HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN METODE BREED DENGAN UJI MASTITIS IPB-1 UNTUK DIAGNOSA MASTITIS SUBKLINIS FITRIAN WINATA

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kesetaraan Uji Mastitis IPB-1 dengan Metode Breed untuk Mendiagnosis Mastitis Subklinis pada Susu Kerbau Murrah dan Kambing

HASIL DAN PEMBAHASAN

PERBANDINGAN UJI MASTITIS IPB-1 DENGAN METODE BREED UNTUK DIAGNOSA MASTITIS SUBKLINIS PADA SUSU KERBAU DAN SUSU KAMBING FAISAL TANJUNG

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Friesian Holstein (FH) impor dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut data BPS Kabupaten Buleleng, (2014), Kabupaten Buleleng

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

PENELITIAN PEWDAHULUAN PERBANDINGAPI TlGA METODE UMTUI( MENDIAGNOSA MASTITIS SUBKLlNlS DAN HUBUNGANNYA TERHADAP PENURUNAN PRODUKSI SUSU

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laktasi atau mendekati kering kandang (Ramelan, 2001). Produksi susu sapi perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Hayati et al., 2010). Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5-10

DETEKSI Staphylococcus aureus DALAM SUSU SEGAR SEBAGAI PARAMETER KEBERSIHAN PROSES PEMERAHAN NANANG SYAIFUL HIDAYAT

Lampiran 1 Kuisioner Peternak Pemasok Susu Segar

KUALITAS SUSU SEGAR SEBAGAI BAHAN BAKU KEJU DITINJAU DARI JUMLAH SEL SOMATIS, KADAR LEMAK, DAN KADAR PROTEIN ADIK KURNIAWAN

Lampiran 1 Hasil Pengujian sampel susu menggunakan metode Breed dan uji. Breed (jumlah sel somatis/ml) No Kuartir IPB-1

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelenjar susu mamalia. Susu memiliki banyak fungsi dan manfaat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang

PANJANG PUTING DAN PERIODE LAKTASI SEBAGAI FAKTOR PREDISPOSISI MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH DI KPSBU LEMBANG KABUPATEN BANDUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercemar kapan dan dimana saja sepanjang penanganannya tidak memperhatikan

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH)

KAJIAN KEPUSTAKAAN. menghasilkan susu. Terdapat beberapa bangsa sapi perah yaitu Ayrshire,

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pengaruh dipping puting sapi perah yang terindikasi

TINJAUAN PUSTAKA. A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein)

HASIL. Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

Alat Pemerahan Peralatan dalam pemerahan maupun alat penampungan susu harus terbuat dari bahan yang anti karat, tahan lama, dan mudah dibersihkan. Bah

MENGELOLA KOMPOSISI AIR SUSU

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

PENGARUH SUHU KANDANG TERHADAP KEJADIAN MASTITIS SUBKLINIS DAN BOVINE TUBERCULOSIS PADA SAPI PERAH DI BOGOR HILYAH ABQORIYAH

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu

Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah Post-Thawing Ditinjau dari Waktu Reduktase dan Angka Katalase

BAB I PENDAHULUAN. Data-data cemaran mikrobia pada produk susu mentah sudah ada dari

ABSTRAK. Kata Kunci : Total Bakteri; ph; Susu; Sapi Friesian Holstein. ABTRACT

PEREAKSI IPB-1 SEBAGAI PEREAKSI ALTERNATIF UNTUK MENDETEKSI MASTITIS SUBKLINIS

HUBUNGAN ANTARA VOLUME AMBING, LAMA MASSAGE DAN LAMA PEMERAHAN TERHADAP PRODUKSI SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA SKRIPSI.

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

Pengaruh Waktu Pemerahan dan Tingkat Laktasi terhadap Kualitas Susu Sapi Perah Peranakan Fries Holstein

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Puskesmas Kemangkon Kabupaten

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan bulan Desember 2016 Januari Lokasi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang hubungan produksi susu dengan body condition scoredan

EFEKTIFITAS REBUSAN DAUN KERSEN (Muntingia calabura L) UNTUK TEAT DIPPING DALAM MENURUNKAN JUMLAH BAKTERI PADA SUSU SKRIPSI. Oleh

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS (Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin)

SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI. Bogor, 8-9 Agustus 2017

UJI KUALITAS SUSU Latar Belakang Tujuan Praktikum

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian Jumlah Bakteri Staphyloccus aureus dan Skor California Mastitis

MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH DI INDONESIA : PENDEKATANNYA

PENGARUH EKSTRAK DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi Linn.) SEBAGAI BAHAN DIPPING PUTING TERHADAP JUMLAH COLIFORM DAN ph SUSU SKRIPSI.

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAMBING PERANAKAN ETAWA (PE) YANG DIBERI PERLAKUAN TEAT DIPPING

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle Linn) TERHADAP MASTITIS SUBKLINIS

BAB I PENDAHULUAN. dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian dilaksanakan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah

PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus)

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DALAM SUHU BEKU TERHADAP KADAR PROTEIN,KADAR LEMAK DAN KADAR ASAM LAKTAT SUSU KAMBING PERANAKAN ETTAWA (PE)

PENGEMBANGAN CHECKLIST UNTUK AUDIT BIOSEKURITI, HIGIENE, DAN SANITASI DISTRIBUTOR TELUR AYAM BAWANTA WIDYA SUTA

DENY HERMAWAN. SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL PEMERAHAN BERBEDA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil perkawinan antara kambing

Susu merupakan bahan pangan yang memiliki nilai gizi tinggi karena. vitamin, mineral, dan enzim. Menurut Badan Standart Nasional (2000).

Epidemiologi veteriner PKH-UB 2013

BAB III METODE PENELITIAN

Ketahanan Susu Kambing Peranakan Ettawah Post-Thawing pada Penyimpanan Lemari Es Ditinjau dari Uji Didih dan Alkohol

THE INFLUENCE OF PRE MILKING ON MILK QUALITY BASED ON REDUCTATION TEST AND CALIFORNIA MASTITIS TEST ABSTRACT

BAB III MATERI DAN METODE. yang berbeda konsentrasi terhadap total koloni bakteri dan ph susu segar kambing

HUBUNGAN MASTITIS, PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU SAPI PERAH DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL - HIJAUAN PAKAN TERNAK SAPI PERAH BATURRADEN SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat. Salah satu hewan penghasil susu

TINJAUAN PUSTAKA. Susu

PERBANDINGAN DUA METODE PENDUGAAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH BERDASARKAN CATATAN SEBULAN SEKALI

MATERI DAN METODE. Materi

Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Susu Susu adalah salah satu bahan makanan alami yang berasal dari ternak perah

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH

HASIL DAN PEMBAHASAN

Susu segar-bagian 1: Sapi

KATEGORI KUALITAS SUSU SAPI SEGAR SECARA MIKROBIOLOGI DI PETERNAKAN X CISURUPAN - GARUT

EVALUASI CEMARAN BAKTERI PADA SUSU SAPI SEGAR DALAM DISTRIBUSI SUSU DI KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI. Oleh : JAAFAR RIFAI

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Susu merupakan bahan makanan yang diperoleh dari hasil seleksi

Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia.

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya.

BAB 3 METODE PENELITIAN

TINGKAT KEAMANAN SUSU BUBUK SKIM IMPOR DITINJAU DARI KUALITAS MIKROBIOLOGI UTI RATNASARI HERDIANA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH

Uji Organoleptik dan Tingkat Keasaman Susu Sapi Kemasan yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Denpasar

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

Transkripsi:

2 HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN METODE BREED DENGAN UJI MASTITIS IPB-1 UNTUK DIAGNOSA MASTITIS SUBKLINIS FITRIAN WINATA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

4 ABSTRACT FITRIAN WINATA. The Relationship Between Using Breed Method with IPB-1 Mastitis Test for Sub-clinical Mastitis Detection. Under direction of MIRNAWATI BACHRUM SUDARWANTO and HERWIN PISESTYANI. The objective of this study was to measure the relationship between Breed method and IPB-1 mastitis test for sub-clinical mastitis detection. Two hundreds five of quarter milk samples were used in this study and the tests (Breed method and IPB-1 mastitis test) were done in paralel way. The result showed that 143 samples from 205 samples (69.76%) tested with Breed method came from the herds which suffered from sub-clinical mastitis and with IPB-1 mastitis test showed that 129 (62.93%) samples have positive reaction. This research also showed that IPB-1 mastitis test has sensitivity 85.31% and specitivity 88.71% and Kappa test reach 0.696 respectively. Keywords: sub-clinical mastitis, Breed method, IPB-1 mastitis test, somatic cell count (SCC).

