BAB II PERMOHONAN SITA JAMINAN ATAS SEBIDANG TANAH YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN OLEH PIHAK KETIGA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) YANG BERSIFAT KHUSUS DAN UNDANG-

HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG

SEKITAR PENYITAAN. (Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

SKRIPSI Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Program Reguler Mandiri Universitas Andalas

BAB I PENDAHULUAN. begitu besar meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN

LEMBARAN-NEGARA Republik Indonesia No.42 Tahun 1996

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Perbankan merupakan lembaga yang bergerak di bidang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN SUKINO Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Riau

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Kekuatan Eksekutorial Hak Tanggungan dalam lelang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DALAM UU.NO.4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA- BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. E. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Tanggungan

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. hutang menggunakan kelembagaan jaminan hipotik, karena pada waktu itu hak

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

BAB 1 PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. PROSES PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN Oleh : Naomi Meriam Walewangko 2

PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN YANG OBYEKNYA TANAH DENGAN STATUS HAK GUNA BANGUNAN DI. PT. BRI (PERSERO) Tbk CABANG TEGAL

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN diberlakukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI SITA DALAM HUKUM PERDATA. Penyitaan berasal dari terminology beslag (Belanda), 17 dan istilah Indonesia

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN SITA JAMINAN ATAS BENDA BERGERAK PADA PENYELESAIAN PERKARA PERDATA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. A. Pemberian Hak Tanggungan dan Ruang Lingkupnya

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

SEKITAR PENYITAAN. Oleh A. Agus Bahauddin

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK Latar belakang

BAB I. Eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang

BAB I PENDAHULUAN. usaha dan pemenuhan kebutuhan taraf hidup. Maka dari itu anggota masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam. rangka upaya peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. yang diintrodusir oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang. Perdata. Dalam Pasal 51 UUPA ditentukan bahwa Hak Tanggungan dapat

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN DAPAT DITERIMANYA CONSERVATOIR BESLAG SEBAGAI PELAKSANAAN EKSEKUSI RIIL ATAS SENGKETA TANAH

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF. Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. Dasar Sebagai warga negara Indonesia di dalam sebuah negara hukum,

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

JENIS SITA. Sita Jaminan thdp barang milik Debitur/Tergugat (Conservatoir Beslag) Sita Jaminan thdp barang bergerak milik Penggugat :

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam rangka memelihara

BAB II TINJAUAN UMUM AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN, SERTIPIKAT HAK TANGGUNGAN DAN OVERMACHT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA. Jaminan Fidusia telah digunakan di Indonesia sudah sejak masa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur

Imma Indra Dewi Windajani

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

Mengenai Hak Tanggungan. Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

A. Pelaksaan Sita Jaminan Terhadap Benda Milik Debitur. yang berada ditangan tergugat meliputi :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM PENYITAAN. Penyitaan berasal dari terminologi Beslag (Belanda), dan didalam istilah bahasa indonesia

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR PENERIMA

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

B A B I P E N D A H U L U A N. Sebagaimana prinsip hukum perdata barat di dalam KUH Perdata tersebut, telah

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN PADA PT. BANK. MANDIRI (PERSERO) Tbk. BANDAR LAMPUNG. Disusun Oleh : Fika Mafda Mutiara, SH.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN KREDIT. dikembalikan oleh yang berutang. Begitu juga halnya dalam dunia perbankan

Transkripsi:

23 BAB II PERMOHONAN SITA JAMINAN ATAS SEBIDANG TANAH YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN OLEH PIHAK KETIGA A. Ketentuan-ketentuan Pokok Sita Jaminan 1. Pengertian dan Tujuan Sita Jaminan Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda), 28 dan istilah Indonesia beslah tetapi istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Pengertian yang terkandung di dalamnya ialah: a. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam keadaan penjagaan 29 (to take into custody the property of a defendant). b. Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official) berdasarkan perintah pengadilan atau hakim. c. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas pelunasan utang debitor atau tergugat, dengan jalan menjual lelang (executorial verkoop) barang yang disita tersebut. d. Penetapan dan penjagaan barang yang disita, berlangsung selama proses pemeriksaan, sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan itu. 28 Marianne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1999), hal. 49 29 Merriam Webster s Dictionary of Law, Merriam Webster Springfield, Massachusetts, 1996, hal. 451 23

24 Ada banyak jenis sita, namun secara umum dikenal dua jenis: a. Sita terhadap harta benda milik tergugat (conservatoir beslag) Sita ini dilakukan terhadap harta benda milik debitor. Kata conservatoir sendiri berasal dari conserveren yang berarti menyimpan, dan conservatoir beslag menyimpan hak seseorang. Maksud sita jaminan ini adalah agar terdapat suatu barang tertentu yang nantinya dapat dieksekusi sebagai pelunasan utang tergugat. Perihal sita conservatoir beslag ini diatur dalam pasal 227 (1) HIR, intisari dari ketentuannya adalah sebagai berikut : 30 1) Harus ada sangkaaan yang beralasan, bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau dilaksanakan mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang-barangnya; 2) Barang yang disita itu merupakan barang kepunyaan orang yang terkena sita, artinya bukan milik penggugat; 3) Permohonan diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan; 4) Permohonan harus diajukan dengan surat tertulis; 5) Sita conservatori dapat dilakukan atau diletakkan baik terhadap barang yang bergerak dan tidak bergerak. Sehubungan dengan ketentuan pasal 227 ayat (1) HIR, Mahkamah Agung dalam salah satu putusannya menyatakan bahwa conservatoir beslag yang diadakan bukan atas alasan-alasan yang disyaratkan dalam pasal dimaksud adalah tidak dibenarkan. 31 b. Sita terhadap harta benda milik penggugat sendiri 30 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, (Bandung : CV.Mandar Maju, 2002), hal. 100 31 Putusan Mahkamah Agung Nomor 597/K/Sip/1983 tanggal 8 Mei 1984, termuat dalam Yurisprudensi Indonesia 1984-I, hal. 165.

25 Berbeda dari conservatoir beslag, dikenal juga sita terhadap harta benda penggugat/pemohon sendiri yang ada dalam kekuasaan orang lain (termohon/tergugat). Sita jaminan ini bukanlah untuk menjamin suatu tagihan berupa uang, melainkan untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon. Sita ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu sita revindicatoir (Pasal 226 HIR / 260 RBg) dan sita marital (Pasal 823-823j Rv). Revindicatoir berarti mendapatkan, dan kata sita revindicatoir mengandung pengertian menyita untuk mendapatkan kembali (barang yang memang miliknya). Pihak yang berhak untuk mengajukan permohonan sita adalah: 1. Untuk pemohon sita revindicatoir: a. Pemilik benda bergerak yang barangnya berada di tangan orang lain; b. Pemegang hak reklame; 2. Untuk pemohon sita conservatoir adalah kreditor; 3. Untuk pemohon sita marital adalah istri. Di negara yang menganut tradisi common law, sita jaminan (security for costs) lebih sering diminta oleh tergugat. Artinya, jaminan berupa uang atau aset lain yang diserahkan oleh pengugat ke pengadilan yang dapat dipakai untuk mengganti biaya yang diderita oleh termohon jika ternyata permohonan tersebut tidak beralasan. Di Indonesia, instrumen ini dipakai dalam permohonan penetapan sementara. 32 Sesuai dengan Pasal 226 HIR / 260 RBg, untuk mengajukan permohonan sita revindicatoir, pemohon dapat langsung mengajukan permohonan, tanpa perlu ada hal. 178 32 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Yogyakarta : Liberty, 1998),

26 dugaan yang beralasan bahwa tergugat akan mencoba untuk menggelapkan atau melarikan barang yang bersangkutan selama proses persidangan. Sedangkan pada sita jaminan conservatoir, sesuai Pasal 227 HIR / 261 RBg, elemen dugaan yang beralasan, merupakan dasar pembenar utama dalam pemberian sita tersebut. Apabila penggugat tidak memiliki bukti kuat, maka sita jaminan tidak akan diberikan. Syarat ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan agar tidak diadakan penyitaan secara sembarangan, yang akhirnya hanya merupakan tindakan sia-sia yang tidak mengenai sasaran (vexatoir). Sehingga dalam sita ini, tersita harus didengar untuk mengetahui kebenaran dugaan tersebut. 2. Objek Yang Dapat Diletakkan Sita Jaminan Objek permohonan tergantung kepada jenis sita yang dimintakan, pada sita revindicatoir, maka yang dapat disita adalah benda bergerak yang merupakan milik pemohon (atau pemilik hak reklame). Pemohon sita revindicatoir tidak dapat memohon sita dijatuhkan terhadap benda tetap milik pemohon, karena pengalihan atau pengasingan benda tetap tidak semudah pengalihan benda bergerak, sehingga kecil sekali kemungkinan terjadi diasingkannya barang tetap tersebut. Pasal 226 (2) HIR menjelaskan bahwa dalam permohonan sita revindicatoir harus dijelaskan secara lengkap dan nyata, barang-barang yang dimintakan sita tersebut. Sedangkan pada sita conservatoir, yang dapat menjadi obyek sita adalah: 1. barang bergerak milik debitur 2. barang tetap milik debitur, dan

27 3. barang bergerak milik debitur yang berada di tangan orang lain (pihak ketiga). Penyitaan hanya dilakukan terhadap barang-barang yang nilainya diperkirakan tidak jauh melampaui nilai gugatan (nilai uang yang menjadi sengketa), sehingga nilai sita seimbang dengan yang digugat. Penyitaan juga dilakukan terlebih dulu atas benda-bergerak, dan baru diteruskan ke benda-benda tidak bergerak, jika menurut perkiraan nilai benda-benda tersebut tidak akan mencukupi. RV masih mengenal beberapa sita conservatoir lainnya yaitu : a. Sita conservatoir terhadap Kreditor Ada kemungkinannya bahwa Debitor mempunyai piutang kepada Kreditor. Jadi ada hubungan utang piutang timbal balik antara Kreditor dan Debitor. Dalam hubungan hutang timbal balik antara Debitor dan Kreditor ini, dimana Kreditor sekaligus juga Debitor dan Debitor sekaligus juga Kreditor, tidak jarang terjadi bahwa prestasinya tidak dapat dikompesasi, misalnya apabila tuntutan piutang Kreditor sudah dapat ditagih dari Debitor, sedang piutang Debitor belum dapat ditagih dari Kreditor atau apabila Kreditor mempunyai tagihan dalam bentuk uang sedangkan Debitor tagihannya berupa barang. Dalam hal ini maka Kreditor yang mengajukan gugatan dapat mengajukan permohonan sita conservatoir terhadap dirinya sendiri. Pada hakikatnya sita conservatoir ini tidak lain adalah sita conservatoir atas barang-barang yang ada di tangan pihak ketiga, hanya dalam hal ini pihak ketiga itu adalah Kreditor itu sendiri. b. Sita gadai

28 Sita gadai ini sebagai sita conservatoir hanya dapat diajukan berdasarkan tuntutan yang disebut dalam pasal 1139 sub 2 KUHPerdata dan dijalankan atas barangbarang yang disebut dalam pasal 1140 KUHPerdata. c. Sita conservatoir atas barang-barang Debitor yang tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia atau orang asing bukan penduduk Indonesia Rasio dari sita conservatoir ini ialah untuk melindungi penduduk Indonesia terhadap orang-orang asing bukan penduduk Indonesia, maka oleh karena itu berlaku juga dengan sendirinya bagi acara perdata di Pengadilan Negeri. d. Sita conservatoir atas pesawat terbang Pada asasnya semua barang bergerak maupun tetap milik Debitor menjadi tanggungan untuk segala perikatan yang bersifat perorangan, dan semua hak-hak atas harta kekayaan dapat diuangkan untuk memenuhi tagihan, sehingga dengan demikian dapat disita. Akan tetapi tentang hal ini ada pengecualiannya. Ada bagian-bagian dari harta kekayaaan yang tidak dapat disita dan ada yang dibebaskan dari penyitaan. Yang tidak dapat disita terutama adalah hak-hak perorangan. Hak untuk mendapat ganti kerugian dalam hubungan perburuhanpun tidak boleh disita untuk menjalankan putusan hakim. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara berbunyi Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap : b. Uang atau surat berharga milik Negara/Daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga

29 c. Uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada Negara/Daerah d. Barang bergerak milik Negara/Daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga e. Barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik Negara/Daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas Pemerintahan B. Ketentuan-ketentuan Pokok Hak Tanggungan 1. Pengertian Hak Tanggungan Pada tanggal 9 April 1996 diresmikanlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah, undang-undang ini kemudian disebut Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT). Dengan lahirnya UUHT yang mengatur lembaga Hak Tanggungan ini melahirkan satu unifikasi hukum tanah nasional yang mengatur mengenai tanah, yang kelahirannya sekaligus menggantikan Hypotheek atas hak atas tanah dan Credietverband. Oleh karena itu, ketentuan mengenai Credietverband dan Hypotheek sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. 33 Sesuai dengan Pasal 57 UUPA 34 maka dikatakan hipotik dan Credietverband hanya bersifat temporer selama UUHT yang diperintahkan Pasal 51 UUPA belum 33 Pasal 29 UUHT, yang berisi: Dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan mengenai mengenai Credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staatsblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 jo. Staatsblad 1937-191 dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. 34 Selama undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam Pasal 51 belum terbentuk maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam Staatblad 1908 No.542 sebagai yang telah diubah dengan Staatblad 1937 No.190. (Tim Pustaka Yustia, Pokok-Pokok Hukum Agraria, (Yogyakarta : Penerbit Pustaka Yustia, 2007), hal.34)

30 diterbitkan, dimana hipotik adalah untuk tanah-tanah yang tunduk kepada KUHPerdata sedangkan Credietverband untuk tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat. 35 Kelahiran Hak Tanggungan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) dan UUHT diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan lembaga perbankan sebagai upaya mengamankan kredit yang disalurkan kepada masyarakat. Berkembangnya Hak Tanggungan selaras dengan tuntutan kemajuan hukum masyarakat dalam menjamin hak atas tanah. Artinya pada saat dibicarakan tentang perkembangan ekonomi bangsa tentunya bilamana kemajuan ekonomi dikehendaki berkembang maka Hak Tanggungan sangat dibutuhkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam memenuhi modal dengan benda tak bergerak sebagai agunannya. Dengan adanya jaminan maka fasilitas penambahan modal kerja akan mudah diperoleh dengan kredit. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan: Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Oleh karena itu, agar lembaga jaminan ini berkembang sesuai dengan harapan masing-masing pihak, diperlukan ketentuan-ketentuan Hak Tanggungan yang tegas, mandiri dan konsisten. Hukum Jaminan sejak diundangkannya UUHT bukan saja mempengaruhi Hukum Jaminan yang pernah dikenal dan berlaku di Indonesia, namun juga 35 A.P.Parlindungan, Menjawab Masalah Pertanahan Secara Tepat dan Tuntas (Bandung : Mandar Maju, 1992), hal. 12

31 mempengaruhi bagaimana dunia ekonomi luar ingin menanamkan investasinya khususnya yang berkaitan dengan dunia properti atau konstruksi dengan menginvestasikan modalnya pada hak-hak atas tanah. Sistem hukum jaminan terbagi dalam dua bagian yakni sistem hukum jaminan perorangan dan sistem hukum jaminan kebendaan. 36 Jaminan yang paling sering digunakan oleh kreditor (bank) adalah jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi 5 macam yaitu: 1. Gadai (pand), yang diatur di dalam Bab 20 Buku II KUHPerdata; 2. Hipotek, yang diatur di dalam Bab 21 Buku II KUHPerdata; 3. Credietverband, yang diatur di dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staatsblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 jo. Staatsblad 1937-191; 4. Hak Tanggungan, sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996; 5. Jaminan Fidusia, sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999. 37 Dari kelima macam jaminan kebendaan di atas salah satu jenis jaminan kebendaan adalah hak tanggungan. Saat ini hak tanggungan adalah lembaga hak jaminan atas tanah yang diatur dalam UUHT, yang berarti pembebanan hak atas tanah yang menggunakan lembaga hipotek dan credietverband sudah tidak berlaku lagi karena telah dicabut dengan UUHT. 38 Sutan Remy Sjahdeini memberikan pengertian tentang hak tanggungan adalah salah satu jenis dari hak jaminan di samping hipotik, gadai dan fidusia. Hak jaminan 36 Kartono, Hak-hak Jaminan Kredit (Jakarta : Pradnya Paramita, 1977), hal. 5 37 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 24-25 38 Ibid., hal. 25

32 dimaksudkan untuk menjamin utang seorang debitor yang memberikan hak utama kepada seorang kreditor tertentu yaitu pemegang hak jaminan itu untuk didahulukan terhadap kreditor-kreditor lain apabila debitor cidera janji. 39 Dari definisi mengenai hak tanggungan di atas dapat diketahui bahwa hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Sudah tentu kreditor tertentu yang dimaksudkan adalah kreditor yang memperoleh atau yang menjadi pemegang hak tanggungan tersebut. UUHT sendiri memberikan definisi Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, di dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, sebagai berikut: Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor yang lain. Terdapat beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan yang termuat di dalam definisi tersebut yakni: 1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang; 2. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA; 39 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 4-5

33 3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas hak atas tanah saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. 4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu. 5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. 40 Mengenai apa yang dimaksudkan dengan pengertian kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain tidak dijumpai dalam Penjelasan dari Pasal 1 ayat (1) UUHT tersebut, tetapi dijumpai di bagian lain, yaitu di dalam angka 4 Penjelasan Umum UUHT. Dalam Penjelasan Umum tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain ialah bahwa jika debitor cidera janji, kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. 41 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bagi pemegang hak tanggungan diberikan kedudukan yang diutamakan daripada kreditor-kreditor lain dan jika debitor cidera janji, kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan 40 Ibid., hal. 11 41 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia-Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah (Jakarta : Djambatan, 2006), hal. 177

34 perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditorkreditor yang lain tetapi harus mengalah terhadap piutang-piutang negara. Dengan kata lain, hak negara lebih utama dari kreditor pemegang hak tanggungan. Pengadaan hak-hak jaminan oleh undang-undang adalah untuk memberikan kedudukan bagi seorang kreditor tertentu untuk didahulukan terhadap kreditorkreditor lain. Itu pulalah tujuan dari eksistensi hak tanggungan yang diatur UUHT. Dalam Pasal 51 UUPA, sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan, sebagai pengganti lembaga Hypotheek dan Credietverband. 42 Dari penjelasan di atas dapat dimengerti bahwa istilah hak tanggungan sebagai hak jaminan, dilahirkan oleh UUPA. Selama 30 tahun lebih sejak mulai berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, lembaga Hak Tanggungan di atas belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya, karena belum adanya undang-undang yang mengaturnya secara lengkap, sesuai yang dikehendaki oleh ketentuan Pasal 51 Undang-Undang tersebut. Dalam kurun waktu itu, berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam Pasal 57 UUPA, sehubungan dengan jaminan tanah diberlakukan ketentuan Hypotheek sebagaimana dimaksud dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan ketentuan Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, sepanjang mengenai hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam atau berdasarkan UUPA. Hak tanggungan yang diatur dalam undang-undang ini pada dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun kenyataannya 42 Penjelasan Umum Undang-Undang Hak Tanggungan

35 seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman, dan hasil karya, yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan tersebut. Sebagaimana diketahui hukum tanah nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan horisontal. Sehubungan dengan itu, maka dalam kaitannya dengan bangunan, tanaman, dan hasil karya tersebut, hukum tanah nasional menggunakan juga asas pemisahan horisontal. Dalam rangka asas pemisahan horisontal, benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah menurut hukum bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Oleh karena hukum tanah nasional didasarkan pada hukum adat, maka sudah tentu UUHT harus berdasarkan hukum adat yang menganut asas pemisahan horisontal. Hal ini juga sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (4) UUHT. Namun demikian penerapan asas-asas hukum adat tidaklah mutlak, melainkan selalu memperhatikan dan disesuaikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat yang dihadapinya. Atas dasar kenyataan sifat hukum adat itu, dalam rangka asas pemisahan horisontal tersebut, dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa pembebanan hak tanggungan atas tanah, dimungkinkan pula meliputi benda-benda sebagaimana dimaksud di atas. Hal tersebut telah dilakukan dan dibenarkan oleh hukum dalam praktik, sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan dan keikutsertaannya

36 dijadikan jaminan dengan tegas dinyatakan oleh pihak-pihak dalam akta pemberian hak tanggungannya. Bangunan, tanaman, dan hasil karya yang ikut dijadikan jaminan itu tidak terbatas pada yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, melainkan dapat juga meliputi yang dimiliki pihak lain. Sedangkan bangunan yang menggunakan ruang bawah tanah, yang secara fisik tidak ada hubungannya dengan bangunan yang ada di atas permukaan bumi di atasnya, tidak termasuk dalam pengaturan ketentuan mengenai hak tanggungan menurut undang-undang ini. Hak tanggungan adalah merupakan hak jaminan. Di dalam seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta, dari tanggal 20 sampai dengan 30 Juli 1977 disimpulkan pengertian jaminan. Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Oleh karena itu hukum jaminan erat sekali dengan hukum benda. 43 Konstruksi jaminan dalam definisi ini memiliki kesamaan dengan yang dikemukakan Hartono Hadisoeprapto dan M. Bahsan dimana Hartono Hadisoeprapto berpendapat bahwa jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan. 44 43 Salim HS, op.cit., hal. 22 44 Ibid.

37 Istilah yang digunakan oleh M. Bahsan, jaminan adalah segala sesuatu yang di terima kreditor dan diserahkan debitor untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat. 45 Dengan demikian secara sistematik, sistem hukum jaminan kebendaan merupakan sub sistem dari hukum benda. Sistem Hukum Jaminan Kebendaan meliputi jaminan gadai (pand), hipotik, hak tanggungan dan jaminan fidusia. Dapat disimpulkan bahwa jaminan hak tanggungan merupakan bagian dari hukum jaminan kebendaan merupakan sub sistem hukum jaminan. Tanpa menetapkan suatu sistem hukum benda terlebih dahulu, bangunan hukum jaminan nasional tidak akan jelas dan undang-undang yang diciptakan sebagai bagian dari hukum jaminan itu akan berdiri sendiri. Konsekuensi yang dikhawatirkan adalah undang-undang itu akan bercerai berai atau tidak berkaitan satu dengan lainnya. 46 2. Asas-asas Hak Tanggungan Adapun asas-asas Hak Tanggungan dalam UUHT adalah sebagai berikut: 1. Mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan atau disebut droit de preference (Pasal 1 ayat (1)); 2. Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1)); 3. Hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada (Pasal 8 ayat (2)); 4. Dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut (Pasal 4 ayat (4)); 5. Dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari (Pasal 4 ayat (4)) dengan syarat diperjanjikan tegas; 6. Sifat perjanjiannya adalah tambahan (accessoir) (Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1)); 45 M. Bahsan, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta : Rejeki Agung, 2002), hal. 27 46 Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia-Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung : Alumni, 2006), hal. 156

38 7. Dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada (Pasal 3 ayat (1)); 8. Dapat menjamin lebih dari satu utang (Pasal 3 ayat (2)); 9. Mengikuti objek dalam tangan siapapun objek itu berada atau droit de suite (Pasal 7); 10. Hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (Pasal 8, Pasal 11 ayat (1)); 11. Wajib didaftarkan (Pasal 13); 12. Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti; 13. Dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu (Pasal 11 ayat (2)). 47 Di samping itu, dalam UUHT ditentukan juga suatu asas bahwa objek hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki oleh pemegang hak tanggungan bila pemberi hak tanggungan cidera janji. Apabila hal itu dicantumkan, maka perjanjian seperti itu batal demi hukum, artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada karena bertentangan dengan substansi UUHT. 48 3. Pemberi dan Penerima Hak Tanggungan a. Pemberi Hak Tanggungan Menurut ketentuan Pasal 8 UUHT, pemberi Hak Tanggungan bisa orang perseorangan, bisa juga badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap benda yang dijadikan objek Hak Tanggungan. Umumnya pemberi Hak Tanggungan adalah Debitor sendiri. Tetapi dimungkinkan juga pihak lain, jika benda yang dijadikan jaminan bukan milik Debitor. Bisa juga Debitor bersama pihak lainnya, jika yang dijadikan jaminan lebih dari satu, masingmasing kepunyaan Debitor dan pihak lain atau bersama. Juga mungkin bangunan milik suatu Perseroan Terbatas, sedang tanah milik Direkturnya. 47 Salim, H.S., op.cit., hal. 102-103 48 Salim, H.S., Ibid, hal. 103

39 Kewenangan pemberi Hak Tanggungan itu harus ada dan terbukti benar pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan, yaitu pada tanggal dibuatnya buku tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan, yang menentukan saat diterbitkannya Hak Tanggungan yang dibebankan. Tetapi sebenarnya kewenangan itu juga harus sudah ada pada waktu diberikan Hak Tanggungan dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Hak Tanggungan (PPAT), biarpun tidak selalu wajib dibuktikan dengan sertifikat hak atas tanah yang dijadikan jaminan, kalau tanah yang bersangkutan memang belum didaftar. Kalau tanahnya belum didaftar, kewenangan pemberi Hak Tanggungan dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti lain, misalnya surat keterangan waris atau akta pemindahan hak, yang dapat memberikan keyakinan kepada PPAT yang membuat APHT-nya bahwa pemberi Hak Tanggungan memang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan. Pada pokoknya pemberian hak tanggungan adalah perjanjian kebendaan yang terdiri dari rangkaian perbuatan hukum dari Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) sampai dilakukan pendaftaran dengan mendapatkan sertipikat Hak Tanggungan dari Kantor Pertanahan yang diawali dengan proses membuat perjanjian kredit, pembuatan APHT dan diakhiri dengan pendaftaran APHT dikantor Pertanahan. 49 b. Penerima Hak Tanggungan. 49 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Jakarta : Alfabeta, 2005), hal.167

40 Tidak ada persyaratan khusus bagi Penerima Hak Tanggungan. Ia bisa orang perorangan, bisa badan hukum. Bisa orang asing, bisa juga badan hukum asing, baik yang berkedudukan di Indonesia atau pun di luar negeri, sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 9 dan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UUHT). 50 Setelah dibuatnya APHT, Kreditor berkedudukan sebagai penerima Hak Tanggungan. Setelah dilakukan pembukuan Hak Tanggungan yang bersangkutan dalam Buku-tanah Hak Tanggungan, penerima Hak Tanggungan menjadi pemegang Hak Tanggungan. 3. Berakhirnya Hak Tanggungan dan Pencoretan a. Berakhirnya Hak Tanggungan Sebab-sebab berakhirnya Hak Tanggungan ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) UUHT. Menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT tersebut, Hak Tanggungan berakhir karena hal sebagai berikut : 1. Berakhirnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan; 2. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan; 3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; 50 Ketentuan ini sejalan dengan tujuan diterbitkannya UUHT, sebagaimana dinyatakan dalam Konsiderans dan Penjelasan Umum yaitu bahwa dengan bertambah meningkatnya pembangunan nasional dibutuhkan penyediaan dana, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan, diperlukan adanya lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihakpihak yang berkepentingan. Maka dana yang diperoleh dari luar negeri pun harus dipergunakan bagi pembangunan nasional, apabila dikehendaki memperoleh jaminan dengan lembaga yang dimaksudkan. Lihat Subekti, op. cit., hal. 89

41 4. Berakhirnya hak atas tanah yang dibebaskan Hak Tanggungan. Dari ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUHT tersebut dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan dapat sengaja diakhiri dan dapat pula berakhir karena hukum. Hak Tanggungan dapat berakhir karena dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan atau karena dilakukan pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri. Sedangkan Hak Tanggungan dapat berakhir karena hukum, karena berakhirnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan dan karena berakhirnya hak atas tanah yang dibebankan Hak Tanggungan. Oleh karena Hak Tanggungan merupakan jaminan utang yang pembebanannya adalah untuk kepentingan kreditor (pemegang Hak Tanggungan), maka Hak Tanggungan hanya dapat diakhiri oleh kreditor (pemegang Hak Tanggungan) sendiri sedangkan pemberi Hak Tanggungan tidak mungkin dapat membebaskan Hak Tanggungan itu. Sesuai dengan sifat Hak Tanggungan yang accessoir, adanya Hak Tanggungan bergantung kepada adanya piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu. Oleh karena itu, apabila piutang itu berakhir karena pelunasan atau karena sebab-sebab lainnya dengan sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan menjadi berakhir juga. Berakhirnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri adalah berkaitan

42 dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUHT. Menurut Pasal 19 ayat (1) dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli sukarela, dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian. Mengenai berakhirnya Hak Tanggungan karena berakhirnya hak atas tanah yang dibebankan Hak Tanggungan adalah logis, karena keberadaan suatu Hak Tanggungan hanya mungkin bila telah atau masih ada objek yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu. 51 Objek dari Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah negara. Karena itu Hak Tanggungan akan berakhir apabila hak-hak atas tanah itu berakhir. Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Hak Tanggungan dapat dengan sengaja diakhiri, baik atas kehendak dari pemegang Hak Tanggungan itu sendiri maupun karena pembersihan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Berakhirnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai diakhirinya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan (Pasal 18 ayat (2) UUHT). b. Pencoretan Hak Tanggungan 51 Ibid

43 Pencoretan pendaftaran Hak Tanggungan adalah suatu perbuatan perdata yang mengikuti hapusnya Hak Tanggungan. Dalam rumusan Pasal 22 ayat (1) UUHT jelas dikatakan: Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku-tanah hak atas tanah dan sertifikatnya. Pencoretan pendaftaran Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan atau tanpa pengembalian Sertifikat Hak Tanggungan yang telah dikeluarkan. 52 Dalam hal serftifikat Hak Tanggungan tidak dikembalikan, maka hal tersebut harus dicatat dalam Buku Tanah Hak Tanggungan. Ini berarti sejalan dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUHT, yaitu: Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertipikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku-tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan. C. Prosedur Permohonan Sita Jaminan Terhadap Tanah Yang Telah Dibebani Hak Tanggungan Oleh Pihak Ketiga 1. Proses Pengajuan Permohonan Sita Jaminan Adapun mengenai proses permohonan sita jaminan adalah dilakukan dengan: a. Permohonan sita jaminan dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan, dimana permohonan sita jaminan menjadi bagian dari pokok gugatan. Permohonan sita jaminan tidak boleh berdiri sendiri tanpa ada perkara pokok namun perkara pokok bisa ada tanpa sita jaminan. Permohonan sita jaminan itu biasanya dicantumkan pada bagian akhir fundamentum petendi (tuntutan). 52 Kartini Muljadi dan Widjaja, Hak Tanggungan (Jakarta : Kencana, 2005), hal. 273

44 b. Permohonan sita jaminan dapat diajukan tersendiri asalkan didahului oleh adanya gugatan pokok sebagai landasannya. c. Permohonan sita jaminan dapat diajukan selama proses persidangan berlangsung pada semua tingkat pengadilan. Bentuk permohonan sita dapat dilakukan dengan cara lisan (oral) maupun tertulis. 53 Permintaan sita dalam bentuk lisan (oral) dapat dilakukan sesuai dengan prinsip yang dianut HIR/RBg bahwa jalannya proses pemeriksaan di persidangan adalah beracara secara lisan (mondelinge procedure). Sehubungan dengan itu, undang-undang membenarkan permohonan sita secara lisan di depan persidangan. Apabila permohonan sita diajukan dengan lisan, permintaan itu dicatat dalam berita acara sidang, dan berdasarkan permintaan itulah hakim mengeluarkan perintah sita apabila permohonan dianggap mempunyai dasar alasan yang cukup. Dalam bentuk tertulis, bentuk ini dianggap paling tepat karena memenuhi administrasi yustisial yang lebih baik. Itu sebabnya Pasal 227 ayat (1) HIR / 261 ayat (1) RBg menghendaki agar sita diajukan dalam bentuk tertulis berupa surat permintaan: a. Permintaan disatukan dengan surat gugatan Permintaan sita dapat diajukan bersama-sama dengan surat gugatan. Dicantumkan pada bagian akhir uraian dalil dan peristiwa gugatan, sehingga penempatannya dalam gugatan dikemukakan sebelum petitum gugatan. Praktik yang seperti itu 53 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hal. 288

45 yang banyak diterapkan, sedang mengenai permintaan pernyataan sah dan berharga, diajukan pada Petitum kedua gugatan. Menyatukan permintaan sita sekaligus dalam gugatan secara teoretis sangat tepat bila dikaitkan dengan fungsi sita sebagai gugatan yang bersifat acessoir dengan pokok perkara pada satu sisi maupun dari segi tujuan permintaan sita sebagai upaya menghindari gugatan mengalami illusoir pada sisi lain. Apalagi ditinjau dari prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, bentuk permohonan sita yang disatukan dengan gugatan, dianggap efektif dan efisien. b. Diajukan dalam surat tersendiri Cara ini dijelaskan dalam Pasal 227 ayat (1) HIR / 261 ayat (1) RBg, yang membolehkan pengajuan sita dilakukan secara terpisah dari pokok perkara. 54 Berarti permohonan sita, diajukan tersendiri di samping gugatan pokok perkara. Penyitaan merupakan hukuman dan perampasan harta kekayaan tergugat sebelum putusan berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, penyitaan sebagai tindakan exceptional harus benar-benar dilakukan secara cermat berdasarkan alasan yang kuat. Pasal 227 HIR / 261 RBg atau Pasal 720 Rv memperingatkan hal itu, agar Penggugat dalam pengajuan sita menunjukkan kepada hakim sejauh mana isi dan dasar gugatan dihubungkan dengan relevansi dan urgensi penyitaan dalam perkara yang bersangkutan. Menurut Pasal 227 HIR / 261 RBg maupun Pasal 720 Rv, alasan pokok 54 Subekti, Hukum Acara Perdata (Bandung : Bina Cipta, 1977), hal. 49

46 permintaan sita adalah: a. Ada kekhawatiran atau persangkaan bahwa tergugat mencari akal untuk menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya dan hal itu akan dilakukannya selama proses pemeriksaan perkara berlangsung. b. Kekhawatiran atau persangkaan itu harus nyata dan beralasan secara objektif. Dimana penggugat harus dapat menunjukkan fakta tentang adanya langkahlangkah tergugat untuk menggelapkan atau mengasingkan hartanya selama proses pemeriksaan berlangsung, atau setidaknya penggugat dapat menunjukkan indikasi objektif tentang adanya daya upaya tergugat untuk menghilangkan atau mengasingkan barang-barangnya guna menghindari gugatan. c. Sedemikian rupa eratnya isi gugatan dengan penyitaan, yang apabila penyitaan tidak dilakukan dan tergugat menggelapkan harta kekayaan, mengakibatkan kerugian kepada penggugat. Jika isi pokok gugatan tidak erat kaitannya dengan penyitaan, sehingga tanpa penyitaan diperkirakan tidak menimbulkan kerugian kepada Penggugat, maka penyitaan dianggap tidak mempunyai dasar alasan yang kuat. Permintaan sita dapat diajukan sepanjang pemeriksaan sidang. Sebagaimana penegasan Putusan Mahkamah Agung Nomor 371K/Pdt/1984 55 yang mengatakan, meskipun sita jaminan tidak tercantum dalam gugatan maupun dalam Petitum gugatan, dan baru diajukan belakangan dalam surat tersendiri, jauh setelah gugatan 55 Tanggal 15-5-1985, jo. PT Jakarta Nomor 75/1983, 28-5-1983, jo. PN Jakarta Nomor 123/1982, 7-8-1982.

47 didaftarkan, cara yang demikian tidak bertentangan dengan tata tertib beracara, karena undang-undang membolehkan pengajuan sita jaminan dapat dilakukan permintaannya sepanjang proses persidangan berlangsung. Oleh karena itu, pengabulan sita dalam kasus yang seperti itu tidak bertentangan dengan ultra petitum partium yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR / 189 ayat (3) RBg. Memperhatikan putusan di atas dihubungkan dengan ketentuan Pasal 227 ayat (1) HIR / 261 ayat (1) RBg, dapat dikemukakan acuan penerapan pengajuan permintaan sita, yaitu: a. Selama Belum Dijatuhkan Putusan pada Tingkat Peradilan Pertama. Selama proses pemeriksaan pada tingkat peradilan pertama di PN, Penggugat dapat dan dibenarkan mengajukan permintaan sita. Ketentuan batas waktu ini, secara tersurat disebut dalam Pasal 227 ayat (1) HIR / 261 ayat (1) RBg yang mengatakan, sita terhadap harta kekayaan tergugat (debitor) dapat diminta selama belum dijatuhkan putusan atas perkara tersebut. Bahkan seperti yang dijelaskan terdahulu, permintaan sita dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan melalui cara mencantumkan permintaan itu dalam gugatan yang bersangkutan. Bertitik tolak dari cara yang demikian, pada dasarnya permintaan sita dapat diajukan sejak saat penyampaian gugatan, hingga PN menjatuhkan putusan. Dengan kata lain, sejak perkara diregistrasi di kepaniteraan, sita dapat diminta, baik hal itu dikemukakan dalam gugatan atau dengan surat permintaan yang berdiri sendiri. b. Dapat Diajukan Selama Putusan Belum Dieksekusi. Ketentuan ini dinyatakan dalam Pasal 227 ayat (1) HIR / 261 ayat (1) RBg yang

48 berbunyi: Selama putusan yang mengalahkannya belum dijalankan eksekusinya. Dengan demikian baik selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap atau selama putusan belum dieksekusi, Penggugat dapat mengajukan permintaan sita atas harta kekayaan tergugat. Memperhatikan ketentuan ini, permintaan sita tidak hanya dapat diajukan selama pemeriksaan perkara pada tingkat pertama di PN, tetapi juga dapat diajukan dalam semua tingkat pemeriksaan, selama berlangsung pemeriksaan tingkat banding di PT atau selama proses pemeriksaan berlangsung pada tingkat kasasi di MA. Terdapat kemungkinan adanya urgensi meminta sita pada saat proses pemeriksaan di tingkat banding atau kasasi, yaitu apabila selama proses pemeriksaan pada tingkat pertama di PN, penggugat tidak mengajukan permintaan sita. Baru setelah pemeriksaan di tingkat banding penggugat sadar perlu diletakkan sita terhadap harta kekayaan tergugat, untuk menghindari terjadinya penggelapan harta itu oleh tergugat. Atau baik pada tingkat pertama maupun pada tingkat banding, penggugat tidak meminta penyitaan, baru sadar betapa pentingnya penyitaan setelah pemeriksaan berlangsung pada tingkat kasasi. Dalam kasus yang seperti itulah timbul urgensi mengajukan sita pada tingkat banding atau kasasi. Atau permintaan sita menjadi urgen pada tingkat banding atau kasasi, apabila permintaan sita yang diajukan pada tingkat pertama ditolak oleh Pengadilan Negeri. Ketentuan sita jaminan terdapat pada Pasal 227 HIR / 261 RBg yang menyatakan: Jika terdapat persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berutang, selagi belum dijatuhkan keputusan atasnya, atau selagi putusan yang

49 mengalahkannya belum dapat dijalankan, mencari akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap maupun yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang-barang itu dari penagih utang, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan Ketua Pengadilan Negeri dapat memberi perintah, dilakukan sita terhadap barang tersebut untuk menjaga hak pihak yang memasukkan permintaan itu dan kepada pihak pemohon sita harus menghadap ke persidangan Pengadilan Negeri yang pertama untuk kemudian memajukan dan menguatkan gugatannya. Di dalam menjawab permasalahan pertama dari penelitian ini, apa yang menjadi dasar hukum bagi pihak ketiga mengajukan permohonan sita, terlebih dahulu harus dipahami tujuan dari dikeluarkannya perintah sita jaminan. Pada pasal tersebut jelas tertulis tujuannya adalah...untuk menjaga hak pihak/orang yang memasukkan permintaan. Siapakah pihak dan apa hak yang dimaksudkan di atas? Pihak yang dimaksudkan ketentuan pasal tersebut adalah pihak yang memiliki piutang (Kreditor) terhadap pihak yang dimintakan sita jaminan. Sedangkan Hak yang dimaksudkan pada pasal tersebut adalah Hak Kreditor, baik sebagai Kreditor biasa ataupun Kreditor yang diistimewakan. Untuk memahami Hak tersebut maka kita harus melihat ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, setiap Kreditor mempunyai hak jaminan atas piutangnya berupa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari. Jaminan berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut bersifat umum, berlaku untuk seluruh Kreditor. Sedangkan Pasal 1132 KUHPerdata, menyatakan diperbolehkannya hak jaminan yang bersifat istimewa dan didahulukan, misalnya

50 dalam bentuk Hak Tanggungan, yang dahulu dikenal dengan Hipotik. Dengan demikian jelaslah, bahwa setiap Kreditor memiliki hak jaminan atas piutangnya, baik yang berupa jaminan umum ataupun dapat pula jaminan yang bersifat istimewa dan didahulukan. 56 Kembali kepada tujuan dari sita jaminan yang sudah kita bahas di atas. Tujuan sita jaminan adalah untuk...menjaga hak bukan menciptakan atau memberikan hak baru. Dengan demikian, oleh karena keseluruhan harta Debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada adalah jaminan untuk keseluruhan Kreditor, maka setiap Kreditor berhak untuk mengajukan permohonan sita jaminan atas keseluruhan harta Debitor baik yang telah dijaminkan secara istimewa dan didahulukan ataupun tidak. 57 Dengan demikian, seorang Kreditor yang tidak memiliki jaminan istimewa dan didahulukan, tetap dapat mengajukan permohonan sita jaminan atas harta Debitor, baik yang telah dijaminkan secara istimewa dan didahulukan kepada pihak lain (Bank) ataupun tidak. Selanjutnya, apabila permohonan sita tersebut dikabulkan oleh pengadilan melalui penetapan sita jaminan, maka hal tersebut tetap tidak merubah kedudukan Kreditor tersebut terhadap benda yang disitajaminankan. 56 Mahawisnu Alam, Jaminan & Penagihan Hutang Sita Jaminan, http://www.hukumonline.com/klinik_detail.asp?id=3022, diakses tanggal 10 April 2009. 57 Ibid.