BAB III METODE PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lampiran 1 Peta posisi strategis Kota Selatpanjang diantara jalur perdagangan internasional

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

PEMBANGUNAN HUTAN KOTA DALAM STRATEGI PEMBANGUNAN PERKOTAAN PROVINSI BANTEN

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.71/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA

*39929 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 63 TAHUN 2002 (63/2002) TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

BAB I PENDAHULUAN. yang semula merupakan ruang tumbuh berbagai jenis tanaman berubah menjadi

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG HUTAN KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 18% dari luas wilayah DIY, terbentang di antara 110 o dan 110 o 33 00

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SITUBONDO,

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 21 TAHUN 2013

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER MATA KULIAH ILMU HUTAN KOTA LANJUTAN

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MK Hutan Kota Untuk Pembangunan KOTA BERKELANJUTAN. HK (2 0) PS Ekowisata dan Jasa Lingkungan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kuantitas lingkungan. Menurut Reksohadiprodjo dan Karseno (2012: 43),

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PEDOMAN TEKNIS PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH

KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU

WALIKOTA PALANGKA RAYA

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

19 Oktober Ema Umilia

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU)

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI

METODOLOGI. Tabel 1. Jenis, Sumber, dan Kegunaan data No Jenis Data Sumber Data Kegunaan

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

Oleh: Tarsoen Waryono **)

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. permukaan tanah dan atau air (Peraturan Pemeritah Nomor 34 Tahun 2006).

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN Latar Belakang

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

BAB III BAHAN DAN METODE

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG,

TINJAUAN PUSTAKA. waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang

Transkripsi:

9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Lokasi penelitian mencakup lokasi Ruang Terbuka Hijau yang telah ditetapkan dalam RTRW Kota Selatpanjang, Kantor Bappeda Kabupaten Kepulauan Meranti, dan Kantor Dinas Kehutanan dan Pertanian Kabupaten Kepulauan Meranti. 3.2 Bahan dan Alat Objek yang menjadi bahan penelitian ini yaitu lokasi calon hutan kota, sarana dan prasarana, serta dokumen yang berhubungan dengan penelitian. Alat yang digunakan yaitu alat tulis, kamera, dan Global Positioning System (GPS). 3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan Data yang diperlukan dalam penentuan lokasi dan luas hutan kota yaitu lokasi RTH (yang telah ditetapkan berdasarkan RTRW Kota Selatpanjang), luasan RTH, kepemilikan lahan, dan luas keseluruhan wilayah Kota Selatpanjang. Data yang diambil dalam penentuan fungsi, manfaat, tipe, bentuk hutan kota serta perumusan permasalahan dan kebutuhan Kota Selatpanjang yaitu kondisi dan potensi biofisik lokasi (tutupan lahan, jenis vegetasi, kondisi air, tanah, dan bentang alam), infrastruktur lokasi, aksesibilitas serta posisi lokasi. Data lain yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain peraturan perundangundangan terkait pengelolaan lingkungan, dokumen perencanaan wilayah kabupaten, dan Kabupaten Kepulauan Meranti dalam angka 2010. 3.4 Metode Pengumpulan Data Metode pengambilan data yaitu survey lapangan, dan studi pustaka. Kegiatan survey dilakukan dengan observasi lapangan dan pengamatan visual serta pengukuran luas menggunakan GPS. Studi pustaka meliputi pengumpulan data dari Bappeda dan Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Meranti. Data yang diambil melalui studi pustaka yaitu lokasi RTH, kepemilikan lahan, luas keseluruhan wilayah Kota Selatpanjang, kondisi dan potensi biofisik

10 lokasi, infrastruktur lokasi, aksesibilitas serta posisi lokasi. Data yang diambil melalui survey yaitu luas lokasi (menggunakan GPS), infrastruktur lokasi serta posisi lokasi. Data yang diambil melalui survey dari hasil studi pustaka yaitu kondisi dan potensi biofisik lokasi, penggunaan lahan dan aksesibilitas lokasi. 3.5 Metode Analisis Data 3.5.1 Lokasi dan luasan hutan kota Penentuan lokasi hutan kota memperhatikan kriteria yaitu: merupakan bagian dari RTH sesuai peruntukan dalam RTRW Kabupaten/Kota, luas minimal hutan kota adalah 0.25 ha dalam satu hamparan yang kompak (hamparan yang menyatu), dan berada pada tanah negara atau tanah hak, jika berada di tanah hak harus merupakan ruang terbuka hijau yang didominasi pepohonan (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.71/MenhutII/2009). Selain memenuhi kriteria tersebut, dalam penelitian ini penentuan lokasi hutan kota juga dikaitkan dengan status kepemilikan lahan, fungsi dan manfaat hutan kota, permasalahan dan kebutuhan Kota Selatpanjang, serta tipe dan bentuk hutan kota yang akan direncanakan, yang metodenya dijelaskan dalam subbab berikutnya. Status kepemilikan lahan digunakan sebagai salah satu kriteria penentuan lokasi hutan kota dalam penelitian ini karena dalam pelaksanaan pengelolaannya, hutan kota pada tanah milik masyarakat akan menemui banyak kendala diantaranya pemberian insentif yang harus dibayar pada pemilik lahan dan resiko jangka panjang terhadap penggunaan lahan. Untuk itu pada penelitian ini lokasi hutan kota dipilih pada tanah Negara meskipun menurut peraturan perundangundangan lokasi hutan kota dapat berada pada tanah Negara maupun tanah hak. Lahan dengan fungsi ganda juga tidak dipilih menjadi lokasi hutan kota, seperti lahan yang berfungsi produksi (perkebunan, pertanian, tambak dan sebagainya) karena lokasi dengan kondisi tersebut akan menimbulkan permasalahan jangka panjang jika fungsinya digandakan menjadi hutan kota. Lahan produksi akan sering mengalami perubahan baik perubahan vegetasi, tanah, maupun topografi lahan karena perubahan akan dilakukan dalam rangka meningkatkan fungsi produksi atau untuk mengganti jenis komoditas yang dikembangkan.

11 Penentuan lokasi hutan kota dalam penelitian ini juga memperhatikan fungsi dan manfaat maksimal yang dapat dicapai tiaptiap lokasi calon hutan kota. Lokasi yang memiliki fungsi dan manfaat yang relatif lebih tinggi dibandingkan lokasi lain akan dipilih menjadi lokasi hutan kota. Hal tersebut disebabkan pembangunan hutan kota harus memberikan fungsi dan manfaat yang maksimal bagi kota. Selain itu lokasi hutan kota juga harus dapat mengatasi berbagai permasalahan dan kebutuhan Kota Selatpanjang. Lokasi hutan kota secara total harus memenuhi luasan minimal 10% dari luas Kota Selatpanjang. 3.5.2 Fungsi dan manfaat hutan kota Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk menentukan fungsi dan manfaat mana yang dapat dipenuhi hutan kota tersebut. Menurut Nazir (2003), analisis deskriptifkualitatif merupakan suatu teknik yang menggambarkan dan menginterpretasikan arti data yang telah terkumpul dengan memberikan perhatian dan merekam sebanyak mungkin aspek situasi yang diteliti pada saat itu, sehingga memperoleh gambaran secara umum dan menyeluruh tentang keadaan sebenarnya. Tujuan deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai faktafakta, sifatsifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Data yang telah dirangkum menjadi bentuk kondisi dan potensi lokasi, kemudian dirumuskan fungsi hutan kota berdasarkan fungsi hutan kota dalam Dahlan 2004 dan manfaatnya sesuai PP No. 63 Tahun 2002 (Tabel 1). Fungsi hutan kota yaitu memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, meresapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota, dan mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesi. Manfaat hutan kota yaitu pariwisata alam, rekreasi dan atau olah raga; penelitian dan pengembangan; pendidikan; pelestarian plasma nutfah; dan atau budidaya hasil hutan bukan kayu.

