BAB I PENDAHULUAN. (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat). Hal ini

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat). Hal ini"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat). Hal ini membuktikan bahwa Republik Indonesia adalah Negara hukum yang Demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak kecuali. (Undang-Undang Dasar 1945) Untuk mewujudkan / merealisasikan keinginan tersebut, dalam Repelita nasional III dan dalam keterangan pemerintah tentang Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 1981 dicantumkan usaha mewujudkan pemerataan kesempatan memperoleh keadilan hukum yaitu dengan melakukan penertiban pada alat-alat penegak hukum dan keadilan. Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan, serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju tidak hanya orang melakukan perbuatan melawan hukum, tetapi juga perbuatan hukum yang akan terjadi serta kepada alat perlengkapan negara diharapkan bertindak menurut hukum. Sistem kerja yang demikian adalah salah satu bentuk penegak hukum. Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu juga menimbulkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak negatif termasuk peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang cukup fenomenal adalah mengenai masalah

2 tindak pidana korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Di berbagai dunia, korupsi selalu mendapat perhatian yang lebih dibanding dengan tindak pidana lainnya karena perbuatan korupsi dapat menimbulkan dampak negatif bagi negara. Dampak perbuatan korupsi juga menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil makmur untuk tercapainya tahap lepas landas (take off) ekonomi menurut Rostow diperlukan pertumbuhan ekonomi (pertambahan GNP) lebih cepat dari pertambahan penduduk. Untuk itu diperlukan melakukan pengumpulan modal yaitu dengan melakukan sistem pajak progresif, yang artinya semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi pajak yang harus dibayar. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana korupsi ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan juga politik serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan merusak moralitas. Korupsi juga merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat yang adil dan makmur. Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat, sama dengan jenis kejahatan lain, seperti pencurian yang sudah ada sejak manusia ada diatas muka bumi ini. Masalah utama yang dihadapi adalah korupsi meningkat seiring dengan kemajuan, kemakmuran dan teknologi. Pengalaman memperlihatkan semakin maju pembangunan suatu bangsa, semakin meningkat pula kebutuhan hidup dan mendorong orang untuk melakukan berbagai kejahatan, termasuk korupsi.

3 Korupsi sudah terjadi pada semua bidang tata pemerintahan yakni di bidang eksekutif, di bidang legislatif dan bidang yudikatif. Daniel Kaufman dalam laporan mengenai bureaucratic and jidicial bribery menyatakan praktek penyuapan di peradilan di Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negara-negara berkembang. Dikatakan bahwa tidak sedikit hakim di semua tingkatan peradilan yang melakukan korupsi. Akibat integritas yang rendah dan kemampuan terbatas dari ini, menyebabkan banyak putusan pengadilan dalam kasus korupsi yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit diungkapkan karena para pelakunya menggunakan peralatan yang canggih serta biasanya dilakukan oleh lebih dari satu orang dalam keadaaan yang terselubung dan terorganisir. Oleh karena itu, kejahatan ini sering disebut sebagai white collar crime atau kejahatan kerah putih. Di era reformasi selama lima tahun terakhir ini, tidak ada upaya pemberantasan korupsi yang efektif. Ini merupakan hal yang sangat ironis, karena mengingat tujuan reformasi adalah pemberantasan KKN. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah yang lebih demokratis tidak serius memberantas korupsi. Kegagalan elit politik Indonesia melakukan upaya serius dalam memberantas korupsi jelas akan membahayakan demokrasi. Rakyat akan menyalahgunakan demokrasi atas kesulitan yang sedang dihadapi yang disebabkan korupsi. Defenisi korupsi salah satunya tercantum dalam pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal tersebut yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah Setiap orang yang secara melawan hukum

4 melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Perilaku koruptif sesuai dengan defenisi diatas dalam birokrasi pemerintahan Indonesia semakin merajalela. Bangsa Indonesia jelas akan memasuki gerbang masa kritis bahkan dapat menuju kepada gejala kelabilan dalam segala aspek kehidupan termasuk perekonomian sebagai aspek yang terpenting, apabila pemberantasan korupsi di Indonesia tidak segera dilaksanakan dengan efektif. Sudah banyak ancaman pidana yang akan dijatuhkan kepada pelaku korupsi, contohnya pengesahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, INPRES No. 5 Tahun 2004 tentang percepatan Pemberantasan korupsi dan Undang-Undang No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (konvensi perserikatan bangsa-bangsa anti korupsi, 2003). Namun, ternyata regulasi-regulasi tersebut tidak memberikan dampak. Sebagai bukti, menurut laporan The Political & Economic Risk Consultancy (2006), birokrasi negeri kita menduduki peringkat pertama sebagai birokrasi terkorup di Asia 1. Selain pembenahan dari segi perundangan-udangan (substansi hukum), maka pembenahan guna mengatasi tindak pidana korupsi juga dilakukan pada struktur hukumnya. Struktur hukum yang dimaksud berkaitan dengan sistem peradilan pidana yang merupakan terjemahan dari Criminal Justice System sebagai suatu sistem yang mencakup perangkat atau komponen dalam upaya penegakan hukum yang tercermin dalam hukum acara pidana Indonesia yang berpatokan kepada KUHAP atau UU Nomor 1 Dewi Lestari Djalal, Korupsi Ancam Daya Saing Global Indonesia, KOMPAS, Rabu,25 Juli 2007

5 8 Tahun 1981, yang dalam hal ini dibutuhkan peran dan kerjasama dari aparat penegak hukum untuk memberantas korupsi 2,salah satunya adalah Kejaksaan yang merupakan lembaga negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, yang menjalankan tugas dan wakil pemerintahan dalam menegakkan hukum negara yang bersifat publik. Praktek korupsi yang cenderung meningkat merupakan pekerjaan serius bagi upaya penegakan hukum di Indonesia, terutama pihak kejaksaan. Ketentuan yang terdapat dalam pasal 2 UU Pokok Kejaksaan Nomor 15 Tahun 1961 jo. UU No 5 Tahun 1991 jo. UU No. 16 Tahun 2004 merumuskan tugas kejaksaan di bidang yustisial, yaitu melakukan pemeriksaan pendahuluan, yang meliputi : penyidikan, penyidikan lanjutan dan mengadakan pengawasan dan koordinasi alat-alat penyidikan lainnya. Hadirnya undang-undang ini telah memperkokoh landasan hukum bagi lembaga kejaksaan untuk terus menyidik tindak pidana korupsi. Bahkan, Kewenangan penuntutan dan penyidikan tersebut telah berada di tangan satu lembaga. Kondisi ini merupakan tantangan tersendiri bagi kejaksaan,sehingga hampir semua kasus korupsi yang disidangkan oleh Pengadilan adalah merupakan hasil dari penyidikan dan penuntutan lembaga Kejaksaan. Kejaksaan dalam bidang penyidikan mendapat porsi sebagai penyidik tindak pidana khusus yang meliputi tindak pidana subversi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana ekonomi. Khusus berkaitan dengan kewenangan penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi, selain menjalankan tugas diatas Kejaksaan selalu berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- 2 O.C.Kaligis, Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusu dalam Pemberantasan Korupsi.Bandung :P.T. Alumni, 2006, halaman 6-7.

6 undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No.8 Tahun 1991 tentang Hukum Acara Pidana dan Yurisprudensi yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi. Kenyataan masih banyak kasus korupsi yang belum terungkap, hal ini mengakibatkan masyarakat menjadi skeptis dengan kesungguhan Kejaksaan dalam mengungkap berbagai dugaan korupsi. Hal ini disebabkan karena banyak kasus korupsi yang diajukan ke Kejaksaan belum/tidak dapat diselesaikan dengan tuntas, bahkan justru dibebaskan. Anggapan merosotnya kinerja Kejaksaan ini sebenarnya tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan sistem politik yang berlaku. Dengan gambaran berbagai hal mengenai korupsi, selanjutnya akan dicoba memberikan penjelasan mengenai Tindak Pidana Korupsi serta Kewenangan dan Peranan Jaksa dalam melakukan Penyelesaian Penyidikan kasus Korupsi. Terakhir sebagai lampiran, yaitu beberapa Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. B.Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana Kewenangan Kejaksaan dalam Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi? 2. Bagaimana Pelaksanaan Peranan Jaksa dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi?

7 C.Tujuan dan Manfaat Penulisan 1.Tujuan Penulisan Berdasarkan ruang lingkup permasalahan diatas, maka yang menjadi tujuan penulisan yang dilakukan adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana kewenangan Jaksa dalam Penyelesaian tindak pidana korupsi pada Kejaksaan Negeri Medan. 2. Untuk mengetahui bagaimana prosedur dan praktik Pelaksaan Peranan Jaksa dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi. 2.Manfaat Penulisan Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penulisan skripsi ini antara lain: a) Secara Teoritis 1. Penulisan skripsi ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi para akademis maupun sebagai bahan perbandingan bagi penelitian lanjutan. 2. Menambah tulisan ilmiah di perpustakaan, khususnya di Jurusan Hukum Pidana, serta menambah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum yang berkaitan dengan kasus korupsi b) Secara praktis 1. Penelitian ini dapat menjadi sumbangan untuk membantu penegak hukum terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. 2. Sebagai informasi bagi masyarakat mengenai kedudukan dan peranan Kejaksaan dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi.

8 3. Sebagai bahan kajian bagi akademis untuk menambah wawasan ilmu terutama dalam bidang tindak pidana korupsi. D.Keaslian penulisan Penulisan skripsi yang berjudul (Studi di Kejaksaan Negeri Medan) adalah merupakan hasil pemikiran penulis sendiri, yang mana setelah penulis membaca dan melihat bahwa pada saat sekarang ini banyak terjadi kasus korupsi dan bagaimana peranan dan kedudukan Jaksa selaku penyidik tindak pidana korupsi, maka penulis merasa tertarik untuk membahasnya lebih lanjut menjadi sebuah skripsi. Kemudian setelah penulis memeriksa judul-judul skripsi yang ada di Fakultas Hukum, belum ada yang mengangkat tulisan dengan pembahasan seperti yang telah penulis kemukakan diatas,karena sudut pembahasan masing-masing tulisan pasti berbeda,dengan demikian penulis skripsi ini adalah asli. E.Tinjauan Pustaka 1.Pengertian Peranan dan Penyelesaian Peranan adalah aspek dinamisi kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. Sedangkan, Penyelesaian adalah proses, cara, perbuatan, dan menyelesaikan berbagai-bagai arti seperti pemecahan. 2.Pengertian Penyidikan, Penuntutan dan Putusan Pengadilan Dalam Hukum Acara Pidana Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang

9 dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya 3. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana secara umum terdapat dua pejabat penyidik yang berhak melakukan penyidikan. Pejabat penyidik terdiri dari: a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia; b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimukakan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik yang diatur oleh undangundang untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana. Asal kata penyidikan adalah sidik yang berarti periksa; menyidik, menyelidik; mengamat-amati 4. Penuntutan tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan 5. Putusan pengadilan adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). 3.Pengertian Jaksa dan Penuntut Umum a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 3 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) 4 Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan II, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1989, halaman Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP)

10 b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. 4.Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi Ruang lingkup Tindak Pidana Korupsi terdiri dari Tindak Pidana korupsi dan Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi. Tentang ruang lingkup tindak pidana korupsi diatur dalam Bab II Pasal 2 sampai dengan Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seda ngkan ruang lingkup tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi diatur dalam Bab II Pasal 21 sampai dengan 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun Ruang lingkup tindak pidana korupsi terdiri dari : 1. Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan, bahwa : 1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara; 2. Dalam hal Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan. Dengan bertitik tolak ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, dapat ditarik unsur-unsur sebagai berikut : a. Setiap orang Pada dasarnya, kata setiap orang menujukkan kepada siapa orangnya yang harus bertanggungjawab atas perbuatan/kejadian yang didakwakan itu atau setidak-tidaknya mengenai siapa orangnya yang harus dijadikan terdakwa. Tegasnya, kata setiap orang

11 identik dengan terminologi kata barang siapa menurut Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Buku II, Edisi Revisi Tahun 2005, Halaman 209 dari Mahkamah Agung RI dan Putusan Mahkamah Agung RI No K/Pid/1994 tanggal 30 Januari 1995 kata setiap orang atau barang siapa sebagai siapa saja yang harus dijadikan terdakwa atau orang sebagai subyek hukum (pendukung hak dan kewajiban) yang dapat diminta pertanggungjawaban dalam segala tindakannya sehingga secara historis kronologis manusia sebagai subyek hukum telah dengan sendirinya ada kemampuan bertanggungjawab kecuali secara tegas undang-undang menentukan lain. Oleh karena itu, konsekuensi logisnya, kemampuan bertanggungjawab tidak perlu dibuktikan lagi karena setiap subyek hukum melekat erat dengan kemampuan bertanggungjawab sebagaimana ditegaskan dalam Memorie Van Toelichting (MvT). b. Perbuatan Memperkaya Diri Sendiri atau orang lain atau suatu korporasi Sebenarnya, terminologi memperkaya dalam konteks tindak pidana korupsi ini telah dikenal melalui ketentuan Pasal 12 ayat (1) Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat No. Prt/Peperpu/013/1958 tanggal 16 April 1958 jo. Peraturan Penguasa Perang Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.I/I/7 tanggal 17 April 1958, Pasal 1 huruf b Undang-undang Nomor 24 Tahun 1960, Pasal 1 ayat (1) Undangundang Nomor 3 Tahun 1971 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun Pada dasarnya, maksud dari memperkaya diri sendiri disini dapat ditafsirkan suatu perbuatan bahwa si pelaku bertambah kekayaannya atau menjadi lebih kaya karena perbuatan tersebut. Modus operandi perbuatan memperkaya diri dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan membeli, menjual, mengambil, memindahbukukan rekening, menandatangani kontrak serta perbuatan lainnya sehingga si pelaku jadi bertambah

12 keyaannya. 6 Sedangkan pengertian memperkaya orang lain menurut Darwan Prints maksudnya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya. 7 c. Perbuatan tersebut sifatnya melawan hukum Dalam aspek ini, pembentuk undang-undang mempertegas elemen secara melawan hukum sebagai mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal maupun materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak teratur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, perbuatan tersebut dapat dipidana. Pada dasarnya perbuatan melawan hukum formal dan perbuatan melawan hukum materil telah lama dianut dalam praktik peradilan Indonesia. Kemudian, dalam praktik peradilan terhadap tindak pidana korupsi khusus terhadap perbuatan melawan hukum materil melalui yurisprudensi, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memberikan nuansa baru dan melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materil bukan hanya dibatasi dari fungsi negatif sebagai alasan peniadaan pidana guna menghindari pelanggaran asas legalitas maupun penggunaan analogi yang dilarang oleh hukum pidana, tetapi juga Mahkamah Agung dengan melalui yurisprudensinya melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materil ke arah positif melalui kriteria limitatif dan kausistik berupa perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik telah dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata 6 Lilik mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif Teoritis Praktik dan Masalahnya, Alumni, Bandung, 2007, hlm.81 (selanjutnya disebut Buku I) 7 Darwan Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 31

13 menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibandingkan dengan perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Berdasarkan Pasal 3 tersebut di atas apabila ditarik unsur-unsurnya maka terdapat beberapa unsur-unsur yang sama dengan Pasal 3 yaitu : a. Setiap orang; b. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain; Menurut Andi Hamzah, pengertian menguntungkan diri sendiri suatu unsur yang biasa dalam hukum pidana, seperti tercantum juga dalam Pasal 378 dan Pasal 423 KUHP. 9 Sedangkan menurut Sudarto, perkataan menguntungkan suatu badan (korporasi) disitu tidak hanya badan swasta, misalnya PT, yayasan dan sebagainya, tetapi juga badan pemerintahan, misalnya kantor, jawatan/dinas, dan sebagainya. 10 c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; d. Perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 3. Pasal 5 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan : 1. Setiap orang yang : a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau 8 Lilik Mulyadi (Buku I), Op.cit. Hlm Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm.141

14 b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. 2. Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Jadi berdasarkan ketentuan dalam ayat (1) dan ayat (2) diketahui bahwa baik orang yang memberi janji pegawai negeri atau penyelenggara negara maupun pegawai negeri atau penyelenggara negara, dihukum dengan hukuman yang sama dan merupakan tindak pidana korupsi. 4. Pasal 6 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 : Setiap orang yang : a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Dalam ayat (2) dinyatakan : Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Sama halnya dengan Pasal 5, baik orang yang memberikan janji maupun hakim yang menerima pemberian, dihukum dengan hukuman yang sama. 5. Pasal 7 menyatakan : 1. Dihukum dengan tindak pidana korupsi : a. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan

15 perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang; b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. 2. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 6. Pasal 8, lingkup tindak pidana korupsi meliputi : Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. 7. Dalam Pasal 9 dinyatakan : Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. 8. Pasal 10 menyatakan : Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau

16 c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. 9. Dalam Pasal 11 dinyatakan : Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. 10. Dalam Pasal 12 ruang lingkup tindak pidana korupsi meliputi : a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili; e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

17 h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. 11. Pasal 13 merumuskan tindak pidana korupsi dengan : Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. Selain tindak pidana korupsi, ruang lingkup tindak pidana korupsi juga melingkupi tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdiri dari: 1. Dalam Pasal 21 dinyatakan: Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. 2. Pasal 22 menyatakan; Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar. Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 28 yaitu : Tersangka yang untuk kepentingan penyidikan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap

18 orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka. Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 29 yaitu: Gubernur Bank Indonesia apabila tidak memenuhi permintaan Penyidik untuk kepentingan penyidikan, penuntut umum untuk kepentingan penuntutan, dan hakim untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, tentang keterangan keuangan tersangka atau terdakwa. Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 35 yaitu: Saksi atau ahli yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 36 yaitu: Mereka yang dengan sengaja tidak memberikan atau keterangan yang tidak benar pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia, mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau pekerjaannya diwajibkan menyimpan rahasia. 3. Pasal 23 menyatakan: Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undangundang Hukum Pidana Yang dimaksud dalam Pasal ini adalah: Jika pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429, atau Pasal 430 KUHP adalah pelaku tindak pidana dalam perkara yang bukan perkara tindak pidana korupsi, maka pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana adalah pidana yang dicantumkan dalam masing-masing ketentuan tersebut dalam KUHP.