5 RINGKASAN FITRIAN WINATA. Hubungan antara Penggunaan Metode Breed dengan Uji Mastitis IPB-1 untuk Diagnosa Mastitis Subklinis. Dibimbing oleh MIRNAWATI BACHRUM SUDARWANTO dan HERWIN PISESTYANI. Mastitis merupakan infeksi atau peradangan pada jaringan interna ambing yang ditandai dengan perubahan kualitas maupun perubahan produksi susu. Kasus mastitis terbesar adalah mastitis subklinis, karena pada kejadian mastitis subklinis tidak ditandai perubahan fisik ambing dan susu sehingga menyulitkan dalam deteksi. Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik deteksi mastitis lebih dini, terutama untuk mastitis subklinis. Deteksi mastitis subklinis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikrobiologi dan penghitungan jumlah sel somatis dalam susu. Pemeriksaan sampel susu untuk menghitung jumlah sel somatis dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pemeriksaan secara langsung menggunakan metode Breed dan pemeriksaan tidak langsung dengan menggunakan uji mastitis IPB-1. Kedua metode tersebut digunakan untuk mendiagnosa mastitis subklinis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penggunaan metode Breed dengan uji mastitis IPB-1 untuk diagnosa mastitis subklinis berdasarkan jumlah sel somatis. Metode dalam penelitian ini meliputi pengambilan sampel susu di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor sebanyak 205 sampel dari 54 ekor sapi. Pengambilan sampel disesuaikan dengan jadwal pemerahan di peternakan. Pengambilan sampel susu dilakukan secara aseptis, dan volume yang diambil ±10 ml. Pengujian sampel susu dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Sampel susu diuji menggunakan metode Breed sebagai golden standard dan uji mastitis IPB-1. Pengambilan data dengan kuisioner juga dilakukan terhadap peternak yang diambil sampel susunya. Pengambilan data dengan kuisioner ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang tata laksana peternakan sapi perah yang diterapkan oleh peternak. Data dianalisis dengan melihat tingkat spesifisitas dan sensitivitas dari setiap uji berdasarkan pada jumlah sel somatis dengan menggunakan metode Breed sebagai metode baku uji. Semua data yang diperoleh diolah dan dianalisis menggunakan uji asosiasi dan pengukuran kesesuaian menggunakan uji Kappa. Berdasarkan hasil penelitian menggunakan metode Breed diperoleh 62 (30.24%) sampel mengandung jumlah sel somatis kurang dari 400 000 sel/ml dan 143 (69.76%) sampel mengandung jumlah sel somatis lebih dari 400 000 sel/ml. Sebanyak 69.76% dari susu sampel yang diperiksa berasal dari sapi yang sedang menderita mastitis subklinis. Dari hasil penelitian menggunakan uji mastitis IPB-1 diperoleh 76 (37.07%) sampel memberikan reaksi negatif mastitis subklinis dan 129 (62.93%) sampel memberikan reaksi positif dengan perincian 52 (25.37%) sampel memberikan reaksi positif satu (1+), 30 (14.63%) sampel memberikan reaksi posistif dua (2+) dan 47 (22.93%) sampel memberikan reaksi positif tiga (3+).

6 Hasil uji mastitis IPB-1 dibandingkan dengan metode Breed untuk melihat kesesuaian hasil uji. Diperoleh sensitivitas dan spesifisitas uji mastitis IPB-1 masing-masing adalah 85.31% dan 88.71%. Nilai uji Kappa uji mastitis IPB-1 adalah 0.696 yang menunjukkan adanya kesesuaian hasil pengujian yang baik. Hasil sensitivitas, spesifisitas dan nilai uji Kappa yang baik dari uji mastitis IPB-1 menandakan bahwa uji mastitis IPB-1 merupakan uji yang baik untuk deteksi mastitis subklinis lebih dini sehingga kejadian mastitis subklinis pada peternakan sapi perah dapat diketahui dari awal dan tindakan pencegahan dapat dilakukan. Kata kunci : mastitis subklinis, metode Breed, uji mastitis IPB-1, jumlah sel somatis (JSS).

8 HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN METODE BREED DENGAN UJI MASTITIS IPB-1 UNTUK DIAGNOSA MASTITIS SUBKLINIS FITRIAN WINATA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Hubungan antara Penggunaan Metode Breed dengan Uji Mastitis IPB-1 untuk Diagnosa Mastitis Subklinis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2011 Fitrian Winata NRP. B04070137

7 Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang - Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

9 Judul Skripsi Nama Mahasiswa Nomor Pokok : Hubungan antara Penggunaan Metode Breed dengan Uji Mastitis IPB-1 untuk Diagnosa Mastitis Subklinis : Fitrian Winata : B04070137 Disetujui Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Bachrum Sudarwanto Ketua drh. Herwin Pisestyani, M.Si Anggota Mengetahui Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Tanggal lulus :

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya sehingga skripsi berhasil diselesaikan dengan baik. Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Desember 2010 dengan judul Hubungan antara Penggunaan Metode Breed dengan Uji Mastitis IPB-1 untuk Diagnosa Mastitis Subklinis. Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Bachrum Sudarwanto dan Ibu drh. Herwin Pisestyani, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan saran dalam penelitian dan penulisan skripsi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada drh. Abdul Zahid Ilyas, M.Si selaku pembimbing akademik. Disamping itu, ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada bapak Hendra dan bapak Teddy yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian ini. Terimakasih juga disampaikan kepada Krisnia Virgihani dan Siska Aryana sebagai teman penelitian dan kepada temanteman Gianuzzi FKH 44. Penghargaan dan ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah dan ibu tercinta atas doa, dukungan dan kasih sayangnya serta Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka Barat yang telah membantu dalam penyelesaian studi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2011 Fitrian Winata

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 7 Mei 1989 dari Ayah Dadang Irianto dan Ibu Sarien. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Pada tahun 2004-2007 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Jebus, Bangka Belitung. Tahun 2007 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di program studi sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka Barat. Studi diselesaikan di Fakultas Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian dengan judul Hubungan antara Penggunaan Metode Breed dengan Uji Mastitis IPB-1 untuk Diagnosa Mastitis Subklinis.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN xi xii xiii PENDAHULUAN..... 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian....... 2 Manfaat.. 2 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Anatomi dan Fisiologi Ambing..... 4 Susu...... 5 Mastitis.. 6 Sel Somatis.... 7 Pengujian Mastitis Menggunakan IPB-1 dan Breed... 8 BAHAN DAN METODE.... 10 Tempat dan Waktu Penelitian.... 10 Bahan dan Alat Penelitian..... 10 Metode Penelitian...... 10 Sampel Susu 10 Cara Pengambilan Sampel Susu...... 10 Pemeriksaan Sampel Susu.. 11 Metode Breed..... 11 Uji IPB-1 12 Kuisioner... 12 Analisis data... 12 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 Tingkat Kejadian Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Kecamatan Cibungbulang berdasarkan Uji Mastitis IPB-1 dan Metode Breed. 14 Sensitivitas dan Spesifisitas Uji Mastitis IPB-1 terhadap Jumlah Sel Somatis Menggunakan Metode Breed..... 17 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) berdasarkan Hasil Kuisioner.. 18 SIMPULAN DAN SARAN. 21 DAFTAR PUSTAKA.. 22 LAMPIRAN. 25

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Komposisi susu (Tyler & Ensminger 1993)... 6 2. Pengaruh jumlah sel somatis terhadap produksi susu (Lukman et al. 2009).. 8 3. Pengaruh jumlah sel somatis terhadap kualitas susu (Tolle et al. 1977, diacu dalam Sudarwanto et al. 1984)... 8 4. Hubungan tingkat kekentalan terhadap perkiraan jumlah sel somatis/ml (Foley et al. 1972) 9 5. Tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis (Breed) (n=250).. 14 6. Nilai minimum, kuartil satu, dua, tiga, dan nilai maksimum dari jumlah sel somatis yang dihubungkan dengan tingkat reaksi uji mastitis IPB-1.. 15 7. Hubungan antara tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis... 16 8. Penentuan mastitis subklinis berdasarkan uji mastitis IPB-1 dan jumlah sel somatis (n=205)... 17 9. Kondisi sanitasi peternakan sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) berdasarkan hasil kuisioner 18 10. Manajemen pemerahan sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) berdasarkan hasil kuisioner... 19

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Gambar skematik anatomi ambing sapi (DeLaval 2011)...... 5 2. Hubungan antara tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis metode Breed..... 15

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil pengujian sampel susu menggunakan metode Breed dan uji mastitis IPB-1...... 26 2. Kuisioner pemeriksaan mastitis.... 32

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam berlimpah, dengan kondisi geografis yang sangat mendukung untuk pertumbuhan hewan ternak seperti sapi perah. Luas lahan pertanian yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman rumput seluas 188. 20 juta ha (Mulyani & Las 2008). Lahan seluas itu dapat mencukupi kebutuhan pakan untuk sapi perah. Produksi yang mencirikan dari usaha sapi perah adalah susu. Susu merupakan bahan pangan yang bermanfaat bagi manusia dan dibutuhkan oleh hampir semua tingkatan umur terutama bagi balita. Bahan penyusun susu terdiri dari air, karbohidrat (laktosa), lemak, protein, mineral, dan vitamin. Susu segar merupakan cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan (SNI 3141.1:2011, tentang Susu Segar). Produksi susu untuk setiap jenis sapi perah berbeda-beda dan produksi tersebut bergantung pada jenis sapi perah, bangsa dan umur sapi, tingkat laktasi, pakan, penyakit, interval dan waktu pemerahan, serta temperatur lingkungan. Berdasarkan laporan dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (2002), yang diacu dalam Sugandi et al. (2005) bahwa target produksi harian ternak sapi perah adalah 15 liter/ekor/hari, sementara dari beberapa peternakan di Kabupaten Bandung dan Garut diperoleh gambaran rataan produksi susu sapi perah kurang dari 10 liter/ekor/hari. Kondisi turunnya produksi susu sapi antara lain diakibatkan infeksi pada jaringan internal ambing atau yang disebut dengan mastitis (Damron 2003). Mastitis terbagi menjadi tiga, yaitu mastitis klinis, mastitis subklinis dan mastitis non-spesifik. Mastitis klinis merupakan peradangan pada ambing yang ditandai dengan gejala panca radang (merah, bengkak, panas, rasa sakit, fungsiolesa) dan terjadi perubahan fisik pada susu. Pada mastitis subklinis tidak menampakkan terjadinya perubahan pada organ interna ambing, namun dapat diketahui dari

2 terjadinya penurunan produksi susu, ditemukannya kuman patogen serta terjadinya perubahan komponen susu. Kejadian terbesar dari kasus mastitis adalah mastitis subklinis dengan tingkat kejadian dapat mencapai 90% dan disertai penurunan produksi susu hingga 30% (Taylor & Field 2004). Kejadian mastitis subklinis yang tidak segera ditangani akan berlanjut menjadi mastitis klinis karena merugikan secara ekonomi, terjadi perubahan komposisi susu, penurunan produksi, dan mengakibatkan penyingkiran sapi lebih awal. Deteksi terhadap kasus mastitis subklinis perlu dilakukan sejak awal, kondisi ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan jumlah sel somatis dalam susu. Sel somatis merupakan sel yang selalu berdegenerasi dalam tubuh dan selalu ada, antara lain sel leukosit dan sel epitel. Keberadaan sel leukosit yang banyak menandakan telah terjadinya suatu infeksi atau peradangan. Deteksi mastitis subklinis yang dilakukan sejak awal merupakan upaya pencegahan dan pengobatan yang tepat sehingga kejadian mastitis subklinis ini dapat ditangani lebih awal. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penggunaan metode Breed dengan uji mastitis IPB-1 untuk diagnosa mastitis subklinis berdasarkan jumlah sel somatis. Manfaat Penelitian ini dilakukan untuk memberikan manfaat kepada pengurus Koperasi Pengolah Susu (KPS) di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor sebagai pertimbangan untuk dilakukan peningkatan penyuluhan dan pelatihan kepada peternak sehingga dapat mengurangi kejadian mastitis subklinis serta pencegahan lebih dini kejadian mastitis subklinis dengan menerapkan tatalaksana peternakan yang baik. Penelitian ini juga dapat digunakan mahasiswa dan pembaca untuk melihat tingkat kejadian mastitis subklinis di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor, serta memberikan informasi mengenai hubungan antara penggunaan metode Breed

3 dengan uji mastitis IPB-1 untuk diagnosa mastitis subklinis berdasarkan jumlah sel somatis.

4 TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing Kelenjar mamaria atau ambing pada sapi letaknya di daerah inguinal yang terdiri dari empat perempatan kuartir. Setiap kuartir memiliki satu puting, keempat perempatan ambing di bagian medial dipisahkan oleh suatu lekuk yang disebut lekuk longitudinal atau sulcus intermamaria. Pada bagian ujung puting terdapat saluran pendek yang disebut saluran ujung puting, ductus papillaris atau streak canal. Streak canal berperan dalam pengaturan keluarnya susu dan mencegah masuknya bakteri luar ke dalam ambing (Schalm et al. 1971). Ambing yang kosong pada sapi yang sedang laktasi memiliki berat 6.5-75.3 kg dengan berat rata-rata 22.7 kg (Subronto 2003). Setiap kuartir sapi mampu mensekresikan 60% susu, dan ambing sapi akan mencapai berat dan kapasitas yang maksimal pada sapi berumur enam tahun (Tyler & Ensminger 1993). Struktur pendukung utama ambing adalah kulit, ligamentum suspensorium mediale, dan ligamentum suspensorium laterale. Penyangga utama ambing adalah ligamentum suspensorium laterale et mediale, sedangkan kulit luar hanya bersifat pelindung daripada sebagai penyangga ambing. Ambing memiliki beberapa sistem yang mendukung dalam strukturnya, antara lain terdapat sistem peredaran darah, limfe, saraf, dan sistem saluran yang berperan dalam penyimpanan dan sekresi susu ke dalam sel epitel yang disebut juga dengan alveoli (Foley et al. 1972). Produksi susu pada sapi tergantung pada aktifitas alveoli. Masing-masing alveol ini dihubungkan oleh pembuluh darah kapiler yang membawa nutrisi sebagai bahan pembawa susu dan sensitif terhadap hormon oksitosin. Oksitosin disekresikan ke dalam darah, maka akan timbul kontraksi sel otot yang mampu merangsang untuk ekskresi susu.

5 Gambar 1 Gambar skematik anatomi ambing sapi (DeLaval 2011). Susu Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 3141.1:2011 tentang Susu Segar, susu didefinisikan sebagai cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih yang diperoleh dengan cara pemerahan benar, yang kandungan alamiahnya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan. Bagian terbesar susu adalah air. Air dalam susu diperoleh langsung dari cairan dalam darah melalui suatu proses selektif permeabel oleh sel epitel selapis alveolus. Faktor fisiologis yang mampu mempengaruhi jumlah dan komposisi susu antara lain; bangsa dan genetik, periode laktasi, keberadaan folikel yang tidak ovulasi, estrus, kebuntingan, jarak kelahiran, pengeluaran susu yang pertama dan terakhir, usia, dan ukuran ambing (Diggins & Bundy 1961; Ensminger 1991). Komposisi kimia susu diperlihatkan dalam Tabel 1.

