22 PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena kerusakan sumberdaya hutan (deforestasi dan degradasi) terjadi di Indonesia dan juga di negara-negara lain, yang menurut Sharma et al. (1995) selama periode 1950-1980 terjadi deforestasi karena tekanan kegiatan manusia di Afrika 20%, Asia Tenggara 43%, dan Amerika Utara 19%. Di Indonesia berbagai kebijakan yang mendasari kegiatan pemanenan kayu, pertukaran kawasan hutan, pengembangan hutan tanaman industri, perubahan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan pertanian, perkebunan, transmigrasi dan lain-lain, maupun berbagai kejadian kebakaran hutan, illegal logging, perladangan, dilihat dari neraca sumberdaya hutan menunjukkan adanya penurunan luas kawasan hutan maupun luas tutupan hutan. Berdasarkan data Neraca Sumberdaya Hutan Nasional selama kurun 1998-2002 telah terjadi kerusakan hutan pada seluruh kawasan hutan tetap 2,4 juta ha/thn, khusus pada kawasan hutan produksi sebesar 2,2 juta ha/thn. Hal ini mengindikasikan praktek pengelolaan hutan secara umum belum mencapai prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari, sehingga dapat mengancam kelangsungan manfaat ekonomi dan lingkungan. Pengelolaan hutan secara umum potensial menimbulkan beberapa persoalan yaitu : 1) Eksternalitas negatif pada lingkungan hidup berupa penurunan atau hilangnya fungsi ekologis hutan dan kerusakan habitat menimbulkan biaya yang ditanggung oleh masyarakat lokal maupun nasional. 2) Kerusakan hutan menimbulkan risiko dan ketidakpastian pulihnya kondisi ekosistem hutan tersebut, karena peningkatan kerentanan ekosistem (resiliensi dan stabilitas rendah) maupun biaya pemulihan yang sangat tinggi. Hal ini berimplikasi pada dua hal a) kehilangan nilai guna hasil hutan kayu dan non kayu dimasa akan datang, akibat pemanfaatan yang tidak lestari saat kini (user cost), b) kehilangan nilai guna harapan dimasa akan datang dari keanekaragaman hayati yang saat kini belum dimanfaatkan (option values). Potensi berbagai hasil hutan berupa kayu, non kayu dan jasa ekologis tidak dikelola secara terpadu, sehingga sering menimbulkan konflik kepentingan antar
23 stakeholders terhadap sumberdaya hutan. Oleh karena itu, diperlukan suatu perubahan di dalam sistem pengelolaan hutan, dengan menggunakan paradigma kelestarian kuat (strong sustainability paradigm) yang didukung dengan implimentasi paradigma pengelolaan berbasis ekosistem guna mencapai kelestarian ekosistem tersebut. Pengelolaan hutan dengan paradigma kelestarian kuat menetapkan adanya stok konstan dari waktu ke waktu, dengan menggunakan prinsip pencegahan (precautionary principle) penurunan sumberdaya hutan dan kualitas lingkungan, untuk mencapai kondisi yang diinginkan dengan penekanan kesehatan ekosistem (kelestarian ekologis, keanekaragaman, dan produktivitas) yang mampu menyediakan beragam manfaat dan pilihan (option) bagi masyarakat. Analisis ekonomi konvensional tidak lagi memadai untuk pengambilan keputusan di dalam pengelolaan ekosistem hutan, karena ketidak mampuan ekonomi konvensional menjelaskan nilai fungsi ekologis dan jasa lingkungan. Oleh karena itu perlu perluasan berupa pengintegrasian kondisi ekosistem dan kualitas lingkungan, melalui pendekatan ekonomi ekologi. Salah satu informasi penting yang diperlukan adalah pengetahuan hubungan kondisi atau mekanisme ekosistem dengan Nilai Ekonomi Total (NET) yang diperlukan sebagai sarana pengambilan keputusan di dalam pengelolaan ekosistem hutan. Perumusan Masalah Pengelolaan hutan lestari memerlukan keseimbangan ekologis dan ekonomis bagi kebutuhan generasi sekarang, dan melakukan perlindungan terhadap ekosistem agar terpelihara kemampuannya bagi generasi akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Implimentasi pengelolaan hutan saat ini masih memiliki berbagai kelemahan untuk mencapai pengelolaan hutan lestari, antara lain karena belum lengkapnya informasi dampak nilai ekonomis dan ekologis dari perubahan komponen ekosistem hutan bagi stakeholders (pengelola hutan, pemerintah dan masyarakat lokal) di dalam pengelolaan hutan. Perubahan pengelolaan hutan dengan paradigma kelestarian kuat memerlukan kesadaran moral yang semula didominasi oleh etika antroposentrisme bergeser kepada biosentrisme dan ekosentrisme (kesadaran
24 ekologisme) dan pengembangan pengetahuan ekologis dan ekonomi ekosistem hutan. Etika sebagai sumber teori nilai tentang baik dan tidak baik, benar dan salah, boleh dan tidak boleh dilakukan, tentunya sangat berperan di dalam membentuk sikap dan tindakan manusia terhadap ekosistem hutan. Paham antroposentrisme hanya mementingkan kepentingan manusia dan komponen ekosistem lainnya (bukan manusia) hanya sebagai instrumen bagi kesejahteraan manusia. Fakta berupa kerusakan ekosistem mengakibatkan kelestarian tidak terjamin, sehingga memerlukan pergeseran paradigma pengelolaan ekosistem hutan. Ekosentrisme menganut perluasan acuan moral, yang menjadikan komponen bukan manusia juga sebagai subjek moral, sehingga menuntut pengakuan terhadap hak keberadaan, kehidupan dan kebebasan komponen bukan manusia tersebut. Manusia sebagai pelaku moral sekaligus sebagai khalifah di muka bumi mempunyai tanggungjawab bukan saja terhadap keberadaan dan kehidupan manusia tetapi juga terhadap komponen ekosistem bukan manusia tersebut. Didalam menjalankan tanggungjawabnya diperlukan dukungan ilmu pengetahuan agar dapat memahami perubahan yang mungkin timbul dari setiap tindakan pengelolaan terhadap kondisi ekosistem termasuk manusia. Oleh karena itu setiap tindakan harus dipertimbangkan tidak menimbulkan ancaman, kerusakan, kepunahan komponen-komponen ekosistem. Pemanfaatan masih dapat dilakukan dengan memperhatikan integritas, kestabilan dan keindahan ekosistem (Leopold, 1966 dalam Brian, 1995). Perkembangan pengetahuan tentang hubungan NET dengan perubahan kondisi ekosistem sampai saat kini masih belum lengkap. Hal ini karena kajian tentang kondisi ekosistem dan kajian NET masih parsial dan informasinya terbatas. Hasil penelitian dinamika tegakan, satwaliar, fungsi ekologis dilakukan terpisah belum dikaitkan satu dengan lainnya, atau dilakukan pada tipe hutan yang berbeda. Hasil penelitian NET hutan yang telah dilakukan hanya menggambarkan NET pada kondisi hutan tertentu, dan informasi mengenai kondisi hutan yang dinilai sangat kurang. Oleh karena itu hasil-hasil penelitian NET hutan ini tidak dapat diperbandingkan antara yang satu dengan dengan yang lain, dan belum dapat menggambarkan NET dengan perubahan setiap kondisi ekosistem hutan.
25 Ada gap informasi mengenai pola hubungan NET dengan kondisi ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat. Sehingga diperlukan pendugaan NET yang mampu menggambarkan perubahan kondisi ekosistem hutan. Pendugaan NET ini dapat dilakukan dengan Pendekatan Sistem. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka permasalahan penelitian dari aspek teoritis adalah Bagaimanakah perubahan NET jika kondisi ekosistem hutan berubah, yang selanjutnya dijabarkan sebagai berikut : 1) Bagaimanakah respon output (barang dan fungsi ekologis) ekosistem hutan alam apabila kondisi tegakan berubah akibat tindakan penebangan? 2) Apakah perubahan setiap komponen nilai pada NET searah atau saling berlawanan? Adapun permasalahan penelitian dari aspek praktis dalam pengelolaan ekosistem hutan adalah : 1) Apakah konsep NET dapat digunakan sebagai alat evaluasi pengelolaan hutan alam dari aspek manfaat dan biaya bagi stakeholders? 2) Apakah pendekatan sistem dalam pendugaan NET ekosistem hutan ini dapat digunakan dalam penetapan keputusan tujuan pengelolaan hutan alam? Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan umum adalah mendapatkan model penilaian ekosistem hutan alam dengan pendekatan sistem terhadap komponen ekosistem hutan dan komponen nilai ekonomi total (NET), yang menjadi media proses pembelajaran terhadap berbagai bentuk interaksi diantara komponen-komponen yang diteliti. Tujuan khusus penelitian adalah : 1) Mendapatkan pengetahuan sifat atau dinamika NET pada berbagai intensitas penebangan tegakan melalui model dinamika tegakan, potensi hasil dan nilai ekosistem hutan berupa hasil hutan kayu, non kayu (dari tumbuhan dan satwaliar) dan jasa fungsi ekologis berupa pengendalian erosi dan hasil air untuk konsumsi masyarakat sekitar hutan, serta keanekaragaman hayati yang menjadi suatu model pendugaan NET ekosistem hutan alam. 2) Mendapatkan pengetahuan bagaimana harmonisasi kepentingan stakeholders di dalam pengelolaan ekosistem hutan berdasarkan konsep NET.
