PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA DEWASA AWAL DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN DI KOTA BANDA ACEH Nadhira Miranda*, Zaujatul Amna Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Nadhiramiranda94@gmail.com* ABSTRAK Dewasa awal ialah individu yang berada pada rentang usia 20-40 tahun, dimana salah satu tugas perkembangannya ialah menjalin komitmen pribadi dengan lawan jenis, salah satunya ialah melalui pernikahan. Pernikahan adalah sebuah komitmen legal dengan ikatan emosional antara dua orang untuk saling berbagi baik keintiman fisik maupun emosional, tanggung jawab, dan juga sumber pendapatan. Pernikahan menjadi salah satu faktor penting dalam pencapaian subjective well-being pada diri individu. Subjective well-being merupakan suatu kondisi yang mengacu pada evaluasi individu terhadap hidupnya, yang dilakukan secara kognitif dan afektif, dimana individu yang menikah cenderung memiliki subjective well-being yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang belum menikah. Meskipun demikian, bagi sebagian individu dewasa awal memilih untuk melakukan penundaan terhadap pernikahannya, beberapa faktor yang dapat memengaruhinya diantaranya adanya tuntutan pekerjaan dan pendidikan. Tujuan penelitian ialah untuk mengetahui perbedaan subjective well-being pada dewasa awal ditinjau dari status pernikahan di kota Banda Aceh. Sebanyak 352 dewasa awal dengan rentang usia 20-40 tahun (176 menikah dan 176 belum menikah) dijadikan sebagai sampel penelitian yang dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dengan menggunakan satisfaction with life scale (SWLS) dan scale of positive and negative experience (SPANE). Analisis data dengan menggunakan Independent sample T-Test, yang menunjukkan nilai signifikansi (p) = 0,000 (p<0,005), artinya bahwa terdapat perbedaan subjective well-being pada individu yang menikah dan belum menikah, dimana individu menikah memiliki subjective well-being yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang belum menikah. Kata kunci : Subjective Well-Being, Dewasa Awal, Menikah dan Belum Menikah. 34
DIFFERENCES OF SUBJECTIVE WELL-BEING IN EARLY ADULTHOOD IN TERM MARRIAGE STATUS IN BANDA ACEH ABSTRACT Early adulthood are individuals between age range of 20 to 40. In early adulthood, people build personal commitment with the opposite sex through marriage. Marriage is a legal commitment with emotional bond between two individuals to share physical and emotional intimacy, responsibilities, and also included incomes. Marriage is one of the important factor to achieve a high subjective wellbeing. Subjective well-being is a concept that described about how and why people evaluate their lives in positive ways, including both cognitive judgments and affective reactions.married individuals tend to have higher subjective wellbeing than those who are not married. However, some early adults choose to postpone their marriage due to some considerations, such as demands of work or pursuit of higher education. This study investigated the differences of subjective well-being in early adulthood in regards to marriage status in Banda Aceh. The participants were 352 early adulthood (176 married & 176 unmarried) with aged 20-40 years, were selected using purposive sampling technique. Data was collected using the satisfaction with life scale (SWLS) and the scale of positive and negative experience (SPANE). Data analysis using Independent sample T-Test, the result showed that value of significancy (p) = 0,000 (p<0,005), which means there was a differences of subjective well-being between individuals who are married and unmarried. Based on the result of this study, married individuals has higher subjective well-being than who are unmarried. Keywords : Subjective well-being, Early Adults, Married and Unmarried PENDAHULUAN 35
36 Original Article Individu dewasa awal berada pada rentang usia 20-40 tahun (Papalia, Old, & Feldman, 2009). Pada masa dewasa awal, tugas perkembangan dipusatkan pada harapan-harapan masyarakat, diantaranya mendapatkan pekerjaan dan menikah (Hurlock, 1993). Lebih lanjut, Erikson (dalam Papalia et al., 2009) menambahkan bahwa salah satu tugas perkembangan terutama yang berkaitan dengan tugas psikososial pada masa dewasa awal ialah berada pada tahap intimacy versus isolation, artinya bahwa tugas utama individu pada rentang usia tersebut adalah menjalin komitmen pribadi dengan orang lain. Rini (2009) menambahkan bahwa salah satu bentuk komitmen yang diharapkan pada masa dewasa awal adalah pernikahan. Di Indonesia, batas usia yang diizinkan dalam suatu perkawinan menurut UU RI Nomor 1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1) yaitu, minimal 16 tahun untuk wanita dan minimal 19 tahun untuk pria (UU No.1 Tahun 1974-tentang perkawinan). Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 2016) menambahkan bahwa usia ideal untuk pernikahan ialah 21 tahun untuk wanita dan 25 tahun untuk pria. Akan tetapi, beberapa waktu terakhir terjadi perbedaan usia pernikahan, hal dapat dilihat dari hasil badan pusat statistik (BPS) berikut: Tabel 1.1 Data persentase jumlah pernikahan berdasarkan usia dan jenis kelamin di Indonesia Jenis Kelamin Usia (Tahun) 2010 (%) 2011 (%) 2012 (%) 2013 (%) Laki-Laki 16-24 40.10 45.63 45.70 42.96 25-44 94.68 95.48 95.37 95.00 Perempuan 16-24 3.42 4.77 6.47 5.61 25-44 23.03 26.08 28.19 26.73 (Sumber : BPS, 2016) Tabel di atas menunjukkan bahwa terjadinya perbedaan usia pernikahan pada dewasa awal di Indonesia jika ditinjau dari usia yang ditentukan oleh UU Perkawinan tahun 1974. Dimana, jumlah laki-laki dan perempuan yang menikah pada usia 25-44 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah laki-laki dan perempuan yang menikah pada usia 16-24 tahun. Beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya perbedaan usia pernikahan tersebut ialah adanya rasa ingin menikmati kebebasan pada individu karena dapat meluangkan waktu dan energi untuk pekerjaan (Hurlock dalam Noviana, 2010). Selain itu, individu dewasa awal yang memilih untuk menunda pernikahan beranggapan bahwa pernikahan menjadi penghambat, khususnya bagi individu yang ingin fokus terhadap pekerjaannya (Noviana, 2010). Meskipun demikian, pernikahan memegang peran penting dalam kesejahteraan diri individu, hal ini sesuai dengan pernyataan Diener (1984) yang menegaskan bahwa pernikahan merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi kesejahteraan diri individu (subjective well-being). Subjective well-being merupakan kondisi yang mengacu pada evaluasi individu terhadap hidupnya, yang dilakukan secara kognitif dan afektif. Bentuk evaluasi kognitif dari individu adalah kepuasan menyeluruh terhadap kehidupannya, sedangkan evaluasi afektif terlihat dengan lebih seringnya
37 Original Article dirasakan afek positif seperti kesenangan dan kebahagiaan dan lebih sedikit mengalami afek negatif seperti kesedihan dan kemarahan (Diener, 1984). Lebih lanjut, Eddington dan Shuman (2005) menjelaskan bahwa individu yang memiliki subjective well-being yang tinggi ialah individu yang puas terhadap kondisi hidupnya dan memiliki pengalaman positif seperti merasa tenang, kegembiraan, kepuasan, kebanggaan, kasih sayang, dan kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan afek negatif seperti khawatir, marah, stres, depresi, dan iri hati. Beberapa hasil penelitian terdahulu memaparkan bahwa pernikahan merupakan salah satu hal yang berperan penting dalam meningkatkan kepuasan hidup seseorang, dimana individu yang menikah memiliki dukungan sosial, moral serta finansial yang dapat membantu individu dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Selain itu, individu yang menikah juga memiliki integrasi sosial berupa penerimaan lingkungan sosial yang lebih tinggi daripada individu yang belum menikah sehingga hal tersebut memengaruhi subjective well-beingnya (Diener, Gohm, Suh, dan Oishi (2000); Amanto dan Dush (2005)). Akan tetapi, Diener et al. (2000) menjelaskan bahwa tingkat subjective well-being pada individu yang menikah juga dapat dikatakan rendah apabila individu tersebut tidak memiliki hubungan yang romantis, tidak memiliki hubungan sosial yang baik dengan keluarga, teman, serta ditinjau dari jumlah teman yang dimiliki, frekuensi bertemu, dan menjadi bagian dari kelompok. Individu yang tidak memiliki hubungan pernikahan yang baik, cenderung menunjukkan afek negatif seperti merasa sedih, marah, kesal, dan kecewa. Penelitian lainnya menjelaskan bahwa individu dewasa awal yang belum menikah juga dapat memiliki subjective well-being yang rendah, hal tersebut dikarenakan adanya tuntutan dari orangtua kepada individu yang telah memasuki usia dewasa awal untuk segera menikah guna menghindari stigma negatif dan persepsi negatif dari lingkungan (Noviana, 2010). Meskipun demikian, optimisnya individu yang belum menikah dalam menjalani hidup dan mengevaluasi setiap permasalahan secara positif secara tidak langsung dapat meningkatkan subjective well-being individu (Eddington & Shuman, 2005). Berdasarkan tinjauan di atas, maka peneliti tertarik untuk melihat apakah ada perbedaan subjective well-being pada dewasa awal ditinjau dari status pernikahan di kota Banda Aceh. TINJAUAN TEORI Subjective Well-Being Subjective well-being merupakan kondisi yang mengacu pada evaluasi individu terhadap hidupnya, yang dilakukan secara kognitif dan afektif. Bentuk evaluasi kognitif dari individu adalah kepuasan menyeluruh terhadap kehidupannya, sedangkan evaluasi afektif terlihat dengan lebih seringnya dirasakan afek positif seperti kesenangan dan kebahagiaan dan lebih sedikit mengalami afek negatif seperti kesedihan dan kemarahan (Diener, 1984). Lebih lanjut, Diener (1984) menjelaskan bahwa subjective well-being memiliki dua dimensi antara lain; dimensi afektif dan kognitif (kepuasan hidup). Perbedaan Subjective Well-Being pada Dewasa Awal Ditinjau dari Status Pernikahan
Diener et al. (2000); Amanto dan Dush (2005) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang dapat memengaruhi subjective well-being individu ialah pernikahan. Individu yang menikah cenderung hidup lebih lama dan memiliki kesehatan yang lebih baik dibandingkan dengan individu yang belum menikah (Golman dalam Doblhammer et al., 2009). Senada dengan hal di atas, Eddington dan Shuman (2005) juga menjelaskan bahwa individu yang menikah memiliki subjective well-being yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang belum menikah. Hal ini dikarenakan individu yang menikah memiliki dukungan sosial dan dukungan ekonomi yang lebih tinggi (Coombs; Gove, Style, & Hughes; Kessler & Essex, dalam Eddington & Shuman, 2005). Akan tetapi, Diener, (1984); Lucas (dalam Diener & Ryan, 2008) menjelaskan bahwa subjective wellbeing individu yang menikah akan menurun ketika individu tersebut mengalami perceraian, tidak memiliki dukungan sosial yang baik dan tidak memiliki penghasilan yang baik. Sejalan dengan pernyataan di atas, individu yang belum menikah juga dapat memiliki subjective well-being yang tinggi jika individu tersebut memiliki dukungan sosial yang baik, optimis dalam menjalani hidup serta memiliki pendidikan dan penghasilan yang baik (Diener, 1984; Eddington &Shuman, 2005; Dewi, 2013). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian komparatif. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh dewasa awal baik lakilaki maupun perempuan berada pada rentang usia 20-40 tahun sebanyak 124.233 jiwa. Teknik pengambilan sampel yaitu teknik nonprobability sampling, dengan teknik purposive sampling. Teknik ini memilih sampel berdasarkan pertimbanganpertimbangan tertentu yang mengacu pada kriteria sampel penelitian (Idrus, 2009). Adapun kriteria sampel penelitian adalah; a) pria dan wanita dewasa awal, b) berusia 20-40 tahun, c) sudah menikah dan belum menikah, d) berdomisili di Banda Aceh, e) bersedia menjadi partisipan penelitian. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut di atas, maka sampel penelitian berjumlah 352 sampel yang terdiri dari 176 sampel dengan status menikah dan 176 sampel dengan status belum menikah. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah skala psikologi, yaitu Satisfaction with Life Scale (SWLS) yang mengukur aspek kognitif (kepuasan hidup) terdiri dari 5 aitem dengan 7 pilihan jawaban dan Scale of Positive and Negative Experience (SPANE) untuk mengukur aspek afektif (afek positif dan afek negatif) terdiri dari 12 aitem pernyataan dengan 5 pilihan jawaban (Diener, 2006; Diener et al., 2009). Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis yaitu teknik analisis independent sampel t-test dengan menggunakan program SPSS Versi 20.0 for Windows. Hasil uji hipotesis ini dapat dilihat pada nilai signifikansi p<0,05 maka hipotesisnya diterima, dan sebaliknya p>0,05 maka hipotesisnya ditolak. HASIL PENELITIAN 38
1. Deskripsi data subjective well-being Deskripsi data hasil penelitian adalah sebagai berikut: Tabel 4.3 Deskripsi Data Satisfaction With Life Scale (SWLS) Kategori Data Hipotetik Data Empirik Xmax Xmin Mean SD Xmax Xmin Mean SD Menikah 35 5 20 6 51 13 36,59 8,092 Belum 35 5 20 6 56-2 30,56 8,767 menikah Total 35 5 20 6 56-2 33,13 8,807 Tabel 4.4 Deskripsi Data Scale of Positive and Negative Experience (SPANE) Kategori Data Hipotetik Data Empirik Xmax Xmin Mean SD Xmax Xmin Mean SD Menikah 60 12 36 8 51 13 36,59 8,092 Belum 60 12 36 8 56-2 30,56 8,767 menikah Total 60 12 36 8 56-2 33,13 8,807 Keterangan Rumus Skor Hipotetik : a. Skor minimal (min) adalah hasil perkalian jumlah butir skala dengan nilai terendah dari pembobotan pilihan jawaban. b. Skor maksimal (max) adalah hasil perkalian jumlah butir skala dengan nilai tertinggi dari pembobotan pilihan jawaban c. Mean hipotetik (µ) dengan rumus µ = (skor max + skor min)/2. d. Standar deviasi (σ) hipotetik adalah : σ = (skor max skor min)/6. Berdasarkan deskripsi data hasil penelitian tersebut, maka dapat dijadikan batasan dalam pengkategorian subjective well-being pada sampel penelitian yang terdiri dari dua kategori yaitu rendah dan tinggi, sebagai berikut: = skor maksimal skor minimal Jumlah kategori = [59- (-19)]/ 2= 78/ 2 = 39 Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka diperoleh kategorisasi skala subjective wellbeing yang dapat dilihat pada tabel 4.7 di bawah ini: 39
Tabel 4.7 Kategorisasi Subjective Well-Being Skor Kategori Jumlah Subjek Persentase (%) Menikah Belum Menikah Menikah Belum Menikah 20 X -19 Rendah 9 20 5,1 11,4 59 X 20 Tinggi 167 156 94,9 88,6 Berdasarkan tabel di atas dapat dideskripsikan bahwa subjek penelitian yang termasuk dalam kategori subjective well-being tinggi berjumlah 323 individu (167 menikah dan 156 belum menikah) dan yang termasuk dalam kategori subjective well-being rendah sebanyak 29 individu (9 menikah dan 20 belum menikah). Hasil Uji Hipotesis Hasil uji normalitas dalam penelitian ini menunjukkan nilai signifikansi (p) = 0,177 (p>0,05), hal ini dapat diartikan bahwa data penelitian ini memiliki sebaran data yang normal atau berdistribusi normal dan signifikan. Selanjutnya, uji homogenitas menunjukkan nilai signifikansi (p) = 0,996 (p>0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa data penelitian ini mempunyai varian yang sama atau dengan kata lain varian datanya bersifat homogen. Hasil uji asumsi menunjukkan data berdistribusi normal dan homogen, maka hasil perhitungan analisis menunjukkan bahwa nilai signifikansi (p) = 0,000 (p<0,05) yang berarti bahwa terdapat perbedaan subjective well-being pada dewasa awal antara yang menikah dan belum menikah. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian diterima. DISKUSI Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan subjective well-being pada dewasa awal ditinjau dari status pernikahan di Banda Aceh. Berdasarkan hasil analisis uji statistik Independent sample t-test yang diperoleh menunjukkan nilai signifikansi (p) = 0,000 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima, artinya terdapat perbedaan subjective well-being pada dewasa awal ditinjau dari status pernikahan di Banda Aceh. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dush dan Amanto (2005) yang menunjukkan bahwa individu yang menikah memiliki subjective well-being yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang belum menikah. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Diener et al. (2000) juga menunjukkan bahwa individu yang menikah memiliki tingkat subjective wellbeing yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang belum menikah. Tinggi rendahnya subjective well-being dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya ialah faktor pekerjaan. Eddington dan Shuman (2005) menjelaskan bahwa individu yang bekerja dan memiliki penghasilan, cenderung memiliki subjective well-being yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu 40
yang tidak bekerja, hal tersebut dikarenakan individu yang bekerja dan memiliki penghasilan cenderung lebih dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan lebih baik. Faktor selanjutnya yaitu tingkat pendidikan, dimana subjek penelitian mayoritas memiliki tingkat pendidikan S1 yaitu sebanyak 161 (45,7%) individu. Hal tersebut didukung oleh pernyataan yang dikemukakan oleh Diener (1984) bahwa individu yang memiliki tingkat pendidikan yang baik akan memengaruhi subjective wellbeing individu tersebut. Dijelaskan lebih lanjut oleh Eddington dan Shuman (2005) bahwa individu yang memiliki pendidikan yang baik juga memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih baik. Faktor lainnya yang juga dapat memengaruhi subjective well-being individu ialah religiusitas. Puteh (2013) menjelaskan bahwa masyarakat Aceh merupakan masyarakat yang kental dengan religiusitasnya. Jika dikaitkan dengan pernikahan, religiusitas dapat meningkatkan kepuasan dalam pernikahan, hal tersebut didukung oleh Hurlock (dalam Ardhianita & Andayani, 2005) yang menyatakan bahwa kepuasan pernikahan akan lebih tinggi pada individu yang religius. Religiusitas pada individu yang belum menikah juga sangat memengaruhi subjective well-being individu tersebut. Hal tersebut dikarenakan individu yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi cenderung memaknai hidup dengan lebih positif, hal tersebut dapat meningkatkan optimisme terhadap masa depan hidupnya (Seligman dalam Wydiayanti, 2007). Analisis tambahan juga dilakukan terhadap subjective well-being yang dihubungkan dengan beberapa data demografi sampel penelitian, diantaranya berdasarkan usia dan jenis kelamin. Adapun hasil uji analisis Independent Sampel T-test terlihat pada tabel 4.8 berikut: Tabel 4.8 Hasil analisis tambahan uji independent sampel t-test Deskripsi Jumlah Subjek Persentase (%) Laki-Laki 176 50 Perempuan 176 50 Nilai Signifikansi (p) 0,594 Keterangan Tidak terdapat perbedaan subjective wellbeing pada laki-laki maupun perempuan (p>0,05) 20-25 tahun 152 43,2 Terdapat perbedaan 26-30 tahun 116 33 subjective wellbeing pada individu 31-35 tahun 45 12,8 0,001 ditinjau dari usia (p<0,05) 36-40 tahun 39 11,1 Berdasarkan tabel tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa tidak terdapat perbedaan subjective well-being individu jika ditinjau dari jenis kelamin, dengan nilai signifikasi (p) = 0,594. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Forest (dalam Utami, 2009) yang menemukan bahwa tidak ada perbedaan subjective well-being antara laki laki dengan perempuan. Hal 41