6 Tabel 1 Komposisi susu (Tyler & Ensminger 1993) Bahan penyusun Jumlah (%) Variasi normal Air 87.2 82.4-90.7 Lemak 3.7 2.5-6 Bahan kering tanpa 9.1 6.8-11.6 lemak Protein 3.5 2.7-4.8 Kasein 2.8 2.3-4 Laktalbumins dan 0.7 0.4-0.8 Laktoglobulins Laktosa 4.9 3.5-6 Mineral 0.7 0.6-0.8 Bahan kering 12.8 9.3-17.6 Mastitis Mastitis merupakan infeksi atau peradangan pada jaringan interna ambing yang dapat ditandai dengan perubahan kualitas maupun perubahan produksi susu (Tyler & Ensminger 1993). Mastitis merupakan reaksi peradangan pada jaringan ambing terhadap infeksi bakteri, kimia, panas, ataupun karena perlukaan (Schmidt et al. 1988). Respon peradangan ditandai dengan peningkatan protein darah dan sel darah putih pada jaringan ambing dan susu. Tujuan dari peradangan adalah untuk netralisasi terhadap penyebab iritasi, perbaikan jaringan yang rusak, dan pengembalian fungsi normal ambing (Foley et al. 1972). Susu pada sapi yang menderita mastitis akan mengalami perubahan secara fisik dan kimia. Perubahan secara fisik antara lain terjadinya perubahan warna, bau, rasa, dan konsistensi. Perubahan secara kimiawi meliputi penurunan jumlah kasein dan laktosa (Subronto 2003). Mastitis terbagi menjadi tiga, yaitu mastitis klinis, mastitis subklinis dan mastitis non-spesifik (Sudarwanto 1999). Mastitis klinis dapat ditandai dengan terjadinya perubahan kualitas susu dan ditemukan reaksi peradangan pada ambing berupa panas, merah, bengkak, fungsi abnormal, serta timbul rasa sakit bila dipalpasi. Keadaan ini berbeda dengan kejadian mastitis subklinis yang tanpa adanya perubahan secara fisik pada eksternal ambing. Perubahan yang terjadi hanya dapat ditemukan pada jaringan interna ambing. Susu mengalami perubahan berupa perubahan kualitas dan kuantitas

7 serta ditemukannya kuman patogen pada susu. Mastitis non-spesifik merupakan kejadian mastitis yang dapat diakibatkan oleh trauma pada ambing. Kejadian terbesar dari kasus mastitis adalah mastitis subklinis, karena pada kejadian mastitis subklinis tidak ditandai dengan perubahan fisik ambing sehingga menyulitkan dalam deteksi. Kejadian mastitis dapat disebabkan karena kausa infeksius dan non-infeksius. Kausa infeksius disebabkan oleh mikroorganisme patogen masuk melalui saluran puting susu ke dalam kelenjar ambing. Kausa non-infeksius berkaitan dengan kondisi hewan/ternak dan kondisi lingkungan. Kerugian ekonomi yang diakibatkan mastitis antara lain; terjadinya penurunan produksi susu per kuartir per hari antara 9-45.5%, penurunan kualitas susu yang mengakibatkan penolakan susu mencapai 30-40% dan penurunan kualitas hasil olahan susu, peningkatan biaya perawatan dan pengobatan serta pengafkiran ternak lebih awal (Sudarwanto & Sudarnika 2008a). Sel Somatis Sel somatis merupakan kumpulan sel yang terdiri dari sel epitel, sel neutrofil, eosinofil, limfosit, eritrosit, sel plasma, colostrum corpuscle. Keberadaan sel somatis dalam susu dapat dijadikan indikator dalam penilaian kualitas susu segar. Normalnya sel somatis dapat ditemukan dalam susu segar dalam batasan tertentu. Sel somatis dapat dijadikan penilaian kualitas susu. Peningkatan jumlah sel somatis dapat menandakan telah terjadinya infeksi pada ambing. Sel leukosit termasuk kedalam sel somatis, berperan dalam pertahanan tubuh untuk menyerang agen dari luar. Keberadaan leukosit yang tinggi pada susu menandakan telah terjadinya peradangan ataupun infeksi pada ambing. Keberadaan sel somatis dapat menentukan produksi dan kualitas susu, jumlah sel somatis yang tinggi akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi dan kualitas susu. Jumlah sel somatis yang meningkat menyebabkan kualitas produk susu menjadi menurun sebagai akibat dari aktifitas enzimatis, yaitu protease dan lipase. Aktifitas enzimatis menyebabkan penurunan produk keju, menurunnya daya tahan susu pasteurisasi, perubahan produksi asam pada produk-produk susu fermentasi, produk mentega menjadi tengik dan adanya perubahan rasa pada

8 sebagian produk olahan (Lukman et al. 2009). Hubungan keberadaan jumlah sel somatis terhadap produksi dan kualitas susu diperlihatkan dalam Tabel 2 dan 3. Tabel 2 Pengaruh jumlah sel somatis terhadap produksi susu (Lukman et al. 2009) Jumlah sel somatis/ml Penurunan produksi susu 5 10³ - 1 10 6 10% 1 10 6 5 10 6 24.6% > 5 10 6 37.5% Tabel 3 Pengaruh jumlah sel somatis terhadap kualitas susu (Tolle et al. 1977, diacu dalam Sudarwanto et al. 1984) Jumlah sel somatis/ml Penilaian < 1.25 10 5 Baik sekali 1.25 10 5 2.5 10 5 Baik 2.5 10 5 3.75 10 5 Cukup 3.75 10 5 5 10 5 Kurang > 5 10 5 Jelek Pengujian Mastitis Menggunakan Uji Mastitis IPB-1 dan Breed Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik deteksi mastitis lebih dini, terutama untuk mastitis subklinis (Sudarwanto 1998). Deteksi mastitis subklinis dilakukan melalui pemeriksaan mikrobiologik dan penghitungan jumlah sel somatis dalam susu. Sel somatis dapat dihitung dengan menggunakan metode Breed yaitu dengan menghitung secara langsung jumlah sel somatis. Secara tidak langsung sel somatis dapat dihitung berdasarkan pada intensitas reaksi, metode yang sering dipakai antara lain Aulendorfer Mastitis Probe (AMP), California Mastitis Test (CMT), Milk Quality Test (MQT), Michigan Mastitis Test (MMT), Whiteside Test (WST) (Foley et al. 1972; Sudarwanto 1998). Sudarwanto (1993) melakukan pengembangan lebih lanjut dari pereaksi AMP dan pengembangan ini menghasilkan uji mastitis IPB-1. Prinsip kerja uji mastitis IPB-1 berdasarkan pada reaksi reagen yang berikatan dengan inti DNA dari sel somatis sehingga terbentuk masa kental seperti gelatin. Masa yang terbentuk semakin kental maka makin tinggi tingkat reaksinya dan makin tinggi jumlah sel somatis dalam susu. Penelitian Sudarwanto (1993) dan penelitian Sukada (1996) yang menggunakan uji mastitis IPB-1 untuk diagnosa mastitis subklinis, ternyata uji mastitis IPB-1 memiliki spesifisitas dan sensitivitas

9 yang tinggi untuk mendiagnosa mastitis subklinis, mudah pengerjaannya dan murah harganya. Kelemahan pereaksi yang digunakan untuk mendeteksi mastitis subklinis memiliki ph yang tidak stabil, perubahan ph menyebabkan pereaksi tidak bekerja secara optimal (Sudarwanto & Sudarnika 2008a). Kelebihan pengujian secara tidak langsung diantaranya adalah hasil lebih cepat diperoleh dengan tenaga dan waktu yang lebih sedikit. Pengujian secara tidak langsung sangat baik untuk pemeriksaan contoh susu dalam jumlah besar dan pemeriksaan teratur di lapangan (Sukada 1996). Kelemahannya adalah jumlah sel somatis yang didapatkan hanyalah dugaan dan dapat dikatakan sebagai diagnosa pendahuluan (Sudarwanto 1982). Pemeriksaan secara tidak langsung pada susu sapi yang diduga terinfeksi mastitis dapat diukur berdasarkan pada tingkat kekentalan bahan pereaksi setelah dicampur dengan susu. Tingkat kekentalan menunjukkan tingkat keparahan infeksi pada ambing. Hubungan tingkat kekentalan pereaksi terhadap susu dengan jumlah sel somatis diperlihatkan dalam Tabel 4. Tabel 4 Hubungan tingkat kekentalan terhadap perkiraan jumlah sel somatis/ml (Foley et al. 1972) Nilai Deskripsi reaksi Perkiraan jumlah sel/ml Negatif Tidak ada gel < 2 10 5 1 Gel yang terbentuk sangat tipis 5 10 5 2 Gel yang terbentuk agak tebal 1.5 10 5 3 Gel yang terbentuk tebal 5 10 6 4 Gel yang terbentuk sangat kental >5 10 6

10 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan Oktober sampai Desember 2010. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sampel susu kuartir berjumlah 205 sampel yang berasal dari 54 ekor sapi perah dalam periode laktasi normal, alkohol 70%, alkohol 96%, eter alkohol, larutan methylen blue Löeffler, Pereaksi IPB-1 dan minyak emersi. Alat yang digunakan dalam penelitian antara lain tabung sampel susu, pipet Breed 0.1 ml, kertas cetakan Breed seluas 1 1 cm 2, gelas objek, ose siku, mikroskop, paddle, pemanas Bunsen, kapas dan kertas tisu, cool box, ice box, dan rak tabung sampel. Metode Penelitian Sampel Susu Sampel susu yang digunakan dalam penelitian merupakan sampel susu kuartir. Pengambilan sampel disesuaikan dengan jadwal pemerahan di peternakan. Sampel susu yang diambil dari sapi laktasi yang berada di area Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor. Jumlah sampel ditentukan dengan metode purposif, dimana jumlah dan jenis sampel ditentukan oleh peneliti berdasarkan pada kondisi peternakan. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 205 sampel yang berasal dari 54 ekor sapi perah dalam periode laktasi normal. Cara Pengambilan Sampel Susu

11 Pengambilan sampel susu dilakukan secara aseptis dengan cara seluruh permukaan ambing sapi dibersihkan menggunakan lap yang telah direndam larutan NaClO 1.5-2 ppm. Kertas tisu digunakan untuk mengeringkan permukaan ambing kemudian bagian puting dibersihkan menggunakan kapas yang telah dibasahi alkohol 70%. Sampel susu kuartir diambil setelah proses pembersihan puting selesai. Sampel susu dimasukkan ke dalam tabung sampel sebanyak ±10 ml. Pemeriksaan Sampel Susu Pemeriksaan jumlah sel somatis dalam susu dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pemeriksaan secara langsung dengan menggunakan metode Breed dan pemeriksaan tidak langsung dengan menggunakan uji mastitis IPB-1. Kedua metode tersebut digunakan untuk mendiagnosa mastitis subklinis. Metode Breed Metode Breed yang digunakan mengacu pada Sudarwanto (2009). Gelas objek dibersihkan menggunakan larutan eter alkohol dan diletakkan diatas kertas cetakan atau pola bujur sangkar seluas 1 x 1 cm 2 (kertas Breed). Susu dihomogenkan terlebih dahulu, kemudian pipet susu dengan pipet Breed dan diteteskan sebanyak 0.01 ml susu tepat di atas kotak 1 cm 2. Sampel susu di atas permukaan seluas 1 cm 2 disebar menggunakan kawat ose berujung siku. Gelas objek dikering udarakan selama 5-10 menit selanjutnya difiksasi dengan nyala api bunsen. Pewarnaan Breed dilakukan dengan cara gelas objek direndam dalam larutan eter alkohol selama 2 menit. Gelas objek diwarnai dengan cara dimasukkan ke dalam larutan methylen blue Löeffler selama 1-2 menit. Gelas objek dimasukkan ke dalam larutan alkohol 96%, setelah proses pewarnaan selesai preparat dikeringkan. Penghitungan jumlah sel somatis dilakukan setelah preparat kering dengan menggunakan mikroskop (100X) dan diteteskan minyak emersi pada permukaan kotak yang diwarnai. Jumlah sel somatis dihitung dengan menggunakan 10 lapang pandang kemudian dijumlah dan dibagi dengan jumlah lapang pandang

12 yang digunakan untuk mendapatkan rata-rata jumlah sel somatis. Luas lapang penglihatan dihitung dengan cara menghitung diameter lapang penglihatan dari 2 mikroskop yang digunakan dengan rumus:. Sebanyak 0.01 ml susu disebarkan pada bidang lapang pandang 1 cm 2, maka jumlah sel somatis pada luas lapang pandang penglihatan adalah 0.01 ml (SNI 01-2782-1998/Rev. 1992- tentang Penghitungan Jumlah Sel Somatis). Penghitungan dengan menggunakan rumus dilakukan setelah diperoleh ratarata jumlah sel somatis: jumlah sel somatis = rataan jumlah sel somatis x 400 000 (faktor mikroskop). Uji IPB-1 Metode uji mastitis IPB-1 yang digunakan mengacu pada Sudarwanto (2009). Sebanyak 2 ml sampel susu dimasukkan ke dalam paddle, ditambahkan 2 ml pereaksi IPB-1. Campuran tersebut dihomogenkan selama 15-20 detik dengan cara memutar paddle secara horizontal dan hati-hati. Hasil dibaca berdasarkan perubahan kekentalan yang terjadi; negatif (-) tetap homogen, positif (+,++,+++) terbentuk lendir/kental. Kuisioner Pengisian kuisioner dilakukan terhadap peternak yang dikunjungi dan diambil sampelnya. Pertanyaan yang diajukan kepada peternak berjumlah tujuh, dua pertanyaan berkaitan dengan manajemen pemeliharaan ternak dan lima pertanyaan berkaitan dengan manajemen pemerahan. Data kuisioner digunakan untuk mendapatkan informasi tentang tata laksana peternakan sapi perah yang dijalankan oleh peternak. Data kuisioner juga digunakan sebagai data pendukung terhadap kejadian mastitis subklinis di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor. Analisis Data Data dianalisis dengan melihat tingkat spesifisitas dan sensitivitas dari setiap uji berdasarkan pada jumlah sel somatis dengan menggunakan metode Breed sebagai metode uji baku. Semua data yang diperoleh diolah dan dianalisis

13 menggunakan uji asosiasi, pengukuran kesesuaian menggunakan uji Kappa. Hasil kuisioner yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk melihat tingkat kejadian mastitis subklinis di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor.