19 Namun jika pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan-ketentuan KUHP tersebut adalah pelaku tindak pidana dalam perkara tindak pidana korupsi, maka pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku adalah pidana yang dicantumkan dalam Pasal Pasal 24 menyatakan: Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Yang dimaksud dalam Pasal 31 yaitu: saksi dalam tindak pidana korupsi dilarang: 1. Menyebut nama atau alamat pelapor; 2. Menyebut hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. Orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana korupsi dilarang: 1. Menyebut nama atau alamat pelapor; 2. Menyebut hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. 5.Ruang Lingkup penyelesaian Penyidikan oleh Kejaksaan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, pada Pasal 17 disebutkan : Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal284 ayat 1 KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan berlakunya KUHAP dimana ditetapkan bahwa tugas tugas penyidikan diserahkan sepenuhnya kepada pajabat penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHAP, maka Kejaksaan tidak lagi berwenang untuk melakukan penyidikan tertentu

20 perkara-perkara tindak pidana umum. Namun, sesuai dengan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, jaksa berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana Tertentu ( Tindak Pidana Khusus). F.Metode penelitian Secara umum metode dapat diartikan sebagai suatu cara untuk memperoleh sesuatu.dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia metode diartikan sebagai cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan 11. Soerjono Soekanto berpendapat menurut kebiasaan, metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut : 1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian; 2. Suatu teknik yang uum bagi ilmu pengetahuan; 3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur Jenis penelitian Jenis penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah secara yuridis normatif dan studi lapangan. Secara yuridis normatif yakni dengan melakukan pengumpulan data secara studi pustaka (library research) yaitu dengan meneliti data sekunder yang mencakup bahan-bahan kepustakaan hukum dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan sebagai literature dan referensi dalam penyusunan materi yang antara lain berupa sejumlah buku, himpunan peraturan 11 Departemen Pendidikan Nasional 12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,UII Press,Jakarta, 1986, halaman 5.

21 perundang-undangan yang berkaitan dengan objek pembahasan skripsi ini. Disamping itu, penulis juga memanfaatkan artikel, koran dan majalah serta media elektronik untuk mendukung keakuratan tulisan yang disampaikan. Studi lapangan yakni dengan melakukan pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara dari informan yang secara langsung ikut terlibat dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi, yaitu dengan pedoman wawancara dengan Jaksa yang menangani perkara secara langsung ataupun Jaksa-Jaksa yang menguasai dan mendalami bidang tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Medan yang menjadi lokasi penelitian dalam penulisan skripsi ini. 2.Sumber dan Pengumpulan Data a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang- Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku bacaan yang relevan dengan judul ini, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan keputusan jaksa agung republik Indonesia; c. Bahan hukum tertier Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum. Data primer yang digunakan dalam penulisan ini yaitu hasil wawancara penulis di Kejaksaan Negeri Medan.

22 3.Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: a. Library research (penelitian kepustakaan) Yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan, bukubuku, berbagai literatur peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan penyitaan barang bukti oleh jaksa terhadap kekayaan tersangka dalam tindak pidana korupsi. b. Field research (penelitian lapangan) Yaitu dengan meneliti langsung ke lapangan mengenai pelaksanaan penyelesaian kasus tindak pidana korupsi dengan melakukan wawancara. 4.Analisis Data Data yang dikumpulkan berdasarkan sumber-sumber, bahan-bahan hukum primer dan sekunder untuk kemudian akan dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari data yang diperoleh. Semua data yang dikumpulkan, diseleksi serta dianalisis, serta data yang diperoleh dari penelitian lapangan akan diedit sesuai dengan kata yang diperlukan sehingga akan diperoleh gambaran dalam prakteknya terhadap permasalahan yang ingin dijawab. G.Sistematika Penulisan Agar mudah dalam penyusunan dan memahami isi serta pesan yang ingin disampaikan maka penulis menguraikan secara ringkas pembahasan dalam skripsi ini.dalam penulisan skripsi ini akan dibagi menjadi 4 (empat ) bab, yaitu : BAB I. Pendahuluan ; Dalam bab ini akan diuraikan tentang latarbelakang pemikiran penulis sehingga mengangkat judul dengan perumusan masalahnya, tujuan dan manfaat

