II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

KETERKAITAN PERTUMBUHAN PENDUDUK DENGAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN DAN LUAS LAHAN KRITIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

commit to user BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH LOKAL SPESIFIK (Studi Kasus pada DAS Cisadane)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

PENDAHULUAN Latar Belakang

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

LOGO Potens i Guna Lahan

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan, Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

PENGELOLAAN DAS TERPADU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lahan dapat disebutkan sebagai berikut : manusia baik yang sudah ataupun belum dikelola.

SUMBERDAYA LAHAN INDONESIA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

Arahan Penataan Lahan Kritis Bekas Kegiatan Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan di Sekitar Kaki Gunung Tampomas, Kabupaten Sumedang

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK

Lampiran 1. Kriteria Lahan Kritis di Kawasan Hutan Lindung (HL), Budidaya Pertanian (BDP) dan Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan (LKHL)

BAB I PENDAHULUAN. manusia di buktikan dengan terdokumentasinya dalam Al-Qur an, salah satunya

EVALUASI ALIH FUNGSI TANAMAN BUDIDAYA TERHADAP POTENSI DAERAH RESAPAN AIRTANAH DI DAERAH CISALAK KABUPATEN SUBANG

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Panduan konservasi tanah dan air untuk penanggulangan degradasi lahan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

B A B I PE N D A H U L U A N. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan

ANALISA DAYA DUKUNG LAHAN UNTUK PENYEDIAAN PANGAN DI WILAYAH JAWA TIMUR BAGIAN TENGAH

TINJAUAN PUSTAKA. diartikan berkaitan dengan jumlah karakteristik alami yaitu iklim, geologi, tanah,

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG

KONSEP EVALUASI LAHAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

BAB I PENDAHULUAN. Sumberdaya alam ialah suatu sumberdaya yang terbentuk karena kekuatan

PEMETAAN LAHAN KRITIS KABUPATEN BELITUNG TIMUR MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar

Evaluasi Lahan. Evaluasi Kemampuan Lahan

BAB I PENDAHULUAN. Lahan adalah bagian dari sumber daya alam yang makin terbatas

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

Program Studi Agro teknologi, Fakultas Pertanian UMK Kampus UMK Gondang manis, Bae, Kudus 3,4

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan salah satu bentuk penutup lahan di permukaan bumi yang

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. dilakukan di DAS Asahan Kabupaen Asahan, propinsi Sumatera Utara. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI. Pertemuan ke 2

Gambar 1. Lokasi Penelitian

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya

KAJIAN EROSI TANAH DENGAN PENDEKATAN WISCHMEIER PADA DAS KALIMEJA SUBAIM KECAMATAN WASILE TIMUR KABUPATEN HALMAHERA TIMUR

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB I PENDAHULUAN. fungsi utama, yaitu sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan dan sebagai matriks

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xiii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan waktu sebelumnya. Prediksi jumlah penduduk yang akan datang dapat bermanfaat untuk mengetahui kebutuhan dasar penduduk, tidak hanya di bidang sosial dan ekonomi tetapi juga di bidang pemenuhan kebutuhan akan lahan misalnya penggunaan lahan (BPS Indonesia, 2000). Badan Pusat Statistik Indonesia (2000) menyatakan pertumbuhan penduduk suatu wilayah atau negara dapat dihitung dengan membandingkan jumlah penduduk awal (misal P 0 ) dengan jumlah penduduk di kemudian hari (misal P t ). Tingkat pertumbuhan penduduk dapat dihitung dengan menggunakan rumus geometrik. Dengan rumus pertumbuhan geometrik, angka pertumbuhan penduduk (rate of growth) sama untuk setiap tahun, rumusnya: P t = P 0 (1+r) t Keterangan: P 0 = jumlah penduduk awal P t = jumlah penduduk t tahun kemudian r = tingkat pertumbuhan penduduk t = jumlah tahun dari 0 ke t Permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan persebaran penduduk secara geografis adalah persebaran atau distribusi penduduk yang tidak merata. Penyebab utamanya adalah keadaan tanah dan lingkungan yang kurang mendukung bagi kehidupan penduduk secara layak. Kebijakan pembangunan di era orde baru yang terkonsentrasi di Pulau Jawa, menyebabkan banyak penduduk tinggal dan menetap di Pulau Jawa. Hal ini menyebabkan kepadatan penduduk di Pulau Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan penduduk di pulau-pulau lain (BPS Jawa Barat, 2010).

4 Menurut Fandeli et al. (2008) perkembangan penduduk menyebabkan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak memperhatikan kelestarian. Perkembangan penduduk menyebabkan kebutuhan lahan semakin meningkat dan menyebabkan peralihan fungsi hutan ke penggunaan yang lain. Selanjutnya Sitorus et al. (2010) menyatakan perkembangan jumlah penduduk yang terlalu banyak dapat mengakibatkan penggunaan sumberdaya yang berlebihan. Semakin tinggi pertumbuhan penduduk mengakibatkan perubahan penggunaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah konservasi yang dapat mengkibatkan bencana banjir, longsor, dan kekeringan yang merupakan bukti dari perubahan penggunaan lahan yang berakibat terhadap kerusakan lahan. Semakin besar perubahan penggunaan lahan yang dilakukan oleh manusia dapat berakibat terhadap munculnya dan meluasnya lahan kritis (Kodoatie dan Sjarief, 2008). 2.2. Perubahan Penggunaan Lahan Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) menyatakan bahwa lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi dengan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaannya. Kegiatan penduduk masa lalu maupun sekarang secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan di suatu wilayah. Penggunaan lahan merupakan kegiatan manusia terhadap sumberdaya lahan yang sifatnya menetap untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, penggunaan lahan bersifat dinamis, mengikuti perkembangan kehidupan dan budaya manusia (Sitorus et al., 2010). Tipe penggunaan lahan adalah jenis-jenis penggunaan lahan termasuk pengelolaan. Tipe penggunaan lahan menurut sistem dan modelnya dibedakan menjadi dua macam yaitu jamak dan gabungan. Tipe penggunaan jamak adalah penggunaan yang terdiri lebih dari satu jenis penggunaan lahan pada area yang sama, dan penggunaan lahan gabungan adalah terdiri lebih dari satu jenis penggunaan lahan (komoditas) pada area-area yang berbeda (Sitorus, 2004). Menurut Arsyad (2010) penggunaan lahan dikelompokkan ke dalam dua golongan yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan dalam komoditas yang diusahakan dan yang dimanfaatkan di atas lahan. Penggunaan

5 lahan pertanian seperti tegalan, sawah, kebun, padang rumput, hutan, alang-alang, dan sebagainya. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2011) mengkelaskan penggunaan lahan menjadi dua yaitu penggunaan lahan pertanian dan lahan non pertanian. Lahan pertanian meliputi lahan sawah dan lahan bukan sawah (ladang, perkebunan, tambak, tegalan, kebun campuran, dan rumput). Sedangkan lahan non pertanian yaitu pemukiman, hutan negara, rawa, jalan, lahan terbuka atau lahan tandus, dan sungai Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan dapat berdampak pada penurunan kualitas lahan dan mengakibatkan ketidakberlanjutan pembangunan akibat terjadi erosi, menurunnya fungsi hidrologis hutan, terjadinya perubahan penggunaan lahan dan meningkatnya lahan kritis (Desman, 2007). Perubahan penggunaan lahan adalah perubahan aktivitas terhadap suatu lahan dari aktivitas sebelumnya, untuk komersial atau industri. Laju perubahan penggunaan lahan akan semakin cepat seiring dengan bertambahnya penduduk. Perubahan penggunaan lahan merupakan proses pilihan pemanfaatan yang optimum dari lahan, untuk pertanian dan non pertanian (Kazaz, 2001). Perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian menyebabkan penurunan luas tanah pertanian yang subur berubah menjadi industri dan pemukiman. Sementara pembukaan tanah pertanian yang baru di lokasi lain tidak mudah, karena luas dan produktivitasnya tidak sesuai dengan tanah yang telah diubah penggunaannya. Demikian halnya dengan ladang berpindah yang pada awalnya tidak bersifat merusak ekosistem secara cepat jika ekosistem sekelilingnya masih belum terganggu. Namun dengan meningkatnya jumlah penduduk yang semakin lama semakin bertambah dan pembukaan kembali lahan-lahan bekas perladangan meningkat, sehingga menyebabkan lahan semakin rusak (Rahim, 2006). Perubahan penggunaan lahan terkait dengan tingkat efisiensi dari penggunaan lahan, dimana penggunaan lahan yang mampu memberikan tingkat efisiensi lebih tinggi akan menggantikan penggunaan lahan yang mempunyai tingkat efisiensi yang lebih rendah. Misalnya, petani akan mengkonversikan sawahnya ke penggunaan lahan lain apabila hasil produksi sawah tidak mampu memenuhi perkembangan standar tuntutan hidupnya. Penyebab perubahan

6 penggunaan lahan pertanian terkait dengan beberapa faktor yaitu manusia, pertumbuhan penduduk, dan lingkungan fisik lahan. Kualitas manusia ditentukan umur, kepribadian, dan pendidikan, serta segala sesuatu yang menentukan kualitas manusia dalam menentukan keputusan. Misalkan petani muda berpendidikan yang memiliki pemikiran yang sudah maju akan lebih cepat menerima teknologi baru di bidang pertanian dibandingkan petani tua yang konservatif. Kualitas manusia dan jumlah penduduk mempengaruhi pola penggunaan lahan. Selain itu tingkat perubahan penggunaan lahan terkait dengan tingkat kesesuaian lahan dan lingkungan fisik lahan. Penggunaan lahan pada daerah datar lebih cepat berubah menjadi penggunaan lain dibandingkan dengan di daerah yang berlereng. Daerah datar lebih subur dibandingkan daerah berlereng, karena daerah yang berlereng lebih banyak terjadi erosi dan longsor akibat curah hujan yang terjadi sehingga bahan tanah yang subur yang berada diatas permukaan terbawa oleh air menuju daerah yang lebih rendah (Saeful Hakim dan Nasoetion, 1996). 2.3. Land Rent Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa land rent merupakan nilai dari kegiatan yang dilakukan pada sebidang lahan yang menghasilkan pendapatan bersih tiap meter persegi per tahun. Land rent adalah nilai surplus ekonomi sebagai bagian dari nilai produk total atau pendapatan total yang ada setelah pembayaran dilakukan untuk semua faktor biaya total (Barlowe, 1986). Nilai land rent yang lebih tinggi dapat menggeser kegiatan usaha yang mempunyai land rent lebih rendah. Hal ini dapat mempengaruhi dinamika perubahan penggunaan lahan. Secara umum aktivitas industri memiliki nilai land rent paling besar kemudian perdagangan, pemukiman, pertanian, dan kehutanan. Keterkaitan nilai land rent dengan perubahan penggunaan lahan sangat erat, karena penggunaan lahan cenderung akan berubah dari aktivitas dengan land rent rendah ke aktivitas dengan land rent yang lebih tinggi. Perubahan penggunaan lahan ini merupakan akibat dari perkembangan nilai land rent usaha non pertanian yang lebih tinggi dari pada land rent pertanian di suatu lokasi yang lebih produktif. Namun yang sering terjadi untuk memperoleh hasil ekonomi yang besar mengabaikan kepentingan lingkungan.

7 Berdasarkan hasil penelitian perbandingan nilai land rent pertanian dan non pertanian yang telah dilakukan oleh Rumiris (2008) dan Ariani (2011) disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa perbandingan nilai land rent pertanian lebih rendah dari pada nilai land rent non pertanian. Tabel 1. Hasil penelitian nilai land rent pertanian dan non pertanian No Perbandingan Land Rent Nilai Perbandingan Land Rent (Rp/m 2 /tahun) 1. *) Pertanian sawah : Pemukiman 1 : 33 2.**) Pertanian sawah : Kos-kosan 1 : 55 Pertanian sawah : Warung 1 : 720 Pertanian sawah : Pemukiman 1 : 3 Sumber: *) Rumiris (2008) dan **) Ariani (2011) 2.4. Lahan Kritis Meningkatnya pembukaan tanah serta penggunaan lahan yang dilakukan penduduk secara sembarangan dapat menyebabkan tingginya laju erosi. Tingginya laju erosi akibat pembukaan lahan mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas tanah dan kerusakan tanah yang dikenal sebagai lahan kritis (Rahim, 2006). Departemen Kehutanan (2003) mendefinisikan lahan kritis sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga menyebabkan kehilangan atau berkurangnya fungsi produksi dan tata air. Penggunaan lahan yang kurang baik atau tidak memperhatikan teknik konservasi tanah menimbulkan erosi, tanah longsor, penurunan kesuburan tanah dan kerusakan lingkungan. Sitorus (2004) menyatakan bahwa lahan kritis adalah lahan yang pada saat ini mengalami penurunan produktivitas dilihat dari penggunaan lahan pertanian, karena pengelolaan dan penggunaan lahan yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah. Lahan kritis merupakan indikator utama dari degradasi lahan yang terjadi di dalam atau di luar lahan hutan. Lahan dapat dikategorikan sebagai lahan kritis apabila lahan tersebut mengalami masalah kerusakan dan hilangnya kesuburan tanah secara fisik, kimia, hidrologi, dan sosial ekonomi akibat dari segala penggunaan dan kesalahan pengelolaan. Lahan kritis secara fisik adalah lahan yang telah mengalami kerusakan tekstur dan struktur tanah. Lahan kritis secara

8 kimia adalah lahan yang bila ditinjau dari tingkat kesuburannya rendah karena penyediaan unsur mineral tanah sangat rendah dan adanya pencucian unsur hara yang berlebihan. Lahan kritis secara hidrologi berkaitan dengan berkurangnya kemampuan lahan untuk menahan, menyerap, dan menyimpan air (Sitorus, 2004). Pusat Penelitian Tanah (2004) mengklasifikasikan lahan kritis berdasarkan karakteristik penutup vegetasi, tingkat torehan atau kerapatan drainase, penggunaan lahan, dan kedalaman tanah sebagai indikator penentu tingakat kekritisan lahan. Tingkat kekritisan lahan dan karakteristiknya Pusat Penelitian Tanah (1997) sebagai berikut: 1) Potensial kritis: penutupan vegetasi > 75 %; tingkat kerapatan agak-cukup tertoreh; penggunaan lahan hutan, kebun campuran; vegetasi belukar dan perkebunan; kedalaman tanah dalam > 100 cm, 2) Semi kritis: penutupan vegetasi 50-75 %; tingkat kerapatan cukup-sangat tertoreh; penggunaan lahan pertanian lahan kering; vegetasi semak belukar dan alang-alang; kedalaman tanah dalam 60-100 cm, 3) Kritis: penutupan vegetasi 25-50 %; tingkat kerapatan sangat-sangat tertoreh sekali; penggunaan lahan pertanian lahan kering; vegetasi rumput dan semak; kedalaman tanah dalam 30-60 cm, dan 4) Sangat kritis: penutupan vegetasi < 25 %; tingkat kerapatan sangat-sangat tertoreh sekali; penggunaan lahan Gundul; vegetasi rumput dan semak; kedalaman tanah dalam < 30 cm. Sitorus (2004) mengklasifikasikan lahan kritis berdasarkan kerusakan fisik lahan sebagai berikut: 1) Potensial kritis: lahan yang masih kurang produktif, mulai terjadi erosi ringan, dan dapat berubah menjadi lahan hampir kritis yang dicirikan dengan: mulai terjadi erosi ringan, lapisan atas >20 cm, vegetasi relatif masih rapat, kemiringan lereng datar sampai berbukit, dan tingkat kesuburan tanah rendah sampai tinggi, 2) Hampir kritis: lahan yang kurang produktif, terjadi erosi namun masih dapat diusahakan untuk pertanian dengan produksi rendah yang dicirikan dengan: terjadi erosi permukaan sampai alur, kedalaman efektif < 5 cm, penutupan

9 lahan sedang 50 % sampai 70 %, kemiringan lereng > 18%, dan kesuburan rendah, 3) Kritis: lahan tidak produktif dan apabila akan diusahakan harus direhabilitasi yang dicirikan dengan: Lahan mengalami erosi parit, kedalaman solum tanah dangkal < 60 cm, Presentase penutupan lahan rendah antara 25 % sampai 50 %, dan Kesuburan tanah rendah, meliputi ladang yang rusak, padang rumput, dan semak belukar, dan 4) Sangat kritis: lahan yang sangat rusak dan sangat sulit direhabilitasi yang dicirikan dengan : erosi sangat tinggi, lapisan produktif habis tererosi < 30 cm, penutupan tanah < 25 %, kemiringan lereng > 30 %, dan kesuburan tanah sangat rendah. Departemen Kehutanan (2012), menyatakan bahwa penetapan kriteria lahan kritis yang dilaksanakan oleh Direktotar Rehabilitasi dan Konservasi Tanah pada 17 Juni 1997 dan 23 Juli 1997 yang dimaksud dengan lahan kritis adalah lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan. Dengan demikian penilaian lahan kritis di setiap tempat harus mengacu pada kriteria yang ditetapkan dan sesuai dengan fungsi tempat tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan penentuan kriteria lahan kritis sebagai sasaran utama dari arahan RLKT. Metode yang dilakukan adalah melakukan tumpang susun (overlay) secara spatial masingmasing data tersebut untuk kemudian dilakukan pembobotan (skoring). Besaran nilai bobot tingkat kekritisan lahan diperoleh dari hasil perkalian antara bobot dan nilai skor. Parameter fisik lahan berupa kelas lereng, jenis tanah, geologi, curah hujan. Kriteria untuk menetapkan lahan kritis kawasan budidaya pertanian yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan (2003), yaitu kawasan hutan lindung, kawasan lindung diluar kawasan hutan. Kriteria lahan kritis RLKT disajikan pada Tabel 2.

10 Tabel 2. Kriteria tingkat kekritisan lahan menurut RLKT Kriteria RLKT, Departemen Kehutanan, 1997 Tingkat kekritisan lahan berdasarkan atas jumlah kumulatif skor tiap kelas jumlah nilai (bobot x skor) : 1. Tidak Kritis: 426-500 2. Potensial Kritis: 351-425 3. Agak Kritis: 276-350 4. Kritis: 201-275 5. Sangat Kritis: 115-200 Berdasarkan kriteria dibawah ini: a. Produktivitas (30): >80 % (5), 61-80 % (4), 41-60% (3), 21-40 % (2), < 20 % (1) b. Lereng (20): Datar (5), Landai (4), agak curam (3), curam (2), sangat curam (1) c. Erosi (15) : ringan (5), sedang (4), berat (3), sangat berat (2) d. Batu-batuan : sedikit (5), sedang (3), banyak (1) e. Manajemen : baik (5), sedang (3), buruk (1)