14 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel susu yang digunakan adalah sampel susu kuartir yang berasal dari Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) yang berlokasi di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Total sampel yang digunakan berjumlah 205 sampel yang berasal dari 54 ekor sapi. Tingkat Kejadian Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Kecamatan Cibungbulang berdasarkan Uji Mastitis IPB-1 dan Metode Breed Menurut data International Dairy Federation (IDF) (1999) bahwa sapi yang menderita mastitis subklinis memiliki jumlah sel somatis lebih dari 400 000 sel/ml ditemukan bakteri patogen, serta berada pada laktasi normal. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 62 (30.24%) sampel mengandung jumlah sel somatis kurang dari 400 000 sel/ml dan 143 (69.76%) sampel mengandung jumlah sel somatis lebih dari 400 000 sel/ml. Berdasarkan hasil penelitian menggunakan uji mastitis IPB-1 diperoleh 76 (37.07%) sampel memberikan reaksi negatif mastitis subklinis dan 129 (62.93%) sampel memberikan reaksi positif dengan perincian 52 (25.37%) sampel memberikan reaksi positif satu (1+), 30 (14.63%) sampel memberikan reaksi posistif dua (2+) dan 47 (22.93%) sampel memberikan reaksi positif tiga (3+). Tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dapat dihubungkan dengan metode Breed berdasarkan pada pengelompokkan batas jumlah sel somatis. Hubungan jumlah tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dan jumlah sel somatis dapat ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis (Breed) (n=205) Tingkat reaksi IPB-1 Breed - 76 40 000 4 633 333 + 52 160 000 4 120 000 ++ 30 560 000 11 840 000 +++ 47 1 080 000 34 400 000

15 Tabel 6 Nilai minimum, kuartil satu, dua, tiga, dan nilai maksimum dari jumlah sel somatis yang dihubungkan dengan tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 IPB-1 Sel somatis/ml Minimum Q1 Q2 Q3 Maksimum - 40 000 120 000 200 000 410 000 4 633 333 + 160 000 520 000 720 000 1 010 000 4 120 000 ++ 560 000 1 126 666 5 1 840 000 2 766 000 11 840 000 +++ 1 080 000 2 160 000 3 640 000 5 260 000 34 400 000 Pada Tabel 6 terlihat hubungan antara uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis yang dihitung menggunakan metode Breed. Pada hasil uji mastitis IPB-1 negatif (-) diperoleh nilai kuartil kedua sebesar 200 000, sedangkan pada positif satu (1+), positif dua (2+), dan positif tiga (3+) diperoleh nilai kuartil kedua masing-masing sebesar 720 000, 1 840 000, dan 3 640 000. Peningkatan nilai kuartil kedua menandakan bahwa peningkatan reaksi pada uji mastitis IPB-1 diikuti dengan peningkatan jumlah sel somatis. Dari grafik boxplot dapat dilihat bahwa tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 berbanding lurus terhadap jumlah sel somatis yang dihitung menggunakan metode Breed (Gambar 1). Jumlah sel somatis Tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 Gambar 2

16 Hubungan antara tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis metode Breed. Tabel 7 Hubungan antara tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis Metode Breed Pemeriksaan menggunakan uji mastitis IPB-1 Jumlah sel somatis (x1 - + ++ +++ 000) 0-250 45 2 0 0 251-500 21 9 0 0 501-750 6 18 1 0 751-1 000 2 10 3 0 1 001-5 000 2 13 22 33 >5 000 0 0 4 14 jumlah 76 52 30 47 Hubungan antara tingkat reaksi uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis metode Breed ditunjukkan pada Tabel 7 dengan pengelompokkan batas jumlah sel somatis mengacu pada Sudarwanto (1998). Hasil uji mastitis IPB-1 yang menunjukkan reaksi negatif (-) terdapat pada rentang jumlah sel somatis 0-250 000 sebanyak 45 (59.21%) sampel dan 21 (27.63%) sampel berada pada rentang 251 000-500 000, hal ini menunjukkan bahwa uji mastitis IPB-1 dapat memberikan hasil reaksi negatif (-) pada sapi yang tidak menderita mastitis subklinis. Berdasarkan IDF (1999) jumlah sel somatis kurang dari 400 000 sel/ml maka susu tersebut bukan berasal dari sapi yang menderita mastitis subklinis. Pada reaksi positif satu (1+) diperoleh hasil 18 (34.62%) sampel berada pada rentang nilai 501 000-750 000. Pada reaksi positif dua (2+) dan positif tiga (3+) diperoleh hasil 22 (73.33%) sampel dan 33 (70.21%) sampel berada pada rentang nilai 1 001 000-5 000 000. Hasil reaksi positif dua (2+) dan positif tiga (3+) berada pada rentang nilai yang sama, tetapi pada reaksi positif tiga (3+) masih ditemukan 14 (29.79%) sampel pada rentang >5 000 000. Hal ini memperlihatkan bahwa uji mastitis IPB-1 dapat mendiagnosa mastitis subklinis dengan tingkat jumlah sel somatis hingga >5 000 000. Uji mastitis IPB-1 merupakan uji semi kuantitatif, karena semakin tinggi intensitas reaksi yang dihasilkan menggunakan pereaksi IPB-1 diikuti dengan peningkatan jumlah sel somatis pada susu yang berasal dari sapi yang menderita mastitis subklinis. Reagen uji mastitis IPB-1 akan berikatan dengan inti DNA dari sel somatis sehingga terbentuk masa kental, masa yang terbentuk semakin

17 kental maka makin tinggi tingkat reaksinya dan makin tinggi jumlah sel somatis dalam susu (Sudarwanto 1993). Sensitivitas dan Spesifisitas Uji Mastitis IPB-1 terhadap Jumlah Sel Somatis Menggunakan Metode Breed Pengukuran sensitivitas dan spesifisitas uji mastitis IPB-1 sampel susu dilakukan dengan membandingkan hasil uji mastitis IPB-1 dengan jumlah sel somatis (Breed) sebagai uji baku (golden standard). Berdasarkan Tabel 8, sebanyak 129 (62.9%) sampel berasal dari kuartir sapi yang menderita mastitis subklinis dan 76 (37.1%) sampel memperlihatkan reaksi negatif (-) dengan menggunakan uji mastitis IPB-1. Perhitungan jumlah sel somatis secara langsung menggunakan metode Breed (golden standard) diperoleh 143 (69.8%) sampel berasal dari sapi yang menderita mastitis subklinis dan 62 (30.2%) sampel memperlihatkan hasil reaksi negatif (-). Tabel 8 Penentuan mastitis subklinis berdasarkan uji mastitis IPB-1 dan jumlah sel somatis (n=205) IPB-1 Jumlah sel somatis (JSS) Jumlah + ( 4 sel/ml) - ( 4 sel/ml) + 122 (59.5%) 7 (3.4%) 129 (62.9%) - 21 (10.24%) 55 (26.8%) 76 (37.1%) Jumlah 143 (69.8%) 62 (30.2%) 205 (100%) = 101.587(signifikan pada tingkat kepercayaan 95%) Sensitivitas = 85.31% Spesifisitas = 88.71% Predictive value : Positif Uji = 11.29% Negatif Uji = 14.69% Measure of agreement Kappa = 0.696 Uji mastitis IPB-1 menunjukkan hasil pengujian yang hampir sama dengan jumlah sel somatis (Breed) yang bisa dilihat dari nilai sensitivitasnya yang tinggi, yaitu sebesar 85.31% dan nilai spesifisitasnya sebesar 88.71%. Uji sensitivitas menunjukkan kemampuan uji mastitis IPB-1 untuk memperlihatkan hasil positif pada sapi yang menderita mastitis subklinis. Uji mastitis IPB-1 yang makin sensitif maka mampu mendeteksi mastitis subklinis meskipun jumlah sel somatis masih sangat rendah dalam susu. Uji spesifisitas menunjukkan kemampuan uji mastitis IPB-1 untuk memperlihatkan hasil yang negatif pada sapi yang tidak

