DESKRIPSI UMUM LOKASI PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Kemandirian Ekonomi Melalui Sertifikasi Hutan Rakyat (Kasus. di Gunungkidul) Ir. Murbani Dishutbun Kab. Gunungkidul. 6 Februari 2009 Bogor - Indonesia

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

PENDAHULUAN Latar Belakang

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya sebagai modal dasar pembangunan nasional dengan. Menurut Dangler (1930) dalam Hardiwinoto (2005), hutan adalah suatu

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PEMBELAJARAN PETANI

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi

Desa Semoyo merupakan salah satu desa di Kec. Pathuk kab. Gunung Kidul.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan

TINJAUAN PUSTAKA. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Istimewa Yogyakarta. Gunungkidul memiliki luas 1.485,36 Km 2 terletak antara 7

Unit Manajemen Hutan Rakyat Lestari KOPERASI WANA MANUNGGAL LESTARI Lokasi Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta Luas areal 815,18 ha

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHA NOVRI HASAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu wilayah di bagian selatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi hutan di Indonesia saat ini dalam keadaan krisis. Banyak tumbuhan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Gubernur Jawa Barat GUBERNUR JAWA BARAT,

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

AN TERNAK D m. Oleh : Diana Rurp *)

TINJAUAN PUSTAKA. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli

BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Proposal Masa Depan CONTOH PROPOSAL USAHA. Tanpa Usaha Keras, Ide itu HAMPA «Inspirasi Oh Inspirasi Dialog Terbuka Tersimpan Tanda Tanya»

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. tingkat lokal (tanah adat) (Suhardjito & Darusman, 1998). Jenis hutan ini terbukti

KELOMPOK TANI HUTAN (KTH) RIMBA MAS Tetap Hijau Dimusim Kemarau Oleh : Endang Dwi Hastuti

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. nilai yang tinggi, baik sebagai penyangga kebutuhan, perlindungan ekologi, jasa,

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENYOAL PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT POTENSI DI ERA OTONOMI. Oleh : Eddy Suryanto, HP. Fakultas Hukum UNISRI Surakarta

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Burat

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ini telah melampaui kemampuan sumber daya alam dalam memproduksi kayu

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

PROGRAM/KEGIATAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DIY KHUSUS URUSAN KEHUTANAN TAHUN 2016

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

Rantai Perdagangan Kehutanan

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang

V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

HUTAN RAKYAT: Aspek Produksi, Ekologi dan Kelembagaan 1. Oleh: Edi Suprapto Lembaga ARuPA, Jogjakarta

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. bibit tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna Multi Purpose Tree Species

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan

RENCANA OPERASI PENYINGKIR HALANGAN (BROP) PEMBUATAN DEMPLOT KEBUN TERPADU

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara. keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam

BAB I PROFIL WILAYAH

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Lokasi Geografis

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

Seorang diri, Sadiman memerdekakan desanya dari kekeringan

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON

BAB VI PENUTUP. commit to user

KARANGANYAR, Hutan Sehat, Desa Sehat Oleh : Endang Dwi Hastuti*

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

Jurnal Penyuluhan, September 2012 Vol. 9 No. 2

BAB VI ANALISIS PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT

Jumat, 27 Juli Balai KPH Yogyakarta dibentuk berdasarkan Perda Nomor: 6 Tahun 2008 dan Pergub Nomor: 36 Tahun 2008.

BAB I PENDAHULUAN. Desa Kepuharjo salah satu desa yang berada di Kecamatan Cangkringan

PROGRAM MENUJU INDONESIA HIJAU KABUPATEN BANTUL 2011

I. PENDAHULUAN. pemanasan global antara lain naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VIII PENUTUP. Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial

BAGIAN KELIMA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN HUTAN RAKYAT GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. sosial memegang peranan yang sangat penting dalam tindakan-tindakan yang

Gubernur Jawa Barat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

Transkripsi:

DESKRIPSI UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri Kabupaten Gunung Kidul adalah salah satu kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terletak di sebelah tenggara Kota Yogyakarta dengan jarak kurang lebih 39 km. Luas wilayah seluruhnya 1.485,36 km² atau sekitar 46,63% dari total luas wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten Gunung Kidul terletak antara 7 46-8 09 Lintang Selatan dan 110 21 110 50 Bujur Timur, dengan ketinggian antara 0 700 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar wilayah Gunung Kidul didominasi perbukitan dengan batuan kapur. Secara administrasi pemerintahan, wilayah Kabupaten Gunung Kidul dibagi menjadi 18 wilayah kecamatan dan 144 desa. Kabupaten Wonogiri terletak di ujung tenggara wilayah Propinsi Jawa Tengah. Wonogiri berada 32 km di sebelah selatan Kota Solo, dengan jarak ke ibu kota Provinsi (Semarang) sejauh 133 km. Luas wilayah seluruhnya ± 182.236,0236 hektar, terbentang pada posisi antara 7 32-8 15 Lintang Selatan dan 110 41-111 18 Bujur Timur, pada ketinggian antara 106-600 meter di atas permukaan laut). Sebagian besar wilayah Wonogiri didominasi perbukitan dengan batuan kapur, termasuk jajaran pegunung Seribu yang merupakan mata air hulu Bengawan Solo. Jenis macam tanah mulai dari litosol, regosol sampai dengan grumusol, dari bahan induk yang beragam yaitu endapan, batuan, dan volkan. Suhu rata-rata antara 24-32 C dengan kelembaban rata-rata sepanjang tahun 83%. Secara administrasi pemerintahan wilayah Kabupaten Wonogiri dibagi menjadi 25 kecamatan dan 294 desa. Hutan Rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri Hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri memiliki luasan yang cukup besar dibandingkan dengan luasan hutan negara yang ada di wilayah tersebut. Menurut data statistik Kabupaten Gunung Kidul (2009) luas hutan rakyat 30.000 hektar yang tersebar di 18 kecamatan, sementara luas hutan negara 8.560 hektar. Luas hutan rakyat di Wonogiri 36.293 hektar yang tersebar di 25 kecamatan, sedangkan hutan negara seluas 16.268 hektar.

87 Dengan cakupan luasan tersebut, potensi hutan rakyat dapat dilihat dari volume kayu yang dihasilkan per tahun yang cukup tinggi, di Gunung Kidul 122.460 m 3 dan Wonogiri 264.159,1 m 3. Bila harga kayu dirata-ratakan menggunakan harga jual kayu mahoni (20-29 cm) Rp. 740.000/m 3, maka pendapatan per tahun dari hasil kayu hutan rakyat di Gunung Kidul kurang lebih 95 milyar dan di Wonogiri 195 milyar. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa hutan rakyat, walaupun dikelola oleh masyarakat dalam skala usaha yang kecil (rata-rata di bawah 0,75 ha), namun telah terbukti dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dan dapat mendukung penyediaan bahan baku bagi kebutuhan industri serta terjamin kelestariannya. Keberadaan hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat bukan saja secara ekonomi, tetapi juga nilai sosial budaya dan ekologis. Dengan dikembangkannya hutan rakyat di Wonogiri, telah terbukti menimbulkan tiga sumber-sumber mata air baru yang menjadi sumber air bagi kota Wonogiri. Selain itu keberadaan hutan rakyat yang baik telah menciptakan iklim mikro yang sehat, bahkan dapat menyerap karbon dari polusi udara. Selain manfaat dari sisi ekonomi dan ekologi, hutan rakyat memberikan manfaat pada perkembangan sosial budaya masyarakat di Gunung Kidul maupun Wonogiri. Tanpa disadari keberadaan hutan rakyat telah melestarikan dan mengembangkan budaya, antara lain budaya gotong royong, budaya gemar menanam dan budaya bekerja keras, bahkan budaya jati pada masyarakat di kedua lokasi penelitian. Sejarah Hutan Rakyat Sebagian lokasi penelitian di Gunung Kidul dan Wonogiri termasuk ke dalam Zona Pegunungan Seribu (Sewu) atau sering disebut Pegunungan Kapur Selatan, yaitu Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Kab. Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta serta Desa Selopuro dan Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Dua desa lainnya di Daerah Istimewa Yogyakarta yang menjadi lokasi penelitian adalah satu desa terletak di Zona Ledoksari (tengah) yaitu Desa Dengok, Kecamatan Playen dan desa lainnya

