Mazhab menurut bahasa: isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I ânah ath- Thalibin, I/12).

dokumen-dokumen yang mirip
Etimologis: berasal dari jahada mengerahkan segenap kemampuan (satu akar kata dgn jihad)

BAB IV YANG BERHUTANG. dibedakan berdasarkan waktu dan tempat. Fatwa fatwa yang dikeluarkan oleh

studipemikiranislam.wordpress.com RUANG LINGKUP AJARAN ISLAM

KAIDAH FIQHIYAH. Pendahuluan

TINJAUAN UMUM Tentang HUKUM ISLAM SYARIAH, FIKIH, DAN USHUL FIKIH. Dr. Marzuki, M.Ag. PKnH-FIS-UNY 2015

Biografi Singkat Empat Iman Besar dalam Dunia Islam

BOLEHKAH MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI DENGAN UANG?

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG

Bayar Fidyah FIDYAH DIBAYAR SEKALIGUS DAN FIDYAH DENGAN UANG

STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM

BAB II TINJAUAN UMUM IMAM MALIK BIN ANAS. Beliau dilahirkan di kota Madinah, suatu daerah di negeri Hijaz tahun 93

MADZHAB SYAFI I. Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Ilmu Fiqh Dosen: Kurnia Muhajarah,M.S.I

Sebab-sebab Terjadinya Oleh: Reza Ahmad Zahid SEBAB-SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN MA HAB. Oleh: Reza Ahmad Zahid *

IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI

Hubungan Hadis dan Al-Quran Dr. M. Quraish Shihab

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 24 Tahun 2012 Tentang PEMANFAATAN BEKICOT UNTUK KEPENTINGAN NON-PANGAN

PEMBENTUKAN MADZHAB-MADZHAB FIQH

Mazhab Fikih. Oleh : Heri Ruslan. Perbedaan pendapat ( di kalangan ) umatku adalah rahmat. ( HR Al-Baihaqi )

FIQHUL IKHTILAF (MEMAHAMI DAN MENYIKAPI PERBEDAAN DAN PERSELISIHAN) Oleh : Ahmad Mudzoffar Jufri

Gambar Persentase Jenis Kelamin Responden

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI

MATERI I PENGANTAR USHUL FIQH TIM KADERISASI

BAB I PENDAHULUAN. tidak mau seorang manusia haruslah berinteraksi dengan yang lain. Agar kebutuhan

Landasan Sosial Normatif dan Filosofis Akhlak Manusia

Hukum Berkabung Atas Kematian Raja dan Pemimpin

BAGAIMANA MEMILIH PENDAPAT DALAM BERAGAMA LIQA 23 JUNE Oleh Erwin Mazwardi

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SHAFI I TERHADAP. A. Komparasi Pendapat Imam Malik dan Imam Shafi i terhadap Ucapan

Pendidikan Agama Islam

HUKUM MENGENAKAN SANDAL DI PEKUBURAN

Definisi Khutbah Jumat

Menggapai Ridha Allah dengan Birrul Wâlidain. Oleh: Muhsin Hariyanto

Membaca Sebagian Al-Quran Dalam Khutbah Jum'at

BAB I PENDAHULUAN. Imam Ahmad bin Hanbal merupakan salah satu dari tokoh madzab dalam Agama

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

INTENSIFIKASI PELAKSANAAN ZAKAT FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG

BAB IV KUALITAS MUFASIR DAN PENAFSIRAN TABARRUJ. DALAM SURAT al-ahzab AYAT 33

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. seluruh alam, dimana didalamnya telah di tetapkan ajaran-ajaran yang sesuai

Berpegang kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan tidak bertaqlid kepada seseorang

BAB IV ANALISIS DATA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMIMPIN. 1) Mengetahui atau mengepalai, 2) Memenangkan paling banyak, 3)

Lahirnya ini disebabkan munculnya perbedaan pendapat

Persatuan Islam dalam Perspektif Imam Shadiq

RISALAH KEDUDUKAN AL- ADAH WA AL- URF DALAM BANGUNAN HUKUM ISLAM

Pendidikan Agama Islam

MADZHAB DAN FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERBEDAAN

BAB IV ANALISIS PENDAPAT YUSUF QARDHAWI TENTANG ZAKAT INVESTASI

Adab Membaca Al-Quran, Membaca Sayyidina dalam Shalat, Menjelaskan Hadis dengan Al-Quran

DIPLOMA PENGAJIAN ISLAM. WD4013 USUL FIQH (Minggu 1)

Proposal Ke-11 Permintaan Opini Dewan Pengawas Syariah (DPS) Tentang Pengolahan Daging Qurban Menjadi Sosis atau Kornet

Homaidi Hamid, S. Ag., M.Ag. Ushul Fiqh

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PERSYARATAN TEKNIS DAN SANKSI HUKUM MODIFIKASI KENDARAAN BERMOTOR YANG

SUNNAH SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM

Sekretariat : Gedung MUI Lt.3 Jl. Proklamasi No. 51 Menteng - Jakarta Telp. (021) Fax: (021)

UCAPAN SELAMAT HARI RAYA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada umumnya dilahirkan seorang diri, namun demikian

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI REPENAN DALAM WALIMAH NIKAH DI DESA PETIS SARI KEC. DUKUN KAB. GRESIK

KEPUTUSAN KOMISI B-1 IJTIMA ULAMA KOMISI FATWA MUI SE INDONESIA III tentang MASAIL FIQHIYYAH MU'ASHIRAH (MASALAH FIKIH KONTEMPORER)

MAKALAH SUMBER HUKUM DAN AJARAN ISLAM

I TIKAF. Pengertian I'tikaf. Hukum I tikaf. Keutamaan Dan Tujuan I tikaf. Macam macam I tikaf

IJMA SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

BAB V P E N U T U P. A. Kesimpulan. Sebagai akhir dari pembahasan, tulisan ini menyimpulkan beberapa kesimpulan penting sebagai berikut :

SILABUS PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNISNU JEPARA TAHUN 2015

Imam Syafi i. Imam Syafi i

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 33 Tahun 2011 Tentang HUKUM PEWARNA MAKANAN DAN MINUMAN DARI SERANGGA COCHINEAL

BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

Article Review. : Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry :

Sumber sumber Ajaran Islam

`BAB I A. LATAR BELAKANG

BAB II ULAMA FIQIH KLASIK DAN KONTEMPORER. pemahaman yang diperoleh melalui persepsi berfikir yang mendalam bukan

IMAM SYAFI I DAN SEJARAH ILMU USHUL FIQIH

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IBN TAIMIYAH TENTANG JUMLAH MASA IDDAH BAGI WANITA YANG KHULUK

Divisi Buku Perguruan Tinggi PT RajaGrafindo Persada J A K A R T A

Qunut dalam Shalat Witir

BAB IV ANALISIS ISTINBATH HUKUM FUQAHA KLASIK DAN KONTEMPORER TENTANG UPAH MENGAJARKAN AL- QUR'AN. A. PerbandinganFuqahaKlasikdanFuqahaKontemporer

ULUMUL HADIS ULUMUL HADIS

BAB IV JUAL BELI SEPATU SOLID DI KECAMATAN SEDATI SIDOARJO DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG HAK WARIS SESEORANG YANG MASUK ISLAM SEBELUM HARTA WARIS DIBAGI

BAB IV PEMERIKSAAN KESEHATAN PRANIKAH (PREMARITAL CHECK UP) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

TAFSIR AL QUR AN UL KARIM

BAB III PROSES IJMA MENURUT ABDUL WAHAB KHALLAF DAN PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM KOMISI FATWA MUI

BAB V PENUTUP. dapat dijerat dengan pasal-pasal : (1) Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum

ZAKAT PENGHASILAN. FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 3 Tahun 2003 Tentang ZAKAT PENGHASILAN

$! " # %& ' ( ) * &+, -. /0 1 & ! "#$

Ceramah Ramadhan 1433 H/2012 M Orang-orang yang Berhalangan Puasa

BAB IV ANALISIS. A. Analisis Pendapat Imam Syafi i tentang Zakat Harta bagi Anak Belum. Dewasa dan Orang di Bawah Pengampuan

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam tradisi studi ushul fiqh dikenal lima macam hukum syar i yang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak datangnya agama Islam di Indonesia pada abad ke-7 Masehi,

Tiga Sumber Ajaran Islam

IJTIHAD SEBAGAI JALAN PEMECAHAN KASUS HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

Usul Fikih. Oleh : Heri Ruslan

FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL Nomor: 55/DSN-MUI/V/2007 Tentang PEMBIAYAAN REKENING KORAN SYARIAH MUSYARAKAH

KEHUJJAHAN HADIS MENURUT IMAM MAZHAB EMPAT

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman Rasulullah SAW, hadis belumlah dibukukan, beliau tidak sempat

BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MANHAJ. sama, pengambilan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Hisbah yang

Hukum Selamatan Kematian (Tahlilan)

ISTINBATH HUKUM TERHADAP UPAH MENGAJAR AL-QUR'AN (ANALISIS PENDAPAT FUQAHA KLASIK DAN KONTEMPORER)

Transkripsi:

Mazhab menurut bahasa: isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I ânah ath- Thalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, tempat pergi, yaitu jalan (ath-tharîq). Menurut istilah: Kumpulan pendapat mujtahid yg berupa hukum-hukum Islam, yg digali dari dalil-dalil syariat yg rinci serta berbagai kaidah (qawâ id) & landasan (ushûl) yg mendasari pendapat tersebut, yg saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yg utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah, 1995: 197).

Berbagai mazhab fikih lahir pada masa keemasan fikih, yaitu dari abad ke-2 H hingga pertengahan abad ke-4 H dalam rentang waktu 250 tahun di bawah Khilafah Abbasiyah yang berkuasa sejak tahun 132 H. Pada masa ini, tercatat telah lahir paling tidak 13 mazhab fikih (di kalangan Sunni) dgn para imamnya masing-masing, yaitu: Imam Hasan al-bashri (w. 110 H), Abu Hanifah (w. 150 H), al- Auza i (w. 157 H), Sufyan ats-tsauri (w. 160 H), al-laits bin Sa ad (w. 175 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), asy-syafi i (w. 204 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Dawud azh-zhahiri (w. 270 H), Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu Tsaur (w. 240 H), dan Ibn Jarir ath- Thabari (w. 310 H) (Lihat: al- Alwani, 1987: 88; as-sayis, 1997: 146).

Berbagai mazhab terbentuk karena adanya perbedaan (ikhtilâf) dalam masalah ushûl maupun furû sebagai dampak adanya berbagai diskusi (munâzharât) di kalangan ulama. Ushul terkait dengan metode penggalian (tharîqah alistinbâth), sedangkan furû terkait dengan hukum-hukum syariat yg digali berdasarkan metode istinbâth tersebut. Perbedaan metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) hukum tersebut disebabkan adanya perbedaan dlm 3 (tiga) hal, yaitu: (1) perbedaan dalam sumber hukum (mashdar alahkâm); (2) perbedaan dalam cara memahami nash; (3) perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash.

Hal itu terjadi karena ulama berbeda pendapat dalam 4 (empat) perkara berikut, yaitu: 1. Metode mempercayai as-sunnah serta kriteria untuk menguatkan satu riwayat atas riwayat lainnya. Para mujtahidin Irak (Abu Hanifah dan para sahabatnya), misalnya, berhujjah dengan sunnah mutawâtirah dan sunnah masyhûrah; sedangkan para mujtahidin Madinah (Malik dan sahabat-sahabatnya) berhujjah dengan sunnah yang diamalkan penduduk Madinah. (Khallaf, 1985: 57-58). 2. Fatwa sahabat dan kedudukannya. Abu Hanifah, misalnya, mengambil fatwa sahabat dari sahabat siapa pun tanpa berpegang dengan seorang sahabat, serta tidak memperbolehkan menyimpang dari fatwa sahabat secara keseluruhan. Sebaliknya, Syafi i memandang fatwa sahabat sebagai ijtihad individual sehingga boleh mengambilnya dan boleh pula berfatwa yang menyelisihi keseluruhannya. (Khallaf, 1985: 58-59).

3. Kehujjahan Qiyas. Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah mengingkari kehujahan Qiyas sebagai sumber hukum, sedangkan mujtahidin lainnya menerima Qiyas sebagai sumber hukum sesudah al-quran, as-sunnah, dan Ijma. (Khallaf, 1985: 59). 4. Subyek dan hakikat kehujjahan Ijma. Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai subyek (pelaku) Ijma dan hakikat kehujjahannya. Sebagian memandang Ijma Sahabat sajalah yang menjadi hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma Ahlul Bait-lah yang menjadi hujah. Yang lainnya lagi menyatakan, Ijma Ahlul Madinah saja yang menjadi hujah. Mengenai hakikat kehujjahan Ijma, sebagian menganggap Ijma menjadi hujjah karena merupakan titik temu pendapat (ijtimâ ar-ra yi); yang lainnya menganggap hakikat kehujjahan Ijma bukan karena merupakan titik temu pendapat, tetapi karena menyingkapkan adanya dalil dari as-sunnah.

Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash, sebagian mujtahidin membatasi makna nash syariat hanya pada yang tersurat dalam nash saja. Mereka disebut Ahl al-hadîts (fukaha Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya tidak membatasi maknanya pada nash yang tersurat, tetapi memberikan makna tambahan yang dapat dipahami akal (ma qûl). Mereka disebut Ahl ar-ra yi (fukaha Irak). Dalam masalah zakat fitrah, misalnya, para fukaha Hijaz berpegang dengan lahiriah nash, yakni mewajibkan satu sha makanan secara tertentu dan tidak membolehkan menggantinya dengan harganya. Sebaliknya, fukaha Irak menganggap yang menjadi tujuan adalah memberikan kecukupan kepada kaum fakir (ighnâ al-faqîr), sehingga mereka membolehkan berzakat fitrah dengan harganya, yang senilai satu sha (1 sha = 2,176 kg takaran gandum). (Khallaf, 1985: 61; Az- Zuhaili, 1996: 909-911).

Mengenai perbedaan dlm sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash, hal ini terpulang pada perbedaan dlm memahami cara pengungkapan makna dalam bahasa Arab (uslûb al-lughah al- arabiyah). Sebagian ulama, misalnya, menganggap bahwa nash itu dapat dipahami menurut manthûq (ungkapan eksplisit)-nya dan juga menurut mafhûm mukhâlafah (pengertian implisit yang berkebalikan dari makna eksplisit)-nya. Sebagian ulama lainnya hanya berpegang pada makna manthûq dari nash dan menolak mengambil mafhûm mukhâlafah dari nash. (Khallaf, 1985: 64).

Allah Swt. tidak memerintahkan kita mengikuti seorang mujtahid, seorang imam, ataupun suatu mazhab. Yg diperintahkan Allah Swt. kepada kita adlh mengikuti hukum syariat & mengamalkannya. Itu berarti, kita tidak diperintahkan kecuali mengambil apa saja yg dibawa Rasulullah saw. kepada kita & meninggalkan apa saja yg dilarangnya atas kita. (QS al-hasyr [59]: 7). Akan tetapi, fakta menunjukkan, tidak semua orang mempunyai kemampuan menggali hukum syariat sendiri secara langsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran & as-sunnah). Mereka mengambil hukum syariat yg digali oleh orang lain, yaitu para mujtahidin. Karena itu, di tengah-tengah umat kemudian banyak yg bertaklid pada hukum-hukum yg digali oleh seorang mujtahid. Mereka pun menjadikan mujtahid itu sebagai imam mereka dan menjadikan hukum-hukum hasil ijtihadnya sebagai mazhab mereka.

Jika ada yg berpaham bahwa yg mereka ikuti adalah hukum-hukum syariat yg digali oleh seorang mujtahid maka bermazhab adalah sesuatu yg sahih dalam pandangan syariat Islam. Sebaliknya, jika ada yg berpaham bahwa yg mereka ikuti adalah pribadi mujtahid (syakhsh al-mujtahid), bukan hukum hasil ijtihad mujtahid itu, maka bermazhab seperti ini adalah sesuatu yg bertolak belakang dengan syariat Islam.

2 (dua) prinsip penting lainnya dalam bermazhab: Pertama, wajib atas muqallid suatu mazhab untuk tidak fanatik (ta âshub) terhadap mazhab yg diikutinya. Karena itu, jika terbukti mazhab yg diikutinya salah dlm suatu masalah, & pendapat yg benar (shawâb) ada dalam mazhab lain, maka wajib baginya untuk mengikuti pendapat yg benar itu menurut dugaan kuatnya. Imam Syafi i pernah berkata, Jika kamu melihat ucapanku menyalahi hadis, amalkanlah hadis tersebut dan lemparkanlah pendapatku ke tembok. (Al-Dahlawi, 1989: 112) Kedua, perbedaan pendapat (khilâfiyah) di kalangan mazhab-mazhab adlh sesuatu yg sehat dan alamiah, bukan sesuatu yg janggal atau menyimpang dari Islam, sebagaimana sangkaan sebagian pihak. Sebab, kemampuan akal manusia berbeda-beda, sebagaimana nashnash syariat juga berpotensi memunculkan perbedaan pemahaman. Perbedaan ijtihad di kalangan sahabat telah terjadi sejak zaman Rasulullah saw. Beliau pun membenarkan hal tersebut dengan taqrîrnya. (Abdullah, 1995: 373).