Oleh: Bandaharo Saifuddin 1. Abstrak. Kata Kunci: Eksistensi, Korupsi, Pegawai Negeri

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan dengan asas-asas dan norma-normanya dan juga oleh

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

BAB IV PENUTUP. A. Simpulan

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 TENTANG PEMBUATAN SURAT DAKWAAN

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

RANCANGAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian:

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

Lex Crimen Vol. IV/No. 2/April/2015. KAJIAN YURIDIS DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Yessy Paramita Samadi 2

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Singkatnya korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk. semakin melemahkan citra pemerintah di mata masyarakat.

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM UU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

BAB I PENDAHULUAN. Namun, yang membedakan kasus korupsi di setiap negara adalah intensitas,

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

HUKUM ACARA PIDANA HENDAK HIJRAH Oleh Adnan Paslyadja

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

UPAYA HUKUM BANDING DAN KASASI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Palu) AHMAD YANI / D

PEMBELAAN TIM PENASEHAT HUKUM TAK RELEVAN JAKSA TETAP MINTA TAMHER-RAHAYAAN DIPENJARAKAN DUA TAHUN

I. PENDAHULUAN. Secara etimologis kata hakim berasal dari arab hakam; hakiem yang berarti

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP KASUS ASUSILA PADA ANAK. Sulasmin Hudji. Pembimbing I : Dr. Fence M. Wantu, SH.,MH

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan pengguna jalan raya berkeinginan untuk segera sampai. terlambat, saling serobot atau yang lain. 1

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Transkripsi:

ANALISIS YURIDIS EKSISTENSI PASAL 2 DAN PASAL 3 UU NOMOR 31 TAHUN 1999 YANG TELAH DIUBAH DENGAN UU NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DITUJUKAN KEPADA PEGAWAI NEGERI Oleh: Bandaharo Saifuddin 1 Abstrak Bahwa eksistensi Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang ditujukan kepada Pegawai Negeri ditentukan oleh subjek deliknya adalah setiap orang yang karena kedudukan atau jabatan dalam pemerintahan karena Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 mengatur ketentuan yang bersifat umum sedangkan Pasal 3 mengatur ketentuan yang bersifat khusus, namun apabila dalam waktu dan tempat dan objeknya yang sama saling dihadapkan antara ketentuan yang bersifat umum dengan ketentuan yang bersifat khusus maka yang diterapkan adalah yang bersifat khusus (lex spesialis derogat lex generalis), maka apabila dijumpai dakwaan yang demikian harus dipandang sebagai dakwaan alternatif sehingga dalam hal ini hakim dapat mengenyampingkan Pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999 tanpa mempertimbangkan dengan rinci dimana letak tidak terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana dalam pasal tersebut dan dapat langsung menggunakan, menerapkan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 terhadap Pegawai Negeri. Kata Kunci: Eksistensi, Korupsi, Pegawai Negeri A. Pendahuluan Bahwa mari kita semua mendukung upaya pemerintah yang mempunyai komitmen kuat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, antara lain memberikan pembatasan minimum ancaman hukuman terhadap orang yang melakukan tindak pidana korupsi. Tekad pemerintah tersebut sangat tergantung pada para pelaksana penegak hukum, artinya bagaimanapun baiknya hukum, korupsi di Indonesia tidak akan berpengaruh positif terhadap upaya penanggulangan korupsi apabila pelaksana penegak hukum dan unsur pemerintah itu sendiri juga korup. Korupsi disini bisa mengandung 2 (dua) hal, yaitu (1) adanya korupsi sehingga menyebabkan lemahnya upaya memberantas korupsi, (2) adanya 1 Bandaharo Saefuddin, SH,MH., Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan Pa 67

pihak tertentu/golongan yang memaksa dan atau mendesak para pelaksana penegak hukum untuk menggunakan alasan pemberantasan korupsi guna mempertahankan kepentingannya, sehingga proses hukum yang dilakukan hanya sebagai alat. Korupsi dalam hal ini juga bukan saja berakibat melemahnya pemberantasan korupsi itu sendiri, juga akan sangat dahsyat dalam mempercepat hancurnya hukum dan peraturan, serta sangat berpotensi memunculkan pelanggaran Hak Azasi Manusia, dalam hal ini terhadap orang atau badan hukum yang kebetulan dijadikan Target Operasi (TO), sehingga tatanan masyarakat menjadi rusak. Ilustrasi diatas merupakan suatu teori yang secara tepat dapat diterapkan pada proses pengajuan perkara Tindak Pidana Korupsi bagi seorang Pegawai Negeri. Bagaimana tidak, sejak mulai santernya pemberitaan di mass media baik cetak maupun elektronik, maka pada saat itulah character assassination mulai terjadi. Seluruh masyarakat tidak terkecuali penegak hukum yang memproses perkara dari tingkat penyidikan sampai dengan pengadilan sudah termakan isu, dan opini pun sudah terbentuk, sampai-sampai ada pihak/orang yang mencoba melihat permasalahan tersebut secara obyektif, seakan-akan dia menabrak dinding baja dengan tambahan cemoohan dari kalangan yang mengatasnamakan masyarakat. Mencari keadilan materil yang sebenarnya menjadi tujuan hukum pidana, justru menjadi momok bagi penegak hukum. Pertanyaan kami apakah bukan hal yang demikian justru menjadi bibit-bibit hancurnya penegakan hukum di Indonesia, yang benar disalahkan, yang salah dibenarkan. Jika ini terus berlanjut, maka kita semua yang mengaku penegak hukum yang memikul tanggung jawab tersebut. Oleh karena itu, pada bagian awal tulisan ini, penulis masih berusaha untuk tetap mengingatkan koridor-koridor yang terus dipertahankan. Meski penulis bukan orang idealis, tapi penulis merasa hal tersebut masih menjadi kewajiban kita untuk tetap dan terus mengingatkan, demi kelanjutan penegakan hukum di negara kita ini. 68

Bahwa pada kesempatan ini mari kita melihat permasalahan pada perkara korupsi secara bersih, untuk mencapai tingkat keobjektifan dan kebenaran materil yang maksimal. Hal ini sejalan dengan pernyataan Marwan Effendi 2, yang memuat pendapat dari Sudarto yaitu antara lain, Bahwa undang-undang pidana sifatnya harus pasti, sehingga dituntut profesionalisme dari aparat penegak hukum baik Penyidik, JPU maupun Hakim. Pengertian profesionalisme itu sendiri meliputi: expertise, responsibility, dan corporateness, sekali lagi dengan tetap menjunjung tinggi azas legalitas. Bahwa kemudian Kusumaatmaja 3, dalam bukunya Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, mengingatkan, bahwa semangat untuk memberantas korupsi perlu didukung oleh seluruh lapisan masyarakat, tetapi hendaknya tidak mencederai hukum itu sendiri. Penafsiran yang sempit terhadap unsur dapat disalahgunakan (misbruik) sehingga dapat menggeser tujuan utama dari hukum didalam mewujudkan ketertiban (order) dan keadilan. B. Rumusan Masalah 1. Apakah seorang Pegawai Negeri dapat didakwa melakukan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan dua dakwaan sekaligus yaitu Dakawaan Primer melanggar Pasal 2 dan Dakwaan Subsider melanggar Pasal 3? 2. Mengapa rumusan ketentuan dalam Pasal 2 dicantumkan kalimat memperkaya, sedangkan Pasal 3 dicantumkan kalimat menguntungkan? C. Pembahasan Surat Dakwaan adalah surat yang dibuat Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang didasarkan atas berita acara penyidikan (BAP) yang isinya: uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan 2 Marwan Efendi, Tipologi Kejahatan Perbankan Dalam Perspektif Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 1998, hal.5 3 Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, Tanpa Tahun, hal.2 69

pada Terdakwa dalam suatu peristiwa tertentu yang mengandung muatan tindak pidana tersebut sebagai dasar pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Bahwa kejelasan Surat Dakwaan sangat bermanfaat bagi Terdakwa maupun Penasehat Hukumnya untuk membela hak-hak dan kepentingan Terdakwa, manfaat bagi Penuntut Umum untuk menentukan dasar-dasar pemeriksaan dan penuntutan. Manfaat bagi Hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Oleh sebab itu KUHAP menetapkan syarat-syarat Surat Dakwaan yang harus dipenuhi oleh Penuntut Umum apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka Surat Dakwaan batal demi hukum. Bahwa ada beberapa bentuk-bentuk Surat Dakwaan yang dikenal dalam KUHAP dalam prakteknya meliputi: Dakwaan Tunggal, Dakwaan Kumulatif, Dakwaan Alternatif, dan Dakwaan Subsidaritas. Bahwa berkenaan dengan hal tersebut Penuntut Umum sering menggunakan dakwaaan bersifat subsidaritas dalam menangani Perkara Tindak Pidana Korupsi dengan menerapkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 bagi PNS. Bahwa dalam beberapa yurisprundesi dakwaan subsidaritas mengandung arti jika yang didakwakan adalah yang diancam pidana terberat (primer) dan selanjutnya diancam dengan pidana yang lebih ringan (subsider), apabila dijumpai hal yang demikian maka Hakim harus membuktikan dakwaan primer terlebih dahulu dan kalau tidak terbukti baru beralih ke dakwaan subsider. Bahwa lain hal dengan dakwaan alternatif, biasanya disusun dengan dakwaan atas perbuatan-perbuatan yang saling mengecualikan maka Hakim dapat memilih salah satu dari dakwaan yang dianggap lebih cocok untuk membuktikan perbuatan Terdakwa. Bahwa Penuntut Umum lebih sering menggunakan Dakwaan Subsidaritas terhadap Pegawai Negeri yang melakukan Tindak Pidana Korupsi yaitu primer Pasal 2 dan subsider pasal 3 karena kedua pasal ini merupakan bentuk pokok dari pada tindak pidana korupsi. 70

Bahwa dalam prakteknya penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 dalam Dakwaan Subsidaritas dan Dakwaan Alternatif dapat dipetakan sebagai berikut: Primair : Pasal 2 ayat (1) UURI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UURI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UURI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Subsidair : Pasal 3 UURI No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UURI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UURI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahwa oleh karena Surat dakwaan yang disusun secara Subsidairitas, maka terlebih dahulu akan mempertimbangkan Dakwaaan Primair. Apabila unsur-unsur pasal dalam dakwaan Primair semuanya terpenuhi, maka dakwaan Subsidair tidak perlu dipertimbangkan, sebaliknya apabila belum terpenuhi, maka akan mempertimbangkan unsur-unsur pasal dalam dakwaan Subsidair. Bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dalam Dakwaan Primair yaitu melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dalam Dakwaan Subsidair yaitu melanggar Pasal 3 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001, sedangkan Pasal 2 ayat (1) maupun Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut sama-sama mengatur mengenai tindak pidana korupsi, maka perlu dipertimbangkan mengenai eksistensi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang didakwakan kepada Pegawai Negeri. 71

Bahwa dalam kaitannya dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, apabila ditelaah secara lebih mendalam, maka dapat disimpulkan bahwa unsur pokok atau inti delik dari kedua pasal tersebut sangat berbeda. Unsur pokok dari Pasal 2 ayat (1), yaitu: 1. secara melawan hukum, 2. memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, 3. dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Adapun unsur pokok dari Pasal 3, yaitu: 1. menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, 2. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, 3. dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Bahwa oleh karena unsur pokok atau inti delik dari Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut sangat berbeda, maka ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur secara umum mengenai perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi tidak tepat diterapkan terhadap Pegawai Negeri, melainkan lebih tepat diterapkan adalah Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur secara khusus yaitu menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Bahwa dengan demikian unsur setiap orang dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 telah secara spesialis ditentukan setiap orang yang karena kedudukan atau jabatan yang telah melakukan Tindak Pidana Korupsi, seperti halnya dalam banyak kasus Pegawai Negeri yang melakukan Tindak Pidana Korupsi yang mana terhadap diri Pegawai Negeri tersebut terdapat sifat dan karakteristik khusus sebagai orang perseorangan yang karena kedudukan dan jabatannya sebagai Pegawai Negeri, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang memiliki sifat kekhususan 72