12 Tabel 1 Analisis data untuk menentukan fungsi dan manfaat Hutan Kota Selatpanjang Kondisi dan Potensi lokasi Vegetasi hutan mangrove yang rapat (habitat bagi berbagai ikan dan udang) Rentan terkena abrasi air laut Berdekatan dengan Industri atau pabrik Kondisi lahan yang terbuka Lahan tergenang air gambut Kondisi ekonomi masih rendah Terletak di area perkantoran atau pusat pendidikan Berpotensi sebagai sarana olahraga bagi masyarakat Merupakan jalan utama kota Fungsi hutan kota (Dahlan 2004) Fungsi pengawetan (pelestarian mangrove dan kehidupannya) Fungsi lain: Pendidikan dan penelitian, penunjang rekreasi dan pariwisata (melindungi dari abrasi, membentuk daratan) Fungsi penyehatan lingkungan (penyerap dan penjerap partikel polutan, penyerap gas beracun, penyerap CO 2 ) (peredam kebisingan, ameliorasi iklim mikro dan penapis bau) (menjaga iklim mikro dan mencegah suhu udara yang panas) Fungsi estetika (menutupi bagian kota yang tidak produktif/kurang baik) (mengatasi penggenangan air gambut) Manfaat hutan kota (PP No. 63 Tahun 2002) Pariwisata alam dan rekreasi (wisata mangrove) Penelitian dan pengembangan Pendidikan Pelestarian plasma nutfah Fungsi produksi (HHBK) Budidaya hasil hutan bukan kayu Fungsi estetika (memperindah lokasi perkantoran) Fungsi lainnya: sarana olahraga Fungsi penyehatan lingkungan (penyerap dan penjerap polutan transportasi) Fungsi estetika (peredam kebisingan transportasi) Sarana rekreasi dan olahraga

13 3.5.3 Bentuk dan tipe hutan kota Berdasarkan analisis data secara deskriptif kualitatif yang telah dirangkum dalam kondisi dan potensi lokasi, ditentukan tipe hutan kota yang tepat dan sesuai (Tabel 2). Bentuk hutan kota ditentukan berdasarkan bentuk/karakteristik lahan (Tabel 3). Tabel 2 Analisis data untuk menentukan tipe hutan kota Selatpanjang Kondisi dan Potensi lokasi Vegetasi mangrove rapat (habitat ikan dan udang) Rawan penebangan dan konversi lahan Rentan abrasi Tanah tergenang air gambut Terletak di tepi jalan Digunakan sebagai sarana olahraga, rekreasi, pramuka, wisata, dll. Terdapat bangunan dan dekat aktivitas masyarakat Berdekatan dengan pabrik/industri Tipe hutan kota (PP No. 63 Th. 2002) Tipe pelestarian plasma nutfah Tipe rekreasi Tipe pelestarian plasma nutfah Tipe perlindungan Tipe perlindungan Tipe pengamanan Tipe rekreasi Tipe kawasan permukiman Tipe kawasan industri Tabel 3 Analisis data untuk menentukan bentuk hutan kota Selatpanjang Karakteristik lahan Lahan berbentuk jalur lurus atau melengkung, mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, dan lainnya. Lebar lahan atau panjangnya tidak dibatasi. Lahan berbentuk satu kesatuan yang kompak (tidak terpisah, dapat berbentuk persegi, lingkaran, atau tidak beraturan) Lahan berbentuk kelompokkelompok (atau bentuk jalurjalur) yang terpisah dan merupakan satu kesatuan pengelolaan. Bentuk hutan kota Jalur Mengelompok Menyebar 3.6 Tahapan Perencanaan Hutan Kota Selatpanjang Setelah data terkumpul dan dianalisis, dilakukan tahapan perencanaan Hutan Kota Selatpanjang. Tahapan perencanaan dimulai dengan memilih beberapa lokasi dari 20 lokasi RTH berdasarkan kriteria luasan minimal, kepemilikan lahan, dan penggunaan lahan serta dikaitkan dengan fungsi dan manfaat hutan kota, permasalahan dan kebutuhan Kota Selatpanjang, serta tipe dan bentuk hutan kota (Gambar 1).

14 20 lokasi RTH menurut RTRW Kota Kriteria luas >0,25 Ha Calon hutan kota dengan luas >0,25 Ha Kriteria kepemilikan lahan Penggunaan lahan Calon hutan kota dengan luas >0,25 Ha dan berada pada tanah negara Fungsi dan manfaat hutan kota Permasalahan dan kebutuhan Kota Selatpanjang Mencukupi 10 % dari luas kota Calon hutan kota dengan lokasi, luas, fungsi dan manfaat yang tepat Tipe dan Bentuk hutan kota Hutan Kota Selatpanjang Gambar 1 Tahapan perencanaan Hutan Kota Selatpanjang.