18 menderita mastitis subklinis. Semakin spesifik suatu uji maka uji tersebut hanya mampu mendeteksi agen tertentu saja. Uji Kappa merupakan uji untuk menilai reliabilitas atau kesesuaian berdasarkan pada skala kategorikal. Hasil uji Kappa menunjukkan nilai 0.696, yang artinya uji mastitis IPB-1 dan jumlah sel somatis (metode Breed) memiliki kesesuaian yang baik diantara kedua uji tersebut. Fleiss (1981), yang diacu dalam Goldstein (2011) memberi nilai Kappa sebagai berikut: > 0.75 berarti ada kesesuaian yang sangat baik (excellent), 0.4-0.75 berarti ada kesesuaian yang baik (fair to good), < 0.4 berarti kesesuaian yang jelek (poor). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudarwanto dan Sudarnika (2008b) diperoleh nilai sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 91.7% dan 96.8% serta nilai uji Kappa sebesar 0.874. Hasil nilai uji yang berbeda terkait dengan jumlah sampel yang diuji dan teknik pengujian yang berbeda. Semua uji kualitatif merupakan uji yang dilakukan langsung di kandang, sementara pada penelitian ini pengujian susu dilakukan di laboratorium dan dengan kondisi susu sampel relatif dingin. Kondisi susu sampel yang relatif dingin mengakibatkan penggumpalan lemak susu sehingga akan mempengaruhi dalam pemeriksaan. Kondisi Peternakan Sapi Perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) berdasarkan Hasil Kuisioner Kejadian mastitis subklinis pada peternakan sapi perah dapat disebabkan karena kondisi sanitasi kandang dan tata laksana pemerahan yang dijalankan oleh peternak masih kurang baik. Berdasarkan hasil kuisioner seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9 diperoleh 42.86% peternak yang membersihkan kandangnya sebanyak tiga kali sehari, sisanya 57.13% membersihkan kandangnya dua kali sehari. Tabel 9 Kondisi sanitasi peternakan sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) berdasarkan hasil kuisioner No Variabel Deskripsi Hasil Deskripsi (%) 1. Frekuensi pembersihan kandang (hari) 2x 3x 57.13 42.86 2. Jarak pembuangan limbah dari kandang <15 meter 100

19 Tingkat kejadian mastitis subklinis pada peternakan dengan kandang yang sering dibersihkan akan lebih kecil, dibandingkan dengan kandang yang jarang dibersihkan. Tempat pembuangan limbah juga berperan terhadap terjadinya mastitis subklinis. Seluruh responden membuang limbah tidak jauh dari kandang peternakannya (<15 meter). Jarak yang terlalu dekat antara tempat pembuangan limbah dengan kandang akan menyebabkan lingkungan kandang kotor, menimbulkan pencemaran lingkungan kandang, hal ini akan menyebabkan bakteri tumbuh subur dan bermigrasi ke kandang sehingga setiap saat dapat menimbulkan kejadian mastitis subklinis. Tumpukan limbah peternakan akibat kondisi saluran pembuangan yang tidak baik/tidak lancar akan menyebabkan gangguan terhadap lingkungan antara lain berupa bau busuk dan berkembangnya serangga (Sudarwanto 1999) Kejadian mastitis subklinis yang tinggi pada peternakan sapi perah dapat disebabkan karena manajemen pemerahan yang kurang baik. Kejadian mastitis subklinis di KUNAK yang berhubungan dengan manajemen pemerahan ditunjukkan pada Tabel 10. Tabel 10 Manajemen pemerahan sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) berdasarkan hasil kuisioner No Variabel Deskripsi Hasil Deskripsi (%) 1. Periode pemandian sapi (hari) 2x sebelum diperah 100 2. Pembersihan ambing sebelum diperah Tanpa dilap dilap 14.28 85.72 3. Teat dipping setelah pemerahan Ya Tidak 57.14 42.86 4. Tekhnik pemerahan Strip hand 28.57 5. Penggunaan pelicin pada saat memerah Whole hand Ya Tidak 71.43 100 0 Seluruh responden (100%) memandikan sapinya dua kali sehari sebelum diperah. Kebiasaan memandikan sapi dua kali sehari akan merangsang produksi susu. Sapi yang dimandikan dua kali sehari akan menghasilkan susu lebih banyak dari yang dimandikan satu kali atau yang tidak dimandikan sama sekali (Sudarwanto 1999). Sebanyak 85.72% peternak membersihkan ambing dengan cara dilap sebelum diperah dan 14.28% tanpa dilap. Sapi sebelum dan setelah

20 diperah putingnya dibersihkan akan berpengaruh terhadap kejadian mastitis subklinis dibandingkan dengan yang tidak dibersihkan. Bakteri ditularkan ke dalam puting yang sehat melalui tangan pemerah, mesin, lap, lantai kandang, baju pemerah, kulit dan rambut sapi, ember dan sebagainya (Sutarti et al. 2003). Ambing dapat dibersihkan menggunakan larutan NaClO dengan konsentrasi 1.5-2 ppm dan pada konsentrasi ini susu tidak terkontaminsasi bau dari larutan. Tindakan pembersihan dapat dilakukan dengan cara teat dipping setelah pemerahan. Sudarwanto (1988), yang diacu dalam Sudarwanto (1999) menjelaskan bahwa penggunaan desinfektan melalui pencelupan puting setelah pemerahan memiliki tingkat efektivitas tinggi untuk menekan jumlah bakteri dalam susu. Membersihkan ambing sebelum pemerahan, pemeriksaan pancaran sekresi pertama, membersihkan puting sebelum pemerahan dan melakukan terapi kering kandang merupakan usaha dalam mengendalikan mastitis subklinis selain dengan melakukan teat dipping (Sudarwanto 1999). Seluruh responden memerah dengan tangan, sebanyak 71.43% peternak menggunakan metode whole hand dan 28.57% peternak menggunakan metode strip hand. Teknik pemerahan whole hand dapat menghasilkan susu lebih banyak, mengurangi pencemaran mikroorganisme, dan mengurangi perlukaan puting. Perlukaan puting merupakan predisposisi terjadinya mastitis (Sudarwanto 1998). Seluruh responden (100%) menggunakan bahan pelicin (vaseline) pada saat memerah. Penggunaan vaselin sebagai alat pelicin dan digunakan secara bersama-sama untuk semua sapi pada peternakan merupakan faktor predisposisi munculnya mastitis subklinis. Hidayat et al. (2002), yang diacu dalam Akilah (2008) menjelaskan selama pemerahan jangan menggunakan vaselin karena vaselin akan menutupi permukaan puting, bila terus menerus menggunakan pelicin (vaselin), penularan penyakit sulit dihindari.

21 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pengujian mastitis subklinis menggunakan uji mastitis IPB-1 diperoleh 76 (37.07%) sampel memberikan reaksi negatif (-) dan 129 (62.93%) sampel memberikan reaksi positif (+) mastitis subklinis. Pengujian mastitis subklinis menggunakan metode Breed diperoleh 62 (30.24%) sampel negatif (-) dan 143 (69.76%) sampel positif (+) mastitis subklinis. Uji mastitis IPB-1 memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu sebesar 85.31% dan 88.71% sebagai uji cepat untuk mendiagnosa mastitis subklinis lebih dini. Hasil uji Kappa menunjukkan nilai 0.696, yang artinya uji mastitis IPB-1 dan jumlah sel somatis menggunakan metode Breed (golden standart) memiliki kesesuaian yang baik diantara kedua uji tersebut. Berdasarkan hasil kuisioner, kejadian mastitis subklinis pada peternakan sapi perah di KUNAK dapat disebabkan karena kondisi sanitasi kandang dan tata laksana pemerahan yang dijalankan oleh peternak masih kurang baik. Saran Nilai uji sensitivitas dan spesifisitas uji mastitis IPB-1 dapat ditingkatkan bila jumlah sampel yang diuji lebih banyak dan pengujian susu dilakukan langsung di kandang. Kejadian mastitis subklinis pada peternak yang berada di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor dapat diturunkan apabila peternak menjalankan program pengendalian mastitis subklinis dengan baik.

22 DAFTAR PUSTAKA Akilah F. 2008. Evaluasi teknis pemeliharaan peternakan sapi perah rakyat di Cilumber KPSBU Lembang Kabupaten Bandung [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. SNI 3141.1:2011 tentang Susu Segar. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI 01.2782.1998/Rev.1992 tentang Penghitungan Jumlah Sel Somatis. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Damron WS. 2003. Introduction Animal Science Global, Biological, Social, and Industry Perspective. Ed ke-2. New Jersey: Pearson edu. DeLaval. 2011. The mammary gland. [Terhubung berkala]. http://www.delavalus.com/dairy_knowledge/efficientmilking/the_mammary_gland.html. [22 September 2011]. Diggins RV, Bundy CE. 1961. Dairy Production. Ed ke-2. USA : Prentice-Hall. Ensminger ME. 1991. Animal Science. Illinois: Interstate. Foley CR, Bath LD, Dickinson NF, Tucker AH. 1972. Dairy Cattle: Principles, Practices, Problems, Profits. Philadelphia: Lea & Febiger. Goldstein G. 2011. Corelation methods. Di dalam: Thomas JC, Hersen M, editor. Understanding Research in Clinical and Counseling Phsycology. Ed ke-2. New York: Taylor & Francis. [IDF] International Dairy Federation. 1999. Suggested interpretation of mastitis terminology. Bull Int Dairy Fed 33: 3-26. Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H, Soejoedono RR. 2009. Pengaruh mastitis terhadap kualitas susu. Di dalam: Pisestyani H, editor. Higiene Pangan. FKH IPB. Bogor: Kesmavet FKH IPB. Mulyani A, Las I. 2008. Potensi sumber daya lahan dan optimalisasi pengembangan komoditas penghasil bioenergi di Indonesia. J Litbang Per 27 (1). 31-41. Schmidt GH, Van Vleck LD, Hutjens MF. 1988. Principles of Dairy Science. Ed ke-2. New Jersey: Prentice Hall.

23 Schalm OW, Carroll EJ, Jain NC. 1971. Bovine Mastitis. Philadelphia: Lea & Febiger. Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr. Sudarwanto M. 1982. Penggunaan metode Aulendorfer Mastitis Probe (AMP) untuk mendiagnosa mastitis subklinik. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Balai Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian; Bogor, 7-9 Desember 1982. Bogor: Puslitbang Peternakan, Balitbang Pertanian, Dep. Pertanian. Sudarwanto M, Sanjaya AW, Soejoedono R, Siregar EA, Rumawas I, Yuwono BS. 1984. Gambaran kasus mastitis di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi berdasarkan perhitungan jumlah sel radang dengan menggunakan metode Breed. Pertemuan Ilmiah Kongress PDHI IX; Bandung. Bandung: Kongress PDHI IX. Sudarwanto M. 1993. Pengembangan metode dan Pereaksi untuk deteksi mastitis subklinik. Disampaikan dalam: Seminar Hasil Penelitian Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor; Bogor, 11 Desember 1993. Bogor: IPB-PAU. Sudarwanto M. 1998. Pereaksi IPB-1 sebagai Pereaksi alternatif untuk mendeteksi mastitis subklinis. Med Vet 5 (1): 1-5. Sudarwanto M. 1999. Usaha peningkatan produksi susu melalui program pengendalian mastitis subklinis. Di dalam: Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner; Bogor, 22 Mei 1999. Bogor: FKH IPB. Sudarwanto M, Sudarnika E. 2008a. Hubungan antara ph susu dengan jumlah sel somatik sebagai parameter mastitis subklnik. Med Pet : 107-113. Sudarwanto M, Sudarnika E. 2008b. Nilai diagnostik tes IPB mastitis dibandingkan dengan jumlah sel somatik dalam susu. Prosiding Konferensi Ilmiah Veteriner Nasional; Bogor, 19-22 Agu 2008. Bogor: KIVNAS. hlm 363-365. Sudarwanto M. 2009. Pemeriksaan mastitis subklinis. Di dalam: Lukman DW, Purnawarman T, editor. Penuntun Praktikum Higiene Pangan Asal Hewan. Bogor: Kesmavet FKH IPB. Sugandi D, Hermawan, Supratman H. 2005. Perbaikan mutu pakan untuk peningkatan kualitas dan kuantitas susu sapi perah. Di dalam: Mathius IW, Bahri S, Tarmudji, Prasetyo LH, Triwulanningsih E, Tiesnamurti B, Sendow I, Suhartono, editor. Prosiding Seminar Nasional Teknologi

24 Peternakan dan Veteriner; Bogor, 12-13 Sep 2005. Bogor: Puslitbang Peternakan Deptan. hlm 333-347. Sukada IM. 1996. Kejadian mastitis subklinik oleh Streptococcus agalactiae di daerah Semplak Bogor dan pengaruhnya terhadap kualitas susu [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sutarti E, Budiharta S, Sumiarta B. 2003. Prevalensi dan faktor-faktor penyebab mastitis pada sapi perah rakyat di Kabupaten Semarang Propinsi Jawa Tengah. J Sain Vet 21 : 43-49. Taylor ER, Field GT. 2004. Scientific Farm Animal Production an Introduction to Animal Science. Ed ke-8. USA: Person Prentice Hall. Tyler DH, Ensminger ME. 1993. Dairy Cattle Science. Ed ke-4. New Pearson Prentice Hall. Jersey:

LAMPIRAN 25

26 Lampiran 1 Hasil Pengujian sampel susu menggunakan metode Breed dan uji mastitis IPB-1 No Kuartir IPB-1 Breed (jumlah sel somatis/ml) 1 Kanan depan 1+ 400 000 2 kanan belakang - 440 000 3 kiri belakang 3+ 1 160 000 4 kiri depan 3+ 4 000 000 5 Kanan depan 3+ 4 760 000 6 kanan belakang 3+ 1 280 000 7 kiri belakang 3+ 1 080 000 8 kiri depan 3+ 2 200 000 9 Kanan depan 3+ 1 360 000 10 kanan belakang 3+ 1 480 000 11 kiri belakang 3+ 1 960 000 12 kiri depan 3+ 2 040 000 13 Kanan depan - 120 000 14 kanan belakang - 360 000 15 kiri belakang - 40 000 16 Kanan depan 2+ 1200 000 17 kanan belakang 1+ 640 000 18 kiri belakang 2+ 1 200 000 19 kiri depan 3+ 2 000 000 20 Kanan depan - 293 333 21 kanan belakang - 333 333 22 kiri belakang - 200 000 23 kiri depan - 120 000 24 Kanan depan 3+ 34 400 000 25 kanan belakang 1+ 720 000 26 kiri belakang 3+ 4 560 000 27 kiri depan - 640 000 28 Kanan depan 3+ 4 200 000 29 kanan belakang 2+ 1 880 000 30 kiri belakang 2+ 800 000 31 kiri depan 3+ 5 200 000 32 kanan belakang 2+ 1 320 000 33 kiri belakang 2+ 1 146 666 34 kiri depan 3+ 8 800 000

27 35 Kanan depan - 120 000 36 kanan belakang - 40 000 37 kiri belakang - 40 000 38 kiri depan - 240 000 39 Kanan depan 2+ 1 640 000 40 kanan belakang 1+ 1 600 000 41 kiri belakang 3+ 8 640 000 42 kiri depan 3+ 9 760 000 43 Kanan depan 2+ 4 520 000 44 kanan belakang 1+ 1 640 000 45 kiri belakang 2+ 1 800 000 46 kiri depan 1+ 2 640 000 47 Kanan depan 1+ 2 040 000 48 kanan belakang 1+ 840 000 49 kiri depan 1+ 4 120 000 50 Kanan depan - 220 000 51 kanan belakang 1+ 340 000 52 kiri belakang 1+ 360 000 53 kiri depan 1+ 340 000 54 Kanan depan 2+ 3 600 000 55 kanan belakang 2+ 2 300 000 56 kiri belakang 1+ 580 000 57 kiri depan 2+ 2 700 000 58 Kanan depan 1+ 840 000 59 kanan belakang 1+ 1 400 000 60 kiri belakang - 160 000 61 kiri depan - 160 000 62 Kanan depan 1+ 1 640 000 63 kanan belakang 1+ 920 000 64 kiri belakang - 440 000 65 Kiri depan 1+ 440 000 66 Kanan Depan 1+ 920 000 67 kanan belakang 1+ 760 000 68 kiri belakang 1+ 1 480 000 69 kiri depan 1+ 520 000 70 Kanan depan 1+ 600 000 71 kanan belakang 1+ 600 000 72 kiri belakang - 160 000 73 kiri depan - 440 000 74 Kanan depan - 200 000 75 kanan belakang - 120 000