88 terletak di Zona utara yaitu Desa Kedungkeris, Kecamatan Nglipar. Walaupun terletak di zona yang berbeda, tetapi secara umum memiliki banyak persamaan ditinjau dari sejarah hutan rakyatnya. Sejarah hutan rakyat di Pegunungan Kapur Selatan, menurut Awang et.al. (2001) dapat dibagi menjadi empat periode, yaitu: (1) sebelum tahun 1960 periode kritis; (2) 1960-1970 periode penanaman mandiri; (3) 1970-1985 periode intensifikasi; dan (4) 1985-sekarang periode pemudaan alam. Periode 1 (sebelum tahun 1960), yang disebut juga dengan periode kritis, ditandai dengan hamparan batu bertanah yang kritis dan hanya ditumbuhi rumput ataupun semak pada lahan milik maupun lahan negara. Jarang sekali dijumpai tanaman kayu-kayuan. Masyarakat mempertahankan hidupnya dengan menanam tanaman pangan seperti jagung dan ketela pohon, serta padi bila musim penghijauan tiba. Akibatnya kondisi lahan semakin parah dan tanah menjadi jenuh sehingga tidak lagi dapat menghasilkan tanaman pangan. Sementara itu tanaman kayu lokal, seperti trembesi, sengon Jawa, terus ditebang untuk dijual sebagai kayu bakar. Uang hasil penjualan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kondisi ini semakin memperburuk kekritisan lahan, dan masyarakat semakin miskin, kekurangan pangan dan terjadilah busung lapar. Periode 2 (1960-1970), karena kondisi yang mendesak tersebut, masyarakat beserta beberapa tokoh masyarakat kemudian mulai mencari solusi. Lahan-lahan yang sudah jenuh ditanami dengan tanaman kayu-kayuan, diawali dengan penanaman mahoni dan jati. Pada periode ini, penanaman tanaman kayukayuan oleh masyarakat dilakukan secara swadaya. Para tokoh masyarakat menanami lahan miliknya dengan tanaman jati dan mahoni, dengan bibit yang didapatkan dari anakan-anakan kayu alam, baik di lingkungan mereka maupun dari lahan negara yang sudah berhutan. Kegiatan para tokoh mencari bibit dan menanam ini diikuti oleh warga masyarakat lain. Kegiatan inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya kelompok tani. Pada periode 3 (1970-1985), yang disebut penanaman intensif, pemerintah sudah mulai campur tangan dalam pembinaan, melalui beberapa proyek seperti MALU (Mantri-Lurah) yang dilakukan oleh Perum PERHUTANI dan proyek penghijauan oleh Kementerian Kehutanan. Bantuan penghijauan oleh pemerintah

89 dilakukan melalui penyebaran bibit akasia maupun Katalina (sejenis lamtoro) melalui udara. Masyarakat melakukan tumpangsari tanaman kayu dengan tanaman pangan yang masih bisa tumbuh. Masyarakat mulai melakukan tata guna lahan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan lokal mereka. Pada periode ini juga ditandai dengan banyaknya terbentuk bermacam-macam kelompok tani dan Kebun Bibit Desa (KBD). Khusus di Gunung Kidul, penanaman secara intensif terjadi ketika Bupati Gunung Kidul dijabat oleh Bapak Ir. Darmokum Darmokusumo. Pada saat itu pemerintah banyak memberikan bantuan bibit jati untuk ditanam di lahan-lahan milik masyarakat. Tingginya perhatian Bupati Gunung Kidul terhadap masalah penghijauan ditunjang oleh latar belakang pendidikannya dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Pada periode 4 (1985-2002), ditandai dengan melimpahnya anakan alami di bawah tegakan tua, baik jati maupun mahoni. Masyarakat melakukan permudaan dan pengayaan dengan mendistribusikan anakan alami secara merata, dengan melalui teknik puteran dan cabutan. Anakan-anakan alami ini ditanam dengan jarak yang tidak beraturan, mengingat kondisi lahan yang bergelombang dan berbatu. Pada lahan-lahan yang mayoritas berbatu penanaman dilakukan di sela-sela batu. Pada periode ini Kebun Bibit Desa yang dikenalkan oleh pemerintah sebagai upaya menjamin ketersediaan bibit penghijauan di desa tidak lagi efektif karena masyarakat lebih suka melakukan permudaan dengan menggunakan anakan alami yang sudah ada. Hal tersebut dilakukan karena dinilai lebih efisien, lebih murah dan adaptasi bibit lebih baik dibandingkan bibit yang berasal dari Kebun Bibit Desa. Pada periode empat ini mulai dilakukan penebangan kayu baik untuk keperluan sendiri maupun untuk mendapatkan uang tunai. Walaupun penebangan dilakukan, masyarakat tetap melakukan penghutanan kembali secara swadaya. Menurut Awang et.al (2001) pada mulanya keberhasilan gerakan penanaman tanaman keras oleh masyarakat tidak dapat dilepaskan dari peranan kelompok tani. Pekerjaan pembuatan hutan rakyat, mulai dari penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan dilakukan bersama oleh anggota kelompok. Dalam kelompok juga dibuat pengaturan termasuk sanksi bagi yang tidak mematuhinya, misalnya kewajiban menanam sepuluh batang kayu bagi yang tidak ikut gotong royong.

90 Namun dalam perkembangan selanjutnya ketika pembangunan hutan rakyat sudah berhasil, aktivitas kelompok menurun. Pertemuan kelompok masih berjalan, tetapi kebiasannya sudah berbeda jauh dengan awal pembentukannya. Saat ini pertemuan kelompok hanya digunakan untuk arisan simpan-pinjam. Awang et.al (2001) mengatakan bahwa menurunnya dinamika kelompok selain disebabkan oleh tidak adanya pembinaan dari pemerintah, juga karena praktek hutan rakyat berbasis lahan milik individu sehingga peranan kelompok menjadi lemah. Ikatan kelompok hanya didasarkan pada paguyuban sebagai wujud dari social rasionallity mereka. Sejak tahun 2002 hingga sekarang hutan rakyat berkembang pesat, Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL, yang sering disebut GERHAN), yang dicanangkan oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan sejak 2002 telah meningkatkan luas hutan rakyat di daerah-daerah kritis, termasuk di Gunung Kidul dan Wonogiri. Sertifikasi hutan rakyat di Wonogiri dimulai pada tahun 2003, dengan pengembangan kapasitas organisasi hutan rakyat melalui kerjasama dengan Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (PERSEPSI), Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan World Wildlife Fund (WWF) untuk sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) di Desa Selopuro dan Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno. Sedangkan di Gunung Kidul pada tahun 2004 dimulai program Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat Lestari (RBUMHRL) di empat kabupaten, yaitu Gunung Kidul, Wonosobo, Magelang dan Purworejo. Lokasi di Gunung Kidul termasuk Desa Girisekar dan Desa Dengok, yang menjadi lokasi penelitian. Kepedulian dan keseriusan Pemerintah Daerah Kab. Gunung Kidul terhadap perkembangan hutan rakyat semakin meningkat, di antaranya terbukti dengan diterbitkannya Keputusan Bupati Gunungkidul Nomor: 95/KPTS/2005 tanggal 20 September 2005 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Hutan Rakyat Lestari. Selain itu didukungnya program sertifikasi PHBML di tiga desa, sebagai kelanjutan Program Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pendampingan untuk proses sertifikasi PHBML bagi Kabupaten Gunung Kidul.

91 Pada bulan Oktober 2004, Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) di Desa Selopuro dan Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Wonogiri mendapatkan sertifikat Ekolabel (PHBML) yang pertama dengan luas cakupan 809,95 hektar. Dua tahun kemudian menyusul Paguyuban Wana Manunggal Lestari, Kabupaten Gunung Kidul mendapat sertifikat PHBML yaitu pada tanggal 20 September 2006 yang mencakup luasan 815,18 hektar. Sistem pengelolaan hutan rakyat Awang et.al (2001) menyebutkan bahwa sesuai dengan susunan dan letaknya hutan rakyat di pegunungan Kapur Selatan (termasuk daerah Gunung Kidul dan Wonogiri), dapat digolongkan menjadi tiga kelompok. Ketiga kelompok hutan rakyat tersebut ialah: (1) tanaman keras seperti jati dan mahoni, atau jenis lainnya ditanam hanya di sepanjang batas lahan milik, dan tanah di antara pohon-pohon tersebut ditanami tanaman pangan; (2) tanaman keras ditanam di seluruh lahan tegalan dan pekarangan tanpa ada tanaman pertanian semusim seperti tanaman pangan; (3) tanaman keras ditanam di batas-batas dan di sepanjang teras, untuk mengurangi erosi tanah. Di antara pohon-pohon tersebut ditanam tanaman pangan dan sayur-sayuran. Dilihat dari susunan jenisnya, hutan rakyat di kedua lokasi penelitian dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu: (1) hutan rakyat monokultur atau sebagian besar didominasi satu jenis tanaman keras saja. Pada kelompok ini cenderung tidak ada tanaman pangan dan tanaman buah-buahan; (2) hutan rakyat campuran yang memiliki 3-5 jenis tanaman keras. Pada kelompok ini dapat dijumpai tanaman pangan, buah-buahan dan sayur-sayuran. Sebagian besar hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri menggunakan sistem agroforestry dan jarang sekali yang monokultur. Alasan mendasar yang dikemukakan oleh masyarakat adalah mereka membutuhkan tanaman pangan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka menanam ketela pohon, jagung, kedelai, dan lainnya untuk kebutuhan pangan sehari-hari, bila ada sisa baru mereka menjualnya. Selain itu juga mereka menanam hijauan makanan ternak (HMT) untuk pakan ternak. Hampir semua keluarga di kedua lokasi penelitian memelihara sedikitnya ayam, kambing dan ternak sapi.

92 Dalam mengelola hutan rakyat, masyarakat di Gunung Kidul dan Wonogiri masih menggunakan silvikultur tradisional, yang meliputi pemilihan jenis, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan, dan penebangan. Pemilihan jenis tanaman yang ditanam oleh masyarakat pada hutan rakyat sangat dipengaruhi oleh kesesuaian lahan, riap pertumbuhan, ketersediaan tenaga kerja, harga jual dan kemudahan pemeliharaan. Tiga jenis kayu yang banyak ditanam oleh masyarakat di kedua lokasi penelitian adalah akasia (Acacia auriculiformis) jati (Tectona grandis) dan mahoni (Swietenia mahogany). Awal mulanya penanaman tanaman keras ini sebagai langkah awal untuk memperbaiki struktur tanah, karena diharapkan akar pohon-pohonan tanaman keras dapat memecah batuan kapur dan daun-daunannya dapat menjadi kompos. Persiapan lahan terutama dilakukan pada saat pertama kali membangun hutan rakyat dengan membuat terasering teras bangku pada lahan-lahan tertentu yang miring. Dengan berbekal batu yang berlimpah di sekitarnya, masyarakat mengumpulkan batu-batu, memecah, dan menyusun menjadi penguat dinding teras bangku, membuat lubang tanam dan membuat batas lahan. Penanaman sebagian besar dilakukan tanpa ada pengaturan jarak tanam, karena penanaman sebagian besar hanya dilakukan di antara sela-sela batu. Pada lahan-lahan yang memungkinkan, lahan yang relatif datar atau landai dibuat jarak tanam 3x1 meter. Diduga pengaturan jarak tanam ini diketahui masyarakat berdasarkan pengalaman melihat apa yang telah dilakukan Perum Perhutani, di mana beberapa warga pernah bekerja sebagai buruh tanam (Awang et.al, 2001). Pada periode penanaman intensif, jenis tanaman yang ditanam lebih beragam. Bibit berasal dari Kebun Bibit Desa yang dibuat masyarakat dengan bimbingan tenaga penyuluh kehutanan. Bibit-bibit tanaman yang ditanam pada periode ini di antaranya ialah mahoni, jati, akasia, mangga, melinjo, pete, kelapa dan bibit tanaman keras lainnya. Penanaman dilakukan dengan pengajiran dan disesuaikan dengan kontur, dengan sistem tumpang sari. Kegiatan pemeliharaan tanaman hutan rakyat di kedua lokasi penelitian hampir tidak ada, biasanya hanya dilakukan pada tanaman muda yang berumur kurang dari satu tahun. Pemeliharaan sebatas pendangiran tanah dan kadang-kadang melakukan pemagaran sederhana.

93 Perlindungan tanaman terhadap ternak dilakukan dengan melarang penggembalaan di areal hutan milik orang lain. Ternak sapi dan kambing umumnya dikandangkan di pekarangan rumah. Cara ini berjalan sangat efektif dan dipatuhi sesama warga. Gangguan pencurian kayu sama sekali tidak pernah terjadi. Pengamanan dilakukan dengan tepo seliro (tenggang rasa) yang selalu disosialisasikan lewat forum-forum seperti kelompok tani maupun forum desa lainnya. Pemanenan dilakukan tidak mengunakan sistem pengaturan hasil. Pohon ditebang saat dibutuhkan, yaitu untuk keperluan membangun rumah sendiri, maupun keperluan yang memerlukan biaya besar seperti keperluan pendidikan anak, hajatan, pengobatan di rumah sakit dan lainnya. Sehingga sistem ini sering dikatakan tebang butuh, yaitu ditebang pada saat dibutuhkan. Sekalipun demikian, bagi masyarakat pohon merupakan tabungan yang akan digunakan sebagai alternatif terakhir, jika sumberdaya lainnya sudah tidak ada (seperti ternak ayam, kambing, sapi atau sumberdaya lainnya). Menurut pengakuan masyarakat, mereka memilih pohon sebagai alternatif terakhir untuk ditebang, karena dianggap paling menguntungkan baik dari segi pemeliharaan maupun harga atau nilai jual. Pohon tidak membutuhkan pemeliharaan yang merepotkan seperti halnya ternak, yang perlu diberi makan dua kali dalam satu hari. Demikian juga halnya dengan harga kayu, terutama kayu jati, sangat baik sebagai tabungan yang bernilai tinggi, tidak jauh berbeda dengan harga jual ternak. Sekalipun petani hutan rakyat lebih senang menggunakan sistem tebang butuh, tetapi mereka tetap memperhatikan sistem tebang pilih, yaitu sejumlah pohon yang ditebang untuk dijual ataupun dipakai sendiri dan tidak mengelompok dalam satu tempat. Sebenarnya sudah ada aturan untuk menebang kayu jati yang sudah berumur minimal 15 tahun dan berdiameter di atas 20 cm, tetapi aturan ini belum bisa dilaksanakan sepenuhnya karena adanya sistem tebang butuh sehingga kayu jati yang paling banyak ditebang berada pada kisaran diameter 16 cm. Menurut pengakuan petani, biasanya mereka menebang kayu rata-rata dua kali per tahun, dengan jumlah dan volume disesuaikan kebutuhan, yaitu jika kebutuhan kecil pohon yang ditebang jumlah dan volumenya relatif kecil, sedangkan bila kebutuhan besar pohon yang ditebang jumlah dan volumenya juga

94 besar. Untuk menjamin kelestarian, petani yang menebang kayu diwajibkan menanam lahannya 2-5 batang untuk setiap batang pohon yang ditebang. Metode pengaturan hasil hutan rakyat ini sangat spesifik dan berbeda dengan metode pengaturan hasil konvensional yang biasanya diterapkan pada hutan negara. Bagi petani setempat, yang penting adalah terjaminnya kelestarian baik kelestarian produksi maupun kelestarian sumber daya hutan sehingga mereka dapat secara kontinu memanen produksi kayu miliknya (Arupa, 1999). Pemasaran kayu hasil hutan rakyat dilakukan secara langsung oleh petani ke pedagang pengumpul lokal kemudian diteruskan ke pedagang pengumpul besar. Biaya pengurusan surat-surat seperti SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) dan lain-lain biasanya ditanggung oleh pedagang. Petani tidak mengeluarkan biaya sepeser pun untuk pengurusan dokumen tersebut dan menerima pembayaran dari harga kayu sesuai kesepakatan dengan pedagang. Pedagang pengumpul besar kemudian memasarkan kayu tersebut ke industri mebel dan bahan bangunan atau ke tempat pembakaran gamping baik yang berada di daerah sekitarnya atau ke luar kota. Daerah luar kota yang menjadi tujuan pemasaran kayu antara lain adalah Klaten, Jepara, Pekalongan, Tegal, Brebes, Solo dan Bandung. Masyarakat menyukai pola ini karena selain mereka langsung dapat menerima uang kontan, yang memang mereka butuhkan pada saat itu, juga dinilai lebih praktis. Dengan cara ini mereka tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi, biaya penebangan, dan urusan administrasi serta biaya pengangkutan, yang dinilai cukup merepotkan bagi masyarakat petani. Dalam hal kelembagaan, hampir tidak ada perbedaan yang nyata dilihat dari sisi organisasi, kepemimpinan, maupun aturan dan sanksi yang diberlakukan dalam pengelolaan hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) di beberapa desa di pegunungan Kapur Selatan ditemui bahwa pembangunan hutan rakyat tidak lepas dari peranan kelompok tani, namun peranan individu petani lebih besar dibandingkan kelompok tani. Kelompok tani sebagai suatu organisasi mengacu pada organisasi modern dimana pengurus organisasi minimal terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota. Pengurus

95 kelompok tani dipilih oleh anggota dengan mempertimbangkan pendidikan, kemauan dan kemampuan bekerja, status sosial dan posisi dalam masyarakat, sehingga sangat banyak ditemui pengurus kelompok tani yang menjabat aparat desa (Ketua RT/RW dan Kepala Dusun). Kegiatan kelompok tani ini biasanya meliputi kegiatan pertanian secara umum, baik tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, bahkan perikanan. Deskripsi Peubah Penelitian Karakteristik Individu Petani Karakteristik petani hutan rakyat yang telah disertifikasi dan non sertifikasi berbeda nyata dalam semua indikator karakteristik kecuali pada tingkat sosial ekonomi. Walaupun demikian, perbedaan rataan umur dan pengalaman antara petani sertifikasi dan non sertifikasi tidak terpaut terlalu jauh. Perbedaan yang sangat mencolok antara karakteristik petani hutan rakyat sertifikasi dan non sertifikasi adalah pada motivasi ekstrinsik dan konsep diri. Motivasi ekstrinsik dan konsep diri petani hutan rakyat sertifikasi termasuk dalam kategori tinggi dan positif (80 dan 76), sedangkan motivasi ekstrinsik dan konsep diri petani non sertifikasi adalah rendah (30) bahkan sangat negatif (14). Motivasi ekstrinsik yang rendah dan konsep diri yang negatif pada petani hutan rakyat non sertifikasi dapat dipahami karena sebagian besar petani hutan rakyat non sertifikasi belum mendapatkan pemahaman tentang hutan rakyat lestari, atau sekalipun pernah mendengar tentang Hutan Rakyat Lestari belum memiliki pemahaman yang benar tentang Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) dimaksud. Hal tersebut dapat disebabkan oleh belum adanya sosialisasi, pendampingan atau pembelajaran mengenai Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) oleh lembaga manapun di lokasi hutan rakyat non sertifikasi. Hal menarik dalam perbandingan karakteristik petani di kedua lokasi penelitian adalah motivasi intrinsik. Petani hutan rakyat non sertifikasi ternyata memiliki motivasi intrinsik sedang (rataan 68) walaupun motivasi ekstrinsiknya rendah, dan petani hutan rakyat sertifikasi memiliki motivasi yang tinggi (86). Hal ini menunjukkan bahwa motivasi dan keinginan petani untuk mengembangkan

96 hutan rakyat, baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri cukup tinggi sekalipun pada lokasi yang belum mendapatkan sertifikasi Hutan Rakyat Lestari. Tabel 21. Perbandingan Karakteristik Petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) dan Non Sertifikasi di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri No Karakteristik Kategori Hutan Rakyat Lestarisertifikasi (%) Gunung Wonogiri Kidul Total Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung Wonogiri Kidul Total 1 Umur 40 31 13 22 37 37 37 (tahun) 41-50 23 35 29 40 23 32 51 46 52 49 23 40 32 Rataan 49 53 51 a 45 a 49 47 2 Pengalaman 10 24 10 17 20 73 47 (tahun) 11-25 36 40 38 43 7 25 26 40 50 45 34 20 28 Rataan 22 27 25 23 13 18 3 Tingkat sosial Rendah 35 43 39 30 50 73 ekonomi Sedang 57 51 54 63 47 25 Tinggi 8 6 7 7 3 2 Skor Rataan b 36 b 34 c 35 37 27 c 32 4 Motivasi Rendah 2 3 2 0, 27 13 intrinsik Sedang 12 25 18 43 70 57 Tinggi 86 72 79 57 3 30 Skor Rataan 88 84 86 79 56 67 5 Motivasi Rendah 2 4 3 90 93 92 ekstrinsik Sedang 23 50 36 10 7 8 Tinggi 75 46 60 0 0 0 Skor Rataan 85 75 80 d 30 d 29 30 6 Konsep diri Negatif 4 18 11 86 97 92 Sedang 14 41 27 13 3 8 Positif 82 41 61 0 0 0 Skor Rataan 84 68 76 24 3 14 Keterangan: - Angka yg diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05 (uji perbedaan nilai rataan t-test) - Hutan Rakyat Lestari-sertifikasi: n(gunung Kidul)=100, n(wonogiri)=100, n total=200; Hutan rakyat non sertifikasi: n(gunung Kidul)=30, n(wonogiri)=30, n total=60 - Skor Rataan: Rendah/negatif (0-50); Sedang (51-75); Tinggi/positif (76-100), tk sosek: rendah ( 33,0), sedang (33,1-67,0), tinggi ( 67,1). Umur Petani hutan rakyat sertifikasi di kedua kabupaten sebagian besar tergolong berusia lanjut (tua) dengan rataan 51 tahun. Rataan umur petani non sertifikasi di kedua kabupaten tidak terpaut jauh, yaitu 47. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa petani pengelola hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri sebagian besar berusia tua. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sebagian besar penduduk berusia muda (30-40 tahun) di kedua kabupaten