23 yang ingin dicapai melalui penulisan skripsi ini, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan yang dipakai serta sistematika penulisan ini. BAB II. Peranan Kejaksaan dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi ; Dalam Bab ini diuraikan tentang pelaksanaan hukum dan kedudukan jaksa dalam penyelesaian kasus tindak pidana korupsi serta kewenangan dan peranan kejaksaan dalam penyelesaian kasus tindak pidana korupsi. BAB III. Pelaksanaan Peranan Jaksa dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi ; Dalam Bab ini membahas tentang Prosedur dan praktik melakukan penyelesaian kasus tindak pidana korupsi oleh pihak kejaksaan, Pemberkasan Berita acara dan penyerahan hasil penyidikan oleh jaksa serta berakhirnya penyidikan oleh jaksa dalam tindak pidana korupsi secara umum di Indonesia dan secara khusus di Medan, sehubungan dengan dilakukannya penelitian di Kejaksaan Negeri Medan. BAB IV. Kesimpulan dan Saran ; Dalam Bab ini merupakan bagian terakhir yang memuat kesimpulan dan saran atas setiap permasalahan yang telah dikemukakan.

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. Latar Belakang Saat ini, kewenangan untuk merumuskan peraturan perundang undangan, dimiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

Korupsi dan Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Penanggulangannya. Oleh : Dewi Asri Yustia. Abstrak

Korupsi dan Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Penanggulangannya. Oleh : Dewi Asri Yustia. Abstrak Korupsi dan Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Penanggulangannya Oleh : Dewi Asri Yustia Abstrak Apakah kita masih bangga dengan Negara kita? apabila kita melihat catatan dari Ignatius Haryanto dalam artikelnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. istilah yang sering dipakai dalam bidang filsafat dan psikologi.(ensiklopedia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. istilah yang sering dipakai dalam bidang filsafat dan psikologi.(ensiklopedia 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang eksistensi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Eksistensi berarti hal berada atau dapat pula diartikan sebagai keberadaan. Eksistensi merupakan istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai negara yang sedang berkembang Indonesia perlu melaksanakan pembangunan di segala bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

538 KOMPILASI KETENTUAN PIDANA DI LUAR KUHP

538 KOMPILASI KETENTUAN PIDANA DI LUAR KUHP UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 2001/134, TLN 4150] Pasal 5 (1) Dipidana dengan pidana penjara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

BAB II IDENTIFIKASI DATA

BAB II IDENTIFIKASI DATA BAB II IDENTIFIKASI DATA 2.1. Definisi Buku Saku Secara umun buku adalah kumpulan kertas tercetak dan terjilid berisi informasi yang dapat dijadikan salah satu sumber dalam proses belajar dan membelajarkan.

Lebih terperinci

POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada

POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada PELATIHAN APARATUR PEMERINTAH DESA DALAM BIDANG MANAJEMEN PEMERINTAHAN DESA BAGI APARATUR PEMERINTAH DESA Oleh : IPTU I GEDE MURDANA, S.H. (KANIT TIPIDKOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI Penyusun Desain Sampul & Tata Letak Isi MPRCons Indonesia

Lebih terperinci

jenis kejahatan yang dapat menyentuh berbagai ranah kehidupan.

jenis kejahatan yang dapat menyentuh berbagai ranah kehidupan. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu juga dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini adalah masalah di bidang hukum, khususnya masalah kejahatan. Hal ini merupakan fenomena kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan telah diratifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada Bishop Mabadell Creighton menulis sebuah ungkapan yang. menghubungkan antara korupsi dengan kekuasaan, yakni: power tends

