PELAKSANAAN PENGELOLAAN BARANG BUKTI DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA ( Studi Kasus di Polresta Surakarta ) NASKAH PUBLIKASI



dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada

PROSES PELAKSANAAN PENYITAAN BARANG BUKTI OLEH PENYIDIK KEPOLISIAN PADA TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI POLRESTA SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan atau hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. tegas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat); tidak. berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat).

WEWENANG KEPOLISIAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI POLDA BALI

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT DIREKTORAT TAHANAN DAN BARANG BUKTI

BAB I PENDAHULUAN. material. Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

I. PENDAHULUAN. asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa. yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar.

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. terdapat strukur sosial yang berbentuk kelas-kelas sosial. 1 Perubahan sosial

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. kepentingan itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN, DAN PELELANGAN BARANG BUKTI. oleh KBP. Drs. ISKANDAR IBRAHIM,MM

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU

SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini penulis telah melakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I BERKAS PENYIDIKAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) TATA CARA PENGELOLAAN BARANG BUKTI DI LINGKUNGAN DIREKTORAT RESESRE NARKOBA KEPOLISIAN DAERAH NUSA TENGGARA BARAT

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

BAB I PENDAHULUAN. cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

( SOP BALIKPAPAN, PEBRUAR

BAB I PENDAHULUAN. pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

2017, No Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran N

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

KAJIAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN YANG DILAKUKAN PEREMPUAN (STUDI DI POLRESTA SURAKARTA) JURNAL

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu

MANTAN KEPALA DINAS SOSIAL KABUPATEN KARIMUN MASUK BUI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. modern. Ini ditandai dengan kemajuan di bidang Ilmu Pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. menanggulangi setiap kejahatan. Hal ini dimaksudkan agar setiap tindakantindakan

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

I. PENDAHULUAN. Kebebasan dasar dan hak dasar itu yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Bagian Kedua Penyidikan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

Transkripsi:

PELAKSANAAN PENGELOLAAN BARANG BUKTI DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA ( Studi Kasus di Polresta Surakarta ) NASKAH PUBLIKASI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Oleh : FITRI NURNAHARINI ISTIQOMAH C 100.090.061 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013

Pelaksanaan Pengelolaan Barang Bukti dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana, Fitri Nurnaharini Istiqomah, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Surakarta. ABSTRAK Penelitian yang berjudul PELAKSANAAN PENGELOLAAN BARANG BUKTI DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (STUDI KASUS DI POLRESTA SURAKARTA) ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas mengenai aturan yuridis pengelolaan barang bukti di Polresta Surakarta, bagaimana realita pelaksanaan pengelolaan barang bukti di Polresta Surakarta, dan juga bertujuan untuk mengetahui hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pengelolaan barang bukti. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif, Lokasi penelitian ini di Polresta Surakarta, Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu menggunakan keterangan atau data yang telah terkumpul dan disajikan dalam bentuk uraian dengan memadukan antara penelitian kepustakaan dan penelitian di lapangan sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan agar mendapatkan gambaran lengkap dan sistematis mengenai Pengelolaan Barang Bukti dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana. Adapun hasil penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan pengelolan barang bukti berpedoman pada Peraturan Kepolisian No 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti, Pelaksanaan Pengelolaan barang bukti di Polresta Surakarta meliputi penerimaan, penyimpanan, pengamanan, perawatan, pengeluaran, pemusnahan, administrasi dan pelaporan, realita pelaksanaan pengelolaan barang bukti di polresta surakarta telah sesuai dengan aturan yuridis yang berlaku pada kepolisian sehingga segala macam bentuk benda yang disita oleh penyidik semuanya di simpan di SAT TAHTI di gudang tempat penyimpanan barang bukti. Sementara dalam hal pelaksanaan pengelolaan barang bukti masih mengalami hambatan-hambatan yang meliputi belum memadainya fasilitas sarana dan prasarana, kurangnya tenaga ahli dalam struktur keorganisasian SAT TAHTI. Kata Kunci: Barang bukti, Pengelolaan, Kepolisian, Polresta Surakarta iv

ABSTRACT The study aims to clearly examine a juridical rule of operating material evidence and its problems at Polresta Surakarta. The study located at Polresta Surakarta used a descriptive-qualitative method. The data of operating material evidence of criminal case collected from the library and survey were systematically described. The result of the study showed that operating the material evidence refers to the Police Act No/2010 about the Rules of Operating Material Evidence. at Polresta Surakarta, operating the material evidence including the acceptance, safety, security, release, annihilation, administration and report referred to the juridical rule in the Police Department so that all the kinds of the materials confiscated by the investigating officers were saved at SAT TAHTI (a place of saving material evidence). In relation to the problems of operating the material evidence, there were insufficient facilities and experts in the organizational structure of SAT TAHTI. Keyword: Material evidence, Management, Police, Polresta Surakarta v

1 PELAKSANAAN PENGELOLAAN BARANG BUKTI DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA Fitri Nurnaharini Istiqomah, C. 100090061, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. ABSTRAK Penelitian yang berjudul PELAKSANAAN PENGELOLAAN BARANG BUKTI DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (STUDI KASUS DI POLRESTA SURAKARTA) ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas mengenai aturan yuridis pengelolaan barang bukti di Polresta Surakarta, bagaimana realita pelaksanaan pengelolaan barang bukti di Polresta Surakarta, dan juga bertujuan untuk mengetahui hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pengelolaan barang bukti. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif, Lokasi penelitian ini di Polresta Surakarta, Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu menggunakan keterangan atau data yang telah terkumpul dan disajikan dalam bentuk uraian dengan memadukan antara penelitian kepustakaan dan penelitian di lapangan sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan agar mendapatkan gambaran lengkap dan sistematis mengenai Pengelolaan Barang Bukti dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana. Adapun hasil penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan pengelolan barang bukti berpedoman pada Peraturan Kepolisian No 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti, Pelaksanaan Pengelolaan barang bukti di Polresta Surakarta meliputi penerimaan, penyimpanan, pengamanan, perawatan, pengeluaran, pemusnahan, administrasi dan pelaporan, realita pelaksanaan pengelolaan barang bukti di polresta surakarta telah sesuai dengan aturan yuridis yang berlaku pada kepolisian sehingga segala macam bentuk benda yang disita oleh penyidik semuanya di simpan di SAT TAHTI di gudang tempat penyimpanan barang bukti. Sementara dalam hal pelaksanaan pengelolaan barang bukti masih mengalami hambatan-hambatan yang meliputi belum memadainya fasilitas sarana dan prasarana, kurangnya tenaga ahli dalam struktur keorganisasian SAT TAHTI. Kata Kunci: Barang bukti, Pengelolaan, Kepolisian, Polresta Surakarta ABSTRACT The study aims to clearly examine a juridical rule of operating material evidence and its problems at Polresta Surakarta. The study located at Polresta Surakarta used a descriptive-qualitative method. The data of operating material

2 evidence of criminal case collected from the library and survey were systematically described. The result of the study showed that operating the material evidence refers to the Police Act No/2010 about the Rules of Operating Material Evidence. at Polresta Surakarta, operating the material evidence including the acceptance, safety, security, release, annihilation, administration and report referred to the juridical rule in the Police Department so that all the kinds of the materials confiscated by the investigating officers were saved at SAT TAHTI (a place of saving material evidence). In relation to the problems of operating the material evidence, there were insufficient facilities and experts in the organizational structure of SAT TAHTI. Keyword: Material evidence, Management, Police, Polresta Surakarta Pendahuluan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Negara Republik Indonesia berdasar atas hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat). 1 Suatu kata filosfis yang telah dirumuskan oleh para pendiri negara dalam konsep Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini mengandung arti bahwa Republik Indonesia ialah negara hukum yang demokratis berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, menjunjung hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Manusia merupakan individu (perseorangan) yang mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, manusia lahir hidup dan berkembang dan meninggal dunia di dalam masyarakat, sebagai individu manusia tidak dapat mencapai segala sesuatu yang diinginkannya dengan mudah. 2 1 Laden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan),Jakarta: Sinar Grafika, hal 1 2 C.S.T. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, hal 29

3 Menurut Van Hammel hukum Pidana ialah Keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam kewajibanya untuk menegakan Hukum yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larang tersebut. 3 Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana, pada penyidikan titik berat ditekannya diletakan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. 4 Dalam proses penyidikan, penyidik memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan antara lain penangkapan, penggeledahan, penahanan, dan penyitaan. Pada proses penyelesaian perkara pidana khususnya penyidikan ada suatu kewenangan tentang penyitaan, KUHAP mengatur tentang penyitaan pada bagian keempat pada pasal 38 sampai dengan 46, pengertian penyitaan Pasal 1 angka 16 KUHAP menyebutkan : Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Pengertian Barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam penyitaan dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan. 5 Tanggung jawab atas barang bukti menurut peraturan yang berlaku tergantung pada tahap mana pemeriksaan sidang berlangsung, hal itu sesuai dengan Pasal 44 ayat (2) KUHAP yang berbunyi : 3 Sudaryono dan Natangsa Surbakti, 2005, Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana, Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal 21 4 Ibid hal 109 5 Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana (untuk mahasiwa dan praktisi), Bandung : Mandar Maju, hal 99-100

4 Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada para pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga. Banyaknya benda, atau barang bukti disita dari terdakwa kasus-kasus pidana oleh aparat penegak hukum masih belum dikelola dengan baik, artinya benda atau barang bukti tersebut telah disita atau diambil namun tidak dikelola dengan sebagaimana mestinya. Salah satu kemungkinan bentuk penyalahgunaan barang bukti yang dilakukan oleh penyidik adalah tidak mencatat secara keseluruhan jumlah barang bukti yang disita, karena tidak mudah dan hampir tidak mungkin mengecek kebenaran data yang diumumkan penyidik, penyalahgunaan barang bukti sudah dapat terjadi dalam rentang waktu beberapa saat setelah penyitaan artinya semua barang bukti sudah yang tidak dicatat dalam berita acara penyitaan dapat dimanfaatkan setelah usai penyitaan. Berdasarkan sedikit uraian di atas, maka penulisan hukum ini penulis mengambil judul PELAKSANAAN PENGELOLAAN BARANG BUKTI DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus di Polresta Surakarta). Rumusan Masalah Berdasarkan masalah yang penulis hendak uraikan : Bagaimana Aturan Yuridis terkait Pelaksanaan Pengelolaan Barang Bukti dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana? Bagaimana realita Pelaksanaan Pengelolaan Barang Bukti dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana? Dan Hambatan-hambatan Pelaksanaan Pengelolaan Barang Bukti dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana? Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dan manfaat dari penelitian yang dilakukan oleh penulis: (1) Tujuan: (a) Untuk mengetahui aturan yuridis Pelaksanaan Pengelolaan Barang Bukti dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana, (b) Untuk mengetahui realita yang ada dalam Pelaksanaan Pengelolaan Barang Bukti dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana, (c) Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan

5 Pengelolaan Barang Bukti dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana. Sedangkan manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini sebagai beriukut: (1) Manfaat Teoritis: (a) Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan yang bermanfaat mengenai pengelolaan barang bukti dalam proses penyelesaian perkara pidana. (b) Dapat memberikan gambaran, kontribusi atau sumbangsih dari hasil penelitian mengenai pengelolaan barang bukti dalam proses penyelesaian perkara pidana. (2) Manfaat Praktis: (a) Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti dan mampu menerapkan ilmu hukum yang penulis sudah peroleh. (b) Memberikan pengetahuan bagi penulis sendiri mengenai pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Kerangka Pemikiran Masalah pokok dari pada penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Menurut Soerjono Soekanto menyatakan ada 5 faktor yang mempengaruhi efektifitas penegakan hukum di masyarakat, yakni : 6 Faktor hukumnya sendiri yakni dibatasi dengan Undang-Undang saja, faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, faktor Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum, faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut diatas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Penegakan Hukum yakni polisi dalam proses penyidikan, penyidik berwenang melakukan penyitaan terhadap segala macam benda atau barang bukti yang atau barang bukti yang berkaitan dengan perbuatan tindak pidana, benda atau barang bukti yang telah disita merupakan sarana penyidikan oleh penyidik dapat menentukan apakah seseorang yang diduga melakukan tindak pidana benarbenar melakukan tindak pidana atau tidak melakukan tindak pidana. 7 6 Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, hal 13 7 Op. Cit hal 99-100

6 Berdasarkan pengertian penyitaan Pasal 1 butir 16 dan pengertian Barang bukti tersebut dapat disimpulkan bahwa barang bukti atau benda sitaan berfungsi (berguna) untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Pada tingkat penyidikan barang bukti yang telah disita oleh penyidik disimpan dan dikelola oleh Pejabat Pengelola Barang Bukti dan ditempatkan ditempat khusus penyimpanan barang bukti sesuai dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kini masyarakat berbagai pihak mengeluhkan kinerja aparat penegak hukum yang belum memuaskan dan tidak memenuhi keadilan masyarakat umum, aparat penegak hukum dinilai lemah dan telah kehilangan kepercayaan di dalam masyarakat. Metode Penelitian Metode merupakan cara yang tepat untuk melakukan sesuatu sedangkan penelitian merupakan suatu kegiatan untuk mencari, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporan. Maka dalam penelitian ini metode yang digunakan oleh penulis terdiri dari berbagai unsur antara lain sebagai berikut: penelitian ini bersifat deskriptif, Lokasi Penelitian Polresta Surakarta. Penelitian ini menggunakan Metode pendekatan yuridis empiris, untuk jenis data yang digunakan data primer yang bersumber dari Polresta Surakarta sedangkan untuk sumber data sekunder antara lain: mencakup dokumen-dokumen resmi, bukubuku, hasil-hasil peneliti lebih memilih pengamatan atau observasi dan wawancara atau interview, sedangkan untuk metode analisa data menggunakan analisis kualitatif. Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Aturan Yuridis Pelaksanaan Pengelolaan Barang Bukti dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana di Polresta Surakarta Berdasarkan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP dijelasakan bahwa benda sitaan disimpan di dalam Rupbasan (Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara), sementara pelaksanaannya menjadi tanggung jawab pejabat yang

7 berwenang sesuai dengan tingkat proses peradilan serta benda sitaan tersebut dilarang dipergunakan oleh siapapun juga. Penelitian ini dikhususkan pada pengelolaan benda sitaan/barang bukti yang berada ditangan polisi atau penyidik yaitu peneliti melakukan penelitian di Polresta Surakarta. Tanggung Jawab Yuridis atas benda sitaan/barang bukti terdapat pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan (penyidikan, penuntutan, dan pengadilan). Barang bukti yang tanggung jawab dan kewenangan yuridisnya berada pada penyidik maka barang bukti tersebut disebut barang bukti penyidikan, selama barang bukti berada dalam status penyidikan, penyidik berwenang dan bertanggung jawab melakukan tindakan-tindakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 dan Pasal 46 KUHAP. Aparat penegak hukum berkewajiban untuk mengembalikan barang bukti sitaan yang dipakai sebagai barang bukti dalam pemeriksaan terutama jika barang bukti tersebut berasal dari saksi dan atau hak milik saksi yang telah menjadi korban dalam peristiwa pidana. Maka dari itu pada tingkat penyidikan, penuntutan, harus diusahakan menjaga, mengelola, dan mengembalikan kepada yang berhak jika benda tadi yang sebagai barang bukti tidak diperlukan lagi dan tidak ada hubungannya dengan kejahatan. Menurut Aiptu Eko Santoso sebagai Kaur Mintu Sat Reskrim Polresta Surakarta mengungkapkan bahwa Penyidik Kepolisian Surakarta menempatkan benda sitaan/barang bukti di SAT TAHTI (Satuan tahanan dan barang bukti), TAHTI sebagai bentuk kesatuan baru dari kepolisian tugasnya yaitu menyelenggarakan perawatan tahanan meliputi pelayanan kesehatan tahanan, pembinaan tahanan serta menerima, menyimpan dan mengamankan barang bukti beserta administrasinya dilingkungan Polres, melaporkan jumlah dan kondisi tahanan sesuai dengan Perundang-undangan. Barang bukti yang telah disita oleh penyidik Satuan Reserse Kriminal kemudian juga dilimpahkan kepada Satuan Tahanan dan Barang Bukti. 12 12 Eko Santoso, Kaur Mintu Sat Reskrim Polresta Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, Rabu, 28 Agustus 2013, pukul 10.30 WIB

8 Menurut Aiptu Eko Santoso, ada instrumen lembaga yang berwenang melakukan penyimpanan barang bukti/benda sitaan adalah: a. Internal, yaitu Satuan Tahanan dan Barang Bukti (SAT TAHTI) yang berada di lingkup kepolisian b. Eksternal, yaitu Rupbasan dan Pengadilan Negeri terkait dengan pemberian izin penyitaan. Sehubungan dengan barang bukti yang di simpan oleh penyidik SAT TAHTI Polresta Surakarta, petugas bertanggung jawab atas pengelolaan, penerimaan, penyimpanan, perawatan, pengeluaran dan pemusnahan yang sesuai Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti. B. Realita Pelaksanaan Pengelolaan Barang Bukti dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana di Polresta Surakarta Pelaksanaan pengelolaan barang bukti, pihak Kasat TAHTI memberikan kejelasan bahwa segala macam bentuk benda yang disita oleh penyidik semuanya di simpan di SAT TAHTI di gudang tempat penyimpanan barang bukti, contoh barang yang ada sekarang adalah satu set bangku dan meja, benda yang disimpan tersebut kami juga melakukan perawatan secara maksimal agar barang tersebut terjaga keutuhannya. 13 Pengelolaan barang bukti terkait dengan dokumen yang sangat membutuhkan pengamanan ekstra seperti kasus korupsi yang membutuhkan pembuktian yang lama maka dokumen tersebut disimpan oleh penyidik, sebab jika tersangka memberikan keterangan yang tidak cocok dengan barang bukti aslinya maka penyidik dan SAT TAHTI yang akan diperiksa. Untuk penyitaan tanah atau bangunan hanya disegel, sementara barang bukti uang hasil korupsi, atau pencurian, dalam jumlah yang besar disimpan di brankas keuangan atau di bank, untuk penyitaan berupa hewan misal burung atau ayam maka yang disimpan hanya bulu dari burung tersebut kemudian difoto dengan disaksikan oleh tersangka dengan pemilik tersebut sebagai barang bukti penyidikan. 13 Endang Tri Lestari, Kasat Tahti Polresta Surakarta, Wawncara Pribadi, Surakarta, Rabu, 28 Agustus 2013, pukul 11.00 WIB

9 Proses Penyidikan Tindak Pidana oleh Penyidik Polresta Surakarta, pertama dimulai dari penyidikan apabila ada laporan, pengaduan, pengetahuan penyidik sendiri atau bisa diketahui tertangkap tangan oleh penyidik, kemudian penyidik melakukan upaya penangkapan tersangka, penahanan, penggeledahan badan dan rumah, selanjutnya melakukan penyitaan. Kedua, penyidik melakukan pemeriksaan di TKP, memeriksa tersangka dan pemeriksaan saksi dan ahli. Ketiga, tersangka ditahan di Satuan Tahanan dan Barang bukti sedangkan barang bukti yang disita oleh penyidik untuk keamanan dan pengelolaannya dikelola juga oleh SAT TAHTI apabila berkas perkara belum lengkap maka Pengadilan mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik maka penyidik wajib melengkapi berkas-berkas yang kurang. Keempat, setelah berkas perkara lengkap (P21) maka tersangka dititipkan di Rutan sementara barang bukti atau benda sitaan di eksekusi menurut putusan hakim. Bahwa dari analisis kasus Di dalam penelitian ini, peneliti mengambil kasus Berita Acara Pemeriksaan Nomor: BP/380/XII/2012/Reskrim di dalam tindak pidana Pencurian dengan identitas Tersangka adalah sebagai berikut: Nama : Joko Sutrisno alias Fran bin Sucipto (alm) Umur : 43 Tahun Pekerjaan : Swasta Alamat : Cindirejo Rt 03 Rw 04 Kal. Gilingan, Kec. Banjarsari Kota Surakarta Secara ringkas Resume Berita Acara Pemeriksaan Nomor: BP/380/XII/2012/Reskrim ini adalah sebagai berikut : I. Dasar Laporan Polisi No. Pol: B / LP/ 121/ XI/ 2012/ JATENG/ RESTA SKA/ SEK JBS Tanggal 06 Nopember 2012 II. P E R K A R A Pada hari Selasa tanggal 6 November 2012 sekitar jam 18.00 wib tersangka datang ke Gereja Jawa Manahan Kota Surakarta menggunakan sepeda motor Honda Vario, lalu tersangka masuk mengikuti kebaktian di dalam gereja, selanjutnya sekitar jam 20.00 wib saat acara berdoa atau

10 pujian seluruh jemaat berdiri dan tersangka melihat jemaat perempuan yang duduk didepan tersangka mempunyai handphone yang ditaruh di dalam tas dan tas milik korban di taruh di atas kursi (dibelakang korban / di depan tersangka) dalam posisi terbuka, lalu tersangka timbul niat untuk mengambil atau memiliki handphone tersebut sesaat kemudian tersangka keluar dari ruang gereja dan sesampainya di tempat parkir handphone tersebut tersangka masukkan ke dalam saku celana depan sebelah kiri. Lalu tersangka mengambil sepeda motor dengan maksud untuk pulang, namun ban belakang sepeda motor milik tersangka ternyata gembos, kemudian tersangka menuntun sepeda motor tersebut keluar dari area parkir, selanjutnya ban tersebut tersangka tambalkan di tambal ban sebelah timur gereja, lalu handphone tersangka sembunyikan di dalam gerobak pedagang kaki lima yang tidak berjualan kemudian saat menunggu ban sepeda motor di tambal lalu datang dua orang satpam gereja menghampiri tersangka sambil berkata Mas nanti ke gereja ada perlu dan tersangka kembali bertanya ada perlu apa pak dan dijawab nanti bicara disana, lalu dua orang satpam tersebut menunggui tersangka sampai selesai menunggu ban, setelah selesai menambal ban tersangka dan kedua satpam menuju ke ruang tamu di dalam gereja, sesampainya di ruang tersebut tersangka di interogasi tentang jemaat yang kehilangan handphone dan saat itu tersangka langsung mengaku kalau yang mengambil handphone adalah tersangka dan handphone tersebut berada di sana (sambil menunjuk keluar). Lalu tersangka dan petugas keamanan bersama-sama mengambil handphone yang tersangka sembunyikan di dalam gerobak pedagang kaki lima setelah handphone tersangka ambil lalu di bawa oleh petugas keamanan kemudian kembali lagi ke ruang tamu gereja dan saat itu pemilik handphone yaitu seorang perempuan sudah berada di dalam ruang tersebut, kemudian handphone tersebut diserahkan kepada pemiliknya dan tersangka langsung meminta maaf, selanjutnya selang beberapa waktu datang petugas dari Polresta Surakarta guna dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

11 Berdasarkan hasil penilitian, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Di dalam Proses penyelesaian Perkara Pidana penyidik memiliki suatu kewenangan tentang Penyitaan pada bagian keempat pada pasal 38 sampai dengan 46 KUHAP, Pengertian penyitaan Pasal 1 angka 16 KUHAP menyebutkan: Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan dalam penyidikan,penuntutan dan peradilan. Sehingga berdasarkan kewenangan tersebut maka penyidik dalam kasus tersebut di atas menyita sejumlah Barang Bukti berupa : a. 1 (satu) unit Handphone merk Nokia Seri C3 warna ungu b. 1 (satu) unit sepeda motor merk Honda Vario warna hijau No Pol : AD 4229 LU Disisi lain, Aiptu Eko santoso menyatakan bahwa seluruh barang bukti atau benda sitaan yang ditempatkan di SAT TAHTI namun tempat atau gudang penyimpanannya tidak mencukupi untuk menyimpan barang bukti dalam jumlah yang banyak, sehingga penyimpanan dilakukan secara bersama-sama antara SAT TAHTI dan Sat Reskrim serta seluruh anggota polisi di Polresta Surakarta. 14 C. Hambatan-Hambatan Pelaksanaan Pengelolaan Barang Bukti dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana di Polresta Surakarta. Dari hasil yang diperoleh dari lokasi penelitian hambatan-hambatan Pelaksanaan Pengelolaan barang bukti dalam proses perkara pidana masih terdapat banyak kekurangan, antara lain sebagai berikut: (1) Dalam hal Perawatan, Penyimpanan dan pemeliharaan barang bukti masih kurang maksimal. Menurut Korban pada kasus yang peneliti ambil diatas yakni korban bernama Mona Wuryani mengungkapkan bahwa barang bukti korban berupa 1 (satu) unit handphone merk Nokia seri C3 warna ungu sudah di rawat dengan sebagaimana mestinya yakni dibungkus dengan plastik dan handphone masih dalam keadaan utuh. 15 14 ibid 15 Mona Wuryani, Mahasiswa, Wawancara Pribadi, Kartasura, Kamis, 19 September 2013, Pukul 14.00 WIB

12 Sedangkan pada saat peneliti mewawancarai salah satu keluarga dari tersangka Joko Sutrisno alias Fran bin Sucipto (alm) yakni istri tersangka Ibu Suryati, mengungkapkan bahwa 1 (satu) unit sepeda motor Honda Vario hijau No Pol: AD 4229 LU belum dirawat sebagaimana mestinya motor tersebut waktu dikembalikan kepada pihak keluarga tersangka motor tersebut ban motornya sudah gembos, banyak debu di motor, spion pada motor yang satu lepas, hanya itu saja untuk keadaan mesin-mesin motor sendiri masih utuh. 16 (2) Belum memadainya fasilitas tempat/ sarana prasarana Penghambat pelaksanaan Sat Tahti (Satuan Tahanan dan Barang Bukti) belum maksimal karena masih terkendala sarana dan prasarana sehingga kurang maksimal dalam melakukan penyimpanan dan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya menjadi kurang maksimal. (3) Kurangnya dukungan Pemerintah untuk memberikan dukungan fasilitas bagi anggota Satuan Tahanan dan Barang bukti untuk melakukan penyimpanan seperti belum adanya tempat penyimpanan uang yang memadai (brankas), belum adanya tempat pengawetan. (4) Kurangnya tenaga ahli dalam struktur keorganisasian Sat Tahti (Satuan Tahanan dan Barang Bukti) sehingga dalam hal pengukuran barangbarang tertentu misal emas, maka pihak Sat Tahti harus memanggil tenaga ahli yang dapat mengukur berat dari emas tersebut.(6) Undang-undang yang terkait dengan Tata cara Pengelolaan Barang bukti tidak berjalan dengan maksimal. Hal itu dikarenakan kurangnya sosialisasi aturan yuridis tersebut dengan penyidik kepolisian jadi pengelolaan, perawatan barang bukti hanya disimpan ditempat seadanya tanpa ada ruangan yang memadai dan barang bukti hanya ditaruh tanpa ada perawatan. (7) Tidak adanya aturan Perundang-undangan terkait penyitaan hewan belum diatur secara rinci, terlebih tidak adanya penitipan hewan yang disita oleh penyidik. Sehingga apabila barang bukti tersebut berupa hewan maka pejabat pengelola barang bukti hanya mengambil sempel dari hewan tersebut, misalnya ayam hanya diambil bulunya dan hanya di foto sebagai barang bukti dalam persidangan. 16 Ibu Suryani, Wawancara Pribadi, Surakarta, Kamis, 19 September 2013, Pukul 09.30 WIB

13 PENUTUP Kesimpulan Pelaksanaan Pengelolaan Barang Bukti dalam proses penyelesaian perkara pidana pada tingkat penyidikan di Polresta Surakarta, belum sesuai prosedur Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun Meliputi sejak pertama penyidik melakukan penyitaan barang bukti kemudian barang tersebut dicatat dalam buku pendaftaran sebagai persiapan administrasi dan dokumentasi sebagai dasar Penerimaan barang bukti, kedua setelah selesai didaftarkan tahap berikutnya adalah mengecek dan mencocokan jumlah dan jenis barang bukti yang diterima, ketiga memeriksa dan meneliti jenis baik berdasarkan sifat, wujud, dan atau kualitas barang bukti yang akan diterima guna menentukan tempat penyimpanan yang sesuai dan untuk menjaga keutuhan nilai ekonomis barang tersebut, tahap keempat adalah pengeluaraan dan pemusnahan tahap ini dilakukan setelah mendapat surat penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri/Kepala Kejaksaan Negeri setempat dan surat pemusnahan dari atasan penyidik sudah sesuai prosedur, yang belum sesuai prosedur adalah tempat penyimpanan barang bukti tersebut yang seharusnya berada atau di simpan di RUPBASAN sesuai aturan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Dalam suatu proses peradilan pidana, barang bukti merupakan suatu hal yang sangat penting karena dapat dijadkan sebagai bukti telah terjadinya kejahatan, barang bukti memiliki peran penting untuk membuat terang suatu tindak pidana yang dilakukan tersangka/terdakwa. Untuk melindungi keutuhan barang bukti maka perlu dilakukan suatu tindakan penyitaan, penyitaan merupakan tindakan pengambilalihan atau merampas suatu barang yang dijadikan alat atau hasil kejahatan dari seorang tersangka, pemegang atau penyimpanan barang tersebut untuk disimpan dibawah penguasaan penyidik guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan. Penyidik Kepolisian Surakarta memiliki wewenang untuk melakukan penyimpanan dan pengelolan barang bukti. Pengelolaan barang bukti dilingkungan Polresta Surakarta ditempatkan di Satuan Tahan dan Barang bukti (Sat Tahti).

14 Kendala yang dihadapi Satuan Tahanan dan Barang bukti yakni belum adanya fasilitas sarana dan prasarana yang memadai, sehingga banyak barang bukti yang tidak bisa dikelola dengan baik dan hanya dibiarkan saja, kurangnya dukungan pemerintah dan tidak adanya anggaran khusus bagi Sat Tahti untuk melakukan pengelolaan barang bukti, jadi terkesan apa adanya saja, sosialisasi tentang aturan pengelolaan barang bukti tidak berjalan secara maksimal. Saran Melakukan revisi peraturan atau Undang-undang terkait penyimpanan dan pengelolaan benda sitaan atau barang bukti agar aturan untuk kewenangannya itu lebih jelas. Benda sitaan sebagai barang bukti menurut pengelolaannya yang tidak terpisahkan dengan proses itu sendiri, status barang bukti pada dasarnya tidak berbeda dengan status seorang tersangka selama belum ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka benda sitaan masih merupakan milik tersangka atau mereka yang sedang berperkara. Sehingga benda sitaan atau barang bukti harus dilindungi baik terhadap kerusakan maupun terhadap penggunaan tanpa hak. Pihak kepolisian harus mempermudah prosedur pengurusan atau pengembalian barang bukti yang seharusnya dikembalikan kepada pemiliknya, agar tidak mengakibatkan merosotnya kepercayaan terhadap aparat penegak hukum itu sendiri. Meningkatkan kualitas dan kuantitas Sumber daya manusia dari pihak anggota Satuan Tahanan dan Barang bukti agar dapat menjalankan tugasnya secara baik dan profesional. Dalam Sarana atau fasilitas dan hal alat-alat yang menunjang untuk melakukan perawatan dalam pengelolaan barang bukti diharapkan segera ada sehingga dalam proses perawatannya dapat lebih mudah dan tidak cepat rusak.

15 DAFTAR PUSTAKA Hadikusuma, Hilman, 1995, Metode Penelitian Skripsi ilmu hukum, Bandung: Mandar maju Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana (untuk mahasiwa dan praktisi), Bandung : Mandar Maju Kansil, C.S.T, Drs, SH, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Kuffal, HMA., 2007, Penerapan KUHAP dalam praktek hukum cet 9, Malang: UMM Press Marpaung, Laden, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan), Jakarta: Sinar Grafika Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali Pers Sudaryono dan Natangsa Surbakti, 2005, Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana, Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Surahman, Winarno 1989, Dasar dan teknik riset, Bandung: Tarsito PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Peraturan Kepolisian No 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti