PEMACUAN PERGANTIAN KULIT KEPITING BAKAU (Scylla serrata) MELALUI MANIPULASI LINGKUNGAN UNTUK MENGHASILKAN KEPITING LUNAK



dokumen-dokumen yang mirip
LAJU PEMANGSAAN LARVA KEPITING BAKAU (Scylla serrata) TERHADAP PAKAN ALAMI ROTIFERA (Brachionus sp.)

POLIKULTUR KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DAN RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa) DENGAN METODE TEBAR YANG BERBEDA

V HASIL DAN PEMBAHASAN. pengamatan tersebut diberikan nilai skor berdasarkan kelompok hari moulting. Nilai

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA

PENGARUH PERUBAHAN SALINITAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SINTASAN IKAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer Bloch)

PERTUMBUHAN CALON INDUK IKAN BERONANG Siganus guttatus TURUNAN PERTAMA (F-1) DENGAN BOBOT BADAN YANG BERBEDA

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Larva Rajungan. Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2

PENDEDERAN IKAN BERONANG (Siganus guttatus) DENGAN UKURAN TUBUH BENIH YANG BERBEDA

PENGARUH TEKNIK ADAPTASI SALINITAS TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN, Pangasius sp.

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

TINGKAT KERJA OSMOTIK UDANG VANAME, Litopenaeus vannamei PADA BUDIDAYA SISTEM INTENSIF DENGAN APLIKASI BIOFLOK DAN PERGILIRAN PAKAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

Tingkat Kelangsungan Hidup

HASIL DAN PEMBAHASAN

TOLERANSI KADAR GARAM JENIS KEPITING BAKAU DI TAMBAK

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA

HASIL PENELITIAN. Kondisi Kualitas Air

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Nike: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 3, Nomor 1, Maret 2015

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.15 No.1 Tahun 2015

MAINTENANCE MUD CRAB (Scylla serrata) WITH DIFFERENT FEEDING FREQUENCY

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fattening of Soft Shell Crab With Different Food

I. PENDAHULUAN. diakibatkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah munculnya penyakit yang

Pengaruh Pemberian Dosis Pakan Otohime yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Kerapu Bebek di BPBILP Lamu Kabupaten Boalemo

Pengaruh Pemberian Pakan Tambahan Terhadap Tingkat Pertumbuhan Benih Ikan Bandeng (Chanos chanos) Pada Saat Pendederan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGENALAN UMUM BUDIDAYA KEPITING BAKAU

INJEKSI HORMON DARI EKSTRAK TANAMAN HERBAL SEBAGAI STIMULATOR UNTUK MOULTING KEPITING BAKAU, Scylla sp.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENTOKOLAN UDANG WINDU (Penaeus monodon) SISTEM HAPA DENGAN UKURAN PAKAN BERBEDA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2011 bertempat di. Balai Budidaya Ikan Hias, Natar, Lampung Selatan.

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADA BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) POLA TRADISIONAL PLUS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA

Pengaruh Metode Aklimatisasi Salinitas Terhadap Kelangsungan Hidup Benih Ikan Nila (Oreochromis sp.)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Rata-rata laju pertumbuhan bobot, lebar karapas dan panjang karapas kebiting bakau, Scyla srerata selama penelitian.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KONDISI KUALITAS AIR PADA PEMELIHARAAN KEPITING BAKAU (Scylla paramamosain) SECARA RESIRKULASI DENGAN KEPADATAN YANG BERBEDA

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

515 Keragaan pertumbuhan benih Cherax... (Irin Iriana Kusmini)

PENGARUH INTENSITAS PENCAHAYA AN PADA PEMELIHARA AN L ARVA KEPITING BAKAU, Scylla paramamosain

BAB III BAHAN DAN METODE

METODE PENELITIAN Persiapan Penelitian Penelitian Pendahuluan Tahap 1 Waktu dan Tempat

PENOKOLAN UDANG WINDU, Penaeus monodon Fab. DALAM HAPA PADA TAMBAK INTENSIF DENGAN PADAT TEBAR BERBEDA

Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(1) :46-56 (2013) ISSN :

1) Staf Pengajar pada Prog. Studi. Budidaya Perairan, Fakultas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Rancangan Percobaan 2.2 Prosedur Kerja Persiapan Wadah Ukuran dan Padat Tebar

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN PAKAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan.

II. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

282 Jurnal Perikanan (J. FISH. Sci) X (2) : ISSN:

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN RAJUNGAN (PORTUNUS PELAGICUS L.) SECARA MONOKULTUR. Yusni Atifah

ABSTRACT. Keywords : Biofilter, Cherax quadricarinatus, Glochidia

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan

BAB III BAHAN DAN METODE

PEMBESARAN CALON INDUK KEPITING BAKAU HASIL PERBENIHAN DENGAN JENIS PAKAN BERBEDA

TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR 1

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERKEMBANGAN LARVA UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) ASAHAN PADA SALINITAS BERBEDA ABSTRAK

EFISIENSI BUDIDAYA KEPITING BAKAU Scylla serrata CANGKANG LUNAK PADA METODE PEMOTONGAN CAPIT DAN KAKI JALAN, POPEY, DAN ALAMI EKO HARIANTO

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: ISSN :

Pengaruh Pemberian Viterna Plus dengan Dosis Berbeda pada Pakan terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Lele Sangkuriang di Balai Benih Ikan Kota Gorontalo

PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) ABSTRAK

BIMTEK BUDIDAYA KEPITING BAKAU

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE

PENGARUH FOTOPERIODE TERHADAP PERTUMBUHAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) ABSTRAK

EFISIENSI PENGGUNAAN PLANKTON UNTUK PEMBENIHAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) PADA HATCHERI SKALA RUMAH TANGGA

Hasil Penelitian. setelah 100%. Percobaan ke-ii. 38 dan C. Hasil. Sintasan (%) ntasan (%)

Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro No. 1 Bandar Lampung Surel: ABSTRACT

Producing speed Moulting in Mud Crab (Scylla serrata) with Soft Shell Ablation And Mutilation Method

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

PENGARUH KOMBINASI SUHU DAN SALINITAS TERHADAP KEMATANGAN TELUR KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI BAK-BAK PERCOBAAN

EFEKTIFITAS SISTEM AKUAPONIK DALAM MEREDUKSI KONSENTRASI AMONIA PADA SISTEM BUDIDAYA IKAN ABSTRAK

Tingkat pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan bawal air tawar (Collosoma sp.) dengan laju debit air berbeda pada sistem resirkulasi

Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Gorontalo

EVALUASI PENGGUNAAN PAKAN DENGAN KADAR PROTEIN BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN BENIH IKAN NILEM (Osteochilus hasseltii)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo, yang melaksanakan tugas operasional

RESPON PERTUMBUHAN KEPITING BAKAU (Scylla Serrata Forskal) TERHADAP SALINITAS DAN JENIS PAKAN SEGAR

Pengaruh Ketinggian Air yang Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Lele Sangkuriang di Balai Benih Ikan Kota Gorontalo

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%)

Transkripsi:

179 Pemacuan pergantian kulit kepiting bakai... (Nur Ansari Rangka) PEMACUAN PERGANTIAN KULIT KEPITING BAKAU (Scylla serrata) MELALUI MANIPULASI LINGKUNGAN UNTUK MENGHASILKAN KEPITING LUNAK Nur Ansari Rangka dan Sulaeman ABSTRAK Balai Riset Perikanan dan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros, Sulawesi Selatan 90512 E-mail: litkanta@indosat.net.id Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan komoditas air kepiting lunak merupakan produk dari budidaya kepiting bakau yang permintaan baik lokal maupun ekspornya belum dapat dipenuhi. Kontroversi terhadap penolakan produk kepiting lunak akibat pemotongan kaki kepiting sebagai upaya mempercepat ganti kulit sudah merebak hingga ke mancanegara sehingga perlu dicari jalan lain yang dapat mempercepat ganti kulit tanpa dilakukan pemotongan kaki. Penelitian akan dilakukan di laboratorium BRPBAP selama tiga bulan untuk mendapatkan informasi tentang pemacuan ganti kulit kepiting bakau melalui manipulasi salinitas media pemeliharaan. Cara ini dinilai lebih aman daripada rangsangan ganti kulit dengan manipulasi hormon yang akan mempengaruhi penerimaan konsumen. KATA KUNCI: kepiting bakau, soka, moulting PENDAHULUAN Kepiting bakau (Scylla serrata) yang mengalami perkembangan pesat dalam kegiatan penelitian pada dekade terakhir. Salah satu produk ekspor dari kepiting bakau yang telah dikembangkan adalah kepiting lunak. Keberhasilan perbenihan kepiting dalam beberapa tahun terakhir, diharapkan dapat lebih memacu perkembangan budidaya kepiting lunak atau biasa disebut dengan soft shelled crab atau disingkat dengan kepiting soka (kepiting lunak). Saat ini harga kepiting soka di tingkat produsen Rp 100.000,-/kg. dengan jumlah 10 ekor/kg (Fujaya, 2009), masakan restoran siap saji di Makassar, Sulawesi Selatan menjual Rp 125.000,-/porsi (sekitar 4 5 ekor), dibandingkan dengan harga kepiting bakau biasa (non lunak) dengan bobot 100 200 g/ekor harga Rp 30.000,- Rp 45.000,-. Semua golongan arthropoda, termasuk kepiting mengalami proses pergantian kulit atau ganti kulit secara periodik, sehingga ukuran badannya bertambah besar. Agar kepiting bisa tumbuh menjadi besar, secara periodik akan melepaskan jaringan penghubung antara epidermis dan kutikula ekstraseluler, segera melepaskan diri dari kutikula (cangkang), menyerap air untuk memperbesar badan dan eksoskeleleton yang baru dan selanjutnya terjadi proses pengerasan dengan mineralmineral dan protein. Proses ganti kulit ini menghasilkan peningkatan ukuran badan (pertumbuhan) secara berkala. Ketika ganti kulit, badan kepiting menyerap air dan bertambah besar, kemudian terjadi pengerasan kulit. Setelah kulit luarnya keras, ukuran badan kepiting tetap sampai pada siklus ganti kulit berikutnya. Pada saat ganti kulit, kulit krustase yang tadinya keras digantikan oleh kulit yang lunak sehingga dikenal dengan soft shelling crab yang di Indonesia kemudian disingkat menjadi soka. Kepiting lunak dapat diidentifikasi dengan jalan memijit/menekan secara perlahan bagian badan kepiting. Karena kulitnya yang lunak, maka kepiting tidak dapat mencapit dan mudah penanganannya. Kondisi lunak tersebut hanya bertahan dalam waktu yang singkat kemudian berangsur-angsur mengeras kembali sebagaimana layaknya kepiting normal sehingga perlu pengontrolan yang ketat. Kepiting lunak yang dipasarkan khusus untuk konsumsi adalah kepiting yang baru saja ganti kulit atau paling tidak baru berumur 4 jam sejak ganti kulit. Pada kondisi demikian, bagian cangkang kepitingpun lunak apalagi bagian badan yang lainnya. Berbeda dengan kepiting lunak yang memang diproduksi untuk dikonsumsi, kepiting lunak yang biasanya tercampur dengan kepiting konsumsi yang dijual di pasaran biasanya kondisinya sudah lebih keras. Walaupun secara ekonomis budidaya soka kelihatan menguntungkan, namun sebagian besar pengusaha soka tidak bisa bertahan lama. Periode pemeliharaan yang lama dan waktu ganti kulit yang tidak serentak menjadi masalah utama dalam upaya produksi kepiting lunak. Periode

Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 180 pemeliharaan yang lama menyebabkan biaya pakan dan operasional produksi semakin besar, sedangkan waktu ganti kulit yang tidak serentak mengharuskan pengawasan yang ketat selama pemeliharaan sehingga kurang efisien dari segi waktu dan tenaga. Berbagai cara telah dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut seperti dengan rangsangan melalui manipulasi makanan, manipulasi lingkungan, dan teknik pemotongan kaki. Hingga saat ini teknik pemotongan kaki yakni dengan mematahkan capit dan kaki jalan kepiting masih merupakan cara yang paling praktis yang dapat dilakukan untuk mempercepat terjadinya pergantian kulit dan dapat diterapkan secara massal. Dengan mematahkan anggota badan kepiting, maka hormon pertumbuhannya akan memacu pembentukan kembali dari anggota badan yang hilang. Dengan cara ini, kepiting muda dapat berganti kulit dalam waktu 2-3 minggu tergantung pada kejelian di dalam memilih kepiting yang sudah mendekati fase ganti kulit. Teknik ini terbukti mampu mempercepat proses ganti kulit. Namun permasalahan lain muncul yaitu mortalitas meningkat dan tidak terjadi peningkatan bobot badan secara nyata bahkan cenderung menurun. Permintaan pasar kepiting soka masih sangat besar terbukti pengusaha kepiting soka belum mampu memenuhi permintaan sekitar 100 ton/bulan dari Kota Semarang untuk pemasaran Jawa Tengah, Masalah utama usaha kepiting soka adalah penyediaan jumlah benih yang bermutu, tepat waktu, untuk itu diharapkan kebutuhan benih Scylla serrata dapat terpenuhi melalui hasil pembenihan di hatcheri (Hanafi, 1995). Berdasarkan hal tersebut maka dilakukanlah serangkaian penelitian tentang manipulasi faktor lingkungan untuk mempecepat ganti kulit kepiting bakau. Salah satu faktor lingkungan yang diduga dapat mempengaruhi kecepatan pergantian kulit adalah manipulasi salinitas air yang digunakan. Penurunan dan peningkatan salinitas secara mendadak diharapkan dapat mempersingkat fase intermolt dan dapat memacu pergantian kulit secara bersamaan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang pemacuan pergantian kulit kepiting bakau melalui manipulasi lingkungan. BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian dilaksanakan di Instalasi Perbenihan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau yang ada di Kabupaten Barru. Penelitian ini merupakan pengamatan laboratorium yang didesain dengan rancangan acak lengkap pola faktorial. Dua faktor akan diuji yaitu perubahan salinitas (A) dan pemotongan kaki (B) masingmasing diulang 3 kali. Perlakuan yang diamati masing-masing adalah salinitas 10 ppt (A), 20 ppt (B), 30 ppt (C), 30-20 ppt (D), 30-10 ppt (E), dan 30-0 ppt (F). Bahan-bahan yang akan digunakan meliputi benih kepiting, berbagai bahan kimia untuk analisis kualitas air, dan analisis kondisi fisiologis kepiting, pakan kepiting, dan disinfektan. Berbagai peralatan dibutuhkan seperti refraktometer, termometer, DO-meter, bak fiber glass, aerator, keranjang, selang, pompa dab, terpal dan lain-lain. Pertama-tama semua bahan dan alat yang diperlukan disiapkan dan diset sesuai dengan desain penelitian yang telah ditentukan. Kepiting berukuran rata-rata 45 g/ekor, ditebar secara kelompok sebanyak 10 ekor/bak fiber glass volume 0,01 m 3, ukuran 40 cm x 40 cm x 60 cm bak diisi air sampai ketinggian 20 cm dengan salinitas bervariasi. Jumlah bak yang digunakan 18 buah. Kepiting diberi pakan sekali sehari dengan pakan segar. Pergantian air dilakukan setiap dua hari yang sekaligus mengakomodasi peningkatan atau penurunan salinitas sesuai dengan kombinasi yang telah ditentukan. Adapun perlakuan yang akan diuji yaitu: Faktor salinitas meliputi tiga kombinasi yaitu 30-20, 30-10, dan 30-0 ppt. Artinya media kepiting secara bergantian setiap dua hari berada pada 30 dan 20 ppt, 30 dan 10 ppt, dan 30 dan 0 ppt sampai dengan dua bulan pemeliharaan. Penurunan atau peningkatan salinitas dilakukan secara mendadak. Setiap kombinasi salinitas diperlakukan untuk faktor yang lain yakni pemotongan kaki yang terdiri atas dua level yaitu pemotongan kaki dan tanpa pemotongan kaki. yaitu antara keperluan persiapan bak dapat dilakukan sebagaimana persiapan tambak untuk budidaya bandeng untuk menghasilkan lingkungan tambak yang baik. Oleh karena itu, terdapat enam kombinasi perlakuan yang akan diuji melalui peubah periode ganti kulit, frekuensi ganti kulit, dan perkembangan kandungan

181 Pemacuan pergantian kulit kepiting bakai... (Nur Ansari Rangka) ekdisteroid darah. Data salinitas yang diperoleh dianalisis secara sidik ragam sedangkan data lainnya dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN BAHASAN Hubungan faktor salinitas dengan sintasan kepiting bakau yang dipelihara pasca ganti kulit disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kombinasi salinitas media pemeliharaan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap rata-rata sintasan kepiting bakau pasca moulting kepiting bakau. Sintasan tertinggi diperoleh pada perlakuan C dan D masing-masing sebesar 83,3%, disusul berturut-turut perlakuan E: 76,7%; B: 73,3%; A: 50% dan terendah pada perlakuan F: 0% yang disebabkan kematian semua kepiting. Tabel 1. Rata-rata sintasan pasca ganti kulit kepiting bakau terhadap perlakuan kombinasi salinitas pada akhir penelitian Perlakuan Salinitas (ppt) Sintasan pasca ganti kulit (%) A 10 50,0±20,0 a B 20 73,3±5,7 a C 30 83,3±15,2 a D 30-20 83,3±15,2a E 30-10 76,7±23,0 a F 30-0 0,0±0,00 b *) Angka dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05) Semua golongan arthropoda, termasuk kepiting bakau mengalami proses pergantian kulit atau ganti kulit secara periodik, sehingga ukuran badannya bertambah besar. Agar kepiting bisa tumbuh menjadi besar, secara periodik akan melepaskan jaringan penghubung antara epidermis dan kutikula ekstraseluler, segera melepaskan diri dari kutikula (cangkang), menyerap air untuk memperbesar badan dan eksoskeleleton yang baru dan selanjutnya terjadi proses pengerasan dengan mineralmineral dan protein. Proses ganti kulit ini menghasilkan peningkatan ukuran badan (pertumbuhan) secara diskontinu dan secara berkala. Ketika ganti kulit, badan kepiting menyerap air dan bertambah besar, kemudian terjadi pengerasan kulit. Setelah kulit luarnya keras, ukuran badan udang tetap sampai pada siklus ganti kulit berikutnya. Menurut Wiyanto & Hartono (2003), moulting berfungsi untuk merangsang dan mempercepat pertumbuhan. Selain itu, moulting juga berperan dalam proses pematangan gonad, sehingga betina dapat memproduksi telur dan jantan dapat meproduksi sperma. Selanjutnya, keduanya menyatakan bahwa moulting juga berperan dalam menumbuhkan kembali organ yang cacat. Selain pertumbuhan, pemicu moulting bisa juga akibat perubahan air. Perubahan air yang mendadak bisa menyebabkan kepiting stres. Kondisi ini menjadikan terjadinya perubahan pada struktur daging dan cangkang, yang akhirnya dapat menyebabkan terpisahnya bagian cangkang dengan daging tersebut. Salah satu faktor yang dapat memicu stres lingkungan adalah perubahan salinitas. Salinitas merupakan salah satu faktor abiotik penting yang mempengaruhi sintasan organisme akuatik. Salinitas dapat memodifikasi peubah fisika dan kimia air menjadi satu kesatuan pengaruh yang menjadi satu kesatuan pengaruh yang berdampak osmotik pada osmoregulasi dan bioenergetik (Karim, 2007). Ketika terjadi perubahan salinitas lingkungan, energi digunakan untuk mengubah konsentrasi cairan badan sesuai dengan lingkungan. Hal inilah yang memicu terjadinya ganti kulit pada kepiting bakau. Pada penelitian ini, manipulasi lingkungan dengan faktor salinitas menghasilkan persentase yang tidak berbeda nyata antar perlakuan namun yang berbeda adalah kecepatan ganti kulitnya. Gambar 1 memperlihatkan perbedaan kecepatan ganti kulit kepiting bakau. Semua kepiting bakau pada perlakuan F mengalami kematian sejak pergantian air pertama. Kepiting pada perlakuan A, C, dan D mengalami ganti kulit sejak ganti air yang pertama. Setelah ganti air yang kedua disusul oleh

Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 182 Frekuensi moulting 8 7 6 5 4 3 2 1 0 A (10 ppt) B (20 ppt) C (30 ppt) D (30-20 ppt) E (30-10 ppt) F (30-0 ppt) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Gambar 1. Ganti kulit ke- Kecepatan ganti kulit kepiting bakau pada perbedaan ganti air perlakuan B. Pada ganti air ketiga hanya perlakuan E yang mengalami ganti kulit. Ganti kulit tidak terjadi sejak ganti air ke-4 sampai ganti air ke-9. Ganti kulit kembali terjadi hampir pada setiap perlakuan pada pergantian air ke-10 kecuali pada perlakuan D. Pada pergantian air ke-11 sampai ke- 15 terjadi ganti kulit pada semua perlakuan kecuali perlakuan A pada pergantian air ke-12 dan ke- 13. Pada pergantian air ke-16 hanya kepiting pada perlakuan A dan B saja yang mengalami moulting sedangkan pada pergantian air ke-17, ganti kulit terjadi pada perlakuan A, D, dan E. Ganti kulit hanya terjadi pada perlakuan D dan E pada pergantian air ke-18. Kematian semua kepiting pada perlakuan F (salinitas 30 0 ppt) kemungkinan besar disebabkan karena lingkungan hidup yang hipoosmotik. Pada kondisi hipoosmotik, kepiting melakukan kerja osmotik yang tinggi sebagai respons fisiologis untuk mempertahankan lingkungan internalnya. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen, penurunan aktivitas makan dan aktivitas rutinitas (Kumlu et al., 2001). Proses adaptasi terhadap kondisi salinitas dilakukan melalui proses osmoregulasi. Osmoregulasi merupakan upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air dan ion antara di dalam badan dan lingkungannya melalui mekanisme pengaturan tekanan osmosis. Untuk organisme akuatik, proses tersebut digunakan sebagai langkah untuk menyeimbangkan tekanan osmosis antara substansi dalam badannya dengan lingkungan melalui sel yang permeabel. Dengan demikian, semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara badan dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, hingga batas toleransi yang dimilikinya (Setyadi et al., 1997; Supriyatna, 1999). Pada perlakuan ini, osmoregulasi kepiting bakau telah melampaui batas toleransinya, sehingga semua kepiting mati ketika salinitas air diturunkan menjadi 0 ppt. Kemungkinan lain penyebab kepiting bakau yang mati setelah ganti kulit karena disebabkan karena kadar CaCO 3 di dalam badan kepiting bakau tersebut belum cukup. Syarat utama terjadinya ganti kulit adalah cukupnya kadar CaCO 3 di dalam badan kepiting tersebut. CaCO 3 digunakan untuk membentuk karapas baru bagi kepiting. Karena jika dilakukan pergantian air secara mendadak dan kepiting mengalami moulting tetapi kepiting belum ada CaCO 3 -nya maka kepiting akan mati. Ada beberapa kemungkingan lain penyebab kegagalan dalam melakukan moulting, di antaranya adalah kondisi kepiting yang lemah karena berkurangnya aktivitas makan atau karena stres akibat kondisi salinitas yang kurang sesuai. Karim (2007) mengemukakan bahwa salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh penting pada konsumsi pakan, metabolisme, sintasan, dan pertumbuhan organisme akuatik. Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan perubahan/pertambahan bobot atau ukuran badan yang dipelihara dalam satuan waktu (Effendie, 2004). Pertumbuhan menjadi hal yang krusial bagi kepiting bakau karena

183 Pemacuan pergantian kulit kepiting bakai... (Nur Ansari Rangka) untuk tumbuh menjadi besar harus melepaskan kulit yang lama kemudian kulit yang baru yang lebih besar akan menggantikan tempatnya. Pertumbuhan kepiting dapat terjadi apabila energi yang diretensi positif atau energi yang disimpan lebih besar dibandingkan dengan energi yang digunakan untuk aktivitas tubuh. Megalopa memperoleh energi melalui pakan yang dikonsumsi dan pembelanjaannya digunakan untuk berbagai aktivitas hariannya (Karim, 2007). Terdapat beberapa cara untuk melihat pertumbuhan di antaranya dengan menghitung pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan harian krablet. Pertumbuhan bobot mutlak dinyatakan sebagai perubahan ukuran bobot dalam kurun waktu tertentu, sedangkan laju pertumbuhan harian dinyatakan sebagai persentase pertumbuhan bobot/hari (Effendie, 2004). Rata-rata pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan harian krablet S. serrata selama penelitian disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan harian megalopa (Scylla serrata) terhadap perlakuan perbedaan salinitas pada akhir penelitian Salinitas (ppt) Pertumbuhan bobot mutlak (g) Laju pertumbuhan bobot harian (%) 10 26,64±0,07 a 74,16±0,01 a 20 27,45±0,03 b 76,60±0,43 b 30 28,23±0,05 c 78,30±0,10 c 30?20 29,49±0,01 d 81,90±0,01 d 30?10 27,56±0,01 b 76,30±0,10 b 30?0 0,000±0,00 e 0,000±0,00 e *) Angka dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05) Tabel 2 memperlihatkan pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan harian kepiting soka pada akhir penelitian. Hasil analisis ragam menujukkan bahwa manipulasi salinitas media memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan harian kepiting soka. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan harian yang terbaik diperoleh pada perlakuan D, disusul berturut-turut oleh perlakuan C, E, B, dan A. Tingginya pertumbuhan bobot mulak dan laju pertumbuhan harian yang dihasilkan perlakuan kombinasi salinitas 30-20 ppt diduga karena kombinasi salinitas tersebut ideal bagi kepiting soka sehingga energi untuk pertumbuhan lebih besar karena penggunaan energi untuk osmoregulasi lebih rendah. Begitu juga dengan perlakuan salinitas 30 ppt. Media bersalinitas 10-20 ppt bersifat hipoosmotik. Kondisi ini sebenarnya kurang nyaman bagi kepiting soka, karena kepiting memiliki cairan sel yang besifat isotonik dengan lingkungannya. Sel yang terletak pada lingkungan isotonik akan memiliki volume cairan sel yang konstan karena volume air yang masuk dan keluar dari sel sama banyaknya. Namun kisaran salinitas tersebut masih berada dalam kisaran toleransi hidup kepiting bakau. Pada kondisi hipoosmotik atau hiperosmotik, kepiting melakukan kerja osmotik yang tinggi sebagai respons fisiologis untuk mempertahankan lingkungan internalnya. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen, penurunan aktivitas makan dan aktivitas rutinitas (Kumlu et al., 2001). Proses adaptasi terhadap kondisi salinitas dilakukan melalui proses osmoregulasi. Osmoregulasi merupakan upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air dan ion antara di dalam badan dan lingkungannya melalui mekanisme pengaturan tekanan osmosis. Untuk organisme akuatik, proses tersebut digunakan sebagai langkah untuk menyeimbangkan tekanan osmosis antara substansi dalam badannya dengan lingkungan melalui sel yang permeabel. Dengan demikian, semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara badan dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, hingga batas toleransi yang dimilikinya (Setyadi et al., 1997; Supriyatna, 1999). Akibatnya, energi yang diperoleh dari hasil metabolisme dalam badan yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan akan berkurang atau habis yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan kepiting soka.

Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 184 Kualitas Air Sintasan dan pertumbuhan megalopa juga dipengaruhi oleh peubah kualitas air dan pakan yang mencukupi. Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran peubah kualitas air meliputi: suhu, salinitas, ph, oksigen terlarut, dan amonia disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai peubah kualitas air media penelitian pada perlakuan berbeda Parameter Perlakuan A B C D E F Suhu ( C) 24,4-26,3 24,0-26,5 25,0-27,2 24,1-26,6 24,0-27,1 24,7-25,9 Salinitas (ppt) 10 20 30 30-20 30-10 30-0 Oksigen terlarut (mg/l) 5,8-6,66 5,8-6,54 5,8-6,61 5,8-6,48 5,8-6,88 5,8-6,26 ph 8,2-8,5 8,0-8,5 8,2-8,3 8,0-8,3 8,0-8,5 8,0-8,2 NH 3 (mg/l) 0,04-0,05 0,02-0,04 0,03-0,05 0,04-0,06 0,02-0,05 0,04-0,05 Zacharia & Kakati (2004) menyatakan, suhu merupakan salah satu faktor abiotik penting yang mempengaruhi aktivitas, nafsu makan, konsumsi oksigen, dan laju metabolisme krustase. Suhu yang optimun untuk kepiting bakau adalah 26 C sampai 32 C (Kuntiyo, 1994). Nilai ph penting karena dapat mempengaruhi proses dan kecepatan reaksi kimia di dalam air serta reaksi biokimia di dalam badan kepiting bakau. Menurut Christensen et al. (2005), ph optimum untuk kepiting bakau berkisar antara 7,5 dan 8,5. Amonia merupakan senyawa produk utama dari limbah nitrogen dalam perairan yang berasal dari organisme akuatik (Cavalli et al., 2000; Neil et al., 2005). Amonia bersifat toksik sehingga dalam konsentrasi yang tinggi dapat meracuni organisme (Lee & Chen, 2003). Oleh sebab itu, dalam media pemeliharaan kepiting bakau maka konsentrasi amonia dalam media tidak lebih dari 0,1 mg/l (Kuntiyo, 1994). Hasil penelitian Yunus et al. (1996) menunjukkan bahwa suhu 25 C- 33 C; salinitas 33-34 ppt; ph 8,24-8,32; dan oksigen terlarut 5,60-5,68 mg/l mendukung sintasan kepiting bakau 18,55%-74,08%. Berdasarkan hal tersebut maka kualitas air di seluruh wadah penelitian cukup baik dan layak dalam mendukung kehidupan kepiting soka selama penelitian. KESIMPULAN 1. Kombinasi salinitas media pemeliharaan berpengaruh tidak nyata terhadap sintasan kepiting bakau pasca ganti kulit tetapi berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kecepatan ganti kulit kepiting bakau. 2. Sintasan tertinggi diperoleh pada perlakuan C dan D sebesar 83,3%, disusul berturut-turut perlakuan E: 76,7%; B: 73,3%; A: 50% dan terendah pada perlakuan F: 0% yang disebabkan kematian semua kepiting. 3. Ganti kulit tercepat diperoleh pada perlakuan A (10 ppt). 4. Pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan harian yang terbaik diperoleh pada perlakuan D (30-20 ppt) 5. Perlu penelitian lanjutan untuk mengetahui efek pengaruh ganti kulit (pada salinitas optimum/ terbaik) pada pertumbuhan kepiting selanjutnya. 6. Usaha kepiting soka lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha pembesara kepiting lainnya. DAFTAR ACUAN Cavalli, R.O., Berghe, E.V., Lavens, P., Thuy, N.T.T., Wille, M, & Sorgeloos, P. 2000. Ammonia toxicity as a criterion for the evaluation of larval quality in the prawn Macrobrachium rosenbergii. Comp. Biochem. Physiol., 125C: 333-343. Christensen, S.M., Macintosh, D.J., & Phuong, N.T. 2005. Pond production of the mud crab Scylla paramamosain (Estampador) and S. olivacea (Herbst) in the Mekong Delta, Vietnam, using two different supplementary diets. Aqua. Res., 35: 1013-1024.

185 Pemacuan pergantian kulit kepiting bakai... (Nur Ansari Rangka) Effendie, I. 2004. Pengantar Akuakultur. Penerbit Penebar Swadaya. Bogor Indonesia, 187 hlm. Fujaya, Y. 2009. Budidaya Kepiting Soka, suatu terobosan usaha perikanan. Harian Fajar Makassar Tanggal, 20 Agustus 2009. Hanafi, A. 1995. Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata). Makalah disampaikan pada acara Desiminasi di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Ungaran. Balai Penelitian Perikanan Pantai Maros) Karim, M.Y. 2007. Pengaruh salinitas dan bobot terhadap konsumsi kepiting bakau (Scylla serrata Forsskal). J. Sains & Teknologi, 7(2): 85 92. Kumlu, M., Eroldogan, O.T., & Saglamtimur, B. 2001. The effect of salinity and added substrates on growth and survival of Metapenaeus monoceros (Decapoda: Penaeidae) post-larvae. Aquaculture, 196: 177-188. Kuntiyo, Arifin, Z., & Supratomo, T. 1994. Pedoman Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Tambak. Direktorat Jenderal Perikanan, Balai Budidaya Air Payau, Jepara, 29 hlm. Kurniawan, T. & Hartono, R. 2007. Pembesaran lobster air tawar secara tepat. Penebar Swadaya. Jakarta, 72 hlm. Lee, W.C. & Chen, J.C. 2003. Hemolymph ammonia, urea and uric acid levels and nitrogenous excretion of Marsupenaeus japonicus at different salinity levels. J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 288: 39-49. Neil, L.L.,. Fotedar, R., & Shelley C.C. 2005. Effects of acute and chronic toxicity of unionized ammonia on mud crab, Scylla serrata (Forsskal, 1755) larvae. Aqua. Res., 36: 927-932. Setyadi, I., Azwar, Z.I., Yunus, & Kasprijo. 1997. Penggunaan jenis pakan alami dan pakan buatan dalam pemeliharaan larva kepiting bakau Scylla serrata. J. Pen. Perik. Indonesia, hlm. 73-77. Supriyatna, A. 1999. Pemeliharaan larva rajungan Portunus pelagicus dengan waktu pemberian pakan yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Puslitbangkan bekerja sama dengan JICA ATA, 379: 168-172. Yunus, Rusdi, I., Haryanti, & Sugama K. 2001. Pemeliharaan larva kepiting bakau (Scylla paramamosain) skala massal. Laporan Balai Besar Perikanan Budidaya Laut, 4 hlm. Zacharia, S. & Kakati, V.S. 2004. Optimal salinity and temperature of early developmental stages of Penaeus merguensis de Man. Aquaculture, 232: 378-382.