26 Manfaat penelitian adalah : 1) Pada aspek ilmu pengetahuan, akan berkontribusi pada pengembangan metodologi penilaian ekosistem hutan. 2) Pada aspek pengelolaan hutan, akan berkontribusi pada penguatan sistem pengelolaan ekosisten hutan dengan dukungan kesadaran etika ekosentrisme. Hipotesis Penelitian Penilaian ekonomis dan ekologis ekosistem hutan dengan pendekatan sistem ini mencoba mengintegrasikan komponen ekosistem dan komponen NET dalam model pendugaan NET untuk memperoleh informasi NET yang relevan dengan perkembangan kondisi ekosistem hutan. Hipotesis dalam penelitian adalah : 1) Interaksi diantara hasil kayu, non kayu dan jasa fungsi ekologis bersifat negatif atau saling meniadakan, yang besarnya dipengaruhi oleh tindakan pengelolaan hutan berupa intensitas penebangan tegakan. Model pendugaan NET ekosistem hutan yang mengintegrasikan berbagai interaksi komponen ekosistem ini memikili kemampuan menggambarkan perubahan komponen NET sesuai dengan perubahan komponen ekosistem hutan khususnya tegakan satwaliar dan fungsi hidrologis tersebut secara dinamis. 2) Hasil pendugaan NET ekosistem hutan dengan pendekatan sistem ini dapat mengarahkan keputusan tujuan pengelolaan ekosistem hutan alam dengan manfaat ekonomis dan ekologis secara harmonis bagi stakeholders, di setiap unit pengelolaan ekosistem hutan alam, melalui penentuan intensitas dan bentuk pengelolaannya. Ruang Lingkup Penelitian Kompleksitas ekosistem hutan sangat tinggi, ketersediaan informasi masih terbatas, dan diperlukan pendekatan multidisiplin, sehingga dalam penelitian ini perlu batasan sistem. Batasan sistem pada penelitian adalah kesatuan ekosistem hutan alam pada tipe hutan hujan tropis dataran rendah (0-500 m dpl) dan bukit (500-1.000 m dpl) dengan komponen tegakan, satwaliar, fungsi hidrologis dan masyarakat (Soerianegara, 1995). Komponen tegakan dipertimbangkan sebagai
27 komponen utama ekosistem hutan, satwaliar sebagai satwa yang mempunyai nilai ekonomis potensial bagi masyarakat sekitar hutan, tanah dan curah hujan sebagai faktor terkait langsung dengan masalah erosi dan kualitas air yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan hutan. Secara rinci batasan ini adalah : 1) Komponen ekosistem hutan: meliputi tegakan, satwaliar, iklim (intensitas curah hujan) tanah, dan masyarakat di sekitar hutan yang memiliki interaksi dengan hutan. 2) Komponen hasil hutan: meliputi hasil hutan kayu, non kayu meliputi resin atau getah, buah, rotan dan bambu, satwaliar, fungsi ekologis berupa pengendalian erosi, kuantitas dan kualitas hasil air untuk konsumsi rumah tangga masyarakat sekitar hutan. 3) Komponen NET: meliputi a) nilai guna langsung (direct use values) yang mencakup kayu, non kayu termasuk satwaliar, b) nilai guna tidak langsung (indirect use values) berupa nilai fungsi pengendalian erosi dan kualitas air, c) nilai pilihan (option values) dan nilai keberadaan (existence value) keanekaragaman hayati flora dan fauna hutan alam.