PETA LOKASI LAPANGAN MATINDOK-SULAWESI TENGAH LAMPIRAN A

dokumen-dokumen yang mirip
SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh)

BAB 4 ANALISIS. Gambar 4.1 Indikator Layar ROV (Sumber: Rozi, Fakhrul )

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang

BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KETELITIAN PETA DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

Jurnal Geodesi Undip Oktober2013

SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

RINGKASAN SKEMA SERTIFIKASI SUB BIDANG HIDROGRAFI

Pembuatan Alur Pelayaran dalam Rencana Pelabuhan Marina Pantai Boom, Banyuwangi

BAB II PEMUTAKHIRAN PETA LAUT

BAB 3 PENGAMBILAN DATA DAN PENGOLAHAN DATA SURVEI HIDROGRAFI UNTUK PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERTAHANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Survei hidrografi menggunakan singlebeam echosounder

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

LAMPIRAN A - Prosedur Patch Test

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANALISA PETA LINGKUNGAN PANTAI INDONESIA (LPI) DITINJAU DARI ASPEK KARTOGRAFIS BERDASARKAN PADA SNI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB 3 VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN

Jurnal Geodesi Undip Januari2014

STUDI KASUS: SITE BAWEAN AREA, JAWA TIMUR

PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI DAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN DALAM USAHA TRANSPORTASI HASIL PERTAMBANGAN BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

Simulasi pemodelan arus pasang surut di kolam Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta menggunakan perangkat lunak SMS 8.1 (Surface-water Modeling System 8.

BAB III KOREKSI PASUT UNTUK MENUJU SURVEI BATIMETRIK REAL TIME

BAB III PROSES PEMUTAKHIRAN PETA LAUT SECARA PERIODIK

BAB 6 PENUTUP. BAB VI PenUTUP

TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI

Pengujian Ketelitian Hasil Pengamatan Pasang Surut dengan Sensor Ultrasonik (Studi Kasus: Desa Ujung Alang, Kampung Laut, Cilacap)

PENGARUH SOUND VELOCITY TERHADAP PENGUKURAN KEDALAMAN MENGGUNAKAN MULTIBEAMECHOSOUNDER DI PERAIRAN SURABAYA

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Simulasi Pemodelan Arus Pasang Surut di Luar Kolam Pelabuhan Tanjung Priok Menggunakan Perangkat Lunak SMS 8.1

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I. I.1

PENENTUAN CHART DATUM PADA SUNGAI YANG DIPENGARUHI PASANG SURUT

Prosiding PIT VII ISOI 2010 ISBN : Halaman POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN PANTAI PEJEM PULAU BANGKA BATHYMETRY MAPPING IN THE COASTAL WATERS PEJEM OF BANGKA ISLAND

Perbandingan Akurasi Prediksi Pasang Surut Antara Metode Admiralty dan Metode Least Square

STUDI KELAYAKAN RENCANA LOKASI PELETAKAN JACK-UP DRILLING RIG MENGGUNAKAN HASIL PENCITRAAN SIDE SCAN SONAR

ANALISA PENENTUAN POSISI HORISONTAL DI LAUT DENGAN MAPSOUNDER DAN AQUAMAP

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

Oleh : Ida Ayu Rachmayanti, Yuwono, Danar Guruh. Program Studi Teknik Geomatika ITS Sukolilo, Surabaya

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian.

BAB III PENGAMBILAN DAN PENGOLAHAN DATA

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA

BAB III PROSES GENERALISASI GARIS PANTAI DALAM PETA KEWENANGAN DAERAH DI WILAYAH LAUT MENGGUNAKAN ALGORITMA DOUGLAS-PEUCKER

PERANAN SURVEI HIDROGRAFI UNTUK PERENCANAAN LOKASI PEMBANGUNAN PELABUHAN

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Pemasangan Pipa Bawah Laut Pre-Lay Survey

BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI

IDA AYU RACHMAYANTI T.GEOMATIKA FTSP-ITS 2009

ASPEK-ASPEK GEODETIK DALAM HUKUM LAUT

BAB III PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN SURVEI

Gambar 3.1. Rencana jalur survei tahap I [Tim Navigasi Survei LKI, 2009]

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI APLIKASI MULTIBEAM ECHOSOUNDER DAN SIDE SCAN SONAR UNTUK MENDETEKSI FREE SPAN PADA SALURAN PIPA BAWAH LAUT

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 2 TEORI DASAR. 2.1 Pekerjaan Survei Hidrografi

SURVEI HIDROGRAFI UNTUK KAJIAN ALKI DI PERAIRAN LAUT JAWA

BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Berdasarkan Identifikasi dan Kebutuhan Pengguna Informasi Pasut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

Bray, R.N. Dredging a Hand Book For Engineer. Edward Arnold Ltd. London

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II DASAR TEORI. Berikut beberapa pengertian dan hal-hal yang berkaitan dengan pasut laut [Djunarsjah, 2005]:

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Kegiatan Pemasangan Pipa Bawah Laut Secara Umum

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 1 ENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III PERANCANGAN PETA BATAS LAUT TERITORIAL INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA

ASPEK TEKNIS PEMBATASAN WILAYAH LAUT DALAM UNDANG UNDANG NO. 22 TAHUN 1999

BAB 2 DATA DAN METODA

BAB 4 ANALISIS. 4.1 Cara Kerja SonarPro untuk Pengolahan Data Side Scan Sonar

Jurnal Geodesi Undip April 2016

BAB 3 KALIBRASI DAN PENGOLAHAN DATA

ANALISA PETA LINGKUNGAN PANTAI INDONESIA (LPI) DITINJAU DARI ASPEK KARTOGRAFIS DAN KETENTUAN INTERNATIONAL HYDROGRAPHIC ORGANIZATION (IHO)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

P E N J E L A S A N A T A S PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN

BAB 2 TEORI DASAR Maksud dan tujuan pelaksanaan survei lokasi Maksud dan tujuan utama dari pelaksanaan survei lokasi bagi anjungan minyak lepas

Transkripsi:

DAFTAR PUSTAKA Adil, Irdam. (2007). Komunikasi Pribadi. Djunarsjah, E. (2001). Standar Survei (Baru) dalam Survei Hidrografi (SP-44 IHO tahun 1998). Forum Ilmiah Tahunan ISI. Surabaya. Djunarsjah, E. (2005). Kerangka Dasar Vertikal. Diktat Kuliah. Penerbit ITB. Bandung, Indonesia. Ikhsan, Yayan. (2006). Estimasi Ketelitian Titik Pangkal Untuk Keperluan Penetapan Batas Laut. Skripsi Sarjana. Departemen Teknik Geodesi. FTSL-ITB. Bandung Kearns, R and F. C. Boyd. (1963). The Effect of a Marine Seismic Exploration on Fish Population in British Columbia. Vancouver, Canada. KK Hidrografi. (2007). Pekerjaan Pengumpulan Data Hidrografi, Oseanografi, dan Geofisika Untuk Rencana Pemasangan Kabel Bawah Laut di Selat Sunda. Proposal Teknis. Program Studi Teknik Geodesi-ITB. Bandung LPPM-ITB. (2003). Site Surveys of Matindok Block Selat Peleng-Sulawesi Tengah. Final Report. ITB. Bandung. Poerbandono dan Djunarsjah, (2005). Survei Hidrografi. Refika Aditama. Bandung. Sanny, T.A.(2004). Panduan Kuliah Lapangan Geofisika Metode Seismik Refleksi. Departemen Teknik Geofisika. FIKTM-ITB. Bandung Sanny, T.A.(1998). Seismologi Refleksi. Departemen Teknik Geofisika. FIKTM- ITB. Bandung. www.gp.uwo.ca/es320/lecture7/sld007.html www.metaldec.nl/subbottom.html www.naturalgas.org