97 tersebut bekerja di luar desa, atau merantau ke luar kabupaten, yang dalam istilah mereka adalah mboro. Hal ini juga sangat berkaitan dengan latar belakang sejarah, dimana kedua kabupaten ini beberapa puluh tahun lalu termasuk desa miskin, dengan kondisi tanah yang sangat kritis dan tidak bisa ditanami. Pada saat itu banyak pemuda yang mboro untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kebiasaan tersebut terus berlangsung sampai dengan saat ini. Dikuatirkan kondisi ini akan menjadi permasalahan dalam pengembangan Hutan Rakyat Lestari di masa mendatang, karena hanya petani lanjut usia yang masih tinggal di desa dan mengelola hutan rakyat. Bila tidak ada generasi penerus, dikuatirkan usaha Hutan Rakyat Lestari di masa mendatang akan redup bahkan menghilang. Pengalaman Sebagian besar petani sertifikasi baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri sudah cukup lama mengelola hutan rakyat (rataan 24 tahun). Untuk petani non sertifikasi pun tidak berbeda nyata, yaitu dengan rataan 18. Hal ini dapat dijelaskan dan sejalan dengan perkembangan hutan rakyat di kedua kabupaten. Hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri berkembang kurang lebih pada tahun 1970. Pengelolaan hutan rakyat diperkenalkan kepada responden sebagian besar ketika masih berusia remaja, bahkan anak-anak. Pada waktu itu di Wonogiri dikenal dengan kegiatan Karang Kitri. Responden mengakui pengenalan dan pendidikan untuk gemar menanam pohon telah mereka dapatkan sejak usia remaja. Pada waktu itu orang tua telah mengajari untuk menanami lahan yang gersang dengan pohon-pohonan, walaupun bukan dengan teknik penanaman yang benar, karena kondisi lahan yang tidak memungkinkan untuk menerapkan jarak tanam ideal. Semakin mereka merasakan manfaatnya, semakin mereka gemar menanam, sehingga telah membudaya bagi masyarakat. Walaupun tidak semua responden adalah petani, tetapi menanam pohon-pohonan juga dilakukan oleh anggota kelompok tani yang bukan petani, seperti guru, karyawan, PNS dan lainnya.

98 Tingkat Sosial dan Ekonomi Tidak ada perbedaan yang nyata antara tingkat sosial ekonomi responden di kedua kabupaten, baik petani pengelola hutan rakyat sertifikasi maupun hutan rakyat non sertifikasi. Nilai rataan tingkat sosial ekonomi petani sertifikasi di kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri 35. Demikian pula dengan petani non sertifikasi di kedua kabupaten dengan nilai rataan 32. Pendidikan sebagian besar responden adalah Sekolah Dasar dan bekerja sebagai petani. Sebagian besar petani baik di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri telah memiliki rumah sendiri dengan bangunan permanen, memiliki kendaraan bermotor roda dua. Pada kedua lokasi penelitian, sebagian besar pengurus kelompok adalah tokoh masyarakat atau pemimpin setempat, seperti kepala lingkungan atau dusun, guru maupun tokoh agama. Motivasi Intrinsik Motivasi intrinsik petani sertifikasi, baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri termasuk kategori tinggi dengan skor rataan 86. Motivasi intrinsik petani non sertifikasi di kedua lokasi penelitian terdapat perbedaan cukup tinggi, yaitu di Gunung Kidul tergolong kategori tinggi dengan skor rataan 79, sedangkan di Wonogiri tergolong kategori sedang dengan skor rataan 56. Motivasi intrinsik yang tinggi menunjukkan bahwa masyarakat telah memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya mengelola hutan rakyat. Masyarakat, khususnya di Gunung Kidul sudah merasakan manfaat hutan rakyat yang dikelolanya baik dari segi ekonomi, sosial maupun ekologi sehingga mereka terus memiliki dorongan dan minat yang tinggi untuk mengelola hutan rakyat. Beberapa hal yang dapat menjadi bukti tingginya minat dan kesadaran masyarakat untuk menanam, antara lain : pertama, mereka telah menanam dan mengevaluasi sendiri tanaman apa yang lebih menguntungkan baik secara ekonomi maupun ekologis. Pada awalnya mereka menanami lahan mereka dengan akasia (Acacia auriculiformis) dan jati (Tectona grandis). Setelah dievaluasi ternyata akasia banyak memakan air dan harga jual kurang baik sehingga mereka mengganti dengan tanaman mahoni. Namun beberapa tahun terakhir karena harga jual mahoni kurang memuaskan, masyarakat khususnya di

99 Kabupaten Wonogiri, sedang mencoba untuk menanam dan mengganti tanaman mahoni dengan sengon laut (Paraserianthes falcataria). Mereka mencoba dan membeli sendiri bibit sengon laut. Kedua, masyarakat saat ini lebih suka menanam halaman pekarangan mereka dengan tanaman kayu-kayuan, sementara mereka memilih menanam tanaman pangan di hutan negara dengan pola Hutan Kemasyarakatan. Hal ini terutama terjadi di Kabupaten Gunung Kidul, dimana desa bersebelahan dengan hutan negara yang ditanami tanaman kayu putih dan masyarakat diberi kesempatan untuk mengelola lahan di bawah tanaman kayu putih dengan sistem hutan kemasyarakatan. Ketiga, minat dan kebutuhan masyarakat yang tinggi untuk menanam tanaman kayu-kayu di Kabupaten Wonogiri menyebabkan berkembangnya pedagang keliling tanaman kayu-kayuan yang masuk ke desa-desa. Motivasi Ekstrinsik Terdapat perbedaan yang nyata antara motivasi ekstrinsik petani sertifikasi dan non sertifikasi. Motivasi ekstrinsik petani sertifikasi di kedua kabupaten tersebut tergolong tinggi dengan skor rataan 80. Sedangkan motivasi ekstrinsik petani non sertifikasi di kedua kabupaten adalah rendah dengan skor rataan 30. Kondisi ini dapat dijelaskan bahwa di lokasi hutan rakyat sertifikasi ada pihakpihak di luar yang terlibat dalam proses pembelajaran masyarakat tentang Hutan Rakyat Lestari. Misalnya di Gunung Kidul, banyak sekali pihak yang terlibat langsung dalam proses pembelajaran masyarakat dan memberikan motivasi kepada masyarakat, misalnya pendamping atau penyuluh baik dari Perguruan Tinggi, LSM maupun dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Sementara petani non sertifikasi, baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri sama sekali belum mendapatkan pembelajaran dari pihak lain. Tidak ada pihak lain di luar masyarakat desa yang mendampingi atau memberikan motivasi kepada masyarakat untuk mengembangkan hutan rakyat. Motivasi petani Wonogiri untuk mengelola hutan rakyat lebih banyak berasal dari dalam diri sendiri (motivasi intrinsik). Bila karakteristik petani sertifikasi dianalisis lebih dalam, terdapat perbedaan yang cukup menyolok antara motivasi ekstrinsik di kedua lokasi

