Hubungan antara Tingkat Penalaran Formal dan Tingkat Perkembangan Konsep Geometri Siswa

dokumen-dokumen yang mirip
Erfan Yudianto, S. Pd Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika UNESA.

TINGKAT PEMAHAMAN PERSAMAAN DIFFERENTIAL MERUJUK PADA TINGKAT PEMAHAMAN GEOMETRI DERAJAT v HIELE

ANALISIS KETERAMPILAN GEOMETRI SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH GEOMETRI BERDASARKAN TINGKAT BERPIKIR VAN HIELE

HUBUNGAN KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS DENGAN HASIL BELAJAR MAHASISWA PADA MATA KULIAH GENETIKA

ANALISIS LEVEL PERTANYAAN GEOMETRI BERDASARKAN TINGKATAN VAN HIELE PADA BUKU TEKS MATEMATIKA SMP KELAS VII

Abdussakir - Pembelajaran Geometri Sesuai Teori Van Hiele

IDENTIFIKASI TAHAP BERPIKIR GEOMETRI SISWA SMP NEGERI 2 AMBARAWA BERDASARKAN TEORI VAN HIELE

BAB III METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ANALISIS TAHAP BERPIKIR GEOMETRI SISWA BERDASARKAN TEORI VAN HIELE DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF DI SMP

IDENTIFIKASI TAHAP BERPIKIR GEOMETRI CALON GURU SEKOLAH DASAR DITINJAU DARI TAHAP BERPIKIR VAN HIELE

BANYAK CARA, SATU JAWABAN: ANALISIS TERHADAP STRATEGI PEMECAHAN MASALAH GEOMETRI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

TEORI BELAJAR VAN HIELE

DESAIN DIDAKTIS BANGUN RUANG SISI DATAR UNTUK MENINGKATKAN LEVEL BERPIKIR GEOMETRI SISWA SMP

Sugiyarti Pendidikan Matematika-Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang.

IMPLIKASI TEORI VAN HIELLE DALAM PEMBELAJARAN GEOMETRI

Pengalaman Belajar sesuai Teori Berpikir van Hiele

PERBANDINGAN HASIL TES KETERAMPILAN PENALARAN FORMAL MAHASISWA SEBELUM DAN SESUDAH PERKULIAHAN PENGANTAR DASAR MATEMATIKA

IDENTIFIKASI TINGKAT BERPIKIR GEOMETRI SISWA SMP BERDASARKAN TEORI VAN HIELE. Abdul Jabar dan Fahriza Noor. Kata Kunci: berpikir geometri, van hiele.

TAHAP PERKEMBANGAN KOGNITIF MATEMATIKA SISWA SMP KELAS VII BERDASARKAN TEORI PIAGET DITINJAU DARI PERBEDAAN JENIS KELAMIN

BAB III METODE PENELITIAN

Analisis Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Matematika Tentang Bangun Datar Ditinjau Dari Teori Van Hiele ABSTRAK

Pendahuluan. Mika Wahyuning Utami et al., Tingkat Berpikir Siswa...

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI GEOMETRIS SISWA SEKOLAH DASAR MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS TEORI VAN HIELE

BAB I PENDAHULUAN. siswa, karena itu matematika sangat diperlukan baik untuk kehidupan sehari-hari

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Project based learning (PjBL) dalam penelitian ini menggunakan. dipresentasikan kepada orang lain.

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN VAN HIELE UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA SMP KARUNADIPA PALU TERHADAP KONSEP BANGUN- BANGUN SEGIEMPAT

BAB III METODE PENELITIAN

Pemahaman Siswa Pada Konsep Segiempat Berdasarkan Teori van Hiele

ANALISIS KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATEMATIKA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 03 TUNTANG TENTANG BANGUN DATAR DITINJAU DARI TEORI VAN HIELE

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

TINGKAT BERPIKIR GEOMETRI SISWA KELAS VII SMP BERDASARKAN TEORI VAN HIELE

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Aditya Rakhmawan 1 dan Mudmainah Vitasari 2. Abstract

PEMBELAJARAN PENALARAN FORMAL MELALUI BAHAN AJAR MATEMATIKA SISWA SMA DENGAN MATERI ALJABAR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran yang

PEMETAAN PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET SISWA SMA MENGGUNAKAN TES OPERASI LOGIS (TOL) PIAGET DITINJAU DARI PERBEDAAN JENIS KELAMIN

ANALISIS TINGKAT BERPIKIR SISWA SMP BERDASARKAN TEORI VAN HIELE DITINJAU DARI GENDER

ANALISIS TINGKAT BERPIKIR SISWA BERDASARKAN TEORI VAN HIELE PADA MATERI DIMENSI TIGA DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF FIELD DEPENDENT DAN FIELD INDEPENDENT

BAB I PENDAHULUAN. atau hanya gambaran pikiran. Makna dari penjelasan tersebut adalah sesuatu

KEEFEKTIFAN MODEL MMP PADA KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DISERTAI IDENTIFIKASI TAHAP BERPIKIR GEOMETRI

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA MATERI SEGIEMPAT BERBASIS TEORI VAN HIELE

PEMBELAJARAN GEOMETRI BIDANG DATAR DI SEKOLAH DASAR BERORIENTASI TEORI BELAJAR PIAGET

PERKEMBANGAN KOGNITIF SISWA DALAM OPERASI LOGIS BERDASARKAN TEORI PIAGET DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

Respon Mahasiswa terhadap Desain Perkuliahan Geometri yang Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Matematika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Agung Wijaya Arifandi et al., Analisis Struktur Hasil Belajar Siswa dalam Menyelesaikan Soal...

KETERAMPILAN DASAR GEOMETRI SISWA KELAS V DALAM MENYELESAIKAN SOAL BANGUN DATAR BERDASARKAN KEMAMPUAN MATEMATIKA DI MI AL ISTIQOMAH BANJARMASIN

LAPORAN TUGAS AKHIR Topik Tugas Akhir Penelitian Pendidikan Matematika

Desain Perkuliahan Geometri dalam Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Matematika Mahasiswa Calon Guru

Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Geometri melalui Pembelajaran Kooperatif Berbasis Teori Van Hiele

MENGUKUR TINGKAT PENCAPAIAN PERKEMBANGAN KOGNITIF SISWA SMA MENGGUNAKAN OPERASI LOGIKA PIAGET (Konfirmasi Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS TEORI VAN HIELE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN GEOMETRI SISWA SMP DI KOTA BANDA ACEH

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pembangunan di Indonesia antara lain diarahkan untuk

Vera Mandailina Dosen Program Studi Pendidikan matematika, Universitas Muhammadiyah Mataram

BAB I PENDAHULUAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB III METODE PENELITIAN

ANTISIPASI SISWA LEVEL ANALISIS DALAM MENYELESAIKAN MASALAH GEOMETRI

KARAKTERISTIK PENALARAN SISWA SMP DALAM MEMECAHKAN MASALAH GEOMETRI DITINJAU DARI PERBEDAAN GENDER

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

KRITERIA BERPIKIR GEOMETRIS SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN MASALAH GEOMETRI 5

BAB III METODE PENELITIAN. sekarang (Arikunto, 2010:245). Hal yang digambarkan pada penelitian ini

Strategi Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP Ditinjau dari Tingkat Berpikir Geometri Van Hiele

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode deskriptif.

The Effect of Discovery Learning on Students Logical Thinking Skills of Grade X MIA SMA Muhammadiyah 1 SurakartaAcademic Year 2013/2014

MEMANFAATKAN TEORI UNTUK PENINGKATKAN KEBERMAKNAAN KITA TERHADAP PENGEMBANGAN BERPIKIR SISWA

JURNAL PENDIDIKAN BIOLOGI Volume 7 Nomor 1 Februari 2015 Halaman

PENGEMBANGAN MULTIMEDIA INTERAKTIF DALAM PEMBELAJARAN GEOMETRI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI CALON GURU SEKOLAH DASAR

MELALUI TUTUP KALENG BERBENTUK LINGKARAN Oleh : Nikmatul Husna

Fajrul Wahdi Ginting dan Nurdin Bukit Jurusan Pendidikan Fisika Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Berdasarkan tujuan penelitian, yaitu untuk memperoleh gambaran mengenai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. penguasaan konsep siswa melalui Lembar Kerja Rumah (LKR) dan tes proses

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif dengan pengolahan data menggunakan uji korelasional.

Oktavia et al., Analisis Penyajian Pembelajaran...

Vol. 1 No. 1 Th. Jan-Des 2016 ISSN: Kemampuan Berpikir Logis Matematis Mahasiswa Pendidikan Matematika Pada Mata Kuliah Matematika Diskrit

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan dasar tersebut, sudah dapat dipastikan pengetahuan-pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di bidang pendidikan. Dalam era globalisasi ini, sumber daya

PROFIL KECERDASAN VISUAL-SPASIAL PADA SISWA KELAS IX SMPN 1 MOJOLABAN BERDASARKAN PERBEDAAN JENIS KELAMIN

KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA PADA PEMBELAJARAN BERBASIS TEORI VAN HIELE DI MATERI SEGIEMPAT KELAS VII SMP NEGERI 1 INDRALAYA UTARA

KEMAMPUAN PENELARAN SPASIAL MATEMATIS SISWA DALAM GEOMETRI DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

Pendahuluan. Handayani et al., Penerapan fase-fase Pembelajaran Geometri... 1

Berpikir Geometri Melalui Model Pembelajaran Geometri Van Hiele

MELALUI TUTUP KALENG BERBENTUK LINGKARAN Oleh :

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Matematika Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. dimilikinya. Kualitas pendidikan akan menggambarkan kualitas SDM (sumber

Lina Nofianti H.U. et al., Kecerdasan Visual-Spasial dan Logika Matematika dalam...

PENINGKATAN PEMAHAMAN SISWA TERHADAP MATERI GEOMETRI MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS TEORI VAN HIELE

PENALARAN DAN PEMECAHAN MASALAH DALAM PEMBELAJARAN GEOMETRI

REPRESENTASI MATEMATIS SISWA TUNANETRA DALAM MEMAHAMI KONSEP SEGITIGA BERDASARKAN TEORI VAN HIELE

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR (MP PKB) DISERTAI METODE EKSPERIMEN PADA PEMBELAJARAN FISIKA DI SMP

ANALYSIS OF CRITICAL THINKING SKILLS CLASS X SMK PATRONAGE STATE NORTH SUMATRA PROVINCE ACADEMIC YEAR

PROFIL BERPIKIR GEOMETRIS PADA MATERI BANGUN DATAR DITINJAU DARI TEORI VAN HIELE

2014 ANALISIS KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS DAN MISKONSEPSI SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA PADA MATERI GERAK BERDASARKAN HASIL THREE-TIER TEST

PENGARUH KEMAMPUAN PENALARAN FORMAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DENGAN MEMPERHATIKAN TINGKAT PENDIDIKAN AYAH SISWA. Baso Intang Sappaile * )

KEMAMPUAN BERPIKIR MATEMATIS MAHASISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH GEOMETRI. Rizki Amalia

Transkripsi:

Hubungan antara Tingkat Penalaran Formal dan Tingkat Perkembangan Konsep Geometri Siswa Sunardi Abstract: This study examined the level of students' logical thinking ability and the level of students' understanding in geometry, and also the relationship between the students' level of logical thinking and students' level of understanding in geometry. The tests of logical thinking and geometry concept development level were administered to 387 students of the third year science classes selected from 10 State Senior High Schools in Jember, East Java. The results indicated that 8.01 %,24.81 %,29.97%,37.21 % students were respectively at concrete, transition, early formal, and formal levels; and 14.47%,31.52%,40.05%, 13.44%, 0.52%, 0% were at previsualization, visualization, analysis, informal deduction, deduction, and rigor respectively. There was a significant relationship between students' level oflogical thinking ability and their level of understanding in geometry. Kata kunci: tingkat penalaran, perkembangan konsep, geometri. Kemampuan penalaran formal siswa merupakan suatu un sur yang sangat. diperlukan dalam proses mengajar belajar, utamanya dalam mata pelajaran matematika. Pada pembelajaran geometri di SMU, di samping harus mempertimbangkan tingkat penalaran formal siswa, guru juga harus mempertimbangkan tingkat perkembangan konsep geometri siswa, karena sebagian besar pokok bahasan geometri SMU disajikan sesuai dengan konstruk Sunardi adalah dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Jember. 43

44 JURNAL llmu PENDlDlKAN, FEBRUARI2002, JlLlD 9, NOMOR 1 geometri, yaitu secara deduktif aksiomatik. Pembelajaran yang mengikuti konstruk geometri -tersebut didasarkan atas struktur hierarkis matematika kaku (Ernest, 1991). Untuk memahami pokok bahasan yang disajikan sesuai dengan konstruk geometri itu dibutuhkan tingkat penalaran formal dan tingkat perkembangan konsep geometri siswa minimal pada tingkat deduksi informal. Hal itu dapat dilaksanakan dengan baik apabila infonnasi tentang tingkat penalaransiswa dan tingkat perkembangan konsep geometri siswa sudah dimiliki guru. Tampaknya infonnasi tersebut belum tersedia ketika guru memerlukannya. Sesuai dengan teori Piaget, anak-anak dianggap "siap" men gembang-kan konsep khusus hanya jika anak telah memperoleh skemata yang diperlukan (Wadsworth, 1969:121). Hal ini berarti anak-anak tidak dapat belajar (tidak dapat mengembangkan skemata) jika dia tidak memiliki keterampilan kognitif prasyaratnya. Artinya, proses belajar mengajar geometri akan terhambat apabila tingkat kemampuan penalaran siswa dan tingkat perkembangan konsep geometri siswa tidak sesuai dengan tingkat penalaran yang diperlukan oleh isi kurikulum yang disajikan guru. Geometri merupakan salah satu topik penting dalam matematika sekolah, tennasuk di sekolah menengah umum (SMU), baik sebagai topik yang berdiri sendiri maupun sebagai pendukung topik lain. Namun buktibukti empiris di lapangan baik di Indonesia maupun di negara lain menunjukkan bahwa hasil pembelajaran geometri masih belum memuaskan. Soebakri (1998) menyatakan penguasaan penalaran geometrik siswa SMU masih sangat rendah. Senk (1989) menyatakan bahwa banyak siswa sekolah menengah mengalami kesulitan ketika menyelesaikan tugas menulis bukti geometri, menyelesaikan tes pengetahuan isi geometri standar, dan men yelesaikan tes geometri akhir program. Battista (1999) melaporkan hasil studi TIMSS tingkat internasional untuk tes geometri pada kelas 8 rata-rata mencapai 56%. Carroll (1998) menyatakan banyak siswa sekolah menengah tidak cukup memahami unsur-unsur geometri yang diperlukan untuk mendeskripsikan hubungan geometris. Rendahnya penguasaan geometri tersebut tidak hanya terjadi pada siswa, tetapi juga terjadi pada guru Matematika sekolah menengah yang mengikuti preservice and inservice training di Illinois Amerika (Swafford dkk., 1997). Hamdani (1999) menyatakan penguasaan guru Matematika SMU Muhammadiyah di Surabaya pada materi dimensi 3 masih lemah. Sedangkan Ikhsan (2000) menya-

Sunardi, Penalaran Formal dan Perkembangan Konsep Geometri 45 takan penguasaan guru Matematika SMUN di Aceh Selatan pada materi geometri transformasi rata-rata 40%. Oleh karena itu van Hiele (1999) menyebutkan bahwa geometri merupakan sumber ketidakpahaman siswa di samping aritmatika. Lebih ekstrem lagi, Collier (1998) menyatakan bahwa geometri merupakan isu abadi dalam pendidikan matematika dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.. Rendahnya hasil belajar geometri tersebut diduga karena tingkat penalaran siswa tidak sesuai dengan tingkat perkembangan konsep geometri siswa. Hal ini cukup rasional karena setiap tingkat perkembangan konsep geometri memerlukan tingkat penalaran yang sesuai. Jika materi sajian geometri memerlukan penalaran siswa pada tingkat formal, sedangkan perkembangan konsep geometri siswa di bawah tingkat deduksi, maka akan terjadi konflik dalam struktur kognitif siswa. Walaupun bahan geometri disajikan dalam bentuk visual atau konkret, pemahaman konsepnya bisa memerlukan penalaran tingkat formal. Apabila bahan sajian geometri memerlukan tingkat perkembangan konsep geometri tingkat deduksi, maka penalaran siswa yang sesuai untuk memahami bahan sajian tersebut adalah penalaran tingkat formal. Apabila hal ini tidak terpenuhi maka proses pemahaman konsep geometri tidak dapat berlangsung secara baik. Uraian tersebut menunjukkan bahwa tingkat penalaran formal merupakan kondisi yang diperlukan dalam perkembangan konsep geometri siswa. Hal ini menunjukkan ada hubungan positif antara tingkat penalaran formal dan tingkat perkembangan konsep geometri siswa. Pada kenyataannya banyak sajian geometri SMU yang disajikan pada tingkat deduksi. Penetapan ini didasarkan pada asumsi bahwa siswa SMU sudah masuk pada tingkat operasi formal sesuai dengan periodisasi umur menurut Piaget. Berdasarkan teori van Hiele, siswa akan melalui lima tingkatan hierarkis pemahaman dalam belajar geometri (van Hiele, 1999; Clements & Battista, 1992; Fuys dkk., 1988; Burger & Shaughnessy, 1986). Lima tingkat tersebut adalah tingkat 0 (visualisasi), tingkat 1 (analisis/deskriptif), tingkat 2 (deduksi informal/abstraksi), tingkat 3 (deduksi), dan tingkat 4 (rigor). Secara umum karakteristik teori van Hiele adalah: (a) belajar merupakan suatu proses yang diskontinu, yaitu ada "lompatan" dalam kurva belajar yang menyatakan adanya tingkat pemikiran diskrit dan berbeda secara kualitatif; (b) tingkat-tingkat tersebut berurutan dan hierarkis. Agar siswa dapat berperan dengan baik pada suatu tingkat berikutnya

46 JURNAL ILMU PENDIDIKAN, FEBRUARI2002, JILID 9, NOMOR 1 dalam hierarkis van Hiele, maka dia harus menguasai sebagianbesar dari tingkat yang lebih rendah. Kemajuan dari satu tingkat ke tingkat berikutnya lebih banyak tergantung pada pembelajaran daripada umur atau kematangan biologis; (c) konsep-konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tingkat menjadi eksplisit dipahami pada tingkat berikutnya; (d) setiap tingkat mempunyai bahasa dan simbol bahasa sendiri serta sistem relasi sendiri yang menghubungkan simbol-simbol itu. Siswa tidak dapat mencapai suatu tingkat berpikir tanpa melewati tingkat berpikir sebelumnya. Berdasarkan teori Piaget siswa mengalami empat periode atau tingkat pertumbuhan mental yang berbeda, yaitu periode sensori motor, praoperasional, operasi konkret, dan operasi formal (Piaget, 1983; Wadsworth, 1969). Empat periode perkembangan kognitif itu tersusun secara hierarkis. Misalnya, seseorang tidak dapat memasuki periode operasi konkret sebelum periode praoperasional dan periode sensori motor dilampaui. Menurut teori Piaget, pencapaian setiap periode berarti perubahan kognitif permanen, pencapaian struktur kognitif atau kemampuan baru. Perkembangan ini diartikan sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya dan merupakan sesuatu yang lebih daripada sekadar kematangan biologis. Inhelder dan Piaget (1958) mengidentifikasi operasi logis tertentu dapat dilakukan oleh orang yang merniliki kemampuan operasi formal tetapi tidak dapat dilakukan oleh orang yang hanya memiliki kemampuan operasi konkret. Lawson (1978) mengidentifikasi lima mode penalaran, yaitu pengidentifikasian dan pengontrolan variabel, penalaran proporsional, penalaran probabilistik, penalaran korelasional, dan penalaran kombinatorial. Kelima aspek inilah yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan ada tidaknya operasi formal seseorang. Kelima aspek ini sangat dibutuhkan siswa untuk mempelajari hampir setiap pokok bahasan matematika. Kedua teori di atas menunjukkan adanya hierarki yang sama. Artinya, untuk mencapai suatu tingkat tertentu, seorang anak hams mencapai tingkat sebelumnya. Dalam proses pemahaman konsep geometri, makin tinggi konsep geometri yang hams dipahami siswa makin tinggi pula tingkat penalaran yang diperlukan. Kedua teori menyatakan kecepatan melampui tingkat tidak sekadar diartikan sebagai kematangan biologis. Berdasarkan pemikiran di atas maka pertanyaan penelitian yang akan dijawab adalah: (1) bagaimanakah tingkat kemampuan penalaran formal dan tingkat perkembangan konsep geometri sisw a? (2) adakah hubungan

Sunardi, Penalaran Formal dan Perkembangan Konsep Geometri 47 positif antara tingkat kemampuan penalaran formal dan tingkat perkembangan konsep geometri siswa? METODE Sebanyak 387 orang siswa kelas 3 IPA dari 10 kelas pada 10 SMUN di Jember yang ditetapkan sebagai responden pada penelitian ini dipilih dari 15 SMUN (tidak termasuk MAN) pada tahun pelajaran 200012001. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data tingkat kemampuan penalaran formal siswa adalah paket tes seting kelompok. Tes tersebut dikembangkan oleh Tobin dan Capie (1981) yang disebut test of logical thinking, yang diadaptasi untuk seting Indonesia oleh Nur (1991), dan diberi nama Tes Kemampuan Penalaran Formal (TKPF). Koefisien reliabilitas (KR-20) tes adalah 0,68, indeks kesukaran butir tes antara 0,35-0,85, indeks daya pembeda butir tes antara 0,35-0,78, dan koefisien korelasi biserial butir tes antara 0,43-0,62. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data tingkat perkembangan konsep geometri siswa adalah terjemahan paket tes yang dikembangkan oleh The Cognitive Development and Achievement in Secondary School Geometry project (CDASSG) (Usiskin dalam Wilson, 1990). Paket tes tersebut dirancang untuk mengukur urutan tingkat belajar dalam geometri berdasarkan teori van Hiele dan dikonstruksi untuk mengklasifikasikan siswa ke dalam lima tingkat van Hiele, Koefisien reliabilitas (KR-20) subtes untuk tingkat 0-4 berturut-turut adalah 0,35; 0,50; 0,53; 0,22; dan 0,18 (Usiskin dalam Crowley, 1990). Sedangkan untuk seting Indonesia koefisien reliabilitas,subtes untuk tingkat 0-4 menurut hasil analisis butir tes adalah berturut-turut 0,32, 0,30, 0,16, 0,01, dan 0,06 serta rata-rata indek kesukaran butir soal dari subtes untuk tingkat 0-4 berturut-turut adalah 0,73, 0,47, 0,30, 0,22, dan 0,14. Pengklasifikasian siswa pada suatu tingkat perkembangan konsep geometri ditetapkan dengan aturan: siswa memenuhi tingkat ke-n bila minimal 3 dari 5 butir soal dijawab benar pada tingkat ke-n dan setiap tingkat sebelumnya. Apabila siswa tidak memenuhi aturan tersebut, maka siswa diklasifikasikan sebagai tingkat sebelum visualisasi (previsualisasi). Penskoran jawaban TKPF siswa ditetapkan sebagai berikut. Jawaban terhadap satu butir tes dinyatakan benar hanya apabila jawaban dan alas an yang dipilih keduanya benar. Jawaban benar diberi skor 1 dan jawaban

48 JURNAL ILMU PENDIDIKAN, FEBRUARI2002, J1LID 9, NOMOR 1 salah diberi skor O. Dari 10 butir tes, maka skor terendah 0 dan skor tertinggi 10. Skor tes setiap responden dianalisis dengan interpretasi sebagai berikut. Skor 0-1 tingkat konkret, 2-3 tingkat transisi, 4-5 tingkat awal formal, dan 6-10 tingkat formal. Paket program statistik SPSS versi 10.0 digunakan untuk menentukan distribusi frekuensi tingkat kemampuan penalaran formal, distribusi tingkat perkembangan konsep geometri siswa, dan koefisien korelasi antara tingkat kemampuan penalaran formal dan tingkat perkembangan konsep geometri siswa. HASIL Berdasarkan respon siswa terhadap tes, skor TKPF tertinggi yang dicapai oleh siswa adalah 10 dan skor terendah adalah O. Rata-rata skor TKPF siswa adalah 4,79. Dengan demikian, menurut kriteria klasifikasinya, rata-rata tingkat kemampuan penalaran formal siswa berada pada tingkat awal formal. Secara rinei, distribusi frekuensi tingkat penalaran formal siswa atas dasar skor mereka dalam TKPF disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Distribusi Frekuensi Tingkat Penalaran Formal Siswa Tingkat Penalaran Frekuensi Persentase Frekuensi Kumulatif Persentase Kumulatif Konkret 31 8,01 31 8,01 Transisi 96 24,81 127 32,82 Awal formal 116 29,97 243 62,79 Formal 144 37,21 387 100,00 Tingkat perkembangan konsep geometri siswa yang tertinggi adalah tingkat deduksi yang dicapai oleh 2 orang siswa, dan tingkat terendah adalah tingkat previsualisasi (Tabel 2). Rata-rata perkembangan konsep geometri siswa adalah pada tingkat analisis. Umur siswa terendah adalah 16,17 tahun dan umur tertinggi adalah 19,92 tahun, dan rata-rata umur siswa adalah 17,83 tahun. Koefisien korelasi antara tingkat penalaran formal siswa dan tingkat perkembangan konsep geometri siswa adalah 0,273.

- Sunardi, Penalaran Formal dan Perkembangan Konsep Geometri 49 Tabel 2 Distribusi Frekuensi Tingkat Perkembangan Konsep Geometri Siswa Tingkat Perkembangan Frekuensi Persentase Frekuensi Kumulatif Persentase Kumulatif Previsualisasi*) 56 14,47 56 14,47 o (Visualisasi) 122 31,52 178 45,99 I (Analisis) 155 40,05 333 86,04 2 (Deduksi Informal) 52 13,44 385 99,48 3 (Deduksi) 2 0,52 387 100,00 4 (Rigor) PEMBAHASAN 387 100,00 Terdapat 37,21 % siswa yang secara penuh tingkat penalarannya pada tingkat formal dan masih terdapat 8,01 % siswa pada tingkat konkret. Sesuai dengan teori Piaget, anak umur 11 tahun sampai dengan umur 15 tahun, struktur kognitifnya (skematanya) secara kualitatif menjadi matang. Anak-anak secara struktural dapat menerapkan operasi logis untuk semua kelas masalah. Mereka dapat menerapkan berpikir logisnya untuk masalah verbal yang kompleks, masalah hipotetis, dan masalah yang melibatkan prediksi. Logika sungguh-sungguh siap sebagai alat berpikir anak. Namun, berdasarkan hasil penelitian ini, hanya 37,21 % anak umur 16,17 tahun sampai dengan 19,92 tahun yang secara penuh tingkat penalarannya pada tingkat formal. Bahkan masih terdapat 8,01 % siswa pada tingkat operasi konkret. Hal ini berarti tingkat penalaran atau tingkat perkembangan intelektual siswa sampel penelitian ini lebih rendah dengan tingkat perkembangan intelektual subjek Piaget. Persentase siswa yang berada pada tingkat formal menu rut hasil penelitian ini, yaitu 37,21 %, lebih besar dibandingkan dengan persentase mahasiswajurusan pendidikan MIPA FKIP Universitas Jember yang berada pada tingkat kemampuan berpikir yang sama, yaitu 26% (Sunardi dkk., 1996:28). Dapat diinterpretasikan bahwa bertambahnya umur siswa tidak selalu dibarengi dengan meningkatnya tingkat penalaran formal siswa, dengan rata-rata umur siswa SMU lebih kecil daripada rata-rata umur mahasiswa. Temuan penelitian ini memunculkan dugaan bahwa untuk anak-anak Indonesia tingkat operasi formal dicapai pada

50 JURNAL ILMU PENDIDlKAN, FEBRUARI2002, JILID 9, NOMOR 1 umur lebih tinggi daripada umur yang ditetapkan dalam teori Piaget atau mungkin tidak setiap anak dapat mencapai tingkat operasi formal. Namun untuk menerima atau menolak dugaan ini masih diperlukan bukti empirik yang cukup melalui penelitian yang lebih besar sampelnya. Temuan penelitian ini menduga bahwa periodisasi teori perkembangan kognitif Piaget menurut umur hanya berlaku secara kondisional. Ini berarti periodisasi tersebut berlaku hanya untuk anak-anak yang hidup dalam lingkungan tertentu. Dengan demikian temuan penelitian ini menolak periodisasi teori perkembangan kognitif Piaget menurut umur. Artinya, periodisasi teori perkembangan kognitif Piaget menurut umur tidak berlaku untuk anak -anak di Indonesia. Untuk tingkat perkembangan konsep geometri siswa, terdapat 0,52% siswa pada tingkat deduksi dan bahkan masih terdapat 56 siswa (14,47%) yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu tingkat berpikir geometri menurut van Hiele. Frekuensi siswa yang tidak dapat diklasifikasikan kedalam salah satu tingkat cukup signifikan untuk memunculkan tingkat previsualisasi (tingkat sebelum visualisasi) dari tingkat perkembangan konsep geometri siswa menu rut van Hiele. Temuan ini mendukung Clement dan Battista (1992) dan Clement dkk. (1999) bahwa tingkat prakognitif (tingkat sebelum visualisasi) benar-benar ada. Persentase siswa dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah 40,05% pada tingkat analisis, 31,52% pada tingkat visualisasi, 13,44% pada tingkat deduksi informal, dan 0,52% pada tingkat deduksi yang hanya dicapai oleh dua siswa, serta tidak terdapat siswa yang mencapai tingkat rigor. Rata-rata perkembangan konsep geometri siswa adalah pada tingkat analisis. Hal ini berarti perkembangan konsep geometri siswa-siswa SMUN di Jember sebagian besar pada tingkat analisis. Rata-rata ini, yaitu tingkat analisis, lebih tinggi dari rata-rata tingkat perkembangan konsep geometri siswa SLTP, yaitu tingkat visualisasi (Sunardi, 2000). Tabel 2 menunjukkan bahwa 86,04% siswa masih pada tingkat analisis, atau lebih rendah. Berdasarkan hasil analisis data, koefisien korelasi antara tingkat kemampuan penalaran formal dan tingkat perkembangan konsep geometri siswa adalah 0,273. Jadi terdapat hubungan positif yang signifikan antara tingkat kemampuan penalaran formal dan tingkat perkembangan konsep geometri siswa. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa makin tinggi tingkat kemampuan penalaran formal siswa makin tinggi pula tingkat perkembangan konsep geometri siswa. Namun koefisien korelasi tersebut tidak

Sunardi, Penalaran Formal dan Perkembangan Konsep Geometri 51 cukup kuat untuk menyatakan bahwa tingkat penalaran formal siswa dapat digunakan sebagai prediktor tingkat perkembangan konsep geometri siswa. Pada kenyataannya, dalam geometri, di samping diperlukan penalaran formal juga diperlukan pemahaman isi geometrinya. Menurut Gutierrez dkk. (1991) penguasaan tingkat penalaran geometri siswa tidak berada pada satu tingkat van Hiele yang tunggal, tetapi berada pada beberapa tingkat van Hie1e dan bergantung pada permasalahannya. Ini berarti seorang siswa berada pada suatu tingkatan van Hie1e yang lebih tinggi, memiliki penguasaan tingkat penalaran yang lebih rendah pada tingkatan van Hie1e tersebut, dibandingkan siswa yang berada pada tingkatan van Hie1e yang lebih rendah. Implikasi temuan di atas pada pendidikan adalah bagi pengembangan kurikulum, pengembangan buku teks matematika sekolah, dan guru tidak serta merta mengasumsikan umur sesuai dengan struktur kognitif anak. Artinya, tidak setiap anak yang umumya sudah mencapai 11 tahun sudah mencapai tingkat berpikir pada operasi formal. Peneliti menduga bahwa dalam pengembangan isi kurikulum sajian buku teks matematika sekolah dan pembelajaran yang konsisten dengan tingkat penalaran siswa akan meningkatkan efisiensi dan keefektifan pencapaian tujuan pembelajaran tanpa mengesampingkan faktor lain. Akan tetapi pada pembelajaran masih perlu dipertimbangkan tingkat perkembangan konsep geometri siswa. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari 387 siswa SMUN di Jember terdapat 8,01 % siswa pada tingkat konkret, 24,81 % siswa pada tingkat transisi, 29,97% siswa pada tingkat awal formal, dan 37,21 % siswa pada tingkat formal, dengan rata-rata tingkat penalaran pada tingkat awal formal. Untuk tingkatan van Hie1e, terdapat 14,47%, 31,52%, 40,05%,13,44%,0,52%,0% berturut-turut pada tingkat perkembangan previsualisasi, visualisasi, analisis, deduksi, Informal, deduksi, dan rigor. Ditemukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara tingkat penalaran formal dengan tingkat perkembangan konsep geometri siswa. Temuan penelitian ini menolak periodisasi teori perkembangan kognitif Piaget menurut umur. Artinya, periodisasi teori perkembangan kognitifpiaget menurut umur tidak berlaku untuk anak -anak di Indonesia.

52 JURNAL ILMU PENDlDlKAN, FEBRUARI2002, JILlD 9, NOMOR I Saran Pembelajaran geometri SMU akan memberikan hasil yang optimum apabila aktivitas sajian pembelajaran berorientasi pada karakteristik tiga tingkat pertama dari teori van Hiele. Dalam pembelajaran yang menggunakan tingkat sajian deduksi dengan tingkat penalaran formal diperlukan kehati-hatian yang sangat, karena sebagian siswa berada pada tingkat penalaran transisi antara konkret dan formal, dengan tingkat perkembangan konsep geometri analisis. Kepada para pengembang kurikulum, pengembang buku teks matematika sekolah dan guru, agar dalam penyusunan dan perencanaannya hendaknya konsisten dengan struktur kognitif anak atau tingkat kemam-. puan penalaran formal siswa. Para guru disarankan agar dalam merencanakan kegiatan pembelajaran geometri, usia bukan merupakan faktor yang menjadi pertimbangan. Akan tetapi tingkat perkembangan konsep geometri siswa hendaknya menjadi pertimbangan utama dalam menyusun dan merencanakan sajian kegiatan pembelajaran geometri. Guru-guru Matematika SMU disarankan menggunakan informasi tingkat perkembangan berpikir siswa dalam geometri hasil penelitian ini sebagai pertimbangan menyusun dan merencanakan sajian kegiatan pembelajaran geometri. Para peneliti dapat mengkaji lebih luas dan mendalam apakah di Indonesia umur anak-anak operasi formal dicapai lebih lambat daripada umur yang ditetapkan pada subjek Piaget. DAFTAR RUJUKAN Battista, M.T. 1999. Geometri Result from the Third International Mathematics. Science Study. Teaching Children Mathematics, 5 (6): 367-373. Burger, W.F. & Shaughnessy, J.M. 1986..Characterizing the van Hiele Levels of Development in Geometry. Journalfor Research in Mathematics Education, 17 (1): 31-48. Carrol, W.M. 1998. Polygon Capture: A Geometry Game. Mathematics Teaching in Middle School. 4 (2): 90-94. Clements, D.H., Swaminathan, S., Hannibal, M.A.z. & Sarana, J. 1999. Young Children's Concepts of Shape. Journal for Research in Mathematics Education, 30 (2): 192-212. Clements, D.H. & Battista, M.T. 1992. Geometry and Spatial Reasonning. Dalam D.A. Grouws (Ed.), Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning (halaman 420-464). New York: McMillan Publisher Company. Collier, CP. 1998. Geometry. Mathematics Teaching in The Middle School, 3 (6): 387.

Sunardi, Pe~iliar(lnFormal dan Perke,:t;bangcmK'onsipGeometri 53 Crowley, M.L. 1990. 'Criterion-ReferencedReliability' Indices Associated with' the van Hiele GeometryTest, Jou!malfo~ Researdiin Mathematics Education, 21(3):239~241. ",' \.",..'>:.!(\"'I,',,' Ernest, P. 1991. The Philosophy of Mathematics Education. Lond6n'~ The Falmer 'Press:".. "., ",."., '.,., Fuys, D., Geddes, D: & Thischerv R, 1988: Tlle'fari.'Biele'Mddel of Thingking in Geometry among Adolescents. Journalfor Research in Mathematics Education, Monograph no.3. Guetierrez, A., Jaime, A. & Fortuny, 1.M. 1991. An Alternative Paradigm to Evaluate the Acquisition of the van Hiele Levels. Journal for Research in Mathematics Education, 22 (3): 237-251. Hamdani, A.S. 1999. Penguasaan Guru Matematika SMU Muhammadiyah terhadap Bahan Ajar Dimensi Tiga. Tesis tidak diterbitkan. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Ikhsan, M. 2000. Penguasaan Guru Matematika SMUN Tentang Materi Transformasi Geometri. Tesis tidak diterbitkan. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Inhelder, B. & Piaget, 1. 1958. The Growth of Logical Thinking: From Childhood to Adolescense. New York: Basic Books. Lawson, A.E. 1978. The Development and Validation of Classroom Test of Formal Reasoning. Journal of Research in Science Teaching, 15:11-24. Nur, M. 1991. Pengadaptasian Test of Logical Thinking (TOLT) dalam Seting Indonesia. Surabaya: IKIP Surabaya. Piaget, J. 1983. Piaget's Theory. Dalam P.H. Mussen (Ed.), Hand book of Child Psychology (halaman 103-128). New York: John Wiley & Sons. Senk, S.L 1989. van Hiele Levels and Achevement in Writing Geometry Proofs. Journal for Research in Mathematics Education, 20 (3): 309-321. Soebakri. 1998. Penguasaan Tingkat Penalaran Geometri Siswa SMUN Kodia Surabaya. Tesis tidak diterbitkan. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Sunardi. 1996. Profil Mahasiswa Jurusan Pendidikan MIPA FKIP UNEJ dalam Kemampuan Penalaran Formal. Laporan Penelitian tidak diterbitkan. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember. Sunardi. 2000. Tingkat Perkembangan Konsep Geometri Siswa Kelas 3 SLTPN di Jember. Dalam Sriwulan Adji & Janson Naiborhu (Ed.), Majalah ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (MIHMl), Prosiding Konperensi National Matematika X, [TB 17-20 Juli 2000 (halaman 635-639). Bandung: P4M-ITB. Swafford, J.O., Jones, G.A. & Thornton, C.A. 1997. Increased Knowledge in Geometry and Instructional Practice. Journal for Research in Mathematics Education. 28 (4): 467-483. ' Tobin, K.G. & Capie, W. 1981. Pattern of Reasoning: Controlling Variabel in ERIC. Colombus, Ohio: ERIC.

54 JURNAL ILMU PENDIDIKAN, FEBRUARI2002, JILlD 9, NOMOR 1 Van Hiele, P.M. 1999. Developing Geometric Thinking through Activities that Begin with Play. Teaching Children Mathematics, 5 (6): 310-316. Wadsworth, BJ. 1969. Piaget's Theory of Cognitive Development. New York: Basic Books. Wilson, M. 1990. Measuring a van Hiele Geometry Sequence: A Reanalysis. Journal for Research in Mathematics Education, 21 (3): 230-237.