tersebut dikarenakan laki laki dan perempuan tidak memiliki perbedaan dalam merespon peristiwa hidup yang tidak diinginkan. Hasil analisis tambahan selanjutnya yaitu berdasarkan usia, maka terlihat bahwa terdapat perbedaan subjective well-being pada individu jika ditinjau dari usia, dengan nilai signifikasi (p) = 0,001. Hasil penelitian ini didukung oleh Rhamzan dan Shabir (2014) yang menjelaskan bahwa perbedaan usia individu berkaitan dengan subjective wellbeing, dikatakan bahwa individu muda memiliki tingkat kebersyukuran yang baik, sehingga dapat memengaruhi kepuasan hidup individu tersebut. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan subjective wellbeing pada dewasa awal yang menikah dan belum menikah di Kota Banda Aceh, sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dewasa awal yang menikah dan belum menikah berada pada kategorisasi tinggi, artinya individu yang memiliki subjective well-being yang tinggi adalah individu yang mampu mengevaluasi hidupnya secara positif, memiliki afek positif yang lebih dominan daripada afek negatif dan memiliki kepuasan hidup yang tinggi didalam dirinya. DAFTAR PUSTAKA Amanto, P. R., & Dush, C. M. K. (2005). Consequences of relationship status and quality for subjective well-being. Journal of Social and Personal Relationship. 22; 607-627. Ardhianita, I., & Andayani, B. (2005). Kepuasan pernikahan ditinjau dari berpacaran dan tidak berpacaran. Jurnal Psikologi. 3(2); 101-111. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2016). Ini langkah baru BKKBN tekan pernikahan dini. Diakses pada tanggal: 3 April 2016, dari: http://www.bkkbn.go.id/viewberita.aspx?beritaid=3553. Badan Pusat Statistik. (2016). Sosial dan Kependudukan. Diakses pada tanggal 7 April 2016, dari: https://www.bps.go.id/subjek/view/id/12. Diener, E. (2006). Understanding scores on the satisfaction with life scale. Diener, E. (1984). Subjective well-being. Psychological Bulletin. 95, 542-575. Diener, E. et al. (2009). New measures of well-being: Flourishing and positive and negative feelings. Social Indicators Research, 39, 247-266. Diener, E., Gohm, C. L., Suh, E., & Oishi, S. (2000). Similarity of the relations between marital status and subjective well-being across cultures. Journal of Cross-Cultural Psychology. 31-419. Doblhammer, G., Hoffmann, R., Muth, M., Westphal, C., & Kruse, A. (2009). A systematic literature review of studies analyzing the effects of sex, age, education, marital status, obesity, and smoking on health transitions. Demographic Research. 20(5). 37-64. Eddington, N., & Shuman, R. (2005). Subjective well-being (happiness). Continuing Psychology Education. Hurlock, E. B. (1993). Psikologi Perkembangan Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (5 th ed). Terjemahan: Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga. 42
Idrus, M. (2009). Metode penelitian ilmu sosial pendekatan kualitatif dan kuantitatif (Ed.2). Jakarta: Erlangga. Noviana, C. L. D., & Suci, E. S. T. (2010). Konflik intrapersonal wanita lajang terhadap tuntutan orangtua untuk menikah. Jurnal Psikologi Indonesia. VII (1). 9-16. Nusantara, A. A., & Putra, S. M. R. (2007). Keadilan dalam masyarakat. Yogyakarta: Kanisius. Papalia, E. D., Olds, W. S., & Feldman, D. R. (2009). Human Development Perkembangan manusia (10 th ed). Terjemahan: Brian Marwensdy. Jakarta: Salemba Humanika. Puteh, J. K. (2013). Sistem sosial dan budaya masyarakat Aceh. Journal Islamic. 202 (201). Ramzan, N & Shabbir, A. R. (2014). Expression of Gratitude and Subjective Well-Being Among University Teachers. Middle-East Journal of Scientific Research. 21(5). Rini, I. R. S. (2009). Hubungan antara keterbukaan diri dengan penyesuaian perkawinan pada pasangan suami istri yang tinggal terpisah. Psycho idea, 6. Santoso, S. (2003). Statistik deskriptif konsep dan aplikasi dengan Microsoft excel dan SPSS. Yogyakarta: Andi. Santrock, J. W. (2002). Life-span development, perkembangan masa hidup manusia (edisi kelima). Terjemahan: Juda Damanik & Achmad Chusairi. Jakarta: Erlangga. Utami, S. M. (2009). Keterlibatan dalam kegiatan dan kesejahteraan subjektif mahasiswa. 36(2). UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. (2016). Hukum.unsrat.ac.id. Diakses pada tanggal 10 Januari 2016, dari: http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm. Wydiyanti, R. (2007). Subjective well-being individu dewasa madya. Journals Psikologi. 20(2). 43