100 penelitian. Motivasi ekstrinsik 75% petani sertifikasi di Gunung Kidul termasuk tinggi dengan skor rataan 85, sedangkan di Wonogiri termasuk sedang (50%) dengan skor rataan 75. Hal ini dapat dijelaskan bahwa di Gunung Kidul sangat banyak pihak yang ikut memberikan motivasi kepada petani untuk mengelola Hutan Rakyat secara Lestari, yaitu baik dari Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah Kabupaten Gunung Kidul, khususnya Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian yang diwujudkan dengan penempatan penyuluh untuk membina masyarakat. Selain itu keberadaan kelompok tani hutan rakyat berjalan cukup baik, di bawah Paguyuban kelompok tani hutan rakyat: Manunggal Lestari. Kepercayaan petani di Gunung Kidul kepada pihak luar, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat, seperti kepada Perguruan Tinggi dan pemerintah sangat tinggi. Mereka berpendapat bahwa semua program dan kegiatan yang dibawa oleh pemerintah ke desa pasti mempunyai dampak yang baik bagi masyarakat sehingga mereka mau mengikuti program dan kegiatan tersebut, walaupun tidak jarang mereka harus menunggu atau menjalankan proses yang cukup panjang untuk dapat menikmati hasilnya. Hal yang berbeda di Wonogiri, keterlibatan pihak luar dalam pengembangan hutan rakyat kurang. Hal tersebut berkaitan dengan cikal bakal terbentuknya hutan rakyat di Wonogiri, dimana masyarakat secara swadaya mengembangkannya. Berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, khususnya dalam proses sertifikasi lebih banyak keterlibatan LSM yaitu PERSEPSI (Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial), sementara dukungan pemerintah sangat kecil. Hal tersebut dapat dilihat dari penempatan penyuluh kehutanan satu orang di satu kecamatan. Dukungan LSM tersebut hanya menyentuh beberapa personil saja sehingga kurang dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar petani. Keberadaan Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) yang berjalan kurang harmonis kurang memberikan motivasi masyarakat untuk mengembangkan Hutan Rakyat Lestari. Konsep diri Terdapat perbedaan yang nyata antara konsep diri petani sertifikasi dan non sertifikasi di kedua kabupaten. Konsep diri petani sertifikasi positif dengan

101 skor rataan 76, sedangkan petani non sertifikasi memiliki konsep diri yang sangat negatif yaitu 14. Selanjutnya bila dianalisis lebih mendalam, terlihat juga perbedaan antara petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Petani sertifikasi di Gunung Kidul memiliki konsep diri yang positif dengan skor rataan 84, sedangkan konsep diri petani sertifikasi di Wonogiri tergolong sedang dengan skor rataan 68. Petani sertifikasi di Gunung Kidul memiliki konsep diri yang positif, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat lestari. Walaupun belum menikmati hasil atau manfaat sertifikasi dalam hal premium price, namun petani di Gunung Kidul tetap memiliki keyakinan terhadap pengembangan Hutan Rakyat Lestari. Sedangkan di Wonogiri, petani sertifikasi sudah banyak yang kecewa karena iming-iming kenaikan harga jual kayu yang dijanjikan oleh pihak LSM tidak terealisasi. Selain itu, timbul kecemburuan sosial dan tidak berjalannya organisasi FKPS, serta kurangnya penghargaan atau perhatian dari pemerintah menyebabkan konsep diri petani khususnya berkaitan dengan Hutan Rakyat Lestari cenderung menjadi negatif. Konsep diri petani non sertifikasi di Gunung Kidul maupun Wonogiri tergolong rendah, bahkan sangat rendah, yaitu dengan skor rataan 24 dan 3. Petani non sertifikasi di kedua lokasi sebagian besar masih belum memiliki pemahaman yang benar mengenai pengelolaan hutan rakyat secara lestari sehingga konsep diri tentang Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) masih negatif. Kompetensi Penyuluh/Pendamping Kompetensi Penyuluh Kehutanan dan pendamping dalam proses pembelajaran sertifikasi Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri berbeda nyata pada tujuh indikatornya, walaupun nilai skor rataannya berada pada kategori yang sama, yaitu rendah. Skor rataan untuk kompetensi penyuluh/pendamping Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) pada kisaran nilai 40, sedangkan skor rataan untuk non sertifikasi pada kisaran nilai 20. Hal yang menarik ialah terdapat perbedaan yang nyata pada penilaian petani sertifikasi terhadap kompetensi penyuluh kehutanan maupun pendamping antara kedua lokasi penelitian. Petani sertifikasi di Gunung Kidul menilai

102 kompetensi penyuluh kehutanan maupun pendamping dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari sedang dalam semua indikatornya, ditunjukkan dengan skor rataan kisaran nilai 60. Sedangkan petani sertifikasi di Wonogiri, dan petani non sertifikasi di kedua lokasi penelitian menilai kompetensi penyuluh dan pendamping rendah bahkan sangat rendah dengan skor rataan pada kisaran nilai 20, 30, dan 40, bahkan kisaran nilai 10. Tabel 22. Perbandingan antara Kompetensi Penyuluh dan Pendamping Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri No Kompetensi Penyuluh/ Pendamping Kategori Hutan Rakyat Lestarisertifikasi (%) Gunung Wonogiri Kidul Total Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung Wonogiri Kidul Total 1 Komunikasi Rendah 22 82 52 57 97 77 Sedang 41 18 29 10 3 7 Tinggi 37 0 18 33 0 17 Skor Rataan 65 27 46 45 14 29 2 Rendah 29 91 60 60 97 78, Menggali kebutuhan petani Sedang 37 9 23 7 3 5 Tinggi 34 0 17 33 0 17 Skor Rataan 61 27 46 45 14 28 3 Rendah 24 93 58 60 100 80 Menganalisa permasalahan Sedang 48 7 27 13 0 7 petani Tinggi 28 0 14 27 0 13 Skor Rataan 61 23 42 42 13 28 4 Menjalin kemitraan Rendah 23 94 58 73 100 87 Sedang 34 6 20 27 0 13 Tinggi 43 0 21 0 0 0 Skor Rataan 64 24 44 35 13 24 5 Mengembangkan Rendah 35 94 64 73 97 85 kapasitas petani Sedang 30 6 18 10 3 7 Tinggi 35 0 17 17 0 8 Skor Rataan 60 22 41 33 14 23 6 Menguatkan Rendah 31 97 64 70 100 85 kelembagaan Sedang 30 3 16 7 0 7 petani Tinggi 39 0 19 23 0 8 Skor Rataan 62 19 41 34 13 23 7 Mengembangkan Rendah 27 99 63 93 100 97 wawasan teknis Sedang 34 1 17 7 0 3 petani Tinggi 39 0 19 0 0 0 Skor Rataan 62 20 41 17 0 8 Keterangan: - Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi): n(gunung Kidul)=100, n(wonogiri)=100, n total=200;non sertifikasi: n(gunung Kidul)=30, n(wonogiri)=30, n total=60 - Skor Rataan: Rendah (0-50); Sedang (51-75); Tinggi (76-100)

103 Kondisi ini dapat dijelaskan oleh kenyataan bahwa penyuluh kehutanan (PNS) di Wonogiri sangat jarang, bahkan beberapa responden menyatakan tidak pernah dikunjungi penyuluh. Sebagai perbandingan, di Wonogiri dalam satu kecamatan hanya terdapat satu orang penyuluh kehutanan, sementara wilayah binaan mencakup 8-10 desa. Sementara di Gunung Kidul dalam satu kecamatan ditugaskan tiga orang penyuluh kehutanan yang tersebar di 9-12 wilayah binaan, sehingga satu orang penyuluh kehutanan bertugas membina kurang lebih tiga sampai empat desa. Belum lagi di masing-masing kecamatan terdapat supervisor penyuluh kehutanan. Walaupun dari sisi jumlah pendamping dalam proses sertifikasi PHBML dari pihak LSM tidak berbeda yaitu seorang pendamping dari LSM menangani satu kecamatan, namun intensitas pendampingan yang dilakukan oleh LSM di Wonogiri sangat berbeda dengan di Gunung Kidul. Proses pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul, dilakukan secara berkelanjutan dan terpadu sehingga selain pendamping dari LSM, Perguruan Tinggi juga melibatkan penyuluh kehutanan. Proses pembelajaran masyarakat di tiga desa sertifikasi didampingi oleh LSM yang berbeda. Namun semua pendamping telah mendapatkan pembekalan untuk mendampingi masyarakat yang berbeda namun dengan materi yang relatif sama. Petani sertifikasi di Wonogiri sangat jarang memiliki kesempatan untuk mendapatkan materi pembelajaran dari penyuluh dan pendamping. Memang ada beberapa kali pertemuan untuk sosialisasi mengenai sertifikasi/hrl, dan ada beberapa kali pelatihan untuk meningkatkan wawasan teknis dan kapasitas petani berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari seperti pemetaaan partisipatif, pengelolaan hasil panen dan lainnya, namun hanya melibatkan beberapa pengurus saja. Dengan intensitas pertemuan yang sangat kecil, penyuluh dan pendamping kurang dapat memahami dan menggali kebutuhan, permasalahan sesungguhnya yang dihadapi oleh petani. Kenyataan yang menarik ialah dengan memperbandingkan nilai rataan kompetensi penyuluh dan pendamping di lokasi non sertifikasi di kedua lokasi penelitian. Terlihat bahwa skor rataan kompetensi penyuluh kehutanan di lokasi non sertifikasi di Gunung Kidul masih lebih tinggi (pada kisaran nilai 30 dan 40)

104 dari nilai rataan kompetensi penyuluh dan pendamping yang dinilai oleh petani sertifikasi di Wonogiri (pada kisaran nilai 20). Kondisi tersebut dapat menggambarkan bahwa masyarakat di Gunung Kidul, sekalipun belum mendapatkan pendampingan mengenai Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi), namun menilai kompetensi penyuluh lebih baik daripada di petani sertifikasi Wonogiri, sekalipun telah mendapatkan pembelajaran Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi). Hal tersebut dimungkinkan karena petani di Gunung Kidul, sekalipun belum mendapatkan pembelajaran mengenai sertifikasi HRL, namun tetap mendapatkan pembelajaran dari penyuluh pada saat pertemuan kelompok, sekalipun masih sangat minim. Penyuluh Kehutanan di Gunung Kidul, walaupun jarang masih datang ke kelompok (pengurus) dan pertemuan kelompok, terutama bila diminta kehadirannya. Dikaitkan dengan paradigma dalam penelitian ini, kompetensi penyuluh dan pendamping yang diharapkan adalah penyuluh yang insider yang bekerja bersama masyarakat dan bukan penyuluh yang bertindak sebagai outsider, yang bekerja untuk masyarakat. Pada kenyataannya, berdasarkan tujuh indikator pengukuran dapat disimpulkan bahwa penyuluh dan pendamping dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari baik di Gunung Kidul dan Wonogiri masih bertindak sebagai penyuluh dan pendamping yang outsider dilihat dari tujuh indikator kemampuan sebagaimana diuraikan di bawah ini. Kemampuan berkomunikasi Penyuluh dan pendamping sebenarnya sudah banyak menggunakan komunikasi dua arah (dialog) maupun komunikasi banyak arah (diskusi) dalam pendekatan kepada petani. Tetapi karena intensitas pertemuan dengan penyuluh sangat jarang (kecuali para pengurus kelompok), maka petani menilai sulit untuk berkomunikasi, terbuka dan menjalin hubungan yang erat dengan penyuluh dan pendamping. Dilihat dari skor rataan kompetensi penyuluh dan pendamping, terbukti bahwa kemampuan berkomunikasi memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan indikator lainnya. Sebagian besar petani sertifikasi di Gunung Kidul menilai kemampuan penyuluh dan pendamping dalam berkomunikasi sedang (41%) dan tinggi (37%).

105 Sementara sebagian besar petani sertifikasi (82%) di Wonogiri menilai kemampuan penyuluh dan pendamping dalam berkomunikasi rendah. Hal ini dapat dijelaskan bahwa sebelum proses pendampingan dalam rangka sertifikasi hutan rakyat di Gunung Kidul, Perguruan Tinggi dalam hal ini Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR) Universitas Gajah Mada telah melakukan pendampingan Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat Lestari (RBUMHRL) pada tahun 2000, khususnya di Desa Kedung Keris, Kecamatan Nglipar. Selain itu penyuluh kehutanan juga sudah melaksanakan kegiatannya, terutama sejak program penghijauan dan rehalibitasi hutan dan lahan dilakukan. Dengan demikian masyarakat sudah mengenal dan berkomunikasi dengan penyuluh kehutanan, walaupun tidak dengan intensitas yang tinggi. Komunikasi dan hubungan yang baik dengan penyuluh dan pendamping di Gunung Kidul tidak hanya terbatas pada proses sertifikasi Hutan Rakyat Lestari saja, tetapi terus berlanjut sampai dengan penelitian dilakukan, walaupun tidak seintensif pada saat pendampingan proses sertifikasi. Beberapa hal yang mendukung kelancaran komunikasi penyuluh dan pendamping dengan petani sertifikasi di Gunung Kidul ialah: pendamping masih terus memantau, terutama saat ini memantau perkembangan koperasi Wana Manunggal Lestari. Hal ini sangat berbeda dengan Wonogiri, komunikasi yang dilakukan dengan pendamping sebatas pada proses sertifikasi, dan terbatas pada pertemuan kelompok pada saat sosialisasi dan pemetaan lahan milik di lapangan. Pasca proses sertifikasi, komunikasi dengan pendamping tidak berlanjut. Hanya Ketua Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) yang bertemu dan berkomunikasi dengan pendamping. Demikian juga dengan penyuluh kehutanan, karena keterbatasan tenaga penyuluh kehutanan dan fokus kegiatan dari Dinas Kehutanan tidak mencakup kedua desa sertifikasi dimaksud, maka penyuluh kehutanan sudah lama tidak mengunjungi dan membina petani sertifikasi di kedua desa tersebut. Kemampuan menggali kebutuhan petani Terdapat perbedaan yang nyata antara kemampuan penyuluh dan pendamping dalam menggali kebutuhan petani sertifikasi di kedua lokasi penelitian. Penyuluh dan pendamping di Gunung Kidul dinilai memiliki

106 kompetensi sedang dengan skor rataan 61 sementara di Wonogiri dinilai rendah dengan skor rataan 22. Penyuluh dan pendamping pada kedua kabupaten tersebut tidak ada yang berdomisili di desa yang didampingi. Hampir semua pendamping berasal dari luar desa, sehingga dalam melakukan pendampingan hanya pada saat diperlukan akan tinggal di desa selama beberapa hari saja. Dengan demikian sosialisasi yang baik, hubungan yang erat, intensitas pertemuan dengan petani yang didampingi kurang berjalan dengan baik. Selain itu penggunaan pendekatan yang kurang partisipatif menyebabkan sulitnya penyuluh dan pendamping peka terhadap kondisi yang dihadapi petani, kurang dapat memahami kebutuhan dan permasalahan petani dan kurang fokus dalam memberikan perhatian pada pemenuhan kebutuhan dan pemecahan permasalahan petani. Selain itu, pada kenyataannya dalam proses pendampingan yang dilakukan selama proses sertifikasi, tidak semua pendamping atau penyuluh mengikuti proses dari awal sampai akhir. Misalnya LSM yang mendampingi di Kec. Girisekar (Arupa) tidak memiliki pendamping yang tetap untuk mendampingi proses sertifikasi dan seringkali harus mengganti pendampingnya. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi kepercayaan dan keterbukaan petani terhadap pendampingnya. Di sisi lain, khususnya di Desa Jeruken, Kec. Girisekar, Kabupaten Gunung Kidul, petani mengungkapkan bahwa mereka sangat menghargai dan merasakan manfaat dari keberadaan pendamping yang tinggal menetap di desa. Menurut pengalaman mereka, pendamping yang tinggal menetap di desa dapat bersosialisasi sangat baik dengan masyarakat, intensitas bertemu lebih banyak, bukan saja dalam kegiatan formal kelompok tani hutan rakyat HR tetapi juga dalam kegiatan non formal seperti kegiatan sosial dan keagamaan akan membuat petani lebih dekat, lebih terbuka kepada pendamping sehingga pendamping juga dapat lebih memahami permasalahan dan kebutuhan petani yang didampinginya. Kemampuan menganalisa permasalahan Kemampuan penyuluh dan pendamping dalam menganalisa permasalahan di kedua lokasi penelitian berbeda nyata, di Gunung Kidul skor rataan 61

107 termasuk kategori sedang sedangkan di Wonogiri skor rataan 23 termasuk kategori rendah. Persentasi petani sertifikasi di Gunung Kidul yang menilai kemampuan penyuluh dan pendamping tinggi dalam menganalisa permasalahan tidak berbeda jauh dengan penilaian sedang yaitu 34% dan 37%. Sedangkan di Wonogiri hampir semua petani sertifikasi (93%) menilai kemampuan penyuluh dan pendamping dalam menganalisa permasalahan, memberikan alternatif pemecahan permasalahan rendah. Kenyataan ini sebenarnya sejalan dengan kemampuan komunikasi dan kemampuan mengenali kebutuhan petani, yaitu sesuai dengan intensitas pertemuan yang sangat jarang dan keberadaan penyuluh dan pendamping yang tidak tinggal bersama dengan petani di desa menyebabkan adanya keterbatasan pendamping dan penyuluh dalam melihat permasalahan dari sudut pandang petani. Di sisi lain, pendamping dan penyuluh memiliki target-target yang ditetapkan oleh insitusi tempat mereka bekerja, sehingga fokus perhatian lebih kepada pencapaian target-target yang ditetapkan oleh institusi kerja mereka, dan bukan kepada kebutuhan dan permasalahan riil yang dihadapi petani khususnya berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Kemampuan menjalin kemitraan Sama dengan indikator lainnya, terdapat perbedaan yang nyata dalam kemampuan penyuluh dan pendamping dalam menjalin kemitraan antara penyuluh dan pendamping di kedua lokasi penelitian. Petani sertifikasi di Gunung Kidul menilai kemampuan pendamping dan penyuluh dalam menjalin kemitraan sedang dengan skor rataan 64 sedangkan di Wonogiri rendah dengan skor rataan 44. Dilihat dari skor rataan di kedua kabupaten, kemampuan pendamping dan penyuluh menjalin kemitraan merupakan indikator kedua terbaik setelah kemampuan komunikasi. Hal tersebut dapat dimengerti mengingat proses sertifikasi di kedua kabupaten melibatkan pihak-pihak di luar pendamping atau penyuluh itu sendiri. Proses sertifikasi di Gunung Kidul merupakan kerjasama kelompok kerja (POKJA) Hutan Rakyat Lestari yang dibentuk oleh Bupati Kab. Gunung Kidul dengan Keputusan Bupati Gunung Kidul Nomor: 95/KPTS/2005 tanggal 20 September 2005, yang beranggotakan Perguruan Tinggi, Lembaga

108 Swadaya Masyarakat (LSM), pihak pemerintah dan masyarakat (Ketua Petani HR). Pendamping dan penyuluh di Gunung Kidul dimudahkan untuk melakukan kerja sama dengan adanya Pokja HRL tersebut. Walaupun tidak ada Pokja HRL seperti di Gunung Kidul, sertifikasi hutan rakyat di Wonogiri merupakan yg pertama di Indonesia, dan merupakan kerja sama antara LSM PERSEPSI dengan World Wildlife Fund (WWF) dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Dengan demikian pendamping dan penyuluh juga tidak mengalami kesulitan untuk menjalin kemitraan, khususnya berkaitan dengan pelatihan, magang, dan lainnya. Kemampuan meningkatkan kapasitas petani Kemampuan penyuluh dan pendamping dalam meningkatkan kapasitas petani sertifikasi di Gunung Kidul dinilai sedang dengan skor rataan 60 sedangkan di Wonogiri tergolong rendah dengan skor rataan 22. Kemampuan pendamping dan penyuluh dalam meningkatkan kapasitas petani sebenarnya sangat berkaitan dengan fokus perhatian, program, kegiatan dan anggaran institusi tempat mereka bekerja. Misalnya dalam kegiatan pemetaan, magang dan studi banding petani ke usaha furniture, pendamping dan penyuluh tidak mampu melakukannya tanpa adanya program dan dukungan anggaran dan insitusi tempat bekerja ataupun mitra kerjanya. Hampir semua petani sertifikasi di Wonogiri (94%) menilai kemampuan penyuluh dalam meningkatkan kapasitas petani rendah. Hal ini dapat dipahami karena hampir tidak ada pelatihan bagi petani berkaitan dengan pengelolaan HRL. Sekalipun diadakan kegiatan peningkatan kapasitas, seperti magang untuk pengolahan limbah kayu hanya melibatkan beberapa orang saja. Demikian juga dengan kegiatan pemetaaan lahan milik, yang seharusnya dipahami oleh semua anggota yang memiliki lahan, tetapi pada kenyataannya hanya melibatkan sebagian pengurus saja. Kemampuan pendamping dan penyuluh dalam meningkatkan kapasitas petani berkaitan dengan kemampuan sebelumnya yaitu mengadakan komunikasi, mengenali kebutuhan petani dan menganalisa permasalahan, mencarikan alternatif solusi bagi petani. Peningkatan kapasitas petani seharusnya merupakan salah satu

109 alternatif penyelesaian permasalahan petani dan pemenuhan kebutuhan petani, sehingga merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan. Namun kenyataannya peningkatan kapasitas petani kurang mendapatkan perhatian dari pendamping dan penyuluh karena kelemahan dalam komunikasi, pemahaman terhadap kebutuhan dan permasalahan petani. Salah satu contoh baik di Gunung Kidul, khususnya di Kec.Panggang, Desa Girisekar adalah petani dilatih untuk dapat mengembangkan usaha lain sebagai alternatif untuk menanggulangi permasalahan mereka mengatasi kebiasaan tebang butuh kayu-kayu dengan diameter kecil. Pendamping berupaya untuk mencarikan jalan keluar bagi permasalahan petani berkaitan dengan mengadakan pelatihan untuk mengembangkan usaha pembuatan kompos, minyak Virgin Coconut Oil (VCO) dan lainnya. Sebaliknya di Wonogiri, pendamping dengan menjaring LSM maupun badan internasional berupaya untuk mengembangkan industri pengolahan limbah kayu dengan melatih beberapa anggota kelompok tani. Walaupun baik, namun petani sendiri menilai bahwa upaya itu hanya melibatkan sedikit orang dan bukan merupakan pemecahan permasalahan yang sedang dihadapi sebagian besar petani dalam pengelolaan HRL. Kemampuan mengembangkan kelembagaan petani Dalam hal kemampuan pendamping dan penyuluh mengembangkan kelembagaan petani juga terdapat perbedaan nyata antara petani hutan rakyat sertifikasi di kedua lokasi penelitian. Kemampuan penyuluh dan pendamping dalam mengembangkan kelembagaan petani di Gunung Kidul tergolong sedang dengan skor rataan 62, sedangkan di Wonogiri tergolong rendah dengan skor rataan 19. Hampir semua petani sertifikasi di Wonogiri (97%) menilai kemampuan pendamping dan penyuluh dalam mengembangkan kelembagaan petani rendah. Sedangkan persentasi petani sertifikasi di Gunung Kidul yang menilai tinggi kemampuan penyuluh dan pendamping dalam mengembangkan kelembagaan petani masih cukup banyak yaitu 39%, dan menilai sedang 30%. Perbedaan yang sangat menyolok ini dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) pendampingan