ICASERD WORKING PAPER No.36

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS KERAWANAN PANGAN WILAYAH DALAM PERSPEKTIF DESENTRALISASI PEMBANGUNAN (Kasus Provinsi Nusa Tenggara Timur)

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

ICASERD WORKING PAPER No. 46

BAB I PENDAHULUAN. kabijakan pembangunan ini dilakukan untuk meningkatkan produktivitas hasil

Lampiran I.34 PENETAPAN DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

Muyassir 2 dan Dahlan 3 ABSTAK

PENDAHULUAN. (Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan ).

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1)

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

DISTRIBUSI PROVINSI DI INDONESIA MENURUT DERAJAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA

BAB 1. PENDAHULUAN. Krisis pangan telah benar-benar terjadi diberbagai belahan dunia. Hal ini

MANAJEMEN KETAHANAN PANGAN ERA OTONOMI DAERAH DAN PERUM BULOG 1)

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya

PENENTUAN PUSAT-PUSAT PERTUMBUHAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ICASERD WORKING PAPER No.38

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat kemiskinan ekstrem yang mencolok (Todaro dan Smith, 2011:

Bab II GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN. A. Sejarah Direktorat Jenderal Pajak DIY

ICASERD WORKING PAPER No.63

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2018

RENCANA KERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN Forum SKPD

BAB I PENDAHULUAN. karena fungsi utama jalan raya adalah sebagai prasarana untuk melayani pergerakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang kronis transien

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2016

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Istimewa Yogyakarta. Gunungkidul memiliki luas 1.485,36 Km 2 terletak antara 7

KEPALA, STASIUN KLIMATOLOGI MLATI

PENDAHULUAN Latar Belakang

BUPATI GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Rangkuman Kebutuhan Investasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

Kontribusi Pemanfaatan Lahan Pekarangan terhadap Pemenuhan Gizi Keluarga dan Pengeluaran Pangan Rumah Tangga

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu dari lima daerah otonom di

Buletin Edisi September Tahun 2016 KATA PENGANTAR

SEMINAR HASIL PENELITIAN

ICASERD WORKING PAPER No.49

KEPALA, STASIUN KLIMATOLOGI MLATI

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data cross section. Data

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 7 Tahun : 2016

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals

PENDAHULUAN. Latar Belakang

Buletin Edisi Januari Tahun 2017 KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR. Sleman, Februari 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI MLATI. AGUS SUDARYATNO, S.Kom, MM NIP

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

BAB I PENDAHULUAN. dalam lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

ISBN : MANAJEMEN KETAHANAN PANGAN ERA OTONOMI DAERAH DAN PERUM BULOG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

pengaduan, kritik dan saran secara online demi terciptanya Polri yang Profesional dalam melaksanakan tugas pokoknya.

Buletin Edisi Agustustus Tahun 2016 KATA PENGANTAR

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROSPEK KETAHANAN PANGAN NASIONAL (ANALISIS DARI ASPEK KEMANDIRIAN PANGAN)

Buletin Edisi April 2018 KATA PENGANTAR

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam

Buletin Edisi Oktober Tahun 2016 KATA PENGANTAR

II. TINJAUAN PUSTAKA

Buletin Edisi November Tahun 2016 KATA PENGANTAR

Nama Penerima 1 UPT Pengelola TK dan SD Wilayah Utara 2 UPT Pengelola TK dan SD Wilayah Barat 3 UPT Pengelola TK dan SD Wilayah Timur 4 UPT Pengelola

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan bahwa sektor pertanian menempati posisi yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. pertanian menjadi daerah permukiman, industri, dan lain-lain. Menurut BPN

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

Buletin Bulan Juni Tahun 2016 KATA PENGANTAR

1. Kita tentu sama-sama memahami bahwa pangan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia, oleh sebab itu tuntutan pemenuhan pangan

Buletin Bulan Mei Tahun 2016 KATA PENGANTAR

Menimbang. bahwa sesuai ketentuan Pasal 17 dan Pasal 24 peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 05 Tahun 2013 tentang Tata Cara

KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT

Buletin Bulan Maret Tahun 2016 PENGANTAR

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian.

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

I. PENDAHULUAN. usahatani. Dalam upaya peningkatan pendapatan petani, pemerintah Indonesia

MANUAL RUJUKAN KABUPATEN GUNUNGKIDUL

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

Buletin Edisi Juli Tahun 2016 KATA PENGANTAR

Wahyudi Kumorotomo, PhD Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada 27 September 2013

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Buletin Bulan Februari Tahun 2016 PENGANTAR

KEADAAN UMUM KABUPATEN KULONPROGO. Kabupaten Kulonprogo merupakan salah satu dari lima kabupaten / kota di

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

STRATEGI PENCAPAIAN KETAHANAN PANGAN PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI PROVINSI DIY. Oleh : Suhadi Purwantoro, M.Si. Jurusan Pendidikan Geografi FISE UNY

Transkripsi:

ICASERD WORKING PAPER No.36 IDENTIFIKASI WILAYAH RAWAN PANGAN DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA Handewi P.S. Rachman Maret 2004 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

ICASERD WORKING PAPER No.36 IDENTIFIKASI WILAYAH RAWAN PANGAN DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA Handewi P.S. Rachman Maret 2004 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No.70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : caser@indosat.net.id No. Dok.050.36.04..04

IDENTIFIKASI WILAYAH RAWAN PANGAN DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA Handewi P.S. Rachman Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No.70 ABSTRAK Kejadian rawan pangan dan gizi buruk mempunyai makna politis yang negatif bagi penguasa. Bahkan di beberapa negara berkembang krisis pangan dapat menjatuhkan pemerintahan yang sedang berkuasa. Berdasar hal tersebut, adalah penting melakukan studi identifikasi wilayah rawan pangan untuk membantu pengambil kebijakan menetapkan prioritas daerah sasaran program intervensi pangan dan gizi untuk mendukung ketahanan pangan suatu wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi daerah rawan pangan di Provinsi D.I. Yogyakarta sampai tingkat kabupaten dan kasus dua kabupaten sampai tingkat kecamatan. Metoda yang digunakan adalah deskriptif dengan menganalisis data sekunder tingkat Provinsi dan kabupaten. Penelitian dilakukan tahun 2002 di Provinsi D.I. Yogyakarta dan dua kabupaten yang termasuk wilayah rawan pangan. Data yang digunakan untuk mengidentikasi adalah data tahun 2001 (data terakhir yang tersedia). Berdasar indikator yang ada, di Provinsi D.I. Yogyakarta, wilayah yang termasuk kategori memiliki resiko tinggi untuk terjadinya rawan pangan adalah Kabupaten Gunungkidul dan Kulonprogo. Sementara itu di Kabupaten Gunungkidul adalah Kecamatan Panggang, Gedangsari, dan Saptosari. Untuk Kabupaten Kulonprogo, kecamatan yang termasuk memiliki resiko tinggi terjadi rawan pangan adalah Kecamatan Pengasih, Kokap, Kalibawang, dan Samigaluh. Proses identifikasi wilayah rawan pangan tersebut disarankan dapat dilakukan untuk seluruh wilayah dan dilakukan secara berkesinambungan. Hasil identifikasi tersebut perlu dikomunikasikan pada seluruh jajaran aparat lintas sektor untuk menetapkan prioritas dan fokus sasaran peningkatan ketahanan pangan dan melakukan intervensi secara cepat dan tepat. Kata kunci : Identifikasi, rawan pangan, D.I. Yogyakarta PENDAHULUAN Departemen Pertanian (1999) telah menetapkan isu ketahanan pangan sebagai salah satu fokus utama kebijaksanaan operasional pembangunan pertanian dalam Kabinet Persatuan Nasional (1999-2004), dan komitmen ini dilanjutkan dalam Kabinet Gotong Royong. Memantapkan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Ketahanan pangan diartikan sebagai tersedianya pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang aktivitasnya sehari-hari sepanjang waktu. Dalam pengertian kebijakan operasional pembangunan, Departemen Pertanian (1999) menterjemahkan ketahanan pangan menyangkut ketersediaan, aksesibilitas (keterjangkauan), dan stabilitas pengadaannya. Di samping aspek produksi, ketahanan 1

pangan mensyaratkan pendapatan yang cukup bagi masyarakat untuk mengakses bahan pangan, keamanan pangan, serta distribusi. Sejarah membuktikan bahwa ketahanan pangan sangat erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan keamanan atau ketahanan nasional (Suryana, 2001; Simatupang, et al., 2001). Selain itu, ketahanan pangan dalam arti keterjangkauan pangan juga berkaitan erat dengan upaya peningkatan mutu sumberdaya manusia Indonesia. Tanpa dukungan pangan yang cukup dan bermutu, tidak mungkin dihasilkan sumberdaya manusia yang bermutu, karena itu membangunan sistem ketahanan pangan yang kokoh merupakan syarat mutlak bagi pembangunan nasional. Kejadian rawan pangan dan gizi buruk mempunyai makna politis yang negatif bagi penguasa. Bahkan di beberapa negara berkembang, krisis pangan dapat menjatuhkan pemerintahan yang sedang berkuasa (Hardinsyah, et al., 1999). Belajar dari pengalaman tersebut, adalah penting untuk melakukan studi identifikasi dan pemetaan wilayah rawan pangan untuk membantu pengambil kebijakan menetapkan prioritas daerah sasaran program intervensi pangan dan gizi untuk mendukung ketahanan pangan suatu wilayah. Penentuan daerah rawan pangan sangat penting agar program dengan sumberdaya yang terbatas dapat betul-betul efektif, efisien dan tepat sasaran. Pokok masalahnya adalah bagaimana cara menentukan daerah rawan pangan dan di mana saja daerah rawan pangan tersebut. Dikaitkan dengan desentralisasi pembangunan, maka studi analisis kerawanan pangan wilayah sampai tingkat kabupaten dan kecamatan menjadi sangat penting untuk dilakukan. Berdasarkan latar belakang permasalahan dan justifikasi seperti diuraikan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi daerah rawan pangan di Provinsi D.I. Yogyakarta sampai tingkat kabupaten dan kasus dua kabupaten sampai tingkat kecamatan. METODE PENELITIAN Identifikasi wilayah rawan pangan dilakukan dengan metoda diskriptif dengan menganalisis data sekunder tingkat provinsi dan kabupaten. Penelitian dilakukan di Provinsi D.I. Yogyakarta dan dua kabupaten yang termasuk wilayah rawan pangan. 2

Pengumpulan data dan informasi dilakukan pada tahun 2002, dan data yang digunakan untuk mengidentikasi adalah data tahun 2001 (data terakhir yang tersedia). Identifikasi wilayah rawan pangan sampai tingkat kabupaten (dan kecamatan) dilakukan dengan menggunakan berbagai indikator sebagai berikut: A. Sektor Pertanian A.1. Untuk daerah potensi tanaman pangan (padi) indikator yang digunakan mencakup: (a) intensitas tanam; (b) persentase luas kerusakan areal pertanian; (c) persentase luas panen terhadap luas tanam; dan (d) kecenderungan penurunan produktivitas pada bulan (tahun) tertentu dibanding rata-rata produktivitas selama 5 tahun terakhir. Data yang dianalisis adalah data tahun 2001. Kemudian masing-masing indikator dibuat skor sebagai berikut (pembuatan skor mengacu pada apa yang dilakukan BBKP (Anonimous, 2001 dan Anonimous, 2000): 1. Intensitas tanam Skor 1: intensitas tanam > 250% Skor 2: intensitas tanam > 200-250% Skor 3: intensitas tanam >150-200% Skor 4: luastanam <150% 2. Persentase luas kerusakan areal pertanian Skor 1: luas areal puso < 5% dari luas tanam Skor 2: luas areal puso 5-10% dari luas tanam Skor 3: luas areal puso 10-15% dari luas tanam Skor 4: luas areal puso >15% dari luas tanam 3. Persentase luas panen terhadap luas tanam Skor 1: luas panen > 90% luas tanam Skor 2: luas panen > 80-90% luas tanam Skor 3: luas panen > 70-80% luas tanam Skor 4: luas panen < 70% luas tanam 4. Kecenderungan penurunan produktivitas dibanding produktivitas normal atau rata-rata lima tahun terakhir Skor 1: produktivitas menurun < 2% Skor 2: produktivitas menurun 2-4% Skor 3: produktivitas menurun > 4-6% Skor 4: produktivitas menurun > 6% Penentuan kerawanan pangan suatu wilayah kabupaten berdasar indikator di atas dilakukan dengan menjumlah skor. Semakin besar jumlah skor semakin besar resiko krisis atau adanya kerawanan pangan di suatu wilayah. Dalam operasionalnya 3

keempat indikator yang telah dirumuskan tersebut tidak selalu dapat digunakan mengingat ketersediaan dan validitas data yang ada di masing-masing lokasi penelitian. Oleh karena itu di masing-masing lokasi pengukuran indikator yang dipakai disesuaikan dengan data yang tersedia. Tingkat kerawanan pangan di wilayah kabupaten produsen padi di bagi menjadi tiga indikator yaitu: a. Total skor 13-16 merupakan wilayah dengan risiko rawan pangan tinggi b. Total skor 9-12 dan tidak ada diantaranya yang memiliki skor 4 merupakan wilayah dengan risiko sedang c. Total skor 4-8, merupakan wilayah dengan risiko ringan A.2. Untuk daerah yang bukan sentra tanaman padi digunakan indikator produksi setara beras (PSB). Indikator ini memperhitungkan aspek daya beli berdasarkan nilai produksi subsektor pangan nonpadi yang disetarakan dengan produksi setara beras (PSB) dalam memenuhi keperluan pangan pokok. Perhitungan PSB dilakukan dengan menggunakan rumus berikut: PSB pangan non-padi = Produksi pangan nonpadi x harga pangan nonpadi (Rp/kg) Keterangan : Pangan nonpadi dapat berupa palawija, hortikultura, hasil ternak, hasil ikan, atau hasil perkebunan. Hasil perhitungan PSB (beras dan non-beras) di atas dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi beras di wilayah bersangkutan (konsumsi beras/kapita dikalikan jumlah penduduk di wilayah tersebut pada tahun tertentu). Penentuan wilayah rawan pangan dilakukan dengan menggunakan skor berikut: a. Skor 1, apabila rasio PSB terhadap kebutuhan beras > 1.2 b. Skor 2, apabila rasio PSB terhadap kebutuhan beras antara 1.0 1.2 c. Skor 3, apabila rasio PSB terhadap kebutuhan beras 0.95 1.0 d. Skor 4, apabila rasio PSB terhadap kebutuhan beras < 0.95 Indikator PSB juga tidak selalu dapat digunakan terutama disebabkan data harga untuk masing-masing komoditas tidak selalu tersedia. 4 Oleh karena itu dalam operasionalnya indikator untuk menghitung peran indikator non-beras apabila tidak tersedia data harga digunakan indikator ketersediaan per kapita di wilayah yang bersangkutan.

B. Sektor Kesehatan Data prevalensi kurang energi protein (KEP) pada Balita yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan di masing-masing kabupaten digunakan untuk menangkap aspek kesehatan di suatu wilayah. Penilaian kerawanan wilayah dilakukan dengan skor sebagai berikut: a. Skor 1: prevalensi KEP < 20 % b. Skor 2: prevalensi KEP > 20-30 % c. Skor 3: prevalensi KEP > 30-40 % d. Skor 4: prevalensi KEP > 40 % C. Indikator Sosial Ekonomi 1. Keluarga Miskin Data Kepala Keluarga (KK) miskin terdiri dari keluarga pra-sejahtera dan keluarga sejahtera I sesuai kriteria BKKBN digunakan untuk menangkap salah satu indikator sosial ekonomi di suatu wilayah. Indikator KK miskin dihitung berdasarkan proporsi jumlah keluarga miskin terhadap total keluarga di wilayah yang bersangkutan. Penilaian dilakukan dengan skor berikut: a. Skor 1: % keluarga miskin < 20 %. b. Skor 2: % keluarga miskin > 20-30 %. c. Skor 3: % keluarga miskin > 30-40 %. d. skor 4: % keluarga miskin > 40 %. 2. Indikator lokal spesifik bersifat kualitatif yang mengindikasikan gejala adanya rawan pangan di suatu wilayah antara lain: a. Meningkatnya kejahatan (pencurian) b. Beralihnya pola konsumsi pangan dari pangan pokok ke pangan alternatif c. Banyaknya lahan pertanian yang diberakan karena keterbatasan biaya produksi d. Banyak pengiriman tenaga kerja ke luar daerah e. Meningkatnya frekuensi penjualan ternak. 5

Indikator kualitatif ini terutama digunakan dalam menentukan lokasi desa penelitian melalui diskusi dan kofirmasi dengan aparat di tingkat kecamatan, penyuluh lapangan pertanian maupun kesehatan. Penentuan Wilayah Rawan Pangan Penentuan wilayah rawan pangan dilakukan dengan cara menghitung jumlah skor dari indikator pertanian, kesehatan dan sosial ekonomi. Untuk keperluan tersebut digunakan batasan sebagai berikut: 1. Total skor 9-12 atau salah satu indikator memiliki skor 4 termasuk wilayah risiko tinggi terjadi rawan pangan. 2. Total skor 6-8 atau dan tidak ada di antara ke tiga indikator yang memiliki skor 4 termasuk wilayah risiko sedang. 3. Total skor 3-5 atau termasuk wilayah kategori risiko ringan. Namun demikian dalam operasionalnya batasan total skor tersebut tidak baku untuk setiap lokasi penelitian. Hal ini didasarkan pada pertimbangan cukup bervariasinya ketersediaan data dan informasi antar lokasi yang dapat digunakan sebagai indikator. Selain itu, tidak dilakukan pembedaan indikator antara lokasi yang sentra padi dan bukan sentra padi, sehingga pengukuran indikator diperlakukan sama di masing-masing kabupaten. HASIL DAN PEMBAHASAN Indikator Wilayah Rawan Pangan Penentuan wilayah rawan pangan menggunakan berbagai indikator, tidak hanya indikator pertanian tetapi juga indikator kesehatan dan sosial ekonomi. Adapun indikator yang digunakan di Provinsi D.I Yogyakarta untuk menentukan kabupaten rawan pangan adalah: (1) luas areal puso (LK); (2) luas panen terhadap luas tanam (LP); (3) penurunan produktivitas tanaman padi 5 tahun terakhir (PR); (4) kurang energi dan protein pada anak balita (KEP); (5) jumlah keluarga pra sejahtera dan sejahtera I (P-KS), dan (6) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Keragaan data masing-masing indikator tersebut antar kabupaten disajikan pada Tabel 1. 6

Tabel 1. Keragaan indikator penentuan kabupaten rawan pangan di Provinsi D.I Yogyakarta, Tahun 2001 No. Kabupaten / Kota LK LP PR KEP P-KS PDRB 1 Kulonprogo 1,50 78,9 11,4 21,10 40,4 2.430.596 2 Bantul 0,20 94,5 19,7 26,92 26,5 2.898.331 3 Gunungkidul 0,05 99,2 19,6 23,93 50,2 3.317.459 4 Sleman 0,04 97,2 6,1 22,50 19,2 3.954.049 5 Kota 0,00 91,3 9,6 22,27 28,1 8.038.080 Sumber: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta. 2001 Saliem, H.P. et al., 2002 Keterangan : LK : Luas areal puso (%) LP : Luas panen terhadap luas tanam (%) PR : Penurunan produktivitas tanam padi 5 tahun terakhir (%) KEP : Kurang energi protein anak balita (%) P-KS : Keluarga pra sejahtera/miskin (%) PDRB : Produk Domestik Regional Bruto (Rp/kapita) Penentuan skor untuk indikator LK, LP, PR, KEP dan P-KS seperti dalam metodologi, sedangkan untuk PDRB hanya diurutkan dari besarnya nilai PDRB, karena jumlah kabupaten/kota di D.I Yogyakarta hanya lima. dan tertinggi diberi skor 1. Nilai PDRB per kapita diurutkan, Dari indikator yang digunakan, terlihat skor indikator pertanian dan kesehatan di masing-masing kabupaten relatif sama, kecuali untuk LP di kabupaten Kulonprogo (Tabel 2). Hanya indikator P-KS dan PDRB yang secara nyata berbeda antar kabupaten. Berdasarkan data pada Tabel 2 dan setelah dikonfirmasi dengan pejabat di tingkat Provinsi, maka dua kabupaten rawan pangan yang menjadi lokasi penelitian adalah Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Gunungkidul. Tabel 2. Tingkat kerawanan pangan dan gizi berdasarkan jumlah skor dan kabupaten/kota di Provinsi D.I Yogyakarta, Tahun 2001 Kabupaten / Skor Kota LK LP PR KEP P-KS Jumlah Skor No. PDR B 1 Kulonprogo 1 3 4 2 4 5 19 2 Bantul 1 1 4 2 2 4 14 3 Gunungkidul 1 1 4 2 4 3 15 4 Sleman 1 1 4 2 1 2 11 5 Kota 1 1 4 2 2 1 11 Sumber: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta. 2001 Saliem, H.P. et al., 2002 Keterangan : LK : Luas areal puso (%) LP : Luas panen terhadap luas tanam (%) PR : Penurunan produktivitas tanam padi 5 tahun terakhir (%) KEP : Kurang energi protein anak balita (%) P-KS : Keluarga pra sejahtera/miskin (%) PDRB : Produk Domestik Regional Bruto (Rp/kapita) Keterangan Lokasi Penelitian 1. Kab.Kulonprogo 2. Kab.Gunungkidul 7

Kabupaten Kulonprogo Kabupaten Kulonprogo terdiri dari 12 kecamatan. Indikator yang digunakan untuk menentukan kecamatan rawan pangan adalah sama dengan indikator untuk menentukan kabupaten. Hanya indikator PDRB diganti dengan indikator rasio produksi pangan (padi dan palawija) senilai beras terhadap kebutuhan beras (PSB). Hal ini karena ada PDRB per kecamatan di Kabupaten Kulonprogo tidak tersedia. Keragaan data dari masingmasing indikator tersebut disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Keragaan indikator penentuan kecamatan rawan pangan di Kabupaten Kulonprogo, Tahun 2001 No. Kecamatan LK LP PR KEP P-KS PSB 1 Temon 0,0 97,3 16,7 21,9 18,1 2,50 2 Wates 0,0 94,5 +9,6 21,9 29,4 2,46 3 Panjatan 2,2 93,6 +22,3 12,5 39,3 1,86 4 Galur 0,2 96,2 +29,8 22,6 29,2 1,78 5 Lendak 0,0 82,9 11,8 23,4 40,4 1,32 6 Sentolo 0,9 82,9 17,2 26,1 39,8 1,83 7 Pengasih 0,0 85,3 16,9 20,4 59,6 1,01 8 Kokap 0,0 95,4 13,9 15,2 66,6 0,58 9 Girimulyo 0,2 82,1 5,4 11,8 60,1 2,31 10 Nanggulan 0,0 80,7 5,7 16,9 25,0 3,07 11 Kalibawang 7,6 84,7 20,9 27,6 38,9 1,38 12 Samigaluh 0,0 83,2 9,6 33,2 38,6 1,35 Sumber: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta. 2001 Saliem, H.P. 2002 Keterangan : LK : Luas areal puso (%) LP : Luas panen terhadap luas tanam (%) PR : Penurunan produktivitas tanam padi 5 tahun terakhir (%) KEP : Kurang energi protein anak balita (%) P-KS : Keluarga pra sejahtera/miskin (%) PSB : Rasio produksi pangan senilai beras terhadap kebutuhan beras Penentuan skor untuk masing-masing indikator sama dengan penentuan skor untuk kabupaten. Sementara untuk PSB kriteria yang digunakan sebagai berikut : skor = 1, jika rasio > 1,14; skor = 2 jika rasio 0,95 1,14 dan skor = 3, jika rasio < 1,14. Kriteria ni mengacu pada kriteria yang digunakan oleh Dinas Pertanian Provinsi D.I Yogyakarta. Berdasarkan data pada Tabel 4, jumlah skor tertinggi terdapat di kecamatan Pengasih (15), diikuti Kecamatan Kokap, Kalibawang dan Samigaluh dengan jumlah skor 14. Kecamatan Pengasih adalah kecamatan yang lokasinya relatif dekat dengan perkotaan dan sentra industri rumah tangga/kerajinan (non-pertanian). Oleh karena itu setelah berdiskusi dengan pejabat tingkat kabupaten, maka dipilih Kecamatan Kokap 8

karena sebagian besar penduduk bermata pencaharian di sektor pertaian, lokasi relatif jauh dan sektor non-pertanian belum berkembang. Tabel 4. Tingkat kerawanan pangan dan gizi di Kabupaten Kulonprogo, Tahun 2001 Skor Jumlah No. Kecamatan LK LP PR KEP P-KS PSB Skor 1 Temon 1 1 4 2 1 1 10 2 Wates 1 1 1 2 2 1 8 3 Panjatan 1 1 1 1 3 1 6 4 Galur 1 1 1 2 2 1 8 5 Lendak 1 1 4 2 4 1 13 6 Sentalo 1 2 4 2 3 1 13 7 Pengasih 1 2 4 2 4 2 15 8 Kokap 1 1 4 1 4 3 14 9 Girimulyo 1 2 3 1 4 1 12 10 Nanggulan 1 2 3 1 2 1 9 11 Kalibawang 1 2 4 2 3 1 14 12 Samigaluh 1 2 4 3 3 1 14 Sumber: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta. 2001 Saliem, H.P. et al., 2002 Keterangan : LK : Luas areal puso (%) LP : Luas panen terhadap luas tanam (%) PR : Penurunan produktivitas tanam padi 5 tahun terakhir (%) KEP : Kurang energi protein anak balita (%) P-KS : Keluarga pra sejahtera/miskin (%) PSB : Rasio produksi pangan senilai beras terhadap kebutuhan beras Keterangan Lokasi Penelitian: kecamatan Kokap Kabupaten Gunungkidul Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten di D.I Yogyakarta yang penduduknya banyak melakukan migrasi ke luar daerah, karena daerah ini relatif kurang subur dan banyak lahan kering. Namun demikian, keadaan sektor pertanian relatif baik seperti terlihat dari adanya peningkatan produktivitas padi selama lima tahun terakhir (PR) dan hampir tidak ada lahan pertanian yang puso (Tabel 5). Sementara itu, keadaan P-KS dan PSB antar kecamatan sangat beragam. Dengan mengacu kriteria yang telah ditetapkan, maka kecamatan dengan jumlah skor tinggi adalah Gedangsari dan Panggang. Dibandingkan dengan hasil analisis Tim Pangan dan Gizi D.I Yogyakarta yang menggunakan tiga indikator dalam penentuan wilayah rawan pangan (yaitu proporsi luas areal puso, jumlah KK miskin dan prevalensi KEP) maka Kecamatan Kokap di Kabupaten Kulonprogo dan Kecamatan Gedangsari di Kabupaten Gunungkidul termasuk 9

Tabel 5. Keragaan indikator penentuan kecamatan rawan pangan di Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2001 No. Kecamatan LK LP PR KEP P-KS PSB 1 Tepus 0,0 82,4 +12,2 39,3 74,7 1,23 2 Semanu 0,0 99,9 +27,4 19,2 27,8 1,45 3 Karangmojo 0,06 71,2 +7,1 21,7 31,5 1,31 4 Rongkap 0,0 95,6 +12,1 25,1 68,5 1,19 5 Saptosari 0,0 83,6 8,2 23,9 74,7 7,23 6 Gedangsari 0,0 100,0 14,0 27,9 62,0 0,53 7 Panggang 0,0 99,8 18,5 24,8 51,2 0,42 8 Semin 0,0 88,1 +4,0 24,1 39,8 1,46 9 Ponjong 0,1 94,7 +4,5 23,4 25,1 2,73 10 Wonosari 0,0 97,7 +5,3 19,4 23,2 1,52 11 Paliyan 0,0 90,0 +1,4 24,6 65,2 1,78 12 Ngawen 0,0 99,5 +9,6 24,5 61,1 3,44 13 Playen 0,19 97,6 +3,6 22,3 46,9 0,93 14 Patuk 0,63 97,2 3,1 17,6 44,4 1,87 15 Nglijan 0,0 100,0 +8,2 21,2 57,1 2,01 Sumber: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta. 2001 Saliem, H.P. et al., 2002 Keterangan : LK : Luas areal puso (%) LP : Luas panen terhadap luas tanam (%) PR : Penurunan produktivitas tanam padi 5 tahun terakhir (%) KEP : Kurang energi protein anak balita (%) P-KS : Keluarga pra sejahtera/miskin (%) PSB : Rasio produksi pangan senilai beras terhadap kebutuhan beras wilayah prioritas II bersama dengan 26 kecamatan lainya di Provinsi D.I Yogyakarta. Semetara itu dengan menggunakan berbagai indikator tambahan dalam studi ini, kedua kecamatan tersebut (sebagai lokasi penelitian) merupakan kecamatan di wilayah D.I Yogyakarta yang perlu mendapat prioritas I (pertama) atau tergolong kecamatan dengan resiko rawan pangan tinggi. 10

Tabel 6. Tingkat kerawanan pangan dan gizi di Kabupaten Gunungkidul, Tahun 2001 Skor Jumlah No. Kecamatan LK LP PR KEP P-KS PSB Skor 1 Tepus 1 2 0 3 4 2 12 2 Semanu 1 1 0 1 2 1 6 3 Karangmojo 1 3 0 2 3 1 10 4 Rongkop 1 1 0 2 4 2 10 5 Saptosari 1 2 4 2 4 1 14 6 Gedangsari 1 1 4 2 4 3 15 7 Panggang 1 1 4 2 4 3 15 8 Semin 1 2 0 2 3 1 9 9 Ponjong 1 1 0 2 2 1 9 10 Wonosari 1 1 0 1 2 1 6 11 Paliyan 1 1 0 2 4 1 9 12 Ngawen 1 1 0 2 4 1 8 13 Playen 1 1 0 2 4 3 11 14 Patuk 1 1 2 1 4 1 10 15 Nglipar 1 1 1 2 4 1 10 Sumber: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta. 2001 Saliem, H.P. 2002 Keterangan Lokasi Penelitian: kecamatan Gedangsari Keterangan : LK : Luas areal puso (%) LP : Luas panen terhadap luas tanam (%) PR : Penurunan produktivitas tanam padi 5 tahun terakhir (%) KEP : Kurang energi protein anak balita (%) P-KS : Keluarga pra sejahtera/miskin (%) PSB : Rasio produksi pangan senilai beras terhadap kebutuhan beras KESIMPULAN SARAN Dengan menggunakan berbagai indikator yang mencakup aspek pertanian, kesehatan, dan peubah sosial ekonomi lainnya dapat diidentifikasi wilayah yang termasuk kategori rawan pangan. Dalam hal ini kriteria wilayah rawan pangan ditetapkan berdasarkan posisi relatif antar wilayah (kabupaten dalam Provinsi atau kecamatan dalam kabupaten). Selanjutnya apabila tersedia data secara konsisten antar desa, indikator yang sama dapat digunakan untuk menetapkan wilayah rawan pangan sampai tingkat desa (relatif dalam suatu kecamatan). Berdasar indikator yang ada, untuk Provinsi D.I. Yogyakarta, dengan menggunakan data tahun 2001 wilayah yang termasuk kategori memiliki resiko tinggi untuk terjadinya rawan pangan adalah Kabupaten Gunungkidul dan Kulonprogo. Sementara itu di Kabupaten Gunungkidul adalah Kecamatan Panggang, Gedangsari, 11

dan Saptosari. Untuk Kabupaten Kulonprogo, kecamatan yang termasuk memiliki resiko tinggi terjadi rawan pangan adalah Kecamatan Pengasih, Kokap, Kalibawang, dan Samigaluh. Proses identifikasi wilayah rawan pangan tersebut disarankan dapat dilakukan untuk seluruh wilayah dan dilakukan secara berkesinambungan. Selain itu ketersediaan dan kesinambungan data sampai tingkat desa juga penting diupayakan oleh berbagai instanti terkait, agar identifikasi wilayah rawan pangan dapat dilakukan sampai tingkat desa dan rumahtangga. Hasil identifikasi tersebut perlu dikomunikasikan pada seluruh jajaran aparat lintas sektor untuk menetapkan prioritas dan fokus sasaran peningkatan ketahanan pangan dan melakukan intervensi secara cepat dan tepat. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2000. Situasi Pangan dan Gizi di Indonesia. Tim Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi Pusat. Jakarta. Anonimous. 2001. Petunjuk Teknis Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Badan Bimas Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta. BPS Provinsi D.I Yogyakarta. 2001. Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka tahun 2000. BP Provinsi D.I Yogyakarta. Yogyakarta.. 2000. Registrasi Penduduk Pertengahan Tahun. BPS Provinsi D.I Yogyakarta. Yogyakarta.. 2000. Produk Domestik Regional Bruto1998-2000 Provinsi D.I Yogyakarta. BPS Provinsi D.I Yogyakarta. Yogyakarta. Departemen Pertanian. 1999. Program Pembangunan Pertanian Kabinet Persatuan Nasional 1999-2004. Departemen Pertanian. Jakarta. Hardinsyah, Hartoyo, D. Briawan, C.M. Daviriani dan B. Setiawan. 1999. Membangun Sistem Ketahanan Pangan dan Gizi yang Tangguh dalam Thaha, R. et al (eds). Pembangunan Gizi dan Pangan Dari Perspektif Kemandirian Lokal. PERGIZI PANGAN Indonesia dan Center for Regional Resource Development & Community Empowerment, Bogor. Saliem, H.P., M. Ariani, T.B. Purwantini dan Y. Marisa. 2002. Identifikasi Kerawanan Pangan Wilayah Dalam Perspektif Desentralisasi Pembangunan. LAporan Hasil Penelitian Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. BAdan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. 12

Simatupang, P, N. Syafa'at, K.M. Noekman, A. Syam, S.K. Dermoredjo dan B. Santoso. 2001. Kelayakan Pertanian Sebagai Sektor Andalan Pembangunan Ekonomi Nasional. Makalah disampaikan pada Forum Diskusi Pembangunan Pertanian di Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor, 10 Mei 2001. Suryana, A. 2001. Tantangan dan Kebijakan Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat untuk Mencapai Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi. Departemen Pertanian, Jakarta, 29 Maret 2001. 13