BAB I PENDAHULUAN. kepada Bishop Mabadell Creighton menulis sebuah ungkapan yang. menghubungkan antara korupsi dengan kekuasaan, yakni: power tends BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lord Acton (John Emerich Edward Dalberg-Acton) dalam suratnya kepada Bishop Mabadell Creighton menulis sebuah ungkapan yang menghubungkan antara korupsi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan lembaga yang menangani kasus tindak pidana korupsi di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Pemberantasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, artinya segala tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia harus berdasarkan hukum yang berlaku di negara Indonesia. Penerapan hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan kejahatan yang mempunyai akibat sangat kompleks dan sangat merugikan keuangan Negara, dan di Indonesia sendiri korupsi telah menjadi masalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Cita-cita untuk melaksanakan amanat para pejuang kemerdekaan bangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Cita-cita untuk melaksanakan amanat para pejuang kemerdekaan bangsa dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cita-cita untuk melaksanakan amanat para pejuang kemerdekaan bangsa dan Negara yang kini berada di pundak para aparatur Negara (Pemerintah) bukanlah pekerjaan

Lebih terperinci

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi Delik Korupsi Dalam Rumusan Undang-Undang 1 1 Bab 07 Never let corruptors unpunished DELIK KORUPSI DALAM RUMUSAN UNDANG-UNDANG Delik Korupsi Dalam Rumusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu mengalami perkembangan diberbagai bidang. Perkembangan yang diawali niat demi pembangunan nasional tersebut

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI Penyusun Desain Sampul & Tata Letak Isi MPRCons Indonesia

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016

PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016 PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016 Syapri Chan, S.H., M.Hum. Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Medan E-mail : syapri.lawyer@gmail.com Abstrak Korporasi

Lebih terperinci

TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA

TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA Modul ke: 11 Udjiani Fakultas PSIKOLOGI 1. Pengertian Korupsi 2. Bentuk-bentuk Korupsi 3. Jenis Tindak Pidana Korupsi 4. Grafitikasi 5. Penyebab Korupsi Hatiningrum,SH.,M

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini telah berjalan dalam suatu koridor kebijakan yang komprehensif dan preventif. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasar atas kekuasaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Wewenang Praperadilan 1. Pengertian Praperadilan Kehadiran Lembaga Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia yang termuat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4.1 Kewenangan KPK Segala kewenangan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Recchstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum ( rechtstaat ), tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu masyarakat tertentu atau dalam Negara tertentu saja, tetapi merupakan permasalahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian:

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian: pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zaman sekarang korupsi sudah menjadi hal yang biasa untuk diperbincangkan. Korupsi bukan lagi menjadi suatu hal yang dianggap tabu untuk dilakukan bahkan tidak

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

Eksistensi KPK Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi Oleh Bintara Sura Priambada, S.Sos., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

Eksistensi KPK Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi Oleh Bintara Sura Priambada, S.Sos., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta Eksistensi KPK Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi Oleh Bintara Sura Priambada, S.Sos., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. Latar Belakang Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Hukum tertulis yang berlaku di Indonesia mendapat pengaruh dari hukum Barat, khususnya hukum Belanda. 1 Pada tanggal 1 Mei 1848 di negeri Belanda berlaku perundang-undangan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2 Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana terutama kebijakan formulasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah Bandar Lampung adalah menyelenggarakan pengelolaan keuangan dengan sebaik-baiknya sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah meliputi semua aspek kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari semua aspek kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat ini belum dapat dilaksanakan dengan optimal. Lemahnya penegakan hukum dan dihentikannya

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM PIDANA KHUSUS STATUS MATA KULIAH : LOKAL WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2

S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM PIDANA KHUSUS STATUS MATA KULIAH : LOKAL WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM PIDANA KHUSUS STATUS MATA KULIAH : LOKAL WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 B. DESKRIPSI MATA KULIAH Hukum Pidana Khusus merupakan mata

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan

Lebih terperinci

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp TAMBAHAN BERITA NEGARA RI MA. Uang Pengganti. Tipikor. Pidana Tambahan. PENJELASAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PIDANA TAMBAHAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Untuk mewujudkannya perlu secara terus menerus ditingkatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari segi hukum ada perilaku yang sesuai dengan norma dan ada pula perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Terhadap perilaku yang sesuai dengan norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci