batimetri perairan dangkal dengan model nilai digital asli Gambar 6. Diagram alir pengolahan data batimetri dengan citra satelit IKONOS Pan-Sharpened

22 Pada penelitian ini, kedalaman suatu perairan diestimasi dengan menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Lyzenga (1985). Transformasi algoritma Lyzenga (1985) ini mampu memberikan informasi kedalaman pada suatu citra satelit, namun untuk mentransformasikannya algoritma ini hanya membutuhkan 1 kanal terbaik dari citra tersebut agar mampu membedakan antar obyek dalam citra secara nyata. Persamaan algoritma Lyzenga (1985) secara umum dinyatakan sebagai berikut (Wouthuyzen, 2001): Z 1 1 = k * ln( V-VS ) + k * ( lnv O )... (3) 2 2 dimana, Z V V S k V O = Kedalaman (m), = Sinyal radians yang diamati pada citra (DN), = Bagian sinyal hasil pembaruan radiasi di atmosfir, kolom air, dan permukaan laut, = Koefisien attenuasi, dan = Faktor sensitifitas yang meliputi kontribusi irradians matahari di permukaan air, pantulan dasar perairan, transmisi atmosfir dan pengaruh dari sensor itu sendiri. Fungsi linier kedalaman (Z) dapat diperoleh dengan mengasumsikan nilai radians (V) pada Persamaan 3 bervariasi terhadap kedalaman perairan. Nilai V S diduga dengan mengasumsikan bahwa perairan dalam (>40 m) nilai radians pada panjang gelombang biru telah terserap habis oleh kolom air dalam tersebut, sehingga memiliki DN = 0 dan jika DN bernilai lebih dari 0, maka nilai tersebut merupakan pengaruh dari faktor lain seperti pembauran dari atmosfir (Wouthuyzen, 2001). Z = Sudut (Slope)* X + Konstanta... (4) dimana, X = ln (V-V S ), Sudut (Slope) 1 = k, 2 1 k * 2 Konstanta = ( lnv O )

23 Setelah kedua data dari olahan citra IKONOS dan survei lapang diperoleh, dilakukan estimasi akurasi citra satelit untuk mengetahui bahwa data yang diperoleh dari citra satelit baik untuk digunakan dalam pemetaan batimetri. Estimasi akurasi dilakukan dengan membandingkan data citra dengan data survei lapang sebagai validasi data kedalaman. Analisis regresi yang dilakukan pada setiap model regresi linier menunjukkan seberapa baik model tersebut dapat digunakan untuk memetakan kedalaman perairan dengan melihat nilai koefisien korealasi dan determinasi dari hasil analisis tersebut. Koefisien korelasi linier ini digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan linier antara kedua variabel dalam persamaan regresi linier yang dianalisis (Walpole, 1997). Rentang nilai koefisien korelasi linier ini adalah -1 hingga 1(-1 r 1). Koefisien korelasi dapat dikatakan memiliki hubungan linier yang baik bila mendekati -1 atau 1. Berikut adalah formula dari koefisien korelasi (Walpole, 1997): rr = nn nn nn nn ii=1 xx ii yy ii ii=1 xx ii ii=1 yy ii nn nn xx 2 nn ii ii=1 xx ii 2 ii=1 nn nn yy 2 nn ii ii=1 yy ii 2 ii=1... (5) dimana, r x y n = koefisien korelasi = nilai peubah bebas ke-i (nilai digital masing-masing kanal) = nilai peubah tak bebas ke-i (nilai kedalaman aktual) = jumlah pasangan data Koefisien determinasi menyatakan proporsi variasi variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variasi variabel independen (Walpole, 1997). Nilai besaran koefisien determinasi merupakan hasil kuadrat dari koefisien korelasi, sehingga nilai koefisien ini selalu bernilai positif antara nol dan satu (0 R 2 1). Nilai koefisien determinasi akan lebih baik apabila nilai tersebut semakin mendekati 1, yang menyatakan bahwa sekitar 100% nilai variabel dependen dapat

24 dijelaskan oleh variasi variabel dependen. Dari hasil uji koefisien determinasi ini dapat diketahui persamaan regresi yang baik untuk mengestimasi kedalaman perairan dangkal pada daerah kajian. Residual merupakan perbedaan antara nilai in situ dan nilai hasil prediksi dari suatu pendugaan. Residual ini merepresentasikan porsi dari validasi data yang tidak dapat dijelaskan dari model (Mathworks, 2011). Uji analisis residual digunakan untuk mengetahui seberapa besar ketepatan data hasil estimasi terhadap data in situ yang dibatasi oleh suatu selang kepercayaan antara kedua parameter tersebut. Kalkulasi nilai akurasi untuk estimasi data satelit menggunakan formula Root Mean Square error (RMSE) yang dinyatakan oleh Walpole (1997) untuk menunjukkan besarnya galat antara nilai kedalaman aktual dan nilai kedalaman estimasi. Persamaan untuk menentukan nilai RMSE dapat dinyatakan sebagai berikut. RMSE = n i= 1 ( a b ) i N 2 i 2... (6) dimana, a i = nilai lapangan; b i = nilai interpolator data; N = total number dari nilai validasi. Selain itu, untuk mengindentifikasi kesalahan dan ketelitian dalam suatu klasifikasi citra yang telah dikelaskan ke dalam beberapa kelas kedalaman juga dilakukan uji akurasi dengan menggunakan matriks kesalahan atau matriks konfusi (confusion matrix). Evaluasi akurasi ini menentukan seberapa besar persentase ketelitian antara nilai kedalaman lapang dan nilai kedalaman duga yang telah dibentuk menjadi kelas-kelas kedalaman baru dengan selang kelas tertentu.

25 Nilai-nilai yang dihasilkan dari matriks kesalahan adalah producer s accuracy, user s accuracy, dan overall accuracy. Berikut adalah formula yang digunakan untuk ke empat nilai di atas. Producer' s accuracy = Xii Xi+ x100%... (7) X ii User' s accuracy = x100%... (8) X + i r X ii i= 1 Overall accuracy = x100%... (9) N dimana, N = jumlah piksel setiap kelas pada training area r = jumlah kelas X i+ = X ij (jumlah kolom pada baris ke-i) X +j = X ij (jumlah kolom pada baris ke-j) Evaluasi akurasi dilakukan pada seluruh data dengan mengkelaskan data ke dalam beberapa kelas. Penentuan selang kelas kedalaman dilakukan berdasarkan histogram hasil estimasi dari citra (Lampiran 2). Pengkelasan ini dilakukan dengan mengukur nilai-nilai pada tiap puncak di histogram dan menggunakan nilai-nilai tersebut sebagai acuan untuk memetakan kedalaman estimasi dan kedalaman aktual ke rentang kelas baru. Kemudian data kedalaman hasil estimasi dari algroritma dievaluasi terhadap data kedalaman aktual. Hasil akurasi dari perbandingan kedua data kedalaman tersebut disajikan seperti pada Tabel 2.

26 Tabel 2. Matriks kesalahan (confusion matrix) Data Acuan Training Area Diklasifikasikan Ke Kelas A B... D Total Baris X k+ User Accuracy (X kk /X k+) A X ii............... B....................................... D............ Total Kolom X +k N Producer X kk /X Accuracy k Sumber : Hildanus (2002).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Batimetri 4.1.1. Pemilihan Model Dugaan Dengan Nilai Digital Asli Citra hasil transformasi pada Gambar 7 menunjukkan nilai reflektansi hasil transformasi ln (V-V S ), dimana rentang nilai pada masing-masing kanal berkisar antara nol hingga enam. Nilai mendekati nol atau daerah yang gelap pada citra hasil transformasi diasumsikan sebagai suatu perairan yang dalam, namun daerah bernilai nol juga dapat merepresentasikan darat yang telah mengalami masking. Secara visual terlihat pada gambar semakin tinggi nilai digital, semakin dangkal kedalaman perairan yang juga dapat dilihat korelasi antara keduanya pada grafik di Gambar 8. Hal ini juga dinyatakan oleh Ibrahim dan Cracknell (1990) dalam Wouthuyzen (2001) bahwa umumnya pada suatu titik pengamatan yang bernilai digital rendah akan memiliki nilai kedalaman yang tinggi dan begitu pun sebaliknya. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), kemampuan penetrasi yang baik terletak pada panjang gelombang 400-600 nm. Sinar dengan panjang gelombang tersebut merupakan yang terbaik dalam mengintepretasikan kedalaman perairan. Kanal yang tergolong mampu penetrasi kedalaman dengan baik adalah kanal dengan panjang gelombang sinar hijau dan biru. Secara visual pada Gambar 7 terlihat bahwa hasil tranformasi dari nilai ln(v-vs) pada kanal hijau dan kanal biru tidak jauh berbeda, hal ini dikarenakan oleh pada kisaran panjang gelombang sinar tampak, sinar biru dan sinar hijau yang mampu penetrasi kedalaman dengan 27

28 baik. Namun hal ini belum dapat dipastikan kedua kanal tersebut adalah kanal dengan model regresi linier terbaik. (a) Kanal Merah (b) Kanal Hijau (c) Kanal Biru Gambar 7. Citra IKONOS Pan-Sharpened hasil transformasi nilai ln(v-v S ) pada algoritma Lyzenga di perairan dangkal Karang Lebar (Kiri merupakan citra awal (sebelum ditransformasi), kanan merupakan citra setelah ditransformasi) Hasil transformasi dari nilai ln(v-vs) pada Gambar 7 diplotkan terhadap nilai kedalaman aktual ke dalam suatu grafik sehingga menghasilkan suatu model regresi linier seperti yang terlihat pada Gambar 8. Pada Gambar 8 terlihat bahwa dalam satu kisaran nilai ln(v-v S ) yang sama terdapat banyak sebaran nilai

29 kedalaman sehingga perlu dilakukan analisis regresi linier untuk mengetahui model yang cukup memadai dari ketiga model yang ada. Gambar 8. Grafik model regresi linier dari hasil plot kedalaman in situ dan nilai digital Citra IKONOS Pan-sharpened pada perairan Karang Lebar Setiap model regresi linier dianalisi Analisis regresi ini menghasilkan nilai r dan R 2. Seperti yang terlihat pada Tabel 3, nilai r dan R 2 pada masing-masing kanal berbeda.

30 Tabel 3. Korelasi antara nilai kedalaman lapang dengan nilai digital transformasi citra IKONOS. Jenis Kanal Model Regresi Linier Koefisien Korelasi (r) Koefisien Determinasi (R 2 ) Merah y = 1,918x 8,203 0,73 0,54 Hijau y = 3,602x 16,867 0,88 0,78 Biru y = 3,666x 17,040 0,80 0,64 Nilai korelasi tertinggi ditunjukkan oleh model regresi linier kanal hijau deng an nilai sebesar 0,881. Nilai korelasi model regresi kanal biru adalah nilai korelasi tertinggi kedua setelah nilai korelasi model regresi kanal hijau dengan nilai sebesar 0,798. Model regresi kanal merah memiliki nilai korelasi terendah diantara ketiga model yang dihasilkan dengan nilai sebesar 0,734. Pada Tabel 3 diperoleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) untuk kanal merah dengan nilai sebesar 0,538 menyatakan bahwa 53,8% diantara keragaman dalam nilai-nilai kedalaman dapat dijelaskan oleh hubungan liniernya dengan transformasi nilai digital ln(v-v S ). Nilai R 2 kanal hijau menyatakan bahwa 77,5% keragaman dalam nilai-nilai kedalaman mampu dijelaskan oleh hubungan liniernya dengan transformasi nilai digital ln(v-v S ). Dan nilai R 2 pada kanal biru menyatakan 63,7% keragaman dalam nilai-nilai kedalaman dapat dijelaskan oleh hubungan liniernya dengan transformasi nilai digital ln(v-v S ). Nilai korelasi yang baik adalah nilai korelasi yang mendekati 1 atau -1 (Walpole, 1997), pada kasus ini kanal hijau adalah kanal dengan nilai korelasi yang paling baik dibandingkan dengan nilai korelasi kanal biru dan merah. Selain itu dinyatakan juga, nilai R 2 akan semkin lebih baik jika nilai R 2 semakin mendekati nilai 1 atau 100%. Di antara ketiga kanal, model regresi kanal hijau

31 memiliki nilai R 2 yang lebih baik karena presentase yang mendekati 100%. Berdasarkan rangkaian uji statistik yang dilakukan dengan melihat nilai r dan R 2 yang dihasilkan dan pertimbangan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kanal hijau Citra IKONOS Pan-sharpened adalah kanal yang terbaik untuk memetakan kedalaman perairan Karang Congkak dan Karang Lebar. Hasil transformasi algoritma Lyzenga dengan model regresi linier yang terbaik dapat dinyatakan sebagai berikut: ZZ = 3,602 ln(vv VV ss kkaaaaaaaa hiiiiiiii) 16,86... (10) 4.1.2. Peta batimetri Biertwith et al. (1993) mengemukakan masalah utama dalam memetakan batimetri perairan dangkal adalah ketika menganalisis penginderaan jauh diperoleh efek yang kontras di kedalaman air keruh dan sifat natural dari substrat dasar perairan mengalami distorsi. Beberapa faktor seperti penghamburan cahaya oleh fitoplankton dan kekeruhan air laut (penghamburan oleh materi sedimen tersuspensi dan komponen organik terlarut), penyerapan (absorption) dan penghamburan (scattering) oleh molekul-molekul air dalam kolom air dapat mempengaruhi intesitas gelombang sinar tampak yang ditangkap oleh sensor. Pada peneltitian ini peta batimetri dibuat berdasarkan model regresi 10 yang merupakan hasil dari tranformasi algoritma Lyzenga yang telah dikembangkan. Nilai hasil dari transformasi algoritma tersebut merupakan nilai kedalaman estimasi. Berdasarkan peta estimasi kedalaman perairan dangkal hasil turunan dari citra IKONOS Pan-Sharpened ini hanya mampu mengintepretasikan kedalaman

32 hingga kedalaman sekitar 16 meter. Namun model regresi yang digunakan untuk membuat peta batimetri perairan dangkal masih dapat digunakan karena nilai kedalaman aktual yang digunakan saat pengolahan analisis regresi tidak melebihi 16 meter (Gambar 8). Kelas kedalaman terbagi menjadi 8 kelas (Lampiran 2a). Pada Gambar 9 menunjukkan detail kelas kedalaman perairan dangkal dengan rentang nilai dari 0 hingga 8 m. Kelas terakhir merupakan kelas kedalaman dengan selang kelas yang tak terhingga. Namun karena wilayah kajian yang digunakan adalah perairan dangkal, maka kelas terakhir tersebut tidak diikutsertakan. Kelas kedalaman perairan dangkal ini kurang sesuai digunakan untuk acuan pada pemetaan terumbu karang karena adanya selang kelas kedalaman yang terlalu kecil (kelas 0,4 m dan kelas 0,5 hingga 0,9 m) dan total akurasi yang diperoleh kurang memadai seperti yang dipaparkan pada subbab 4.1.3 (Tabel 4). Oleh karena itu dilakukan pengkelasan ulang (reclass) sehingga menghasilkan 5 kelas baru (Lampiran 2b). Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Siregar et al. (2008) dan observasi visual dapat dinyatakan bahwa substrat pasir pada Karang Congkak dan Karang Lebar lebih mendominasi seluruh wilayah kajian, hal ini pun terlihat pada Gambar 10 yang ditampilkan dengan warna putih dengan kedalaman kurang dari 1,3 meter pada Karang Congkak dan Karang Lebar. Namun warna putih juga dapat disertai informasi lain seperti adanya buih (ombak) yang tercipta pada saat air laut menghempas tubir yang didominasi oleh habitat karang hidup. Warna hijau muda dengan kedalaman antara 1,4-1,9 meter didominasi dengan substrat lamun, hal ini juga terlihat pada saat survei lapang bahwa lamun banyak mendominasi pada selang kedalaman tersebut.