1.1 LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia mengalami krisis moneter yang

BAB I PENDAHULUAN. diminati oleh masyarakat perkotaan saat ini adalah hiburan perfilman.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk hidup yang bergerak aktif dengan segudang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Soraya Desiana, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Bagas Laksawicaka Gedung Bioskop di Kota Semarang 1

BAB I PENDAHULUAN. ingin disampaikan kepada masyarakat luas tentang sebuah gambaran, gagasan,

TUGAS AKHIR BIOSKOP DI SINGARAJA KABUPATEN BULELENG-BALI STUDI AKUSTIK RUANG PERTUNJUKAN FILM BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Latar Belakang Pengadaan Proyek. Pada dekade terakhir, perkembangan kegiatan pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. Kota Yogyakarta adalah kota yang relatif aman, stabil dan mempunyai

Bab I PENDAHULUAN April :51 wib. 2 Jum'at, 3 Mei :48 wib

BAB I PENDAHULUAN. terlihat di kota Yogyakarta. Ini terlihat dari banyaknya komunitaskomunitas

BAB 1 PENDAHULUAN. Teknologi-teknologi baru yang muncul semakin pesat belakangan ini

GEDUNG BIOSKOP DI KOTA SEMARANG (PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR POST MODERN)

BAB I PENDAHULUAN. Cinema and Film Library di Yogyakarta. I.1. Latar Belakang I.1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek

SINEPLEX DAN SINEMATEX DI YOGYAKARTA Dengan pendekatan desain arsitektur post modern

Fasilitas Sinema Terpadu di Surabaya

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat setiap bisnis film di bioskop tetap eksis dan mulai mampu bersaing

ENTERTAINMENT CENTER DI PURWODADI

STUDIO PRODUKSI FILM DI JAKARTA PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR MORPHOSIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Aplikasi Teknologi Tinggi sol,agai I^rnbcnt.uk ^^l^unan BAB! LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Perkembangan dalam bidang perekonomian semakin meningkat, di

BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah. Di era globalisasi ini, banyak orang bersaing untuk mendapatkan kehidupan yang semakin

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. bencana bagi perekonomian global khususnya melanda negara-negara yang

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah anak muda usia produktif membuat para peritel pun tidak akan kesusahan

BAB I PENDAHULUAN. dari banyaknya judul film yang muncul di bioskop bioskop di Indonesia saat ini.

BAB I LATAR BELAKANG. Universitas Kristen Maranatha 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bioskop berasal dari kata BOSCOOP (bahasa Belanda yang juga berasal dari Bahasa

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR (LP3A) REDESAIN GEDUNG BIOSKOP MENJADI CINEPLEX DI WONOSOBO

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan dunia usaha saat ini telah membawa para pelaku dunia

BAB I PENDAHULUAN. dari rutinitas yang mereka lakukan. Untuk menghilangkan ketegangan

RechtsVinding Online Mengembalikan Kejayaan Perfilman Indonesia Melalui Penyempurnaan Undang-Undang Perfilman

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. merupakan pelopor jaringan Cineplex di Indonesia. Jaringan bioskop ini tersebar

BAB I PENDAHULUAN. mengambil sikap dalam menghadapi perkembangan teknologi dan informasi yang

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG. I.1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Latar Belakang Eksistensi Proyek

BAB I PENDAHULUAN. menjadi ciri khas Yogjakarta. Di Yogjakarta kurang lebih terdapat 116

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Eksistensi Proyek

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara universal, seni pertunjukan adalah karya seni yang melibatkan aksi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum Objek Penelitian Gambaran Singkat Blitzmegaplex Cabang Miko Mall

BAB I PENDAHULUAN. Iklan merupakan salah satu komponen marketing mix yang umum

BAB I PENDAHULUAN. memiliki teknologi yang bagus. Jenis mainan di bedakan menjadi 2 yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan jaman di era globalisasi ini menuntut aktivitas-aktivitas sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. : Merupakan kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Pusat pemerintahan. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di selatan dan barat¹.

SEMARANG CINEMA CENTER Dengan Penekanan Desain Eco-Architecture

BAB I PENDAHULUAN. memperbanyak suatu barang. 1 Melihat dari Undang-undang Hak Cipta Pemerintah Mengenai hukum pembajakan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. kebutuhan bagi mereka untuk melepaskan penat dan kejenuhan dengan mencari

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Proyek

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat khususnya bagi mereka yang tinggal di kota besar seperti Bandung,

BAB I PENDAHULUAN. kota Jakarta pada akhirnya menuntut tersedianya wadah fisik untuk menampung

SHOPPING MALL DI JAKARTA BARAT

BAB 1 PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya negara Indonesia ini, tuntutan untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada titik berjaya di sekitar tahun Pada saat itu layar tancap

BAB 1 PENDAHULUAN. tinggal, seperti ruang tidur, ruang makan, dan kamar mandi. Karena bersifat

BAB I PENDAHULUAN Seni Tari Sebagai Hasil dari Kreativitas Manusia. dan lagu tersebut. Perpaduan antara olah gerak tubuh dan musik inilah yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

DI PURWOKERTO BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. tidak hanya sebagai media hiburan saja melainkan sebagai media komunikasi

TUGAS AKHIR. PUSAT PERFILMAN di SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. berusaha mencapai tujuan untuk menciptakan dan mempertahankan. kelangsungan hidup perusahaan sangat tergantung pada perilaku

BAB V PENUTUP. kesimpulan untuk menjawab tujuan pembelajaran studi kasus ini, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan teknologi. Dalam prosesnya, sebuah budaya menghasilkan

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup, yang juga sering disebut movie atau sinema. Film adalah sarana

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, banyak sekali pebisnis atau investor yang membuka bisnis coffee shop di

BAB I PENDAHULUAN. Maraknya pertumbuhan sarana Sports Club atau sarana olahraga di kota kota besar,tidak

BENGKEL MOTOR KLASIK DAN KAFE OLD DOG DI KOTA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Kondisi geografis Indonesia menyebabkan adanya keanekaragaman,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 5, No.2, (2016) ( X Print) F-133

BAB I BAB I PENDAHULUAN. sarana dan prasarana untuk mendapatkan hiburan tersebut. Tiap individu bebas

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi perekonomian kota Binjai dilihat dari struktur PDRB riil kota Binjai yang menunjukkan karakteristik sebagai berikut : 2

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Jumlah Wisatawan Yogyakarta. Tahun Wisatawan Lokal Wisatawan

PUSAT PERBELANJAAN DI YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

SHOPPING MALL DI KOTA TEGAL DENGAN PENDEKATAN KONSEP DESAIN ARSITEKTUR MACLAINE PONT

WEDDING CENTRE DI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan atau permintaan pihak pemberi tugas. Tahapan perencanaan yang. kebudayaan Indonesia serta pengaruh asing.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai terdapat

BAB I PENDAHULUAN. bioskop, fashion, food court, tempat bermain anak, ruang pameran, fitness, meeting

BAB I PENDAHULUAN. (

BAB I PENDAHULUAN. dan bagaimana konsumen dipengaruhi oleh lingkungannya, kelompok referensi,

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Presentase Jumlah Pecinta Seni di Medan. Jenis Kesenian yang Paling Sering Dilakukan Gol. Jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Pada 1895, para investor di Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis dalam waktu

PUSAT PERBELANJAAN DENGAN KONSEP MAL DI KOTA KUDUS

1. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1 Jawa Tengah in Figures 2010 (Jawa Tengah dalam Angka 2010)

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK Bioskop (Belanda: bioscoop dari bahasa Yunani βιος, bios (yang artinya hidup) dan σκοπος (yang artinya "melihat") adalah tempat untuk menonton pertunjukan film dengan menggunakan layar lebar. Gambar film diproyeksikan ke layar menggunakan proyektor. Film-film yang diputar di dalam bioskop pada tahun 1980-an adalah film gagu alias bisu atau tanpa suara. Biasanya pemutaran diiringi musik orkes. Beberapa film yang kala itu yang menjadi favorit masyarakat adalah Fantomas, Zigomar, Tom MIx, Edi Polo, Charlie Caplin, Max Linder, Arsene Lupin, dll. Di Indonesia awal Orde Baru dianggap sebagai masa yang menawarkan kemajuan perbioskopan, baik dalam jumlah produksi film nasional maupun bentuk dan sarana tempat pertunjukan. Kemajuan ini memuncak pada tahun 1990-an. Pada dasawarsa itu produksi film nasional mencapai 112 judul. Sementara sejak tahun 1987 bioskop dengan konsep sinepleks (gedung bioskop dengan lebih dari satu layar) semakin marak. Sinepleks-sinepleks ini biasanya berada di kompleks pertokoan, pusat perbelanjaan, atau mal yang selalu jadi tempat berkumpulnya kawula muda dan kiblat konsumsi terkini masyarakat perkotaan. Sekitar tahun 2000an, jaringan bioskop mulai marak di Indonesia. Ada dua pengelola bioskop yang terkenal, yaitu 21 Cineplex dengan bioskop 21, XXI dan The Premiere serta jaringan Blitzmegaplex. Bioskop-bioskop ini tersebar di seluruh pusat perbelanjaan di Indonesia, kadang-kadang dalam satu pusat perbelanjaan terdapat lebih dari satu bioskop. Film yang ditayangkan adalah film dari dalam maupun luar negeri, meskipun pada awal tahun 2000 hingga sekitar tahun 2005, tidak banyak perfilman nasional yang berhasil masuk jaringan bioskop. Film-film nasional baru masuk kedalam bioskop Indonesia sejak tahun 2006 hingga sekarang. 1

2 Sejak teknologinya diciptakan oleh Lumiere bersaudara di akhir abad ke 19 lalu, film telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik di kota maupun di desa. Menonton film juga telah menjadi salah satu kegiatan mengisi waktu luang yang menjadi hobi sebagian besar dari masyarakat. Kemajuan teknologi, yang menyebabkan acara nonton film tidak perlu lagi dilakukan di dalam ruang-ruang gelap bioskop, ternyata tidak mampu menyurutkan hobi ini. Produk teknologi terbaru, seperti DVD, bahkan HD (High Definition) DVD yang menjanjikan gambar dan suara sejernih bioskop, juga tidak menyurutkan langkah para penggemar film untuk beranjak ke cineplex. Di lain pihak, para pemilik bioskop pun berusaha terus memberikan layanan yang berkualitas dan inovatif, agar menonton film dapat menjadi ajang rekreasi bagi semua orang. Bila di era 70 dan 80 an, tiap bioskop hanya memutar satu macam film saja, maka kini di sebuah cineplex bisa tersedia 4, 5, bahkan 10 studio atau auditorium, sehingga penonton bisa bebas memilih film yang akan ditontonnya. Jika dulu selama menunggu film diputar, tidak ada hal lain yang dapat dilakukan selain menikmati makanan dan minuman ringan serta berbincang-bincang dengan kerabat, saat ini berbagai aktivitas telah tersedia, mulai dari main game, bilyar atau cuci mata di mall tempat bioskop tersebut berada. Masyarakat di pinggiran ibu kota mungkin sudah terpuaskan dengan menonton layar tancap, terutama jika ada pesta pernikahan di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Namun bagi mereka yang merasa masuk golongan eksekutif muda, kegiatan menonton adalah datang ke sebuah mall favorit dan memasuki bioskop dengan menikmati berbagai macam fasilitas yang disediakan di dalam bioskop. Jadi, memang banyak alasan mengapa bioskop terus ramai dikunjungi. Hollywood, Bollywood dan berbagai sentra industri film lainnya terus bergeliat untuk menghasilkan film-film terbaik dan terlaris, serta berbagai ajang penghargaan atau festival film terus digelar. Film merupakan sebuah

3 pesan audio-visual yang mempunyai banyak makna dan emosi yang akan disampaikan kepada penonton sehingga mempengaruhi pikiran dan perasaan penonton. Adanya gedung bioskop yang dapat mewadahi kebutuhan hiburan diharapkan akan menarik perhatian dan minat banyak masyarakat, sebab latar belakang proyek gedung bioskop ini berangkat dari kebutuhan (masyarakat itu sendiri yang paling mendasar yaitu kebutuhan masyarakat) akan hiburan yang salah satunya disalurkan lewat menonton. Tren gedung bioskop dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat dan dari industri perfilm-an. Jika ditinjau dari perkembangan suatu daerah, kota Purwokerto merupakan salah satu dari sekian kabupaten yang kini sedang mengalami perkembangan yang cukup signifikan, baik perkembangan dalam bidang kependudukan maupun perekonomian. Melihat dari perkembangan itu, maka akan semakin banyak pula kepuasan masyarakat yang harus diwadahi dan dipenuhi, guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang tentunya juga mengalami perubahan, salah satunya gaya hidup. Pertumbuhan penduduk dan ekonomi kota Purwokerto merupakan salah satu alasan kota Purwokerto dipilih sebagai tempat dibangunnya gedung bioskop. Pada gambar 1.1 menunjukkan pertumbuhan penduduk kota Purwokerto yang semakin meningkat.

4 DATAA PERTUMBUHAN PENDUDUK KOTA PURWOKERTO Gambar 1.1. Pertumbuhan Penduduk Kota Purwokerto Sumber : www.bpspurwokerto.go.id Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Kabupaten Banyumas adalah 1.553.902 orang, yang terdiri dari 777.568 laki-laki dan 776.334 perempuan. Dengan luas wilayah Kabupaten Banyumas sekitar 1.328 kilometer persegi yang didiami oleh 1.553.902 orang maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Banyumas adalah sebanyak 1.170 orang per kilometer persegi. Dari segi pertumbuhan perekonomian, kota Purwokerto pun mengalami pertumbuhan yang cukup baik dari tahun ke tahun, dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

5 Gambar 1.2. Grafik Kinerja Perekonomiann Kab. Banyumas Tahun 2005-2009 Sumber : Pendapatan Regional Kab. Banymas 2009, hal 9. Dari data-dataa di atas dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Banyumas memiliki indeks kenaikan perekonomian penduduk yang cukup baik di tiap tahunnya yang tentunya akan berdampak positif dan berpengaruh pada tingkat konsumsi masyarakat akan kebutuhan barang dan jasa. Hal ini dapat dilihat pada grafik tingkat konsumi masyarakat di Purwokerto. Gambar 1.3. Pendapatan Per Kapita Kab. Banyumas Sumber : Statistik Daerah Kab. Banyumas 2010, hal 18. Dari segi keberadaan gedung bioskop, kota Purwokerto hanya memiliki 1 (satu) buah gedung bioskop yang sudah biasa dilihat oleh penduduk Purwokerto. Yang mana fasilitas-fasilitasnya tidak pernah berubah-ubah sampai sekarang, sehingga memberikan kesan monoton dan membuat kepuasan masyarakat akan industri jasaa hiburan gedung bioskop tidak

6 terpenuhi dengan maksimal. Hal ini mengakibatkan tingkat konsumsi kepuasan masyarakat tidak akan terpenuhi, sehingga dapat memungkinkan keberadaan hiburan bioskop ini cenderung untuk ditinggalkan. Maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut dibutuhkan suatu wadah baru, selain guna menarik perhatian dan minat masyarakat untuk menonton di bioskop, juga memenuhi dan menampung kebutuhan masyarakat akan kebutuhan industri sektor jasa yang ke depan akan terus mengalami peningkatan. 1.2 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Keberadaan sinepleks dari tahun ke tahun terlihat semakin berkembang, tidak hanya di kota-kota besar namun juga mulai berkembang pula di berbagai kota kabupaten, hal ini terjadi sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang memberikan masa bebas pajak dengan cara mengembalikan pajak tontonan kepada pemilik bioskop Penyediaan sarana rekreasi ataupun sarana interaksi dalam ruang tertutup dalam hal ini gedung pertunjukan ataupun bioskop, dapat menjadikan sebuah contoh akan perubahan gaya hidup masyarakat yang makin berubah, diikuti akan tuntutan kebutuhan masyarkat akan sarana hiburan dan rekreasi semakin meningkat. Jika melihat data perkembangan penduduk Purwokerto yang makin bertambah yang diikuti juga pertumbuhan ekonomi yang makin membaik. Maka pentingnya keberadaan sarana rekreasi berupa gedung bioskop merupakan kebutuhan mendesak, apalagi jika melihat keberadaan sarana rekreasi ruang tertutup di kota ini amatlah kurang, terutama gedung bioskop, padahal masyarakat semakin haus akan sarana rekreasi, apalagi jika dibandingkan kualitas dan mutu yang ditawarkan begitu jauh dari standar yang layak dan menarik. Guna berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat akan sarana hiburan yang baik dan berkualitas menjadi prioritas utama. Ada hal lain yang juga tidak dapat dilepaskan dalam menciptakan sebuah desain yang menarik agar nantinya dapat menarik minat para pengunjung untuk datang ke tempat

7 tersebut agar menjadi ramai, selain menyediakan fungsi yang menarik tentunya. Keberhasilan ruang yang bersifat publik, salah satunya dapat diukur dari sejauh mana minat dan antusiasme masyarakat megujungi bioskop tersebut. Maka menciptakan sebuah desain yang menarik bagi pengunjung merupakan sebuah tuntutan yang sangat penting akan keberhasilan sebuah desain bioskop ke depan nantinya, agar menjadi daya tarik baru dan magnet baru di kota Purwokerto kedepan. Di dalam perancangan bioskop ini nantinya, akan didesain sebuah bioskop yang berhubungan dengan perangkat film sebagai ide desain, dengan mendekatkan diri dari hal tersebut diharapkan akan menghasilkan desain yang diharapkan tidak kaku dan mendapatkan bentuk yang lebih atraktif dan kreatif. Perangkat film yang akan diambil sebagai konsep desain yang akan dikembangkan nantinya adalah berupa roll film, yang kemudian akan diolah sedemikian rupa dalam mewujudkan perancangan desain. Perangkat film ini menjadi pilihan karena perangkat ini adalah bagian terpenting dan merupakan benang merah dalam menciptakan sebuah film sebagai hasil akhir sebuah film yang ditayangkan, sehingga ke depan dalam perancangan perangkat ini dapat diolah menjadi sebuah konsep desain yang menarik. 1.3 RUMUSAN PERMASALAHAN Bagaimana wujud rancangan Gedung Bioskop di Purwokerto yang menarik dan kreatif, dalam pengolahan tata ruang dan massa bangunan Arsitektur Metafora dengan roll film sebagai pendekatan perancangan? 1.4 TUJUAN DAN SASARAN a. Tujuan Tatanan ruang luar dan dalam bioskop yang berpengaruh pada image dan perasaan pengunjung berdasarkan gagasan desain Arsitektur Metafora sehingga menjadi tempat rekreasi yang menghibur bagi para pengunjung.

8 b. Sasaran 1. Wujud desain tatanan ruang luar-dalam yang sesuai dengan gagasan desain Arsitektur Metafora Roll Film. 2. Penataan ruang interior yang mendukung. 1.5 LINGKUP STUDI 1. Materi Studi Mewujudkan tatanan arsitektural ruang dalam dan ruang luar bioskop yang mendukung perangkat film berupa roll film serta mengarah ke Arsitektur Metafora. 2. Pendekatan Studi Menggunakan presenden gedung bioskop, serta studi literatur tentang Arsitektur Metafora yang memperkuat karakter bioskop tersebut. 1.6 METODE STUDI Pola Prosedural Arsitektur Metafora akan menjadi langkah awal dalam penalaran, serta studi tentang perangkat film yang berupa roll film, sehingga dalam desain gambar mengandung nilai-nilai yang mendukung fungsi bangunan yang akan memenuhi kebutuhan pengunjung akan hiburan. Tata Langkah : Sistematika Laporan Akhir BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pengadaan Proyek Latar Belakang Permasalahan Rumusan Permasalahan Tinjauan dan Sasaran Lingkup Studi Metode Studi

9 BAB II. TINJAUAN PROYEK Tinjauan Tentang Rekreasi Tinjauan Tentang Bioskop BAB III TINJAUAN WILAYAH Tinjauan Tentang Daerah Purwokerto BAB IV LANDASAN TEORITIKAL Definisi Arsitektur Metafora BAB V ANALISIS Analisis Programatik Analisis Penekanan Desain BAB VI KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN Konsep Programatik Konsep Penekanan Desain DAFTAR PUSTAKA Sumber-sumber literatur, baik dari internet maupun referensi buku. LAMPIRAN