PETA LOKASI LAPANGAN MATINDOK-SULAWESI TENGAH LAMPIRAN A

STANDAR SURVEI (BARU) DALAM SURVEI HIDROGRAFI (SP 44 IHO EDISI KE-4 TAHUN 1998) LAMPIRAN B

STANDAR SURVEI (BARU) DALAM SURVEI HIDROGRAFI (SP 44 IHO Edisi ke-4 Tahun 1998) 1. Pendahuluan IHO (International Hydrographic Organization) merupakan organisasi Internasional yang bertanggung jawab di antaranya mengadopsi metode-metode dan prosedurprosedur dalam kaitannya dengan pengumpulan data hidrografi dan publikasi peta laut (nautical chart). Untuk keperluan tersebut secara terus-menerus standar-standar dan spesifikasi-spesifikasi baru dalam survei hidrografi terus diperbaharui dan para Negara anggota diharapkan dapat meratifikasinya melalui Kantor Hidrografi Nasional masing-masing. IHO Standards for Hydrographic Surveys yang dipublikasikan dalam bentuk Special Publication Number 44 (SP-44 IHO) Edisi ke- 4, merupakan bukti bahwa standar-standar baru terus dikembangkan. Edisi ke-4 ini menggantikan standar-standar survei hidrografi sebelumnya yang dipublikasikan berturut-turut tahun 1968 (Edisi ke-1), tahun 1982 (Edisi ke-2), dan tahun 1987 (Edisi ke-3). Standar survei hidrografi tersebut pada dasarnya merupakan pedoman bagi Negara anggota IHO dalam menyelenggarakan survei-survei hidrografi. 2. Isi dan Cakupan Standar Survei Hidrografi Baru (SP-44 IHO Edisi ke-4) Di samping perubahan drastis dalam hal standar ketelitian penentuan posisi (berbasis satelit) maupun cakupan area survei dasar laut 100 % (dengan echosounder multibeam), pemakaian SP-44 edisi terbaru ini juga harus disertai pemahaman tentang teori kesalahan, terutama pengertian tentang tingkat kepercayaan 95% yang berkaitan dengan ketelitian posisi dan kedalaman. Uraian secara lengkap tentang standar survei hidrografi (baru) akan diberikan di bawah ini. 2.1 Klasifikasi Survei Dalam SP-44 yang baru, klasifikasi survei hidrografi dibagi berdasarkan berbagai persyaratan ketelitian untuk daerah yang disurvei. Standar ketelitian untuk masingmasing orde survei mencerminkan kepentingan ini dan secara efektif menggantikan standar penentuan posisi dan kerapatan data berdasarkan skala yang digunakan pada B-1

standar survei hidrografi edisi sebelumnya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Klasifikasi Survei Orde Spesial 1 2 3 Contoh Pelabuhan, Pelabuhan, Daerah yang Daerah lepas Daerah tempat pelabuhan tidak tercakup pantai yang berlabuh, dan mendekati dalam Orde tidak tercakup terusan kritis terusan, jalur Spesial dan 1, dalam Orde dengan anjuran, dan atau daerah Spesial, 1, dan hambatan sarat daerah perairan dengan 2 kapal minimum dengan kedalaman kedalaman hingga 200 m hingga 100 m Survei hidrografi Orde Spesial mencakup daerah dengan karakteristik dasar laut yang berbahaya bagi keselamatan pelayaran, seperti bebatuan. Orde survei ini membutuhkan ketelitian yang lebih tinggi dibandingkan dengan standar ketelitian yang lama. Kantor atau Dinas Hidrografi Negara anggota IHO bertanggung jawab untuk menentukan daerah mana saja yang harus disurvei dengan orde ini, termasuk kualitas data hasil survei. Survei Orde 1 dimaksudkan untuk daerah pelabuhan, perairan pantai dan pedalaman, termasuk alur masuk pelabuhan dimana karakteristik dasar laut tidak begitu berbahaya (misalnya, pasir) dibandingkan dengan daerah survei Orde Spesial. Standar yang digunakan pada orde ini telah digunakan pada edisi-edisi SP-44 sebelumnya. Survei Orde 2 dapat dipakai untuk daerah dengan kedalaman kurang dari 200 meter yang tidak tercakup oleh kriteria Orde Spesial atau Orde 1. Sedangkan, spesifikasi untuk survei Orde 3 dapat dipakai untuk daerah dengan kedalaman lebih dari 200 meter. B-2

2.2 Standar Ketelitian Penentuan Posisi Pada SP-44 Edisi ke-3, disebutkan bahwa kedalaman yang ditentukan relatif terhadap titik kontrol, sedemikian rupa sehingga kemungkinan 95 % posisi kedalaman yang benar terletak dalam lingkaran dengan jari-jari 1,5 mm pada skala survei. Sebagai contoh, untuk skala survei 1 : 5.000, kedalaman terletak 0-7,5 meter terhadap posisi sebenarnya dengan tingkat kepercayaan 95 %. Dengan demikian, semua peralatan dan kemungkinan kesalahan yang berkaitan dengan penentuan posisi, serta kesalahan penggambaran titik-titik kedalaman (baik secara manual maupun dengan alat plotter), termasuk didalamnya. Dalam standar survei hidrografi yang baru (SP-44 Edisi ke-4), ditetapkan berbagai ketelitian posisi horisontal dengan tingkat kepercayaan yang sama yaitu 95 %, namun untuk empat macam orde survei. Salah satu konsep baru yang muncul adalah adanya standar ketelitian posisi yang bergantung pada faktor kedalaman (depthdependent) yang dikaitkan dengan ketidakpastian posisi kedalaman dari sistem sonar multibeam dengan bertambahnya kedalaman. Standar keteltian posisi secara lengkap, dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Standar Ketelitian Posisi Titik Kedalaman Orde Spesial 1 2 3 Ketelitian 2 m 5 m + 5 % 20 m + 5 % 150 m + 5 % Horisontal kedalaman kedalaman kedalaman Ketelitian relatif titik kontrol primer yang digunakan sebagai acuan untuk penentuan posisi titik kedalaman dalam standar survei hidrografi edisi baru adalah 1 : 100.000 (survei teristris). Jika penentuan posisi dilakukan dengan satelit (GPS atau GLONASS), maka kesalahan posisi titik kontrol yang dihasilkan tidak boleh melebihi 10 sentimeter dengan tingkat kepercayaan 95 %. Sedangkan untuk titik kontrol sekunder yang digunakan untuk penentuan posisi lokal (tidak boleh digunakan untuk memperbanyak titik kontrol) mempunyai ketelitian relatif 1 : B-3

10.000, jika penentuannya dilakukan secara teristris dan kesalahan posisi maksimal 50 cm, jika menggunakan teknik penentuan posisi dengan satelit. Posisi horisontal alat-alat bantu navigasi dan fitur-fitur lainnya yang penting dalam survei hidrografi dalam standar baru, ditentukan dengan standar ketelitian yang diperlihatkan pada Tabel 3. Tabel 3. Standar Ketelitian Posisi Alat Bantu Navigasi dan Fitur Penting Lainnya Survei Orde Spesial Survei Orde 1 Survei Orde 2 dan 3 Alat bantu navigasi tetap dan fitur penting bagi navigasi 2 m 2 m 5 m Garis pantai alami 10 m 20 m 20 m Posisi alat bantu navigasi apung 10 m 10 m 20 m Fitur Topografis 10 m 20 m 20 m 2.3 Standar Ketelitian Kedalaman Kesalahan total dalam pengukuran kedalaman, mengacu pada SP-44 Edisi ke-3, tidak boleh melebihi 0,3 meter untuk kedalaman kurang dari 30 meter atau 1 % dari kedalaman untuk kedalaman yang lebih dari 30 meter, dengan tingkat kepercayaan 90 %. Ini tidak termasuk kesalahan yang berkaitan dengan pengukuran pasut, penentuan datum kedalaman, dan transfer datum kedalaman dari lokasi pengamatan pasut (palem atau tide gauge). Kombinasi kesalahan-kesalahan yang berhubungan dengan pasut tidak boleh melebihi kesalahan yang diizinkan untuk pengukuran kedalaman. Sedangkan konsep atau hal baru yang dimasukkan dalam SP-44 Edisi ke-4 terdiri dari : B-4

