DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

II. KERANGKA PEMIKIRAN. Uang didefinisikan sebagai sesuatu yang diterima secara umum dalam

TINJAUAN PUSTAKA. barang dan jasa (Mishkin, 2001). Uang sering kali diidentikkan dengan uang kartal

BAB I PENDAHULUAN. yang dikonsumsinya atau mengkonsumsi semua apa yang diproduksinya.

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Resesi ekonomi dunia pada tahun 1982 dan kebijakan moneter yang kurang

I. PENDAHULUAN. kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) untuk mencapai tujuannya yaitu

Teori Klasik tentang Permintaan Uang

BAB I PENDAHULUAN. moneter akan memberi pengaruh kepada suatu tujuan dalam perekonomian.

BAB I PENDAHULUAN. dan jasa dalam perekonomian dinilai dengan satuan uang. Seiring dengan

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Moneter

Uang EKO 2 A. PENDAHULUAN C. NILAI DAN JENIS-JENIS UANG B. FUNGSI UANG. value).

ekonomi Kelas X KEBIJAKAN MONETER KTSP A. Kebijakan Moneter Tujuan Pembelajaran

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan antara lain melalui pendekatan jumlah uang yang beredar dan

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan investasi di suatu negara akan dipengaruhi oleh pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. karena fungsi utamanya sebagai media untuk bertransaksi, sehingga pada awalnya

BAB 10 Permintaan dan Penawaran Uang serta Kebijakan Moneter

Permintaan dan Penawaran Uang

BAB II TINJAUAN TEORI. landasan teori yang digunakan dalam penelitian yaitu mengenai variabel-variabel

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi aktivitas perekonomian ditransmisikan melalui pasar keuangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. moneter, bunga itu adalah sebuah pembayaran untuk menggunakan uang. Karena

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

I. PENDAHULUAN. Uang merupakan alat pembayaran yang secara umum dapat diterima oleh

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian oleh masyarakat dan otoritas moneter. Maka dari itu apabila

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB VI INFLATION, MONEY GROWTH & BUDGET DEFICIT

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Ekonomi Indonesia tidak terlepas dari keterlibatan sektor

1. Tinjauan Umum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ekonomi K-13 PERMINTAAN DAN PENAWARAN UANG K e l a s A. KONSEP DASAR a. Sejarah Uang Tujuan Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. proses pertukaran barang dan jasa serta untuk pembayaran utang. Pada umumnya setiap

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan

BAB II LANDASAN TEORI

= Inflasi Pt = Indeks Harga Konsumen tahun-t Pt-1 = Indeks Harga Konsumen tahun sebelumnya (t-1)

Mekanisme transmisi. Angelina Ika Rahutami 2011

KESEIMBANGAN di PASAR UANG. Minggu 11

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

Bab 4 TEORI MONETER (Lanjutan)

BAB II URAIAN TEORITIS. dulu pernah dilakukan, diantaranya : Andriani (2000) dalam penelitiannya yang

BAB II TINJAUAN LITERATUR

BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN. dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi namun faktor-faktor ini di luar kontrol

BAB I PENDAHULUAN. Aktivitas dalam perdagangan internasional seperti ekspor dan impor sangat

I. PENDAHULUAN. Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan Bank Sentral,

UANG DAN INSTITUSI KEUANGAN PENAWARAN UANG PROGDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO SEMARANG

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang

I. PENDAHULUAN. Kebijakan moneter memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap suatu perekonomian,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terkait. Uraian dari masing-masing hal tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. Uang didefinisikan sebagai alat pertukaran (medium of exchange) yaitu suatu

BAB I PENDAHULUAN. tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu studi yang masih menimbulkan kontroversi hingga saat ini,

1.Peran mata uang 2.Lembaga Keuangan. PIEw9 1

Teori Ekonomi Keynes: Pasar Uang dan Pasar Tenaga Kerja

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam implementasi kebijakan moneter, otoritas moneter (OM) tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter

Kebijakan Moneter dan Fiskal

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum.

Kebijakan Moneter & Bank Sentral

INFLATION TARGETING FRAMEWORK SEBAGAI KERANGKA KERJA DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. terintegrasinya perekonomian antar negara. Indonesia mengikuti perkembangan

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah)

I. PENDAHULUAN. makro, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan

I. PENDAHULUAN. nasional sangatlah diperlukan untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi

Memasukkan beberapa aset sebagai alternatif dari uang

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan perkembangan ekonomi, baik perkembangan ekonomi domestik

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Peranan uang dalam peradaban manusia hingga saat ini dirasakan sangat

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter

VII. SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan perekonomian dunia dewasa ini ditandai dengan. semakin terintegrasinya perekonomian antar negara. Indonesia mengikuti

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara berkembang yang menggunakan sistem perekonomian terbuka.

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Mankiw, 2006: 145). Ini tidak berarti bahwa harga harga berbagai macam

Hubungan antara Inflasi dan Jumlah Uang Beredar

BABI PENDAHULU~ Jumlah uang beredar teramat penting karena peranannya sebagai alat

Keseimbangan di Pasar Uang

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi

Perekonomian Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. secara umum diukur dari pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Hal ini disebabkan

BAB II URAIAN TEORITIS. Bank-bank umun pemerintah dan Bank-bank umum swasta nasional di

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian suatu negara tidak lepas dari peran para pemegang. dana, dan memang erat hubungannya dengan investasi, tentunya dengan

I. PENDAHULUAN. menghimpun dana dari pihak yang berkelebihan dana dan menyalurkannya

BAB I PENDAHULUAN. cenderung mengakibatkan gejolak ekonomi moneter karena inflasi akan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Sektor Properti

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia membawa pengaruh pada. berbagai sektor ekonomi, baik sektor riil maupun sektor moneter.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang telah berlangsung cukup lama di Indonesia

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

BAB 11 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat dan tidak menyalurkan kredit seperti bank umum dan BPR, akan

BAB I PENDAHULUAN. melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian

TUJUAN KEBIJAKAN MONETER

PERMINTAAN UANG. Adil Fadillah dan Mumuh Mulyana Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya US dollar, ditentukan oleh

PASAR UANG & PASAR BARANG (Keseimbangan Kurva IS-LM)

BAB I PENDAHULUAN. makro ekonomi misalnya Produk Domestik Bruto (PDB), tingkat inflasi, Sertifikat

Transkripsi:

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7

ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil. (ANNY RATNAWATI sebagai Ketua dan HERMANTO SIREGAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis perkembangan moneter, perekonomian dan kinerja sektor riil pada periode sebelum dan setelah adanya independensi Bank Indonesia, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi sektor moneter dan kinerja transmisi kebijakan moneter ke sektor riil, (3) mengkaji dampak kebijakan moneter terhadap kinerja sektor riil dan kinerja perekonomian, dan (4) merumuskan rekomendasi alternatif kebijakan moneter yang dapat dilaksanakan pemerintah dalam mendorong kinerja sektor riil. Produksi sektor pertanian dipengaruhi secara nyata oleh investasi sehingga peningkatan produksi sektor pertanian dapat diupayakan melalui peningkatan investasi, sedangkan peningkatan produksi sektor industri dapat diupayakan melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja. Kebijakan moneter yang mampu menstimulasi peningkatan investasi kapital/modal adalah penciptaan suku bunga yang murah dan menyediakan kredit khusus bagi sektor pertanian karena jalur transmisi melalui suku bunga dan kredit khususnya dari sisi pinjaman bank (bank lending channel) bekerja efektif mempengaruhi investasi sektor pertanian. Sedangkan investasi sektor industri lebih banyak dipengaruhi oleh suku bunga pasar. Implementasi kebijakan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan kebijakan peningkatan alokasi kredit mampu meningkatkan kinerja investasi, ekspor dan output sektor pertanian dan industri. Sedangkan kebijakan peningkatan giro wajib minimum dalam rangkaian kebijakan kontraktif diresponden perbankan dengan menurunkan alokasi kredit yang selanjutnya menurunkan kinerja investasi untuk sektor pertanian dan industri. Kebijakan ini juga berdampak pada penurunan aktivitas ekspor sektor pertanian sehingga akhirnya menurunkan tingkat produksi sektor pertanian. Sedangkan pada sektor industri, kebijakan peningkatan giro wajib minimum masih mampu meningkatkan ekspor namun dalam jumlah yang sangat kecil. Bagi kinerja perekonomian secara agregat, kebijakan yang membawa dampak positif terbesar terhadap Produk Domestik Bruto adalah kebijakan perkreditan yaitu kebijakan meningkatkan alokasi kredit sebesar 5 persen. Namun demikian kebijakan penurunan suku bunga SBI juga memberikan dampak positif dengan besaran yang tidak begitu berbeda dibandingkan kebijakan kredit sehingga dua kebijakan ini dapat menjadi pilihan bagi otoritas moneter dalam menstimulasi peningkatan investasi yang diharapkan mampu mendorong peningkatan output dalam perekonomian. Berdasarkan hasil simulasi tersebut disarankan bahwa peningkatan kinerja sektor riil dapat diupayakan melalui kebijakan peningkatan jumlah kredit yang dapat digunakan sektor riil untuk mendorong aktivitas produksinya. Disamping itu, penurunan suku bunga tetap terus dilakukan agar investasi sektor riil dapat diperbaiki dan diharapkan selanjutnya dapat mendorong peningkatan produksi. Kata kunci: kebijakan moneter, jalur suku bunga, jalur nilai tukar, kinerja sektor pertanian, kinerja sektor industri

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan dibimbing Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Maret 2007 LIRA MAI LENA NRP A545010041/EPN

Judul Penelitian : Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil di Indonesia Nama Mahasiswa : Lira Mai Lena Nomor Pokok : A 545010041 Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing Dr. Ir. Anny Ratnawati, MS Ketua Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc Anggota Mengetahui, 2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Tanggal Ujian: 22 Desember 2006 Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 30 Mei 1976, merupakan anak pertama dari pasangan Ali Martonang dan Ratna Wilis, H. Saat ini penulis telah menikah dengan suami tercinta Achmad Husna, SP dan dikaruniai satu orang putri bernama Aini Nurrohmah Husna. Sekolah dasar sampai SLTA diselesaikan di Padang. Pendidikan sarjana di selesaikan pada tahun 1998 di Jurusan Ilmu- Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja sebagai peneliti di Pusat Pengembangan Sumberdaya Regional dan Pemberdayaan Masyarakat pada tahun 1999 sampai awal tahun 2006.

PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad S.A.W, keluarga beserta sahabat dan pengikutnya sampai akhir jaman. Tesis ini menyajikan hasil analisis dampak kebijakan moneter yang dijalankan otoritas moneter yaitu Bank Indonesia terhadap Kinerja Sektor Riil yang menjadi komponen pertumbuhan perekonomian Indonesia. Kebijakan moneter dalam penelitian ini dilihat dalam beberapa perkembangan sejak adanya deregulasi perbankan, masa krisis dan pasca krisis dengan diperkuatnya independensi Bank Indonesia dalam mengatur target akhir yaitu target inflasi pada laju dan tingkat yang tertentu. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Anny Ratnawati dan Dr. Hermanto Siregar yang bersedia menjadi komisi pembimbing dan telah banyak memberikan masukan bagi penyempurnaan tesis ini 2. Semua dosen dan staf pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan dan fasilitas kemudahan bagi penulis 3. Rekan-rekan EPN 2001 dan 2002 khususnya Mas Sumedi, Mbak Wahida, Yati, Besse M, Pak Azhar, Fahriyah, Indra, yang telah memberikan semangat, pemikiran-pemikiran dan dorongan bagi penulis 4. Teman-teman khususnya Debra, Mbak Ida, Eko, Asyik, Lia di lingkungan kerja yang terus memberikan dorongan dan bantuan moril bagi penulis

5. Semua guru-guruku yang telah banyak memberikan limpahan ilmu semenjak sekolah dasar sampai saat ini serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. 6. Kedua orang tua penulis yang tidak pernah berhenti berdoa dan mencurahkan kasih sayang serta dukungan kepada penulis, begitu juga adikku yang banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini 7. Suamiku tercinta dan anakku Aini Nurrohmah yang penuh pengertian mendampingi penulis selama menyelesaikan sekolah Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangannya. Namun demikian penulis tetap berharap semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Maret 2007 Penulis

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL...iii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN... v I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan Masalah... 4 1.3. Tujuan Penelitian... 6 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian... 7 II. KERANGKA PEMIKIRAN... 9 2.1. Tinjauan Teoritis... 9 2.1.1. Konsep dan Fungsi Uang... 9 2.1.2. Uang Beredar... 11 2.1.3. Teori Permintaan Uang... 14 2.1.4. Hubungan Uang dan Kegiatan Ekonomi... 18 2.1.5. Teori Permintaan Agregat... 20 2.1.6. Suku Bunga... 22 2.1.7. Investasi dan Ekspor Netto... 25 2.1.8. Kerangka Strategis Kebijakan Moneter... 26 2.1.9. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter... 30 2.1.10. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter... 36 2.2. Tinjauan Pustaka... 39 2.2.1. Evolusi Pelaksanaan Kebijakan Moneter di Indonesia... 39 2.2.2. Penerapan Inflation Targeting di Indonesia... 45 2.2.3. Beberapa Studi Terdahulu... 50 2.3. Kerangka Konseptual... 60 III. METODOLOGI PENELITIAN... 63 3.1. Lokasi Penelitian... 63 3.2. Jenis dan Sumber Data... 63 3.3. Spesifikasi Model... 63 3.4. Validasi Model... 70 3.5. Simulasi Model... 71

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA... 74 4.1. Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia... 74 4.1.1. Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar... 74 4.1.2. Jumlah Uang Beredar, Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi... 78 4.1.3. Kinerja Suku Bunga... 82 4.2. Kinerja Sektor Riil... 85 V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA... 89 5.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Moneter... 89 5.2. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Sektor Riil... 94 VI. DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA... 101 6.1. Validasi Model... 101 6.2. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil... 102 VII. KESIMPULAN DAN SARAN... 108 7.1. Kesimpulan... 108 7.2. Saran... 110 DAFTAR PUSTAKA... 112 L A M P I R A N... 115 ii

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Pertumbuhan Uang Primer dan Uang Beredar, Tahun 1984-2005... 76 2. Perkembangan Jumlah Uang Beredar, Tahun 1998-2005... 77 3. Jumlah Uang Beredar, Produk Domestik Bruto dan Inflasi Indonesia, Tahun1980-2005... 79 4. Pertumbuhan Jumlah Uang Beredar, Output dan Harga Umum Perekonomian Indonesia, Tahun 1980-2005... 81 5. Perkembangan Suku Bunga, Tahun 2001-2005... 84 6. Kinerja Sektor Riil di Indonesia, Tahun 1984-2005... 87 7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Suku Bunga, Tahun 2005... 90 8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar, Tahun 2005... 91 9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Kredit Sektor Pertanian, Tahun 2005... 92 10. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Kredit Sektor Industri, Tahun 2005... 93 11. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Sektor Pertanian dan Industri, Tahun 2005... 95 12. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Sektor Pertanian dan Industri, Tahun 2005... 97 13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Output Sektor Pertanian, Tahun 2005... 98 14. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian dan Industri, Tahun 2005... 99 15. Hasil Validasi Model Kebijakan Moneter dan Sektor Riil di Indonesia, Tahun 1986-2005...101 16. Dampak Berbagai Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil, Tahun 2005...105 17. Dampak Berbagai Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Perekonomian Indonesia, Tahun 2005...107 iii

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Model IS-LM : Model Penawaran Agregat dan Permintaan Agregat dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang... 21 2. Efektivitas kebijakan moneter dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada kurva IS-LM... 22 3. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter... 37 4. Kerangka Operasional dengan Pendekatan Kuantitas Besaran Moneter... 38 5. Kerangka Operasional dengan Pendekatan Suku Bunga... 38 6. Kerangka Pemikiran Penelitian Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil di Indonesia... 62 7. Kinerja Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar, Tahun 1984-2005... 74 8. Pergerakan Suku Bunga SBI dan Suku Bunga Deposito, Tahun 1984-2000... 83 iv

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Skema Model Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil......117 2. Keragaan Indikator Moneter dan Perbankan di Indonesia, Tahun 1984-2005...118 3. Keragaan Indikator Perekonomian dan Sektor Riil, Tahun 1984-2005...121 v

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan proses integrasi perekonomian menuju perekonomian global sehingga memudahkan pergerakan aliran dana luar negeri, padahal di sisi lain perangkat kelembagaan yang mendukung bekerjanya ekonomi pasar yang efisien belum tertata dengan baik. Dengan kondisi perekonomian seperti tersebut maka gejolak nilai tukar yang merupakan efek penularan dari Thailand dan Korea telah menimbulkan kesulitan ekonomi yang cukup parah dan ditunjukkan oleh adanya stagflasi dan instabilitas perekonomian. Penarikan dana secara tiba-tiba oleh investor asing karena pesimis dengan proses perekonomian regional mengakibatkan lemahnya mata uang rupiah. Selanjutnya gelombang capital outflow tersebut direspon oleh penduduk Indonesia dengan membeli dollar dalam jumlah besar yang membuat nilai tukar semakin menurun drastis. Padahal karakteristik sektor riil yang berkembang pesat di Indonesia saat itu adalah footloose industry dengan kandungan bahan baku impor yang sangat tinggi sehingga depresiasi nilai tukar rupiah menjadi beban biaya yang memicu timbulnya peningkatan harga-harga barang (inflasi). Disamping itu terputusnya akses ke sumber dana luar negeri karena kewajiban hutang yang terlalu besar dan perubahan kebijakan di negara-negara donor semakin menurunkan tingkat produksi sektor riil. Untuk menghindari dampak lebih jauh dari gejala spekulasi dan ekspektasi depresiasi rupiah yang berlebihan, maka otoritas moneter menerapkan kebijakan moneter yang kontraktif yang berkonsekuensi pada

2 tingkat suku bunga yang tinggi. Dengan beban suku bunga yang tinggi secara paralel mendorong keatas suku bunga pinjaman yang menjadi biaya modal perusahaan di sektor riil. Kenaikan biaya modal tersebut dengan sendirinya mengganggu perencanaan investasi maupun produksi yang pada akhirnya berpengaruh pada penurunan penawaran agregat. Sementara itu melemahnya nilai tukar rupiah berdampak pula pada penurunan daya beli masyarakat karena kenaikan inflasi yang tertransmisi melalui kenaikan harga barang konsumsi yang tinggi kandungan impornya. Penurunan daya beli dan konsumsi masyarakat bersama-sama dengan terjadinya kenaikan biaya produksi dari kandungan impor dan biaya modal semakin memberikan tekanan kepada sektor riil. Secara makro, terganggunya penawaran agregat tersebut tampak dari tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 1997 yang merosot menjadi 4.19 persen dan bahkan pada akhir tahun 1998 pertumbuhan ekonomi minus 17.13 persen. Pemutusan hubungan kerja meningkat tajam dan pada saat yang bersamaan, kenaikan laju inflasi yang tinggi (77.6%) dan penurunan penghasilan masyarakat telah menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang selanjutnya berdampak pada semakin meluasnya kantong-kantong kemiskinan (Bank Indonesia, 1998). Menghadapi tekanan pasca krisis ekonomi yang berlanjut pada krisis multidimensi tersebut, maka pemerintah menetapkan kombinasi kebijakan moneter dan fiskal dimana kebijakan fiskal diarahkan pada penghematan anggaran belanja negara. Sedangkan di bidang moneter berdasarkan pasal 7 UU No, 23 tahun 1999, Bank Indonesia telah menetapkan inflasi sebagai landasan kebijakan moneter ke depan. Artinya kebijakan moneter diarahkan pada penurunan tingkat inflasi yang pada tahun ini ditargetkan berada pada kisaran 6-7 persen (Warjiyo, 2000).

3 Dengan pertimbangan bahwa tekanan inflasi yang terjadi selama ini lebih banyak disebabkan keterbatasan dari sisi penawaran dan kebijakan pemerintah di bidang harga (cost push inflation), maka untuk mencapai sasaran inflasi tersebut, kebijakan moneter Bank Indonesia diarahkan pada upaya pengendalian uang primer dengan fokus pada penyerapan kelebihan likuiditas agar tetap sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian. Secara operasional, pengendalian moneter dilakukan dengan mengoptimalkan instrumen-instrumen moneter yang tersedia khususnya melalui operasi pasar terbuka yaitu mekanisme lelang SBI baik yang berjangka waktu 1 bulan atau 3 bulan. Upaya ini juga didukung oleh penyerapan likuiditas melalui intervensi rupiah yang dilakukan Bank Indonesia untuk menjaga agar uang primer tetap berada dalam sasaran yang telah ditetapkan. Dengan relatif besarnya kelebihan likuiditas sejalan dengan belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan, upaya pengendalian moneter melalui instrumen moneter ini membawa implikasi pada terjadinya kenaikan suku bunga SBI dan suku bunga perbankan. Oleh sebab itu, upaya pengendalian uang primer juga dilengkapi dengan upaya penambahan pasokan valuta asing di pasar melalui kebijakan sterilisasi valuta asing. Hal ini terutama dilakukan untuk menyerap ekspansi uang primer yang berasal dari pengeluaran pemerintah dalam rupiah yang dibiayai dari penerimaan dalam valuta asing. Penambahan pasokan valuta asing melalui sterilisasi valuta asing selain digunakan untuk menyerap uang primer, juga dimaksudkan untuk mengurangi tekanan depresiasi dan volatilitas nilai tukar. Namun dalam pasar valuta asing masih terdapat kesenjangan antara jumlah pasokan dan permintaan valuta asing sehingga untuk menjaga efektivitas kebijakan ini maka diperlukan juga dukungan kebijakan lain yang dapat membatasi kemampuan para pelaku pasar untuk melakukan kegiatan spekulatif.

4 Namun demikian, kebijakan moneter yang lebih independen saat ini dengan adanya penetapan sasaran akhir yang lebih jelas yaitu target inflasi diharapkan tetap dapat memberikan pengaruh pada perbaikan perekonomian dan kinerja sektor riil yang terganggu akibat krisis selama 5 tahun terakhir ini. Inflasi yang berada pada kisaran yang rendah dengan kondisi perekonomian yang lebih stabil memberikan kepastian kepada pengusaha dalam meningkatkan kapasitas produksi yang didukung perencanaan investasi yang matang dan kegiatan perdagangan yang menguntungkan. 1.2. Perumusan Masalah Setelah lima tahun proses pemulihan ekonomi, perbaikan kebijakan dibidang moneter belum tertransmisi dengan baik terhadap perekonomian Indonesia. Sampai triwulan IV-2005, pertumbuhan Produk Domestik Bruto relatif kecil yaitu 4.5 persen/tahun (Laporan Bank Indonesia, 2006). Lambatnya pertumbuhan ekonomi ini terutama disebabkan oleh kinerja konsumsi dan investasi yang kurang optimal. Konsumsi masyarakat mengalami penurunan yang signifikan karena menurunnya daya beli terkait dengan tingginya angka inflasi. Sementara itu perlambatan investasi terjadi karena meningkatnya biaya input, menurunnya margin keuntungan perusahaan dan iklim usaha di Indonesia yang masih belum kondusif. Kontribusi investasi terhadap pembentukan produk domestik bruto juga hanya 15 persennya, padahal sebelum krisis aktivitas investasi menyumbang sekitar 30 persen terhadap PDB. Disisi eksternal, kegiatan ekspor sebagai sumber pertumbuhan yang dominan sebelum krisis juga masih menunjukkan pertumbuhan yang kecil dimana sampai akhir tahun 2005 tumbuh hanya 8.6 persen. Peningkatan ekspor netto lebih banyak disebabkan oleh kontraksi impor barang dan jasa yang mulai terjadi sejak tahun 2004. Melambatnya volume impor diperkirakan terkait erat

5 dengan melambatnya kegiatan investasi khususnya jenis-jenis investasi yang membutuhkan barang modal impor dalam proses produksi. Perlambatan kinerja perekonomian juga tampak pada pengangguran terbuka tahun 2005 yang mencapai 10.84 persen (11.6 juta orang) jauh lebih tinggi dari level sebelum krisis pada tahun 1997 sebesar 4.7 persen. Artinya pertumbuhan ekonomi saat ini tidak cukup menampung angkatan kerja yang bertambah 1.8 juta orang per tahun. Sulitnya mengurangi tingkat pengangguran atau menciptakan lapangan kerja baru menjadi cerminan lambatnya gerak laju ekspansi sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja yang terus bertambah setiap tahunnya. Secara teoritis kebijakan moneter mampu mempengaruhi sisi permintaan seperti yang dikemukakan oleh Keynesian dan Monetaris. Namun melihat struktur ekonomi Indonesia semasa krisis ekonomi dimana tekanan inflasi ternyata lebih banyak bersumber dari sisi penawaran karena penurunan kinerja sektor riil, maka kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral adalah kebijakan moneter ekspansif yaitu penurunan suku bunga sehingga diharapkan stimulan ini dapat mendorong ekspansi produksi dan menggeser kembali kurva penawaran ke kanan. Dengan demikian diharapkan harga akan menurun dan output meningkat. Namun penurunan suku bunga yang dilakukan Bank Indonesia pada tahun 2004 dengan pertimbangan tekanan inflasi selama krisis ekonomi lebih banyak bersumber dari sisi penawaran karena penurunan kinerja sektor riil, tidak langsung mendongkrak peningkatan output dengan indikasi awal suku bunga kredit investasi masih tinggi. Lambannya penurunan suku bunga kredit investasi bagi sektor riil terutama disebabkan masih tingginya persepsi risiko perbankan terhadap penyaluran kredit investasi bagi sektor riil seiring dengan tingginya resiko yang harus ditanggung sektor riil setelah krisis ekonomi. Akibatnya suku

6 bunga kredit terlihat kurang elastis terhadap sinyal penurunan suku bunga dari bank sentral. Padahal perbankan mendominasi 80 persen sistem keuangan sehingga perbankan menjadi prioritas jalur transmisi kebijakan moneter. Hal ini sejalan dengan gejala yang muncul dari sisi pelaku usaha, dimana dunia usaha masih banyak mengeluhkan sulitnya memperoleh suntikan modal sebagai sumber dana untuk meningkatkan kapasitas produksi, padahal suku bunga Sertifikat Bank Indonesia telah mengalami penurunan yang signifikan dan diharapkan bertransmisi kepada turunnya suku bunga kredit (Hendarsah, 2003). Penurunan suku bunga SBI cenderung direspon dengan peningkatan kegiatan konsumsi. Sementara itu, kegiatan investasi yang memiliki efek pengganda (multiplier effect) yang lebih tinggi daripada konsumsi tidak memberikan pengaruh yang berarti dengan perkembangan yang kurang memuaskan dan justru mengalami kontraksi sebesar 0.2 persen. Dalam tiga tahun terakhir ini, persetujuan investasi PMDN dan PMA pada tahun 2003 hanya sebesar Rp 177.18 trilyun rupiah, pada tahun 2004 menurun menjadi Rp 129.24 trilyun dan pada tahun 2005 persetujuan investasi sebesar Rp 179.57 trilyun rupiah (33.93% dari target). 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauhmana dampak kebijakan moneter terhadap perbaikan kinerja sektor riil di Indonesia. Adapun secara lebih khusus, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis perkembangan moneter, perekonomian dan kinerja sektor riil pada periode sebelum dan setelah adanya independensi Bank Indonesia. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi sektor moneter dan kinerja transmisi kebijakan moneter ke sektor riil.

7 3. Mengkaji dampak kebijakan moneter terhadap kinerja sektor riil dan kinerja perekonomian. 4. Merumuskan rekomendasi alternatif kebijakan moneter yang dapat dilaksanakan pemerintah dalam mendorong kinerja sektor riil. 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah sektor riil di Indonesia yang disederhanakan menjadi tiga kelompok utama yaitu sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan sektor lainnya. Penyederhanaan menjadi tiga kelompok sektor ini dengan pertimbangan sektor pertanian dan sektor industri merupakan sektor andalan dalam pembentukan PDRB namun memiliki karakteristik yang berbeda dalam merespon gejolak krisis seperti tampak pada kinerja sektor-sektor tersebut saat terjadi depresiasi nilai tukar rupiah dan peningkatan suku bunga. Menurut Yudanto (1998) seberapa besar tekanan krisis ekonomi terhadap sektor riil sangat tergantung pada kuatnya keterkaitan tingkat produksi sektor tersebut dengan faktor depresiasi dan suku bunga. Diantara lima sektor utama yaitu pertanian, industri, perdagangan, keuangan dan bangunan, sektor pertanian terbukti cukup resisten terhadap krisis sehingga pertumbuhan sektor ini memperlihatkan hubungan yang tidak terlalu kuat dengan gejolak kurs dan bahkan mempunyai koefisien korelasi dan elastisitas yang positif meskipun sangat rendah yaitu 0.08 dan 0.01. Sedangkan sektor yang terkait cukup erat dengan faktor depresiasi adalah sektor bangunan, industri, transportasi dan keuangan dan dilihat dari tingkat elastisitasnya maka sektor industri menjadi sektor yang paling elastis terhadap perubahan nilai kurs. Saratnya kandungan input yang diimpor dan besarnya sumber pembiayaan dari luar negeri dalam struktur produksi diduga menjadi penyebabnya. Dari sisi pengaruh faktor suku

8 bunga diketahui bahwa sektor industri dan perdagangan merupakan sektor yang paling terpengaruh oleh gejolak suku bunga. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan bahasan pada sektor pertanian dan industri untuk melihat seberapa jauh perubahan kinerja produksi setelah adanya perbaikan kebijakan moneter yang dijalankan sejak tahun 1999. Transmisi moneter dilihat dari sisi permintaan agregat menurut sektor dan secara sekilas juga akan dilihat dari sisi penawaran agregatnya yang terwakili dari jalur kredit karena seperti yang dikatakan oleh aliran neostrukturalis bahwa kebijakan moneter juga ditransmisikan melalui penawaran agregat via suku bunga dan volume kredit. Dampak kebijakan moneter terhadap sektor riil dianalisis melalui jalurjalur transmisi yaitu jalur suku bunga, jalur harga aset dan jalur kredit. Jalur transmisi harga aset dibatasi pada pengaruh nilai tukar, sedangkan jalur kredit dibatasi pada jalur pinjaman bank (bank lending channel) karena jalur ini yang diperkirakan memberikan pengaruh yang relatif kuat terhadap pertumbuhan kinerja sektor riil. Kinerja sektor riil dianalisis dari indikator penggunaan kredit, kinerja investasi, ekspor, Produk Domestik Bruto, dan penyerapan tenaga kerja. Sedangkan secara makro, digunakan lima indikator kinerja yaitu alokasi kredit total, investasi, ekspor, PDB dan tingkat pengangguran. Keterbatasan penelitian ini tampak pula pada perhitungan kinerja sektor riil yang diasumsikan hanya dipengaruhi oleh kebijakan moneter sedangkan kebijakan ekonomi lainnya seperti kebijakan fiskal dan faktor lain diluar moneter tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Dengan adanya keterbatasan dalam perolehan data, maka data time series yang akan digunakan dibatasi hanya untuk periode 1984-2005.

II. KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Konsep dan Fungsi Uang Uang didefinisikan sebagai sesuatu yang diterima secara umum dalam pembayaan barang dan jasa (Mishkin, 2001). Uang seringkali diidentikkan dengan uang kartal (currency) yaitu uang kertas dan uang logam. Padahal menurut ahli ekonomi, segala sesuatu yang relatif cepat dan mudah dikonversi menjadi uang kartal (currency) dapat dikelompokkan sebagai uang (money) seperti cek dan giro. Ahli ekonomi juga membedakan antara uang dan kesejahteraan karena kesejahteraan meliputi tidak hanya uang tapi juga aset lain seperti obligasi, saham, tanah, mobil, furnitur dan rumah. Lebih jauh lagi, ahli ekonomi juga membedakan uang dengan pendapatan. Pendapatan didefinisikan sebagai aliran penerimaan menurut waktu, sedangkan uang adalah cadangan. Tiga fungsi dasar dari uang adalah (1) sebagai media pertukaran (as a medium of xchange), (2) sebagai satuan hitung (as a unit of account), dan (3) sebagai alat penyimpan nilai (as a store of value). Uang sebagai media pertukaran yaitu uang digunakan untuk membayar barang dan jasa. Uan sebagai media pertukaran mengatasi permsalahan dalam pemenuhan dua barang yang berbeda dan mendorong spesialisasi dan pembagian kerja. Penggunaan uang sebagai media pertukaran juga mampu meningkatkan efisiensi dalam perekonomian karena menghemat waktu saat mempertukarkan barang dan jasa. Waktu yang diperlukan dalam bertransaksi disebut juga dengan biaya transaksi (transaction cost). Hal ini dapat dipahami dengan mudah bila dibandingkan dengan perekonomian barter dimana peningkatan kesejahteraan dilakukan dengan tukar menukar komoditas yang dibutuhkan secara langsung.

10 Hal ini sangat merepotkan karena harus ada dua keinginan yang saling bertemu dan pada akhirnya, perekonomian barter ini meningkatkan biaya transaksi (transaction cost). Beberapa kelemahan perekonomian barter adalah tidak adanya metode penyimpanan daya beli yang dapat diterima secara umum, tidak adanya standar ukuran dan nilai dan tidak adanya alat pembayaran untuk transaksi-transaksi dimasa mendatang. Keterbatasan sistem barter ini mendorong manusia untuk mengembangkan sistem yang memungkinkan transaksi berjalan lebih cepat dan lancar. Untuk mengantisipasi kelemahan sistem barter, maka barang/benda yang dapat difungsikan sebagai uang haruslah memenuhi kriteria (1) mudah distandarisasikan, (2) diterima secara luas oleh masyarakat sebagai alat pembayaran, (3) dapat dipecah menjadi unit-unit yang lebih kecil, (4) mudah dibawa, dan (5) tahan lama. Peranan kedua dari uang sebagai satuan hitung dimana uang digunakan untuk mengukur nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Peranan ini menjadi semakin penting karena semakin komplek dan beragamnya barang dan jasa yang diperdagangkan. Sebagai satuan hitung, uang mempermudah tukar menukar dimana dua barang yang secara fisik sangat berbeda bisa menjadi seragam apabila nilai masing-masing dinyatakan dengan uang. Pengenalan uang dalam perekonomian sebagai hitungan nilai barang memudahkan konsumen membandingkan harga satu barang dengan barang lain dan akhirnya mengurangi biaya transaksi dalam perekonomian. Uang berfungsi juga sebagai alat penyimpan nilai dalam artian uang mampu mempertahankan daya beli dari pendapatan sejak pendapatan tersebut diterima sampai pada waktu pendapatan tersebut dibelanjakan. Fungsi uang seperti ini sangat bermanfaat karena tidak semua orang menghabiskan pendapatannya dalam waktu cepat dan sangat terkait dengan sifat manusia

11 sebagai pengumpul kekayaan. Namun fungsi uang sebagai alat penyiman nilai menjadi kurang optimal jika dala perekonomian terjadi peningkatan harga secara terus menerus (inflasi). 2.1.2. Uang Beredar Secara umum terdapat dua definisi jumlah uang beredar yang banyak dipakai dimana definisi ini dibangun berdasarkan dua pendekatan, yaitu pendekatan transaksional (transactional approach) dan pendekatan likuiditas (liquidity approach). Pendekatan transaksional memandang jumlah uang beredar dihitung dari jumlah uang yang dibutuhkan untuk keperluan transaksi. Dalam prakteknya, pendekatan tersebut digunakan untuk menghitung jumlah uang beredar dalam arti sempit yang dikenal sebagai M1. Yang tercakup dalam M1 adalah uang kartal (uang kertas dan uang logam yang berlaku) dan uang giral (rekening giro, kiriman uang, simpanan berjangka dan tabungan dalam rupiah yang sudah jatuh tempo). Pendekatan likuiditas mendefinisikan jumlah uang beredar sebagai jumlah uang untuk kebutuhan transaksi ditambah uang kuasi. Pertimbangannya adalah sekalipun uang kuasi merupakan aset finansial yang kurang likuid dibandingkan uang kertas, uang logam dan rekening giro, tapi sangat mudah diubah menjadi uang yang dapat digunakan untuk kebutuhan transaksi. Dalam praktek, pendekatan ini digunakan untuk menghitung jumlah uang beredar dalam arti luas yaitu M2. Uang kuasi adalah simpanan rupiah dan valuta asing milik penduduk pada sistem moneter yang untuk sementara waktu kehilangan fungsinya sebagai alat tukar meliputi simpanan berjangka dan tabungan penduduk pada bank umum baik dalam rupiah maupun valuta asing. Jumlah M2 ini sering juga disebut sebagai likuiditas perekonomian (Mishkin, 2001).

12 Untuk memudahkan pembahasan, Mc Callum (1989) mendefinisikan uang beredar terdiri dari uang kartal (currency) dan giro (checkable deposits) dengan rumusan: M = C + D...(1) dimana: M = Uang beredar C = Uang kartal D = Deposito Rasio uang kartal dan deposito (C/D) sepenuhnya berada dalam pengawasan masyarakat dengan notasi cr = C/D...(2) dimana: cr = Rasio uang kartal dan deposito C = Uang kartal D = Deposito Berdasarkan persamaan (1) dan (2) dapat ditulis ulang persamaan uang beredar sebagai berikut: M = (cr + 1) D...(3) Uang beredar (money supply) dapat dikendalikan oleh Bank sentral melalui uang primer (high power money) karena uang beredar memiliki kaitan yang erat dengan uang primer. Uang primer merupakan penjumlahan uang kartal dalam peredaran dan cadangan perbankan (TR) dengan rumusan : H = C + TR...(4) dimana: H = Uang primer (high power money) C = Uang kartal TR = Cadangan perbankan Jika rasio cadangan perbankan terhadap deposito sebagai rr = TR/D, maka uang persamaan uang primer dapat ditulis menjadi:

13 H = (cr+rr) D...(5) Dari persamaan (3) dan (5) dapat dibuatkan hubungan uang beredar dan uang primer sebagai berikut: M H cr + 1 = cr + rr...(6) Menurut Mishkin (2001), kaitan uang primer dengan uang beredar dapat juga dirumuskan sebagai berikut: M = m X H...(7) dimana m adalah angka pengganda uang (money multiplier) yang didefinisikan sebagai besaran perubahan uang beredar akibat perubahan uang primer pada tingkat tertentu. Selanjutnya angka pengganda uang (money multiplier) dirumuskan sebagai berikut: 1+ ( C / D) m =...(8) rd + ( ER / D) + ( C / D) artinya money multiplier merupakan fungsi dari currency ratio yang diatur sepenuhnya oleh penabung, excess reserve ratio yang diatur oleh bank dan required reserve ratio yang diatir oleh bank sentral. Dari rumusan diatas dapat pula dikatakan bahwa : 1. Jika rasio cadangan wajib minimum yang ditetapkan oleh bank sentral meningkat maka akan mendorong perbankan untuk mengurangi alokasi kredit untuk mempertahankan kemampuan cadangan perbankan dan selanjutnya menurunkan nilai angka pengganda uang (m) dan menurunkan pula jumlah uang beredar (M). 2. Ketika penabung meningkatkan ratio uang kartal per deposito dengan mengkoversi deposito ke uang kartal akan mendorong penurunan penciptaan uang sehingga angka pengganda uang menjadi lebih rendah dan jumlah uang beredar akan berkurang.

14 3. Ketika bank meningkatkan jumlah cadangan yang dipegang relatif terhadap deposit atau tabungan maka bank akan mengurangi penyaluran kredit sehingga angka pengganda uang menjadi lebih rendah dan mengurangi uang beredar. Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa uang beredar berhubungan negatif dengan cadangan wajib minimum, rasio uang kartal (C/D) dan rasio cadangan perbankan (ER/D). Sementara itu, uang beredar berhubungan positif dengan uang primer yang ditentukan oleh bank sentral melalui operasi pasar terbuka. Oleh karena itu, model persamaan uang beredar haruslah mempertimbangkan perilaku bank sentral yang mengatur giro wajib minimum dan suku bunga diskonto, perilaku penabung melalui keputusan dalam memegang uang kartal, perilaku bank melalui keputusan rasio cadangan perbankan dan perilaku peminjam yang mempengaruhi suku bunga pasar yang akan mempengaruhi keputusan bank terkait dengan jumlah cadangan yang dipegang. 2.1.3. Teori Permintaan Uang Pandangan para ekonom Klasik di abad 19 dan awal abad 20 dalam Teori Kuantitas Uang memfokuskan fungsi uang sebagai alat tukar dan pengukur nilai sehingga uang bersifat netral dan tidak mempengaruhi perekonomian riil. Dengan demikian dalam teori ini dikatakan bahwa suku bunga tidak memiliki pengaruh apapun terhadap permintaan uang (Mishkin, 2001). Irving Fisher dalam bukunya Purchasing Power of Money mengatakan bahwa permintaan uang dari masyarakat merupakan suatu proporsi tertentu dari nilai transaksi (PY). Artinya permintaan uang timbul dari penggunaan uang dalam proses transaksi yang merupakan suatu proporsi konstan dari tingkat output masyarakat (pendapatan nasional). Hal ini dijelaskan dengan persamaan

15 yang menunjukkan hubungan uang dengan tingkat harga dan pendapatan nasional sebagai berikut: MV = PY...(9) dimana: M = Uang beredar V = Tingkat perputaran uang P = Tingkat output Y = Harga dimana jumlah uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat perputaran uang (V) sama dengan jumlah output atau transaksi ekonomi riil (Y) dikalikan dengan tingkat harga (P). Dengan kata lain, dalam keseimbangan jumlah uang beredar yang digunakan dalam seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan jumlah output yang dihitung dengan harga berlaku (PY). Dengan mentransformasikan persamaan diatas, maka: Md = 1/V PY...(10) Dari persamaan diatas, permintaan uang murni ditentukan oleh tingkat pendapatan nasional dan tidak dipengaruhi oleh faktor lain seperti bunga. Fisher menyusun kesimpulan seperti ini karena kepercayaannya bahwa orang-orang memegang uang hanya untuk transaksi sehingga permintaan uang dtentukan oleh dua variabel yaitu (1) jumlah transaksi yang diwakilkan oleh tingkat pendapatan PY dan (2) institusi perekonomian yang mempengaruhi cara orangorang melakukan transaksi yang akan menentukan tingkat perputaran uang (velocity of money). Teori permintaan uang Cambridge menekankan pada perilaku individu dalam mengalokasikan kekayaan salah satunya dalam bentuk uang dengan memperhitungkan untung rugi pemegangan kekayaan tersebut. Cambridge mengatakan bahwa kelebihan memegang uang adalah kemudahan dalam proses transaksi, namun di pihak lain memegang uang berarti mengorbankan

16 kemungkinan mendapatkan penghasilan dalam bentuk bunga atau keuntungan kapital bila memegang kekayaan dalam bentuk surat berharga. Pandangan ini sangat berbeda dengan teori Fisher yang menekankan permintaan uang hanya merupakan proporsi konstan dari volume transaksi. Dengan demikian teori Cambridge mengatakan bahwa permintaan uang selain dipengaruhi oleh volume transaksi juga dipengaruhi oleh tingkat bunga, kekayaan dan ekspektasi masyarakat mengenai masa depan. Jadi dalam jangka pendek, Cambridge menganggap bahwa jumlah kekayaan, volume transaksi dan pendapatan nasional mempunyai hubungan yang proporsional konstan. Hal ini digambarkan pada persamaan sebagai berikut : Md = k P Y...(11) Teori Cambridge ini menyatakan pula bahwa terdapat kemungkinan pengaruh faktor lain seperti tingkat bunga yang diwakilkan oleh variabel k. Artinya jika tingkat bunga naik ada kecenderungan masyarakat mengurangi permintaan uang dan jika di masa datang diharapkan ada kenaikan tingkat bunga maka orang akan cenderung menambah jumlah uang tunai yang mereka pegang. John Maynard Keynes memperluas pendekatan Cambridge dengan mengemukakan tiga motif memegang uang (Mishkin, 2001). Dalam teori yang dikenal dengan nama Liquidity Preference mengatakan bahwa permintaan uang bukan semata-mata sebagai alat tukar atau motif transaksi dan berjaga-jaga tetapi dapat digunakan lebih luas untuk tujuan spekulasi. Teori ini memprlihatkan bahwa motif transaksi dan berjaga-jaga sebagai komponen permintaan uang proporsional terhadap tingkat pendapatan. Sementara itu, motif memegang uang untuk spekulasi sangat sensitif terhadap suku bunga dan ekspektasi pergerakan suku bunga di waktu mendatang.

17 Rumusan teori liquidity preference yang dikembangkan oleh Keynes adalah sebagai berikut : Md/P = f (i, Y)...(12) Suku bunga memiliki tanda yang negatif yang artinya permintaan uang secara riil berhubungan negatif dengan suku bunga dan sebaliknya permintaan uang berhubungan positif dengan pendapatan nasional (tingkat output). Artinya, Keynes menyimpulkan permintaan uang berhubungan tidak hanya dengan pendapatan nasional namun juga dengan suku bunga. Penurunan fungsi liquidity preference untuk melihat tingkat perputaran uang (PY/M) akan menunjukkan bahwa tingkat perputaran uang menurut Keynes tidaklah konstan tetapi berfluktuasi mengikuti pergerakan suku bunga. P 1 =... (13) Md f ( i, Y ) mengalikan kedua sisi dengan Y maka didapatkan persamaan tingkat perputaran uang (velocity of money) sebagai berikut: PY Y V = =....(14) Md f ( i, Y ) artinya ketika suku bunga naik akan mendorong orang memegang uang lebih sedikit sehingga tingkat perputaran uang akan meningkat yang berarti velocity of money meningkat. Pendekatan Keynesian terus mengalami penyempurnaaan diantaranya oleh William Baumol dan James Tobin yang menggambarkan bahwa uang yang dipegang untuk transaksi sebenarnya sensitif terhadap suku bunga. Ketika suku bunga meningkat maka jumlah uang kas yang dipegang untuk tujuan transaksi akan menurun yang selanjutnya akan meningkatkan tingkat perputaran uang.

18 Artinya, komponen transaksi dalam fungsi permintaan uang berhubungan negatif dengan suku bunga (Mishkin, 2001). Ide dasar dalam analisis Baumol-Tobin ini adalah adanya biaya oportunitas dalam memegang uang yaitu keuntungan yang mungkin diperoleh dari aset lainnya dan keuntungan memegang uang adalah menghindari biaya transaksi. Ketika suku bunga naik, masyarakat akan mencoba mengekonomiskan pemegangan uang untuk tujuan transaksi karena biaya oportunitas yang menjadi mahal. Teori kuantitas modern yang dipelopori oleh Milton Friedman merupakan penyempurnaan dari teori kuantitas klasik. Friedman (1991) menyusun formulasi permintaan uang sebagai berikut: Md/P = f(y p, r b -r m, r e -r m, π e -r m )...(15) Persamaan ini menunjukkan bahwa permintaan uang merupakan fungsi dari keuntungan yang diharapkan dari aset lain relatif terhadap keuntungan yang diharapkan dari uang dan pendapatan permanen. Friedman berpendapat bahwa permintaan uang relatif stabil dan tidak sensitif terhadap suku bunga, tingkat perputaran uang dapat diprediksi. 2.1.4. Hubungan Uang dan Kegiatan Ekonomi Hubungan antara uang dengan kegiatan perekonomian khususnya pertumbuhan ekonomi dan inflasi menjadi perdebatan antara kelompok Keynesian dan Monetarist (Friedman, 1991). Kelompok Monetarist berpendapat bahwa uang hanya berpengaruh pada tingkat inflasi dan tidak ada pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi riil. Dalam hal ini, kelompok Monetarist berasumsi bahwa mekanisme pasar dalam perekonomian dapat berjalan secara sempurna sehingga harga-harga segera menyesuaikan apabila terjadi perbedaan antara permintaan dan penawaran di pasar. Dengan kondisi ini, kelompok Monetarist

19 berpendapat bahwa kebijakan moneter hanya berpengaruh terhadap nilai nominal permintaan agregat melalui perubahan harga-harga tersebut dengan pengaruh yang relatif stabil. Implikasinya, kebijakan moneter diarahkan hanya untuk pengendalian inflasi dan tidak bisa diarahkan untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi riil. Pada sisi lain kelompok Keynesian berpendapat bahwa uang dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi riil disamping pengaruhnya terhadap inflasi. Keynes berpendapat bahwa sebelum full employment dicapai maka perubahan jumlah uang beredar bersama-sama dengan permintaan uang mempengaruhi tingkat bunga, selanjutnya perubahan tingkat bunga mempengaruhi tingkat investasi riil yang kemudian melalui proses multiplier mempengaruhi tingkat output masyarakat. Artinya perubahan dalam sektor moneter dapat mempengaruhi sektor riil (Mankiw, 2000). Implikasinya adalah kebijakan moneter dapat digunakan sebagai salah satu instrumen kebijakan untuk mempengaruhi naik turunnya kegiatan ekonomi riil. Dengan kata lain, bank sentral mempunyai discreation untuk mempergunakan kebijakan moneter secara aktif untuk membantu upaya-upaya mempengaruhi kegiatan ekonomi riil. Apabila kegiatan ekonomi riil dirasakan terlalu lesu, kebijakan moneter dapat dilonggarkan sehingga jumlah uang beredar dalam perekonomian bertambah dan dapat mendorong peningkatan kegiatan ekonomi riil. Sebaliknya, apabila kegiatan ekonomi riil dinilai terlalu cepat dan cenderung memanas, kebijakan moneter perlu diketatkan sehingga terjadi penurunan kegiatan ekonomi riil dan tingkat inflasi. Kelompok Keynesian juga memandang bahwa permasalahan dalam suatu perekonomian pada dasarnya sangat kompleks sehingga tidak hanya uang yang berperan penting dalam mendorong kegiatan ekonomi, tetapi juga variabelvariabel lain. Dalam hal ini, kelompok Keynesian berasumsi bahwa terjadi

20 sejumlah kekakuan dalam bekerjanya mekanisme pasar di dalam perekonomian sehingga pasar tidak selalu dalam kondisi keseimbangan. Apabila terjadi kejutan (shock) dalam perekonomian, misalnya kebijakan moneter yang secara aktif melakukan pelonggaran atau pengetatan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi riil dalam jangka pendek, meskipun pada akhirnya dalam jangka menengah-panjang perkembangan harga juga akan terpengaruh. 2.1.5. Teori Permintaan Agregat Kurva permintaan agregat menggambarkan hubungan antara tingkat harga dengan tingkat pendapatan nasional. Keseimbangan makroekonomi secara simultan ditentukan oleh perpotongan permintaan agregat (AD) dan penawaran agregat (AS). Shock yang terjadi pada permintaan agregat akan menyebabkan terjadinya perubahan harga. Shock ini dapat diantisipasi melalui kebijakan moneter yang mempengaruhi kurva LM. Ketika perekonomian berada pada kesimbangan jangka pendek pada titik K dan tingkat harga P 1 menunjukkan perekonomian sedang resesi. Apabila dalam jangka pendek diasumsikan tingkat harga tetap, terjadi penurunan biaya input maka output dapat diproduksi dengan biaya yang lebih rendah sehingga biaya output turun. Kondisi ini menggeser kurva AS jangka pendek ke bawah pada tingkat harga yang lebih murah P 2. Keseimbangan jangka panjang pada kurva IS-LM terjadi ketika harga turun menyebabkan keseimbangan uang riil (daya beli) meningkat melalui pergeseran kurva LM ke kanan bawah LM(P 2 ) dengan suku bunga yang lebih rendah. Biaya output yang lebih murah meningkatkan kembali perekonomian pada tingkat keseimbangan alamiah di titik C pada kurva SRAS 2 (Gambar 1).

21 Tingkat LRAS Tingkat LRAS bunga, r LM (P 1) harga,p LM (P 2) P K 1 SRAS 1 C P 2 SRAS 2 IS AD Y Pendapatan (Y) Y Pendapatan (Y) Sumber: Mankiw (2000) Gambar 1. Model IS-LM : Model Penawaran Agregat dan Permintaan Agregat dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang Analisis ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, proses penyesuaian belum sempurna karena harga masih kaku terhadap adanya perubahan perekonomian. Sementara itu, dalam jangka panjang penyesuaian terjadi secara sempurna karena adanya penyesuaian pada tingkat harga sehingga keseimbangan perekonomian kembali pada posisi alamiah atau pada titik keseimbangan baru. Pengaruh shock kebijakan moneter terhadap permintaan agregat dalam perekonomian sangat tergantung pada posisi kurva penawaran agregat (AS). Apabila kurva AS vertikal (asumsi Klasik), shock kebijakan moneter akan menyebabkan tingkat harga berubah dengan pendapatan nasional yang tetap. Tetapi apabila kurva AS horisontal (asumsi Keynesian) maka shock kebijakan moneter akan menyebabkan perubahan pada tingkat pendapatan dari posisi alamiah sementara tingkat harga tetap. Penyesuaian antara tingkat harga dan pertumbuhan ekonomi, sangat tergantung pada kebijakan bank sentral dalam melakukan shock terhadap kebijakan moneter yang berpengaruh terhadap

22 pergeseran kurva permintaan agregat (AD). Kemiringan kurva IS (elastisitas pengeluaran investasi terhadap suku bunga) dan kemiringan kurva LM (elastisitas permintaan uang terhadap suku bunga) menjadi faktor yang mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter. Ekspansi kebijakan moneter dengan menambah jumlah uang beredar pada kurva IS yang datar meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar Y2 dan pada kurva IS yang tegak pertumbuhan ekonomi lebih rendah yaitu hanya Y1. Dilihat pada kurva LM, kebijakan moneter akan kurang efektif dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada kurva LM datar dengan pertumbuhan ekonomi hanya sebesar Y 0 Y 1. Sementara itu pada kurva LM yang tegak maka pengaruh terhadap perekonomian lebih besar yaitu sebesar Y 0 Y 2. Kebijakan moneter bahkan tidak efektif sama sekali pada kurva LM yang horizontal karena Y tidak berubah dan menyebabkan terjadinya liquidy trap yaitu kebijakan moneter gagal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (output) tetapi justru menimbulkan dampak terhadap inflasi. Gambaran lebih detail disajikan pada Gambar 2. Tingkat bunga ( r ) Tingkat bunga ( r ) LM To LM T1 LM 0 LM D0 LM 1 LM D1 IS datar IS IS tegak Y 0 Y 1 Y 2 Y Y o Y 1Y 2 Y Sumber : Mankiw (2000) Gambar 2. Efektivitas kebijakan moneter dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada kurva IS-LM

23 2.1.6. Suku Bunga Suku bunga menggambarkan biaya pinjaman yang menjadi indikator melakukan pinjaman atau indikator bagi yang meminjamkan (Mishkin, 2001). Dalam perkembangannya, suku bunga riil menjadi lebih penting dibandingkan suku bunga nominal karena suku bunga riil sudah mempertimbangkan perkembangan harga sebagaimana tampak pada rumus: Suku bunga riil = suku bunga nominal inflasi Dalam Liquidity Preference Framework keseimbangan suku bunga tercapai saat terjadi perpotongan uang beredar dan permintaan uang. Jumlah uang beredar (MS) ditentukan oleh bank sentral sehingga kurva MS tegak. Sedangkan permintaan uang ditentukan oleh pendapatan dan tingkat harga. Oleh karena itu, perubahan suku bunga dalam keyakinan Liquidity Preference Framework dapat dipahami dengan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan jumlah uang beredar dan permintaan uang. Dua faktor yang mempengaruhi permintaan uang adalah pendapatan dan harga. Disaat perekonomian bagus maka pendapatan dan kesejahteraan masyarakat meningkat yang mendorong masyarakat memegang uang lebih banyak sehingga permintaan uang meningkat. Sedangkan saat harga meningkat maka nilai nominal uang terhadap harga barang akan turun. Kondisi ini mendorong masyarakat untuk menambah uang yang dipegang sehingga permintaan uang meningkat. Dalam Mishkin (2001) disebutkan bahwa jumlah uang beredar berhubungan dengan uang primer (monetary base) dengan rumus: MS = m x MB...(16) dimana: MS = Uang beredar M = Angka pengganda uang MB = Uang primer

24 Dari rumusan diatas dapat diketahui uang beredar memiliki hubungan yang positif dengan uang primer. Disamping itu angka pengganda uang (m) menjadi faktor yang turut mempengaruhi jumlah uang beredar karena m menunjukkan seberapa banyak perubahan MS untuk nilai MB tertentu dengan rumus: 1+ C/D m = rd + (ER/D) + (C/D)...(17) artinya money multiplier (angka pengganda uang) merupakan fungsi dari currency ratio yang diatur oleh penabung, excess reserve ratio yang diatur oleh bank dan required reserve ratio yang diatur oleh Bank sentral. 1. Perubahan Required Reserve Jika required reserve naik maka jumlah cadangan perbankan menjadi tidak cukup untuk melindungi deposito sehingga perbankan membutuhkan cadangan yang lebih banyak dengan mengurangi jumlah pinjaman yang disalurkan yang mendorong penurunan angka pengganda uang dan akhirnya jumlah uang beredar menjadi lebih rendah. Kesimpulannya adalah money multiplier dan MS berhubungan negatif dengan Required Reserve 2. Perubahan Currency Ratio Ketika penabung meningkatkan uang kas yang dipegang dengan merubah deposito menjadi uang kas (C/D meningkat) maka money multiplier akan turun karena deposito berperan dalam menciptakan perluasan uang sedangkan uang kas tidak mampu menciptakan perluasan uang. Artinya, money multiplier dan MS berhubungan negatif dengan currency ratio. 3. Perubahan Excess Reserve Ratio Ketika perbankan meningkatkan jumlah cadangan yang dipegang relatif terhadap dana pihak ketiga yang dipegang pada jumlah MB tertentu, maka bank