Analisis BTS Initial Planning Jaringan Komunikasi Selular PT. Provider GSM di Sumatera

dokumen-dokumen yang mirip
Analisis Pengaplikasian MCPA pada Perusahaan Provider GSM di Daerah Sumatera Utara

ANALISIS LINK BUDGET PADA PEMBANGUNAN BTS ROOFTOP CEMARA IV SISTEM TELEKOMUNIKASI SELULER BERBASIS GSM

Analisis BTSInitial Planning Jaringan Komunik PT. Provider GSM di Sumatera

SIMULASI LINK BUDGET PADA KOMUNIKASI SELULAR DI DAERAH URBAN DENGAN METODE WALFISCH IKEGAMI

BAB 2 PERENCANAAN CAKUPAN

BAB III PERANCANGAN DAN SIMULASI LEVEL DAYATERIMA DAN SIGNAL INTERFERENSI RATIO (SIR) UE MENGGUNAKAN RPS 5.3

ANALISIS COVERAGE AREA WIRELESS LOCAL AREA NETWORK (WLAN) b DENGAN MENGGUNAKAN SIMULATOR RADIO MOBILE

OPTIMASI BTS MENGGUNAKAN ANTENA SEKTORAL SANDY KUSUMA/ UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB II PEMODELAN PROPAGASI. Kondisi komunikasi seluler sulit diprediksi, karena bergerak dari satu sel

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

ANALISA PERBANDINGAN PEMODELAN PROPAGASI PADA SISTEM DCS 1800 DI KOTA SEMARANG

Universitas Kristen Maranatha

BAB III PROPAGASI GELOMBANG RADIO GSM. Saluran transmisi antara pemancar ( Transmitter / Tx ) dan penerima

Analisis Pengaruh Model Propagasi dan Perubahan Tilt Antena Terhadap Coverage Area Sistem Long Term Evolution Menggunakan Software Atoll

BAB II JARINGAN GSM. telekomunikasi selular untuk seluruh Eropa oleh ETSI (European

BAB IV ANALISA HASIL SIMULASI

Setyo Budiyanto 1,Mariesa Aldila 2 1,2

Analisis Aspek-Aspek Perencanaan BTS pada Sistem Telekomunikasi Selular Berbasis CDMA

Rekayasa Elektrika. Unjuk Kerja Jaringan Seluler 2G dan 3G PT. XL Axiata di Area Jawa Tengah Bagian Utara setelah Proyek Swap dan Modernisasi

Analisa Perencanaan Power Link Budget untuk Radio Microwave Point to Point Frekuensi 7 GHz (Studi Kasus : Semarang)

STUDI PERENCANAAN JARINGAN SELULER INDOOR

PERHITUNGAN PATHLOSS TEKNOLOGI 4G

ANALISIS MODEL PROPAGASI PATH LOSS SEMI- DETERMINISTIK UNTUK APLIKASI TRIPLE BAND DI DAERAH URBAN METROPOLITAN CENTRE

Perencanaan Transmisi. Pengajar Muhammad Febrianto

KARAKTERISASI KANAL PROPAGASI VHF BERGERAK DI ATAS PERMUKAAN LAUT

KUALITAS LAYANAN DATA PADA JARINGAN CDMA x EVOLUTION-DATA ONLY (EVDO)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS UNJUK KERJA MULTI BAND CELL PADA GSM DUAL BAND

ANALISIS PENYEBAB BLOCKING CALL DAN DROPPED CALL PADA HARI RAYA IDUL FITRI 2012 TERHADAP UNJUK KERJA CDMA X

Rancang Bangun Model Komputasi Perambatan Gelombang Radio Tiga Dimensi menggunakan Metode UTD Modifikasi

BAB III PERENCANAAN MINILINK ERICSSON

ABSTRAK 1 PENDAHULUAN. 2 METODOLOGI PENELITIAN 2.1 Alat Analisis

ANALISIS PENGARUH SLOPE TERRAIN TERHADAP PATHLOSS PADA DAERAH SUBURBAN UNTUK MODE POINT TO POINT PADA SISTEM GSM 900

Analisa Perencanaan Indoor WIFI IEEE n Pada Gedung Tokong Nanas (Telkom University Lecture Center)

Analisa Performansi Sinyal EVDO di Area Boundary Pada Frekuensi 1900 MHz

III. METODE PENELITIAN

BAB II KOMUNIKASI BERGERAK SELULAR GSM

BAB II PROPAGASI GELOMBANG RADIO DALAM PERENCANAAN JARINGAN SISTEM SELULAR

BAB I PENDAHULUAN. Code Division Multiple Access (CDMA) merupakan metode akses kanal

PENGUKURAN DAN PERHITUNGAN PATHLOSS EKSPONEN UNTUK CLUSTER RESIDENCES, CENTRAL BUSINESS DISTRIC (CBD), DAN PERKANTORAN DI DAERAH URBAN

PERANCANGAN JALUR GELOMBANG MIKRO 13 GHz TITIK KE TITIK AREA PRAWOTO UNDAAN KUDUS Al Anwar [1], Imam Santoso. [2] Ajub Ajulian Zahra [2]

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Planning cell site. Sebuah jaringan GSM akan digelar dikota Bandung Tengah yang merupakan pusat kota yang memiliki :

PERENCANAAN KEBUTUHAN NODE B PADA SISTEM UNIVERSAL MOBILE TELECOMMUNICATION SYSTEM (UMTS) DI WILAYAH UBUD


ANALISIS PENINGKATAN KINERJA SOFT HANDOFF TIGA BTS DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PROPAGASI OKUMURA

BAB IV ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN Analisis Hasil Pengukuran di Area Sekitar UMY

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II KOMUNIKASI SELULER INDOOR. dalam gedung untuk mendukung sistem luar gedung (makrosel dan mikrosel

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi peningkatan jumlah pengguna jaringan GSM (Global System for

Optimasi BTS Untuk Peningkatan Kualitas Jaringan CDMA 2000

BAB III METODE PENELITIAN

Wireless Communication Systems. Faculty of Electrical Engineering Bandung Modul 14 - Perencanaan Jaringan Seluler

SIMULASI MODEL EMPIRIS OKUMURA-HATA DAN MODEL COST 231 UNTUK RUGI-RUGI SALURAN PADA KOMUNIKASI SELULAR

ANALISIS PENGARUH SLOPE TERRAIN TERHADAP PATHLOSS PADA DAERAH SUBURBAN UNTUK MODE POINT TO POINT PADA SISTEM GSM 900

ANALISIS HANDOFF JARINGAN UMTS DENGAN MODEL PENYISIPAN WLAN PADA PERBATASAN DUA BASE STATION UMTS

TEKNIK PERANCANGAN JARINGAN AKSES SELULER

Jurnal Ilmiah Setrum Volume 6, No.1, Juni 2017 p-issn : / e-issn : X


BAB I PENDAHULUAN. ke lokasi B data bisa dikirim dan diterima melalui media wireless, atau dari suatu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Analisis Peningkatan Kualitas dan Kapasitas Jaringan Seluler PT. XL Axiata pada Area Jawa Tengah bagian Utara melalui Proyek Swap dan Modernisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Analisa Pathloss Exponent Pada Daerah Urban dan Suburban

Journal of Informatics and Telecommunication Engineering

I. Pembahasan. reuse. Inti dari konsep selular adalah konsep frekuensi reuse.

BAB II CODE DIVISION MULTIPLE ACCESS (CDMA) CDMA merupakan singkatan dari Code Division Multiple Access yaitu teknik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Analisis Penataan Sel Untuk Layanan Sistem WCDMA di Area Jalan Tengah I Kerobokan

BAB III LANDASAN TEORI

ANALISIS PENGARUH MODEL PROPAGASI DAN PERUBAHAN TILT ANTENA TERHADAP COVERAGE AREA SISTEM LONG TERM EVOLUTION MENGGUNAKAN SOFTWARE ATOLL

BAB II LANDASAN TEORI

EVALUASI EFISIENSI PERANGKAT BASE STATION MENGGUNAKAN DRIVE TEST PADA ANTENA SINGLE-BAND DAN MULTI-BAND

Komunikasi Bergerak Frekuensi 2.3 GHz Melewati Pepohonan Menggunakan Metode Giovanelli Knife Edge

LINK BUDGET. Ref : Freeman FAKULTAS TEKNIK ELEKTRO

ANALISIS RSCP PADA HSDPA DAN HSUPA DI WILAYAH KOTA MALANG


BAB III. IMPLEMENTASI WiFi OVER PICOCELL

Pengukuran Coverage Outdoor Wireless LAN dengan Metode Visualisasi Di. Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Analisis Perencanaan Jaringan Long Term Evolution (LTE) Frekuensi 900 MHz Pada Perairan Selat Sunda

PERHITUNGAN LINK BUDGET PADA KOMUNIKASI GSM DI DAERAH URBAN CLUSTER CENTRAL BUSINESS DISTRIC (CBD), RESIDENCES, DAN PERKANTORAN

Perancangan dan Analisis Desain Jaringan Mobile WiMax e di daerah Sub urban (Studi Kasus di Kota Kediri)

PENGARUH SPACE DIVERSITY TERHADAP PENINGKATAN AVAILABILITY PADA JARINGAN MICROWAVE LINTAS LAUT DAN LINTAS PEGUNUNGAN

ANALISIS KINERJA ALGORITMA SUBOPTIMAL HANDOVER PADA SISTEM KOMUNIKASI WIRELESS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB IV PERENCANAAN JARINGAN TRANSMISI GELOMBANG MIKRO PADA LINK SITE MRANGGEN 2 DENGAN SITE PUCANG GADING

ANALISIS LINK BUDGETING BERBASIS GUI (GRAPHICAL USER INTERFACE) MATLAB PADA DAERAH PUSAT KOTA (DPK), PERKANTORAN, DAN PERUMAHAN

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

Estimasi Luas Coverage Area dan Jumlah Sel 3G pada Teknologi WCDMA (Wideband Code Division Multiple Access)

STUDI KELAYAKAN MIGRASI TV DIGITAL BERBASIS CAKUPAN AREA SIARAN DI BEKASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Makalah Seminar Tugas Akhir PENINGKATAN KAPASITAS SEL CDMA DENGAN METODE PARTISI SEL

SINGUDA ENSIKOM VOL. 7 NO. 2/Mei 2014

PERENCANAAN ANALISIS UNJUK KERJA WIDEBAND CODE DIVISION MULTIPLE ACCESS (WCDMA)PADA KANAL MULTIPATH FADING

BAB III METODE PERENCANAAN

Jurnal ICT Vol 3, No. 5, November 2012, hal AKADEMI TELKOM SANDHY PUTRA JAKARTA

PERHITUNGAN PATHLOSS TEKNOLOGI LONG TERM EVOLUTION (LTE) BERDASARKAN PARAMETER JARAK E Node-B TERHADAP MOBILE STATION DI BALIKPAPAN

BAB I PENDAHULUAN. global untuk komunikasi bergerak digital. GSM adalah nama dari sebuah group

Sistem Transmisi KONSEP PERENCANAAN LINK RADIO DIGITAL

Transkripsi:

Analisis Initial Planning Jaringan Komunikasi Selular PT. Provider GSM di Sumatera Eva Yovita Dwi Utami 1, Nabella Previana Yosinta 2, Budihardja Murtianta 3 Abstract Initial planning of cellular communication network is required before implementing new s. This paper reports an analysis of initial planning based on existing coverage area data using ASSET Tools simulation software. Coverage area on operational area of GSM service provider in Sumatera is simulated to obtain 95% coverage. The operational area of the provider includes Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau and Kepulauan Riau. Okumura-Hata propagation model is used in this simulation. In each province, four clutters have been investigated, which are dense urban, urban, sub urban and rural. The result shows that urban and sub urban clutter in Sumatera Utara fulfill the target of 95%, all clutters of Sumatera Barat and Riau reach the target of 95%, while only sub urban and rural clutter of Kepulauan Riau reach the target. Total amount of which has been added to cover Sumatera area are 853 s, which consist of 305 s in Sumatera Utara area, 151 s in Sumatera Barat area, 306 s in Riau area, and 91 s in Kepulauan Riau. Intisari Initial Planning pada jaringan komunikasi selular perlu dilakukan sebelum pembangunan sebuah baru diimplementasikan. Pada makalah ini dilaporkan hasil analisis perencanaan penambahan baru berdasarkan data area cakupan jaringan yang sudah ada menggunakan software simulasi ASSET Tools. Simulasi area cakupan untuk mencapai 95% cakupan dilakukan pada daerah operasional perusahaan penyedia jaringan GSM yaitu PT. Provider GSM di Sumatera. Daerah operasional di Sumatera terdiri atas Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau. Simulasi initial planning dilakukan berdasarkan propagasi Okumura-Hata pada empat clutter yaitu dense urban, urban, sub urban dan rural. Berdasarkan penelitian dan analisis yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa area cakupan di provinsi Sumatera Utara telah memenuhi target 95% pada clutter urban dan sub urban. Cakupan di provinsi Sumatera Barat dan Riau memenuhi target untuk seluruh clutter, sedangkan cakupan di Kepulauan Riau memenuhi target untuk clutter sub urban dan rural. Area cakupan yang tidak memenuhi target 95% disebabkan oleh adanya layer yang mempengaruhi penyebaran sinyal. Total penambahan untuk mencapai target 95% adalah 853, dengan perincian 305 untuk provinsi Sumatera Utara, 151 untuk Sumatera Barat, 306 untuk Riau, dan 91 untuk Kepulauan Riau. Kata Kunci, area cakupan, clutter. 1 Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik Elektronika dan Komputer, Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga 50711, INDONESIA (e-mail: eva.utami@staff.uksw.edu) 2, 3 Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik Elektronika dan Komputer, Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga 50711, INDONESIA (e-mail: nemo_ralis@yahoo.com, budihardja.murtianta@staff.uksw.edu) I. PENDAHULUAN Dalam sistem komunikasi selular, pengguna perangkat bergerak atau mobile station (MS) mengakses jaringan dengan mengirim dan menerima sinyal gelombang radio ke dan dari base transceiver station () atau biasa disingkat dengan base station (BS). ini dibangun dan ditempatkan pada suatu daerah untuk mencakup dan melayani pelanggan yang berada di daerah itu. Daerah-daerah yang dicakup oleh, yang di dalam daerah tersebut pengguna dapat mengakses kanal gelombang radio, disebut cell site. Dalam pemodelan, daerah cakupan sel dinyatakan dalam bentuk geometri heksagonal [1]. Bertambahnya jumlah pelanggan sistem komunikasi bergerak selular setiap tahunnya harus diimbangi dengan penyediaan jaringan dan kanal radio. Pertambahan pelanggan tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi sudah sampai ke kota-kota kecil bahkan pedesaan. Untuk bisa membangun suatu jaringan atau infrastruktur yang dapat melayani pelanggan dengan kualitas yang baik, diperlukan perencanaan yang baik pula, sehingga investasi yang ditanamkan bisa optimal. Pada makalah ini dilaporkan hasil analisis perencanaan penambahan baru berdasarkan data area cakupan jaringan yang sudah ada menggunakan software simulasi ASSET Tools. Simulasi area cakupan untuk mencapai 95% cakupan dilakukan pada daerah operasional perusahaan penyedia jaringan GSM di Sumatera yang selanjutnya disebut PT. Provider GSM. Daerah operasional perusahaan di Sumatera terdiri atas Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau. Simulasi initial planning dilakukan berdasarkan propagasi Okumura-Hata pada empat clutter yaitu dense urban, urban, sub urban dan rural. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Cakupan Sistem GSM Setiap sistem selular diberi alokasi grup kanal radio untuk digunakan dalam area geografis yang disebut sel. Dalam pemodelan, daerah cakupan sel dinyatakan dalam bentuk heksagonal atau bentuk segi enam beraturan, karena bentuk heksagonal dapat menutupi daerah layanan dengan sempurna tanpa celah, dan tidak terjadi tumpang tindih antara sel satu dengan sel lain [2]. Pada perencanaan biasanya diasumsikan sel berukuran serba sama. Jarak antara titik pusat heksagon ke titik-titik sudut pada tepi heksagon merupakan jari-jari sel dan dinyatakan dengan R, sehingga luas sel dengan model heksagon adalah 2,6R 2 [1]. Jumlah sel dalam area pelayanan dapat dihitung dari luas area pelayanan dibagi luas sel [3]. Eva Yovita Dwi Utami: Analisis Initial Planning... ISSN 2301-4156

Sinyal yang dikirimkan dari dan MS, atau sebaliknya, ditransmisikan dalam bentuk gelombang radio melalui udara. Gelombang radio akan mengalami redaman ruang bebas, pemantulan, hamburan dan difraksi sehingga melemah ketika sampai di penerima. Model propagasi digunakan untuk memprediksi redaman sinyal, sehingga dapat digunakan dalam proses perencanaan untuk menentukan jarak jangkauan terjauh. Berdasarkan model propagasi Okumura-Hata pada [1] dapat dilakukan perhitungan prediksi redaman sinyal dari ke MS dan sebaliknya. Dengan menetapkan nilai redaman yang diperbolehkan, maka dari formula Okumura- Hata dapat dihitung jari-jari selnya [4] yaitu sebagai berikut. Untuk daerah urban: L m 69,55 26,16log f + 13,82log ht + α ( hr ) (1) R = log 1 44,9 6,55log ht Jari-jari sel untuk daerah sub urban: R = log 1 dengan: L m 2 f 69,55 26,16log f + 13,82log ht + α ( hr ) + 2 log + 5,4 28 44,9 6,55log h t (2) R = jari-jari sel L m = redaman maksimum (db) f = frekuensi pembawa (MHz) h t = tinggi antenna pemancar (m) h r = tinggi antenna penerima (m) a = koreksi tinggi antenna penerima terhadap tinggi standar (m) B. Perhitungan Link Budget Link budget memiliki dua jalur yaitu uplink dan downlink. Jalur uplink merupakan jalur dari MS ke BS, sedangkan jalur downlink merupakan jalur dari BS ke MS [4]. Parameter dalam link budget adalah sebagai berikut [2]. 1. Daya pancar (transmit power), pada jalur uplink yang diperhitungkan adalah daya pancar MS (MS Tx Power) dan sedangkan pada jalur downlink yang diperhitungkan adalah daya pancar BS (BS Tx Power). 2. Antenna Gain merupakan ukuran kemampuan antena menaikkan daya sinyal. 3. Receiver sensitivity, yaitu daya sinyal terendah yang masih dapat diterima oleh receiver. 4. LNA Gain adalah pengukuran perbandingan penurunan SNR pada keluaran LNA terhadap masukannya agar path loss pada arah uplink dan downlink memiliki nilai yang seimbang atau mendekati sama. 5. Feeder Loss, yaitu rugi-rugi yang berasal dari kabel penghubung antara BS dengan antena. 6. Combiner Loss merupakan rugi-rugi yang memperhitungkan penetrasi sinyal dari luar ke dalam gedung, bila MS berada di dalam gedung dan BS berada di luar gedung. 7. Fade Margin, yaitu margin yang dibutuhkan untuk mengatasi multipath fading yang disebabkan oleh lingkungan di sekitar MS. Persamaan umum untuk menghitung path loss pada jalur uplink maupun downlink adalah sebagai berikut [2]. dengan: L pu, = PTX, MS PRX BS Lu Gu = PTX BS PRX MS Ld L pd,, Gd L pu = path loss pada uplink L pd = path loss pada downlink P TX,MS = daya pancar MS P RX,BS = BS receiver sensitivity G u = total gain pada uplink L u = total rugi-rugi pada uplink P TX,BS = daya pancar BS P RX,MS = MS receiver sensitivity G d = total gain pada downlink L d = total rugi-rugi pada downlink C. Klasifikasi Clutter Propagasi gelombang radio akan mengalami peredaman yang berbeda pada lingkungan yang berbeda. Karena itu dalam prediksi redaman maupun perencanaan, suatu daerah diklasifikasikan dalam beberapa clutter yaitu dense urban, urban, sub urban dan rural [2]. Dense urban merupakan daerah yang mempunyai kepadatan penduduk sangat tinggi, banyak gedung-gedung perkantoran, dan daerah industri yang berkembang. Daerah ini memiliki ciri tinggi gedung-gedungnya lebih dari 50 m, dan kepadatan penduduknya paling padat dibandingkan tiga clutter yang lain. Urban adalah daerah dengan kepadatan penduduk lebih rendah daripada dense urban, jumlah bangunan cukup banyak, ketinggian gedung-gedungnya berkisar antara 25-50 m dan merupakan daerah industri berkembang [5]. Sub urban memiliki tingkat halangan lebih rendah daripada urban, sehingga area cakupan umumnya lebih baik. Daerah ini memiliki bangunan yang relatif rendah dan jalan yang cenderung lebar serta daerah bisnisnya sedikit [5]. Rural merupakan daerah terbuka dan pedesaan yang jarang terdapat halangan di dalamnya. Populasi penduduknya relatif kecil, daerahnya meliputi persawahan dan padang rumput. III. METODOLOGI A. Daerah yang Diteliti Daerah operasional operator yang diteliti di wilayah Sumatera meliputi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau, seperti ditunjukkan pada Gbr. 1. Gambar tersebut juga menunjukkan yang sudah beroperasi. Total yang beroperasi di Sumatara berjumlah 1096. (3) (4) ISSN 2301 4156 Eva Yovita Dwi Utami: Analisis Initial Planning...

Gbr. 1 Daerah operasional operator di Sumatera D. Parameter yang Digunakan Parameter yang digunakan dalam menentukan area cakupan per clutter adalah Rx Level, yaitu magnitude sinyal termodulasi yang terukur oleh MS. Rx Level yang diukur adalah Rx Level sinyal dari serving cell dan neighbor cells untuk melihat kandidat handover. Rx Level merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur kualitas jaringan radio, yang ditetapkan oleh European Telecommunications Standards Institute (ETSI) pada GSM Technical Specification 05.08. Untuk mencapai area cakupan yang ditargetkan, ditetapkan standar Rx Level sebagai berikut[6]: a. Dense Urban -64 dbm b. Urban -68 dbm c. Sub Urban -75 dbm d. Rural -82 dbm Apabila Rx level memenuhi syarat di atas pada tiap clutter, maka bisa dikatakan Rx Level dalam kategori baik, sedangkan jika Rx Level di bawah standar yang telah ditentukan maka bisa dikatakan buruk. Nilai-nilai tersebut dimasukkan dalam pengaturan pada software ASSET Tools agar mendapat area cakupan yang diharapkan. Area cakupan hasil simulasi ditunjukkan dengan warna polygon sesuai dengan Rx Level yang diperoleh, sebagai berikut. a. Merah : Rx Level -64 dbm b. Kuning : -68 dbm Rx Level -64 dbm c. Hijau : -75 dbm Rx Level -68 dbm d. Biru : -82 dbm Rx Level -75 dbm E. Metode Pengambilan Data Data diambil dari database, berupa data feeder, letak antenna (dalam latitude dan longitude), jenis antena, azimuth, dan tilt antena seluruh sel di area yang diteliti, yang kemudian diolah menggunakan ASSET Tools. Data yang dimaksud adalah sebagai berikut [6]: a. tilt, yaitu kemiringan antena yang mempengaruhi besarnya luas cakupan sinyal, dan digunakan untuk mengatur sudut elevasi antena, b. azimuth merupakan arah antena sektor, dinyatakan dalam derajat, c. latitude adalah koordinat garis lintang letak, d. longitude adalah koordinat garis bujur letak, e. feeder, yaitu media transmisi antara dan antena sektor, berupa kabel coaxial atau waveguide, dan f. height adalah tinggi menara. Pada peta software Asset Tools terdapat polygon area penelitian yang telah dibuat oleh operator. Polygon adalah area secara geografis pada peta Asset Tools yang ditentukan oleh divisi tertentu perusahaan untuk dicakup pada area yang telah ditentukan. Polygon dibuat berdasarkan beberapa hal yaitu jumlah permintaan layanan pelanggan (demand), kepadatan penduduk, topografi, dan demografi suatu wilayah. Tahapan-tahapan pengolahan data selanjutnya menggunakan Asset Tools adalah sebagai berikut. 1. Membuat area cakupan per-clutter tiap provinsi sebelum penambahan site. Clutter dibagi menjadi empat yaitu dense urban, urban, sub urban dan rural. Pada tahap ini terlihat area cakupan yang sudah ada sebelum dilakukan penambahan. Tiap-tiap clutter menunjukkan persentase area cakupan yang berbeda-beda. 2. Menentukan satu site yang sesuai tiap clutter sebagai acuan new site yang nanti akan ditambahkan. Tiap clutter memiliki batasan tinggi menara yang berbeda, karena kontur bumi dan tingkat halangan sinyal yang akan diterima oleh receiver juga berbeda-beda. Misalnya pada daerah rural, diperlukan menara yang lebih tinggi daripada daerah lainnya, karena polygon pada daerah tersebut luas, sehingga dibutuhkan cakupan yang luas pula. Site yang dipilih haruslah sesuai dengan clutter 3. Menambahkan site per clutter tiap provinsi menggunakan software ASSET Tools. Penambahan site baru dilakukan dengan memperhatikan letak geografis sekitar, seperti tidak meletakkan site di pegunungan, kawasan industri dan pemukiman padat panduduk. Penambahan juga disesuaikan dengan polygon tiap clutter. 4. Membuat tahapan coverage plot per clutter tiap provinsi di Sumatera dan statistiknya. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Area Cakupan tiap Clutter di Sumatera Utara Gbr. 2 menunjukkan daerah dense urban di provinsi Sumatera Utara. Pada nya terdapat 47, kemudian setelah ditambahkan 52 baru area cakupan pada polygon mencapai 92,5%. Gbr. 3 menunjukkan area cakupan pada clutter sub urban area Sumatera Utara. yang beroperasi berjumlah 215, sedangkan pada gambar sebelah kanan total menjadi 301 buah dan cakupannya sebesar 95,7%. Gbr. 4 menunjukkan clutter urban di provinsi Sumatera Utara, dengan 14 yang sudah beroperasi. Setelah ditambahkan 20 baru, area cakupan pada polygon mencapai 95,1%. Eva Yovita Dwi Utami: Analisis Initial Planning... ISSN 2301-4156

Area cakupan yang dihasilkan oleh simulasi pada keempat clutter area Sumatera Utara tersebut dirangkum ke dalam Tabel I. Pada Provinsi Sumatera Utara clutter yang tidak mencapai target yang diinginkan adalah dense urban yang hanya mencapai 93,35% dan rural yaitu sebesar 94,7 %. Hal ini dikarenakan oleh adanya pengaruh layer tiap clutter yang menyebabkan cakupan sinyal tidak sempurna. Gbr. 2 Area cakupan dense urban (kiri), dan setelah ditambah baru (kanan). Gbr. 3 Cakupan sub urban (kiri), dan cakupan setelah ditambah Gbr. 4 Cakupan urban (kiri), dan cakupan urban setelah ditambah Gbr. 5 menunjukkan clutter rural di provinsi Sumatera Utara, dengan 202 yang sudah beroperasi. Setelah ditambahkan 130 baru, area cakupan pada polygon mencapai 94,7%. Clutter TABEL I HASIL AREA CAKUPAN SUMATERA UTARA d sel Cov plot Asset DU 0,417 30,138 0,452 47 99 92,5% U 0,567 24,238 0,835 14 34 95,1% SU 1,74 2236,4 7,87 215 301 95,7% RUR 1,84 2915 8,8 202 349 94,7% Keterangan: DU: dense urban, U: urban, SU: sub urban, RUR: rural, d sel = jari-jari sel, = luas polygon, = luas sel Clutter dense urban pada provinsi Sumatera Utara terletak di kota Medan, yang merupakan kota padat penduduk dan memiliki banyak gedung bertingkat, sehingga cakupan sinyal menjadi tidak sempurna. Pada Gbr. 2 dapat dilihat cakupan warna merah sebagai parameter dense urban tidak sempurna melingkupi polygon, dan masih terdapat warna kuning yang tersebar. Apabila ditambahkan pada daerah yang belum tertutup warna merah tetap saja tidak dapat menutup penuh, karena di daerah tersebut banyak terdapat obstacle atau halangan, yang berupa gedung bertingkat atau kawasan industri. B. Hasil Area Cakupan tiap Clutter di Sumatera Barat Gbr. 6, Gbr. 7 dan Gbr. 8 menunjukkan hasil simulasi area cakupan tiap clutter di Sumatera Barat. Gambar sebelah kiri merupakan cakupan yang sudah beroperasi, sedangkan gambar sebelah kanan merupakan cakupan setelah ditambahkan baru. Gbr. 5 Cakupan rural (kiri), dan cakupan rural setelah ditambah baru Gbr. 6 Cakupan sub urban (kiri), dan cakupan sub urban setelah ditambah baru Area cakupan yang dihasilkan oleh simulasi pada keempat clutter area Sumatera Barat beserta pertambahan jumlah yang diperlukan dirangkum dalam Tabel II. ISSN 2301 4156 Eva Yovita Dwi Utami: Analisis Initial Planning...

Gbr. 7 Cakupan urban (kiri), dan cakupan urban setelah ditambah Gbr. 10 Cakupan urban (kiri), dan cakupan setelah ditambah baru (kanan) Gbr. 8. Cakupan rural (kiri), dan cakupan rural setelah ditambah baru Gbr. 11 Cakupan sub urban (kiri), dan cakupan setelah ditambah TABEL II HASIL AREA CAKUPAN SUMATERA BARAT Clutter d sel Covplot Asset (%) U 0,567 14,195 0,452 10 18 95,05 SU 1,74 1227,7 7,87 79 165 94,9 RUR 1,84 1865,6 8,8 164 219 95,31 Keterangan: U: urban, SU: sub urban, RUR: rural d sel = jari-jari sel, = luas polygon, = luas sel Pada provinsi Sumatera Barat dapat dikatakan area cakupan tiap clutter terpenuhi. Sumatera Barat tidak memiliki clutter dense urban, dan pada clutter sub urban persentase yang didapatkan hanya kurang 0,1%. Dengan demikian, tidak diperlukan penambahan. Penambahan cakupan dapat dilakukan dengan mengubah tilt atau azimuth antena pada tahap optimasi. C. Hasil Area Cakupan tiap Clutter di Riau Gbr. 9 Cakupan dense urban (kiri), dan cakupan setelah ditambah Gbr. 12 Cakupan rural (kiri), dan cakupan rural setelah ditambah Hasil area cakupan tiap clutter di Riau ditunjukkan pada Gbr. 9 sampai dengan Gbr. 12. Gambar sebelah kiri merupakan cakupan yang sudah beroperasi, sedangkan gambar sebelah kanan adalah gambar polygon setelah ditambahkan baru. Tabel III menunjukkan hasil simulasi penambahan di provinsi Riau. Semua clutter memenuhi target yang diharapkan yaitu 95%. TABEL III. HASIL AREA CAKUPAN RIAU Clutter d sel Covplot ASSET DU 0,425 2,164 0,452 1 8 96,933% U 0,567 30,895 0,835 10 50 96,7% SU 1,74 1227,73 7,87 103 168 95,73% RUR 1,84 3845,6 8,8 256 450 95,04% Keterangan: U: urban, SU: sub urban, RUR: rural d sel = jari-jari sel, = luas polygon, = luas sel Eva Yovita Dwi Utami: Analisis Initial Planning... ISSN 2301-4156

D. Hasil Area Cakupan tiap Clutter di Kepulauan Riau Gbr. 13 sampai dengan Gbr. 15 menunjukkan cakupan yang sudah beroperasi dan gambar polygon setelah ditambahkan baru. Gbr. 13 Cakupan urban (atas), dan cakupan urban setelah ditambah baru (bawah) Gbr. 14 Cakupan sub urban (kiri), dan covplot sub urban setelah ditambah Tabel IV menunjukkan hasil simulasi penambahan di provinsi Kepulauan Riau. TABEL IV. HASIL AREA CAKUPAN KEPULAUAN RIAU Clutter d sel Covplot ASSET U 0,56 10,855 0,452 11 20 85,98% SU 1,74 409,24 7,87 33 71 95,79% RUR 1,84 660,05 8,8 51 95 95,91% Keterangan: U: urban, SU: sub urban, RUR: rural d sel = jari-jari sel, = luas polygon, = luas sel Di area Kepulauan Riau tidak terdapat clutter dense urban. Pada clutter urban target yang diharapkan tidak terpenuhi, yaitu dengan ditambahkan 9 baru, hanya dicapai 85%. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh layer yang membuat cakupan sinyal tidak maksimal karena di daerah urban banyak terdapat gedung bertingkat dan daerah industri. Pada daerah yang memiliki area cakupan tidak merata sebaiknya dilakukan tilting mechanical pada saat optimasi untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan arah antena yang dapat menyebabkan terjadinya pelemahan sinyal, sehingga sinyal dapat tersebar secara merata. V. KESIMPULAN Cakupan area Sumatera Utara telah memenuhi target 95% pada clutter urban dan sub urban, sedangkan cakupan di Sumatera Barat dan Riau memenuhi target untuk seluruh clutter. Sementara itu, cakupan di Kepulauan Riau memenuhi target untuk clutter sub urban dan rural. Clutter dense urban di Sumatera Utara tidak dapat mencapai target 95% karena banyak terdapat gedung bertingkat dan wilayahnya padat penduduk. Tidak terpenuhinya target clutter urban di Kepulauan Riau disebabkan banyaknya daerah industri sehingga lahan untuk penambahan menjadi terbatas. Total penambahan untuk mencapai target 95% adalah 853, dengan perincian 305 untuk area Sumatera Utara, 151 untuk area Sumatera Barat, 306 untuk Riau, dan 91 untuk Kepulauan Riau. Perincian penambahan untuk tiap clutter adalah 59 untuk clutter dense urban, 97 untuk clutter urban, 275 untuk clutter sub urban dan 440 untuk clutter rural. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Stevanus Ary atas ketersediaan tempat untuk melakukan penelitian ini. Gbr. 15 Cakupan rural (atas), dan cakupan rural setelah ditambah baru (bawah) REFERENSI [1] T.S Rappaport, Wireless Communication Principles and Practices 2nd ed., Prentice-Hal, Inc., 2002 [2] A.R. Misra., Fundamentals of Cellular Network Planning & Optimisation, John Wiley & Sons, Ltd, 2004 [3] GSM System Overview, Aircom International, 2002 [4] Sunomo, Pengantar Sistem Komunikasi Nirkabel. PT. Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2004. [5] G. Wibisono, U. K. Usma, G. D. Hantoro, Konsep Teknologi Seluler, Penerbit Informatika, Bandung, 2008 [6] European Telecommunications Standards Institute (ETSI), Digital cellular telecommunications system (Phase 2+);Radio subsystem link control, GSM Technical Specification GSM 05.08 Version 5.1.0, July 1996 ISSN 2301 4156 Eva Yovita Dwi Utami: Analisis Initial Planning...