(1) peningkatan tingkat kepercayaan dari 90 % menjadi 95 % agar dapat digunakan untuk pengukuran-pengukuran dalam survei yang lebih luas. (2) standar ketelitian kedalaman terbagi menjadi kesalahan yang bersifat tetap (fixed error) dan kesalahan yang bergantung pada kedalaman yang bervariasi untuk masing-masing orde survei. (3) kesalahan-kesalahan pengamatan pasut, penentuan datum, dan transfer datum kedalaman telah termasuk dalam penentuan ketelitian kedalaman secara keseluruhan. Realisasi dari ketiga hal di atas, maka dalam SP-44 Edisi ke-4, batas-batas kesalahan untuk ketelitian kedalaman dihitung menggunakan persamaan (1) sebagai berikut : σ = ± a + ( b x ) 2 2 d Dalam hal ini, nilai a dan b untuk masing-masing orde survei ditentukan berdasarkan Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Standar Ketelitian Kedalaman Orde Spesial 1 2 3 Ketelitian a = 0,25 m a = 0,5 m a = 1,0 m Sama dengan Kedalaman b = 0,0075 b = 0,013 b = 0,023 Orde 2 Nilai a menyatakan kesalahan kedalaman independen (jumlah kesalahan yang bersifat tetap), b merupakan faktor kesalahan kedalaman yang dependen, d adalah kedalaman, dan b x d adalah kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah semua kesalahan kedalaman yang dependen). 2.4 Standar Kerapatan Data dan Deteksi Fitur Bawah Laut Untuk mengantisipasi tuntutan akan kerapatan data yang dibutuhkan untuk penyelidikan bawah laut, terutama yang berpotensi membahayakan pelayaran, maka standar tentang hal ini disediakan pada standar survei hidrografi Edisi ke-4. Pada edisi sebelumnya, lebar lajur survei (berkaitan dengan daerah cakupan dasar laut) didasarkan pada skala survei, yaitu tidak boleh melebihi satu sentimeter pada skala B-5

survei dan interval titik kedalaman tidak boleh melebihi 4 hingga 6 sentimeter pada skala survei kecuali pada daerah yang relatif datar atau dasar laut yang beraturan. Pendekatan yang lebih ilmiah dilakukan oleh IHO sejalan dengan perkembangan kemampuan komputer pengolah data serta kemajuan teknologi side scan dan multibeam sonar yang telah dicapai. Realisasi dari konsep baru tersebut adalah dengan penentuan kedalaman dasar laut terbaik yang disebut model batimetrik (bathymetric model) dengan metode interpolasi kedalaman hasil pengukuran. Data survei yang dapat diterima atau ditolak, dinilai dengan membandingkan model kesalahan yang dihasilkan dengan nilai yang didasarkan pada persamaan (1) di atas untuk ketelitian kedalaman dengan nilai a dan b seperti yang terlihat pada Tabel 5. Jika melebihi standar yang diberikan, maka titik-titik kedalaman harus lebih dirapatkan. B-6

Tabel 5. Standar Kerapatan Data, Deteksi Fitur Bawah Laut, Lebar Lajur Maksimum, dan Ketelitian Model Batimetrik Orde Spesial 1 2 3 Cakupan Dasar Laut 100 % Wajib Diperlukan pada daerah Mungkin diperlukan Tidak digunakan tertentu pada daerah tertentu Kemampuan Deteksi Sistem Cubic features > 1 Cubic features > 2 m pada Sama dengan Orde 1 Tidak digunakan m kedalaman hingga 40 m ; 10 % dari kedalaman jika lebih dari 40 m Lebar Maksimum Lajur Tidak digunakan 3 x kedalaman rata-rata atau 3-4 x kedalaman 4 x kedalaman rata-rata 25 m rata-rata atau 200 m Ketelitian Model Tidak a = 1,0 m a = 2,0 m a = 5,0 m Batimetrik digunakan b = 0,026 b = 0,05 m b = 0,05 m (Tingkat Kepercayaan 95 %) Berkaitan dengan lebar lajur survei, pada edisi-edisi sebelumnya bergantung pada skala survei, sedangkan pada standar yang baru bergantung pada kedalaman rata-rata perairan (lihat Tabel 5). Pengecualian berlaku untuk Orde Spesial yang menggunakan cakupan dasar laut 100 %. Pembesaran lebar lajur survei dapat saja dilakukan, jika prosedur-prosedur yang ada telah dipenuhi sehingga menjamin B-7

deteksi bahaya secara baik. Sistem-sistem sonar yang digunakan untuk masingmasing orde survei harus berkemampuan dalam mendeteksi fitur bawah laut, sesuai dengan standar yang diberikan (lihat Tabel 5). 3. Beberapa Hal Lain dalam SP-44 Edisi ke-4 Dalam standar survei yang baru, persyaratan yang berkaitan dengan pengukuran tinggi (pengamatan) pasut juga telah ditetapkan. Kesalahan pengukuran total tidak boleh melebihi +/- 5 sentimeter pada tingkat kepercayaan 95 % untuk Orde Spesial dan +/- 10 sentimeter untuk orde survei lainnya. Kesalahan pengukuran tinggi pasut ini ditambah dengan kesalahan yang terjadi pada proses penentuan datum kedalaman dan proses transfer datum dari stasiun pengamatan pasut ke daerah survei, harus dikombinasikan dengan kesalahan pengukuran kedalaman untuk penentuan ketelitian titik-titik kedalaman. Beberapa pengukuran lainnya, seperti pengambilan sampel bawah laut dan pengamatan arus laut juga masih dicantumkan dalam SP-44 Edisi ke-4. Pengambilan sampel bawah laut dimaksudkan untuk menentukan kondisi dasar laut (dapat juga disimpulkan dari berbagai sensor, seperti echosounder, side scan sonar, atau subbottom profiler). Kondisi dasar laut ini diperlukan antara lain untuk penentuan lokasi penjangkaran kapal. Pada kondisi normal, pengambilan sampel tidak diperlukan pada daerah dengan kedalaman lebih dari 200 meter. Jarak antar sampel umumnya 10 kali dari lebar jalur survei yang terpilih. Untuk penentuan daerah lokasi penjangkaran, jarak antar sampel dapat semakin dirapatkan. Sedangkan pengamatan arus laut biasanya dilakukan pada daerah sekitar pelabuhan dan terusan, terutama jika kecepatan arus melebihi 0,5 knot. Secara umum, pengamatan arus sebaiknya dilakukan sepanjang mereka dapat membawa pengaruh terhadap navigasi permukaan. Lamanya pengamatan tidak kurang dari 15 hari (dapat mencapai 29 hari), dengan interval minimal satu jam. Agar dapat dilakukan pengkajian secara komprehensif terhadap kualitas data survei, maka diperlukan dokumen untuk memfasilitasi penggunaan data tersebut untuk berbagai keperluan pengguna. Semua informasi yang berkaitan dengan kualitas data (metadata) hendaknya tidak hanya berkaitan dengan kapal survei, daerah, tanggal B-8

dan peralatan yang digunakan, tetapi juga tentang prosedur-prosedur kalibrasi, penentuan kecepatan gelombang akustik, dan metode-metode reduksi pasut. Estimasi tentang ketelitian data dan yang berkaitan dengan tingkat kepercayaan sebaiknya juga dimasukkan. B-9

Luwuk Manado Gorontalo Palu Luwuk Survey area S U L A W E S I Rangkong-A SULAWESI Rangkong-C Rangkong-B Makasar Kendari Tangkiang Kintom S E L A T P E L E N G S. Batui Alap-alap-A Maleo Besar-A Cucak Rawa-A P. PELENG Poksay-A Belibis-A P. Makailu S. Senorong Anis Merah-A Maleo-A A-1

A-12