FAKTOR PREDISPOSISI DAN PRAKTIK MUCIKARI DALAM UPAYA PENGGUNAAN KONDOM Tanjung Anitasari I.K *), Zahroh Shaluhiyah **), Antono Suryoputro **) *) Program Studi Kesehatan Masyarakat, FIKUniversitas Muhammadiyah Surakarta **) Magister Promosi Kesehatan Universitas Diponegoro Semarang Email : tanjung.anitasari@ums.ac.id Diterima : 16 Februari 2016 Disetujui : 23 Februari 2016 ABSTRACT Predisposition Factors and Pimp s Practice of 100% Condom Use By The Female Sex Workers (FSW) at Argorejo Resocialization Complex, Semarang; Argorejo resocialization was the biggest resocialization in Semarang and as a model resocialization in Indonesia. Programme of 100% condom is being used to prevent HIV by means of the unsafe sexual transaction, and it considered of condom use by female sex workers in Semarang was only 55 %. Pimps have a strong influence to consistent in using condoms by FSW. This studi aims to determine the relationship between predisposition factors and pimps practice of 100% condom use by the FSW at Argorejo resocialization. Quantitative method with cross sectional approach was used in this study. Pimps in this research as many as 144 pimps, and have been become the sample of the research with total sampling technique. Data has been analyzed by univariate, and chi-square (bivariate).the result showed that 50,7% pimps practices were good. Variables which correlated toward pimps practice were knowledge, attitudes, and perceptions. Keywords :Predisposition factor, pimps, 100% condom ABSTRAK Resosialisasi Argorejo merupakan resosialisasi terbesar di Kota Semarang, dan menjadi Resosialisasi percontohan di Indonesia. Terdapat program kondom 100% pada WPS di Resosialisasi Argorejo untuk mengendalikan penularan HIV melalui hubungan seksual tidak aman mengingat konsistensi penggunaan kondom 1 minggu terakhir pada WPS di Kota Semarang pada tahun 2013 adalah sebesar 55%. Mucikari memiliki pengaruh cukup kuat agar WPS konsisten dala menggunakan kondom. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubunganantara faktor predisposisi dengan praktik mucikari dalam upaya penggunaan kondom 100% pada WPS di Resosialisasi Argorejo Semarang. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Besar sampel adalah 144 orang yang diambil menggunakan total sampling. Analisa data secara univariat, dan bivariat dengan chi-square. Hasil penelitian menunjukkan 50,7% mucikari melakukan praktik baik dalam mengupayakan penggunaan kondom 100% pada WPS. Faktor yang menunjukkan ada hubungan yang bermakna dengan praktik mucikari adalah pengetahuan, sikap, dan persepsi. Dari penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan dari pihak LSM dapat meningkatkan praktik mucikari dalam upaya penggunaan kondom 100% pada WPS selain faktor tingkat pendidikan, dan masa kerja mucikari. Kata Kunci : Faktor predisposisi, mucikari, kondom 100% 11
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT VOL. 09 NO. 01/ MARET/ 2016 PENDAHULUAN Lokalisasi merupakan bentuk prostitusi terorganisir yang di dalamnya terdapat WPS (Wanita Pekerja Seks) yang diasuh oleh mucikari dan dibentuk untuk memudahkan pengawasan WPS dalam upaya preventif dan kuratif terhadap penyakit IMS (Infeksi Menular Seksual) maupun HIV (Human Immunodeficiency Virus) (Kartono, 2013). Kota Semarang adalah kota di Jawa Tengah dengan kasus HIV/AIDS terbanyak dari Januari sampai 31 Desember tahun 2013 yaitu 119 kasus HIV, dan 86 kasus AIDS (KPAP Jateng, 2013). Heteroseksual merupakan faktor risiko HIV terbesar di Kota Semarang pada tahun 2010 sampai Agustus 2013 yaitu sebesar 48,2% (DKK Semarang, 2013).Berdasarkan hal tersebut maka pekerja seks adalah salah satu kelompok yang rentan terhadap HIV dengan risiko penularan heteroseksual. Program pemakaian kondom 100% adalah kegiatan yang memberikan penekanan padapendidikan danp romosi pemakaian kondom sebagai upaya menekan meluasnya penularan infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS, terutama di kalangan populasi yang memiliki banyak pasangan seksual (KPAN, 2012). Berdasarkan definisi tersebut maka program kondom 100% juga harus diterapkan di resosialisasi. Resosialisasi Argorejo merupaka nresosialisasi terbesar di Kota Semarang dan menjadi resosialisasi percontohan di Indonesia yang di dalamnya telah diberlakukan regulasi lokal tentang program penggunaan kondom 100% pada WPS (Suwandi, 2013). Regulasi lokal tersebut merupakan upaya yang penting dalam pengendalian kasus HIV/AIDS, mengingat terdapat penurunan konsistensi penggunaan kondom pada 1 minggu terakhir sebesar 17 % yaitu dari 72% pada tahun 2012 menjadi 55% pada tahun 2013 (KPA Semarang, 2013). Kondisi tersebut diperkuat dengan dataims yang diperoleh dari Puskesmas Lebdosari yang menyatakan bahwa terdapat 90 kasus IMS yang diobatipada WPS dengan 246 kunjungan pada bulanjuli, 99 kasus IMS yang diobatipada WPS dengan 217 kunjungan pada bulan Agustus, dan 171 kasus IMS yang diobatipada WPS dengan 442 kunjungan pada bulan September tahun 2013 (Puskesmas Lebdosari, 2013). Dengan adanya IMS, maka HIV akan lebih mudah menular karena adanya cairan tubuh atau darah pada luka IMS yang menjadi pintu masuk penularan HIV (Kemenkes, 2008). 22
Faktor Predisposisi dan Praktik Mucikari dalam Upaya Penggunaan Kondom Tidak digunakannya kondom secara konsisten pada WPS menandakan bahwa program kondom 100% belum optimal. WHO menyatakan bahwa kolaborasi dengan mucikari merupakan langkah yang penting untuk keberhasilan program kondom 100% (WHO, 2000). Mucikari merupakan figur yang memiliki pengaruh cukup kuat dalam perilaku WPS agar menggunakan kondom secara konsisten pada setiap hubungan seksual berisiko (Hull; Sulistyaningsih; Jones, 1999). Mucikari juga merupakan para penguasa di masing-masing rumah prostitusi mereka sendiri, serta merupakan masyarakat lokasi yang relative tetap dan memiliki potensi untuk mempengaruhi WPS dan pelanggan (Sianturi, 2013). Upaya untuk mengurangi HIV/AIDS pada WPS dapat dilakukan dengan menekankan tanggung jawab pada mucikari, serta menerapkan aturan pemberian sanksi terhadap mucikari yang menyediakan jasa pelacuran (Indahri, 2011). Dalam program pencegahan HIV melalui transmisi seksual juga disebutkan bahwa mucikari dapat bertindak sebagai pengelola dan outlet kondom, serta harus menyediakan kondom dalam wisma bahkan dalam kamar, memasang poster yang berisi ajakan memakai kondom, serta mendukung WPS untuk menolak pelanggan yang tidak mau memakai kondom (KPAN, 2010). Dukungan mucikari terhadap program kondom 100 % pada tiap hubungan seksual berisiko mempengaruhi penggunaan kondom pada WPS (p=0,032)(budiono, 2012; Hadi, 2004). Faktor predisposisi merupakan faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang (Notoatmojo, 2007). Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor predisposisi dengan praktik mucikari dalam upayapenggunaankondom 100% pada WPS di ResosialisasiArgorejo Kota Semarang. METODE Penelitian ini adalah penelitian survei dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilaksanakantahun 2013-2014 pada mucikari di Resosialisasi Argorejo Semarang yang berjumlah 144 orang, dan diambil dengan total sampling. Alat penelitian yang digunakan adalah kuesioner, pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara. Hasil penelitian dianalisis secara univariat, dan bivariat dengan menggunakan chi-square. 33
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT VOL. 09 NO. 01/ MARET/ 2016 HASIL DAN PEMBAHASAN Total sampel dalam penelitian ini berjumlah 144 mucikari dengan umur berkisar antara 23-67 tahun. Rata-rata umur mucikari dalam penelitian ini 43 tahun. 68,8% mucikari berjenis kelamin perempuan. 65,3% mucikari memiliki jumlah WPS yang banyak yaitu 4 WPS. Rata-rata masa kerja mucikari adalah 12 tahun. Tingkat pendidikan mucikari dapat dikatakan tergolong cukup rendah. Mayoritas tingkat pendidikan responden adalah tidak sekolah dan pendidikan dasar yaitu 81,3%, dan sebanyak 18,8% responden adalah pendidikan lanjutan. Praktik mucikari dalam upaya penggunaan kondom 100% pada WPS Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa 50,7% mucikari berpraktik baik, dan 49,3% mucikari berpraktik kurang baik. Mucikari yang kurang mendukung program kondom 100% yaitu mucikari tidak mengingatkan WPS untuk menggunakan kondom, tidak menyediakan tempat bekas kondom terpakai, tidak memberi informasi kondom pada WPS. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tri Susilo Hadi yang menyatakan bahwa hanya 10% WPS yang pembuangan kondom yang telah dipakai telah diperhatikan oleh mucikari, dan 51,7% WPS kurang mendapatkan pengertian kondom dari mucikari (Hadi, 2004). Masih adanya mucikari yang kurang mendukung program kondom 100% sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Budiono yang menyatakan bahwa praktik mucikari dalam mendukung program kondom 100% di Resosialisasi Argorejo cenderung kurang baik (Budiono, 2012; Budiono, 2011). Dalam hal pemberian sanksi kepada WPS yang tidak menggunakan kondom terlihat bahwa sebanyak 45,8% mucikari tidak memberikan sanksi kepada WPS yang tidak menggunakan kondom. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tri Susilo Hadi yang mengungkapkan bahwa hanya 35% WPS yang sudah pernah diberi sanksi oleh mucikari (Hadi, 2004). Pengetahuan Mucikari atau Pengasuh tentang IMS, HIV, Kondom, Program Kondom 100%, dan Peran Mucikari dalam Program Kondom 100% Analisis univariat pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat sebagian besar mucikari (54,9%) memiliki pengetahuan yang baik, dan sebagian kecil 44
Faktor Predisposisi dan Praktik Mucikari dalam Upaya Penggunaan Kondom mucikari (45,1%) mucikari memiliki pengetahuan yang kurang. Mucikari kurang mengetahui tentang tugas-tugasnya dalam program kondom 100% karena mereka tidak mendapat informasi yang lengkap terkait tugas dan peran apa saja yang harus mereka lakukan dalam program kondom 100%. Mucikari juga menyatakan bahwa mereka terkadang tidak memahami akan informasi yang diberikan. Hal ini dapat terjadi karena tingkat pendidikan mucikari yang berbeda-beda sehingga diperlukan bahasa penyampaian informasi yang sederhana baik tentang IMS, HIV, maupun program dalam Resosialisasi Argorejo. Hasil penelitian yang menyatakan bahwa terdapat sebagian besar mucikari (54,9%) memiliki pengetahuan yang baik sesuai dengan Isfandari, Sedyaningsih, dan IAKMI tentang hasil kajian penelitian sosial dan perilaku yang berkaitan dengan IMS di Indonesia yang menyatakan bahwa WPS, pelanggan, dan mucikari di Indonesia secara umum telah memiliki pengetahuan IMS, dan HIV/AIDS yang baik, serta kondom sebagai saran efektif tindakan pencegahan (Isfandari; Sedyaningsih, 2005; IAKMI Pengurus Daerah Bali, 2010). Berdasarkan hasil analisis statistik dengan chi-square diperoleh nilai p=0,046, sehingga dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan praktik mucikari. Hal ini menunjukkan bahwa mucikari yang memiliki pengetahuan baik cenderung melakukan praktik yang baik dari pada mucikari dengan pengetahuan kurang. Hal tersebut sesuai dengan teori L.Green yang mengatakan bahwa pengetahuan merupakan faktor predisposisi yang mempengaruhi perilaku yang merupakan hasil dari tahu, dan hal ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek yang mana sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga, dan pengetahuan merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmojo, 2007; Notoatmojo, 2005). Sikap tentang Peran Mucikari dalam Program Kondom 100% Sikap mucikari adalah reaksi atau respons yang masih tertutup terhadap peran mucikari dalam program kondom 100%. Menurut Newcomb, sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan 55
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT VOL. 09 NO. 01/ MARET/ 2016 pelaksanaan motif tertentu (Notoatmojo, 2007). Berdasarkan analisis univariat didapatkan hasil bahwa lebih dari setengah mucikari (54,2%) memiliki sikap positif terhadap peran mucikari dalam program kondom 100%, dan sebesar 45,8% memiliki sikap negatif terhadap peran mucikari dalam program kondom 100%. Hasil penelitian yang menyatakan lebih dari setengah mucikari (54,2%) memiliki sikap positif terhadap peran mucikari dalam program kondom 100% sesuai dengan hasil penelitian Mence yang menyatakan bahwa mucikari memiliki sikap positif terhadap upaya penurunan kasus IMS dan setuju dengan program kondom 100% (Mence, 2012). Mucikari pada dasarnya memang setuju terhadap program kondom 100% namun belum pada peran-perannya dalam program kondom 100%. Mucikari memiliki sikap negatif terhadap peranperannya yang berhubungan dengan pelanggan. Pola pikir mucikari ini perlu dirubah melalui komunikasi perubahan perilaku (KPP) yang juga mengikutsertakan mucikari dalam perubahan perilaku tersebut. Petugas penjangkau dan pendidik sebaya yang berperan sebaga ifasilitator dalam memberikan informasi dan edukasi untuk mendorong perubahan perilaku pada mucikari (KPAN, 2010). Penelitian ini juga sesuai dengan Basuki yang menyatakan bahwa mucikari kurang mendukung program kondom 100%, dan mereka memiliki keyakinan yang negatif bahwa program kondom 100% akan membuat mucikari sulit untuk mendapatkan uang (Basuki; Wolffers, 2002). Analisis bivariat pada mucikari berdasarkan tabulasi silang menurut sikap mucikari diketahui bahwa mucikari yang memiliki sikap negatif memiliki praktik kurang baik sebesar 60,6% lebih banyak dibandingkan dengan mucikari yang memiliki sikap positif (39,7%) dengan nilai p=0,013, sehingga terdapat hubungan yang signifikan antara sikap mucikari dengan praktik mucikari. Hal tersebut sesuai dengan teori L. Green yang menyatakan bahwa praktik dipengaruhi oleh faktor predisposisi yang mana sikap masuk ke dalam faktor predisposisi tersebut dan sikap merupakan penilaian seseorang terhadap peran dalam program kondom 100% yang secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus 66
Faktor Predisposisi dan Praktik Mucikari dalam Upaya Penggunaan Kondom sosial sehingga mucikari yang memiliki sikap negatif akan membuat mereka berpraktik kurang baik terhadap program kondom 100%. Menurut Allport sikap memiliki 3 komponen pokok yaitu keyakinan, kehidupan emosional, dan kecenderungan untuk bertindak. Dalam penentuan sikap tersebut, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan yang penting (Notoatmojo, 2007). Persepsi tentang Program Kondom 100% Hasil univariat didapatkan bahwa setengah dari mucikari atau sebesar 60,4% mucikari memiliki persepsi positif terhadap program kondom 100%, sedangkan sebesar 39,6% memiliki persepsi yang negatif terhadap program kondom 100%. Hasil tabulasi silang menurut persepsi mucikari diketahui bahwa mucikari yang memiliki persepsi negatif memiliki praktik kurang baik sebesar 66,7% lebih banyak dibandingkan dengan mucikari yang memiliki persepsi positif (37,9%). Berdasarkan hasil analisis statistik dengan chi-square diperoleh nilai p=0,001, sehingga dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi mucikari dengan praktik mucikari. Hal yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah 92,4% mucikari menganggap bahwa program kondom 100% adalah program WPS, dan mucikari tidak perlu terlibat dalam program kondom 100% tersebut. Hal ini terjadi karena mucikari belum merasakan manfaat dari program kondom 100% tersebut. Hal tersebut sesuai dengan Basuki dan KPA Kota Semarang yang menyatakan bahwa mucikari memiliki persepsi yang negatif terhadap program kondom 100%, mereka menganggap program kondom 100% akan membuat mereka sulit mendapatkan pelanggan, dan mucikari masih berpikiran money oriented sehingga jika mereka memaksa WPS untuk menggunakan kondom maka mereka akan kehilangan pelanggan (Basuki; Wolffers, 2002). Praktik kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sangat kompleks yaitu faktor sosial, budaya, ekonomi, yang mana perilaku merupakan refleksi dari gejala kejiwaan seperti pengetahuan, maupun persepsi sehingga persepsi memiliki hubungan untuk terciptanya suatu praktik dalam kehidupan sehari-hari (Azwar, 2007). 77
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT VOL. 09 NO. 01/ MARET/ 2016 Keyakinan tentang Manfaat Program Kondom 100% bagi Mucikari Keyakinan adalah bagian dari faktor predisposisi atau sering disebut sebagai faktor yang berkaitan dengan motivasi seseorang atau kelompok untuk melakukan segala tindakan. Keyakinan merupakan sebuah pendirian bahwa suatu fenomena atau obyek bernilai benar atau nyata (Green, 1991). Berdasarkan analisis univariat didapatkan hasil bahwa lebih dari setengah mucikari atau 71,5% mucikari memiliki keyakinan positif terhadap manfaat program kondom 100% bagi mucikari, sedangkan sebesar 28,5% mucikari memiliki keyakinan negatif terhadap manfaat program kondom 100% bagi mucikari. Hasil tabulasi silang menurut keyakinan menyatakan bahwa mucikari yang memiliki keyakinan negatif memiliki praktik kurang baik sebesar 61% lebih banyak dibandingkan dengan mucikari yang memiliki keyakinan positif (44,7%). Berdasarkan hasil analisis statistik dengan chi-square diperoleh nilai p=0,077, sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keyakinan mucikari dengan praktik mucikari. Keyakinan adalah bagian dari faktor predisposisi atau sering disebut sebagai faktor yang berkaitan dengan motivasi seseorang atau kelompok untuk melakukan segala tindakan (Green, 1991). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keyakinan mucikari dengan praktik mucikari dapat dipengaruhi oleh rasa takut jika mereka akan kehilanggan pelanggan jika memaksa WPS untuk menggunakan kondom, sehingga keyakinan mucikari akan manfaat program kondom 100% untuk meningkatkan pendapatan dan pelanggan menjadi berkurang. Hal tersebut sesuai dengan Basuki dan KPA Kota Semarang yang menyatakan bahwa mucikari menganggap program kondom 100% akan membuat mereka sulit mendapatkan pelanggan, dan mucikari masih berpikiran money oriented sehingga jika mereka memaksa WPS untuk menggunakan kondom maka mereka akan kehilangan pelanggan (Basuki; Wolffers, 2002). SIMPULAN Mucikari yang berpraktik baik dalam upaya penggunaan kondom 100% pada WPS adalah 50,7%, sedangkan 49,3% mucikari berpraktik kurang baik. Faktor-faktor yang berhubungan dengan praktik mucikari yaitu pengetahuan, sikap, 88
Faktor Predisposisi dan Praktik Mucikari dalam Upaya Penggunaan Kondom dan persepsi. Berdasarkan karakteristik mucikari yaitu sebagian besar mucikari berusia tua, sudah lama bekerja sebagai mucikari, memiliki tingkat pendidikan yang rendah yaitu tidak sekolah dan pendidikan dasar, berjenis kelamin perempuan, dan memiliki WPS anggota yang banyak. DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. 2007, Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya, Liberty,Yogyakarta Basuki, E., Wolffers, I., dkk. 2002, Reasons For Not Using Condoms Among Female Sex Workers in Indonesia, AIDS Education and Prevention. 14(2), pp 102-116 Budiono, I. 2011, Pengembangan Model Pembentukan Germo Sadar Kesehatan terhadap Tingkat Penggunaan Kondom pada WPS (Studi Eksperimental dalam Kerangka Penanggulangan HIV/AIDS di Resosialisasi Argorejo Semarang,. Prosiding Seminar Nasional Kesehatan: Sinergi 4 Pilar Pembangunan Kesehatan Masyarakat sebagai Upaya Percepatan Pencapaian MDGs, pp. 179 Budiono, I. 2012, Konsistensi Penggunaan Kondom oleh Wanita Pekerja Seks/Pelanggannya, Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol. 2, pp 89-84 Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2013, Situasi HIV-AIDS di Indonesia, Semarang Green, L. W. 1991, Health Promotion Planning An Educational and Environmental Approach, Mayfield Publishing Company, Mountain View-Toronto-London Hadi, T.S. 2004, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Praktik Negosiasi Penggunaan kondom untuk Mencegah IMS & HIV/AIDS pada WPS di Resosialisasi Argorejo Kelurahan Kalibanteng Kulon Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang, Tesis, Magister Promosi Kesehatan UNDIP, Semarang Hull, T.H., Sulistyaningsih, E., & Jones, G.W. 1999, Prostitution inindonesia: Its History and Evolution, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Pengurus Daerah Bali. 2010, Pengembangan Pelayanan 99
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT VOL. 09 NO. 01/ MARET/ 2016 Kesehatan Komprehensif Berbasis Primary Health Care (PHC) bagi Pekerja Seks Perempuan (PSP) di Bali-Penjajagan Pendekatan Struktur Sosial Masyrakat dalam Penanggulangan HIV- AIDS,IAKMI Bali Indahri, Y. 2011, Peringatan Hari AIDS Sedunia dan Komitmen Indonesia, Info Singkat Kesejahteraan Sosial. Vol. 23, no.3, pp.1-4 Isfandari, S., & Sedyaningsih, E.R. Kajian Penelitian Sosial dan Perilaku yang Berkaitan dengan IMS dan HIV/AIDS di Indonesia 1997-2003. Balitbang Depkes RI. Jakarta, 2005 Kartono, K. 2013, Patologi Sosial, RajaGrafindo Persada, Jakarta Kementerian Kesehatan RI. 2008, Anda dan HIV/AIDS. Jakarta Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2010, Pedoman Program Pencegahan HIV melalui Transmisi Seksual, Jakarta Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2012, Mengenal dan Menanggulangi HIV dan AIDS, Infeksi Menular Seksual, dan Narkoba, Jakarta Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Jawa Tengah. 2013, Kondisi HIV dan AIDS di Jawa Tengah 1993 sampai dengan 31 Desember 2013, Jawa Tengah Komisi Penanggulangan Kota Semarang. 2013, SCP WPS di Kota Semarang Tahun 2013, Semarang Mence, C. 2012, Sikap, Niat, dan Praktik Mucikari dalam Upaya Penurunan Kasus IMS pada WPS di Resosialisasi Sunan Kuning Semarang (Skripsi) Notoatmojo, S. 2005, Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta. Jakarta Notoatmojo, S. 2007, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Rineka Cipta, Jakarta Puskesmas Lebdosari. 2013, Laporan Bulanan Infeksi Menular Seksual, Semarang Sianturi, S.A. 2013, Hubungan Faktor Predisposisi, Pendukung, dan Penguat dengan Tindakan Penggunaan Kondom pada WPS untuk Pencegahan HIV/AIDS di Kabupaten Serdang Bedagai, Jurnal Precure, pp.1-7 101
Faktor Predisposisi dan Praktik Mucikari dalam Upaya Penggunaan Kondom Suwandi. 2013, Penggunaan Kondom dan Peraturan Lokal SK 9 November 2010, Resosialisasi Argorejo, Semarang WHO. 2000, STI-HIV, 100% Condom Use Programme in Entartainment Establishments. World Health Organization 111
121