tersendiri yang tidak terdapat dalam Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 (Putusan Mahkamah Agung Nomor 1018 K/Pid.Sus/2011 tanggal 06 Juli 2011). Bahwa sesuai dengan azas spesialis, apabila dalam waktu, tempat dan objek yang sama saling dihadapkan antara ketentuan yang bersifat umum dengan ketentuan yang bersifat khusus maka yang diterapkan adalah ketentuan yang bersifat khusus (lex spesialis derogat lex generalis) maka apabila dijumpai dakwaan yang demikian harus dipandang sebagai dakwaan alternatif sehingga dalam hal ini hakim dapat mengenyampingkan Pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999 tanpa mempertimbangkan dengan rinci dimana letak tidak terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana dalam pasal tersebut dan dapat langsung menggunakan, menerapkan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 terhadap Pegawai Negeri. Bahwa subyek delik dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah setiap orang. Bahwa kewenangan berkaitan erat dengan jabatan atau kedudukan yang dimiliki oleh seseorang, namun tidak setiap orang bisa melakukan penyalahgunaan wewenang. Bahwa meskipun subyek deliknya adalah setiap orang, namun sesungguhnya adresat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara atau orang yang mempunyai kedudukan dan jabatan dalam pemerintahan. Jadi, untuk adanya penyalahgunaan wewenang disyaratkan bahwa pelakunya harus pegawai negeri atau penyelenggara negara. 4 Hal ini dipertegas lagi oleh Pakar Hukum Pidana Romli Atmasasmita dan Andi Hamzah yang menyatakan ketentuan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 ditujukan untuk mereka yang tergolong Pegawai Negeri atau yang dipersamakan oleh undang-undang sebagai pegawai negeri diatur dalam 4 Amiruddin, Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Penerbit Genta Publishing, Jakarta, 2010, hal. 208 73

Pasal 1 angka 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang memiliki jabatan/kedudukan yang sah oleh karena dakwaan dalam perkara a quo ada unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang merupakan unsur pokok dari Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang terdapat dalam dakwaan subsidair. 5 Dengan demikian dakwaan yang cocok dan tepat adalah dakwaan alternatif melanggar Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diuraikan tersebut, oleh karena Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak tepat diterapkan terhadap Pegawai Negeri, yang melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwakan dalam Dakwaan Primair dan oleh karena itu pula Terdakwa harus dibebaskan dari Dakwaan Primair tersebut. Bahwa kemudian salah satu perbedaan rumusan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 yang ditujukan kepada Pegawai Negeri Sipil dalam Pasal 2 dicantumkan kalimat memperkaya sedangkan didalam Pasal 3 dicantumkan kalimat menguntungkan. Bahwa secara logika umum, seorang pegawai negeri bertujuan untuk mengabdi kepada bangsa dan negara tanpa pamrih dan tidak ada diniatkan untuk memperkaya diri sendiri, maksud tujuan memperkaya lazimnya merupakan usaha dari pihak perorangan swasta dan selalu berharap untuk kaya lagi, sedangkan bagi seorang Pegawai Negeri yang terjadi dalam praktek adalah menggunakan kewenangan atau kesempatan dengan tujuan untuk menguntungkan atau undue anvantage (Konvensi PBB Anti Korupsi 2003). Bahwa rumusan Pasal 2 mensyaratkan adanya pembuktian unsur melawan hukum sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi sehingga negara dirugikan. Pengetian unsur melawan hukum dalam Pasal 2 tidak lagi dengan fungsi positif karena sudah 5 Majalah Hukum Varia Peradilan Nomor 299, IKAHI, Jakarta, Oktober 2010, hal. 68 74

dibatalkan penerapannya dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2006 dalam perkara uji materil terhadap undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 sepanjang mengenai penjelasan Pasal 2, maka Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan, bahwa penjelasan sifat melawan hukum dalam hukum materil Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 telah bertentangan dengan azas kepastian hukum dan azas legalitas dan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mengikat, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah mempersempit pengertian istilah melawan hukum materil dan kembali kepada penerapan ajaran melawan hukum materil dengan fungsi yang negatif. Bahwa oleh karena penjelasan unsur melawan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang merupakan tafsiran resmi dari pembentuk undang-undang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka unsur secara melawan hukum tidak dapat lagi dipergunakan atau diterapkan dalam perkara tindak pidana korupsi kepada pegawai negeri khusus mengenai unsur melawan hukum tidak dapat dipergunakan dan tidak dapat pula diterapkan. Bahwa Mahkamah Agung dalam putusannya telah membuat kaidah hukum putusan Nomor 606 K/Pid/1984 dan Perkara Nomor 1112 K/Pid/2006 yang menegaskan terhadap dakwaan yang disusun secara subsidaritas dapat dibaca sebagai dakwaan alternatif, dan putusan Nomor 1112 K/Pid/2006, bahwa sekalipun dalam surat dakwaan Penuntut Umum terbukti dakwaan Subsidaritas, akan tetapi karena unsur pokok Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Taun 1999 sebagaimana diubah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 berbeda yaitu melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya 75

karena jabatan atau kedudukan, maka dakwaan tersebut akan dibaca sebagai dakwaan altenatif. 6 Bahwa rasio perbedaan eksistensi antara Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 oleh Hakim dalam memutus suatu perkara dapat dilihat dari kualitas subjek pelaku tindak pidananya ataukah dari bentuk perbuatan materilnya yaitu memperkaya dan menguntungkan, memperkaya merupakan perbuatan yang berat kadar kualitas kesalahan dari pada perbuatan menguntungkan, sehingga perbedaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 dalam prakteknya digunakan untuk pengenaan strafmacht yang lebih ringan dan kemudian digunakan untuk menyimpan aturan pidana penjara minimal 4 tahun. D. Kesimpulan Mencermati penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dalam dakwaan subsidaritas maupun alternatif dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hakim bebas memilih dakwaan yang akan digunakan dalam memeriksa dakwaan subsidaritas maupun dakwaan alternatif atas kedua pasal tersebut diatas mengingat tidak adanya suatu ketentuan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk menempatkan kedua pasal tersebut dalam dakwaan subsidaritas ataupun alternatif sudah tepat dan benar menurut Hukum Acara Pidana; 2. Analisis yang dapat dipertimbangkan untuk menilai ketepatan menggunakan kedua dakwaan tersebut dengan mencermati fakta hukum dan karakteristik kedua pasal tersebut dalam rangka menemukan hukum inkonkreto yang tepat untuk diterapkan. 6 Majalah Hukum Varia Peradilan Nomor 311 Oktober 2011, IKAHI, Jakarta, hal.81-82 76

Daftar Pustaka Amiruddin, Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Penerbit, Genta Publising 2010. Marwan Effendi, Tipologi Kejahatan Perbankan Dalam Perspektif Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 1998 Kusumaatmaja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional Penerbit, Bina Cipta Bandung Tanpa Tahun. Majalah Hukum, Varia Peradilan Nomor 299, IKAHI, Jakarta, Oktober 2010. Majalah Hukum, Varia Peradilan, Nomor 311, IKAHI, Jakarta, Oktober 2011. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1018 K/PID.SUS/2011 tanggal 06 Juli 2011 77