ANALISIS NILAI EKONOMI TOTAL DAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS NILAI EKONOMI TOTAL DAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM"

Transkripsi

1 175 ANALISIS NILAI EKONOMI TOTAL DAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM Analisis Nilai Ekonomi Total Hutan Alam Produksi Nilai ekonomi total (NET) ekosistem hutan terdiri atas nilai guna langsung dan tidak langsung, nilai pilihan dan nilai keberadaan merupakan sistem nilai yang didasari oleh perpaduan paham etika antroposentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme. Antroposentrisme bersifat instrumentalistis dan egoistis, meletakan pusat kepentingan pada manusia sebagai individu atau masyarakat, dan unsurunsur lingkungan menjadi instrumen bagi pemenuhan kebutuhan dan kepuasan manusia semata. Kegiatan pengelolaan pada ekosistem hutan hanya dilakukan pada sesuatu yang memberikan kegunaan. Oleh karena itu, kelestarian dianggap baik dan penting agar tetap menjamin pemanfaatan hasil hutan kayu, non kayu dari tumbuhan dan satwaliar dalam rangka pemenuhan kepuasan di dalam konsumsi hasil hutan. Biosentrisme dan ekosentrisme memberikan landasan perluasan acuan moral, bahwa tumbuhan, satwa dan juga unsur abiotik pada ekosistem pada dasarnya bernilai bagi mereka sendiri. Komponen bukan manusia di dalam ekosistem hutan itu sesungguhnya sebagai subjek moral, yang menuntut kewajiban dan tanggungjawab tertentu dari manusia sebagai pelaku moral (khalifah). Semua mahluk hidup dan komponen abiotik mempunyai hak untuk dihargai dan dijamin keberadaannya, hidup dan berkembang secara alamiah (sunatullah). Nilai ekonomi total (NET) ekosistem hutan bersumber dari berbagai macam bentuk barang dan jasa fungsi hidrologis maupun kondisi ekosistem hutan secara keseluruhan, diekspresikan melalui preferensi manusia (selanjutnya disebut masyarakat). Faktor-faktor agama, etika, norma, adat, pendidikan, pengetahuan, pendapatan dan lain-lain akan membentuk persepsi masyarakat terhadap ekosistem hutan, yang selanjutnya menentukan nilai berupa nilai guna dan non guna. Nilai guna berkaitan dengan kegunaan yang diperoleh masyarakat dari ekosistem hutan, sedangkan nilai non guna merupakan nilai intrinsik ekosistem hutan itu sendiri.

2 176 Di dalam teori ekonomi nilai guna menurut preferensi dan selera atas hasil hutan yang bersifat langka dengan kepemilikan yang jelas, nilainya dinyatakan oleh harga yang dibentuk melalui mekanisme pasar. Tampak disini, apabila tujuan konsumsi untuk memaksimumkan kepuasan, maka faktor terkait sebagai kendala adalah kelangkaan hasil hutan dan pendapatan yang dialokasikan untuk belanja berbagai kebutuhan. Kepuasan maksimum atas konsumsi berbagai barang dan jasa diperoleh pada kombinasi jumlah konsumsi tertentu, dengan kriteria MU X1 /P X1 =MU X2 /P X2 =...MU Xn /P Xn, MU adalah kegunaan marjinal dan P adalah harga. Pasar mampu memberikan nilai yang benar atas barang ekonomi tersebut, tetapi kelembagaan pasar gagal menentukan nilai jasa ekologis. Kegiatan ekonomi dalam produksi dan konsumsi hanya mampu memperhitungkan nilai guna melalui transaksi pasar, sedangkan nilai guna melalui mekanisme ekologis tidak memiliki nilai pasar (kegagalan pasar). Di dalam paham ekonomi ekologi, seluruh komponen ekosistem berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Konsep kesejahteraan tidak diukur semata-mata oleh penggunaan suatu materi sebagaimana etika antroposentrisme di dalam teori ekonomi; tetapi diukur oleh kualitas kehidupan, yang menyangkut kepuasan material dan bukan materi yang diperoleh dari interaksi manusia dengan komponen ekosistem alam lainnya. Adopsi etika biosentrisme dan ekosentrisme akan memodifikasi etika antroposentrisme, dengan pengakuan hak moral komponen di luar manusia pada ekosistem hutan. Secara konsepsional pengakuan ini ditunjukkan oleh adanya nilai bukan guna yang akan menjadi jembatan antara konsep ekonomi dan konservasi atas perilaku masyarakat di dalam pengelolaan hutan. Bahasa merupakan sarana penting dalam kehidupan sosial manusia, dan menjadi media perkembangan ilmu pengetahuan. Manusia berkewajiban memahami bahasa alam atau ayat qauniyah untuk mengetahui bagaimana kondisi alam dan kualitas interaksi antara manusia dengan alam (komponen ekosistem hutan selain manusia). Sinyal oleh alam berupa fenomena ekologis yang memiliki keteraturan dan hubungan timbal balik merupakan bahasa alam yang menjadi pengetahuan penting bagi manusia, yang akan melakukan pengelolaan hutan, dalam kapasitasnya sebagai khalifah.

3 177 Penilaian NET ekosistem hutan suatu proses penggalian preferensi masyarakat melalui berbagai metode untuk menyatakan besar nilai ekonomi ekosistem hutan tersebut. Metode penilaian yang berdasarkan atas preferensi, umumnya diterapkan untuk mengukur besar nilai masing-masing hasil hutan secara terpisah dan juga tidak secara jelas menunjukkan kaitannya dengan pola manajemen hutan yang mempengaruhi kondisi ekosistem hutan yang menjadi sumber hasil hutan tersebut. Sebagai contoh Kramer, Sharma dan Munasinghe (1995) studi kasus penilaian NET hutan tropis di Madagaskar yang diusulkan sebagai Taman Nasional (TN) Mantadia berupa nilai rekreasi dengan travel cost method dan contingent valuation method (CVM) diperoleh 1,7-2,5 juta US$. Penilaian efek deforestasi pada hutan ha terhadap nilai kerusakan akibat banjir dengan metode produktivitas; analisis perubahan penutupan hutan dari peta penginderaan jauh pada tahun 1957 sampai 1984 serta analisis kejadian banjir dan dampak kerusakan tanaman pertanian; diperoleh nilai kiwari kerugian banjir 20 tahun (selisih nilai with dan without park) 71 ribu US$. Nilai keberadaan dihitung dengan teknik CVM kepada rumah tangga di Amerika Serikat tentang pelestarian hutan hujan tropis di Madagaskar diperoleh WtP US$/rumah tangga; total 91 juta rumah tangga, maka nilai keberadaan hutan hujan tropis 2,2-2,8 milyar US$. Disamping itu juga dinilai kehilangan pendapatan bersih dari pemanfaatan untuk tanaman padi, kayu bakar, ikan, kerang satwaliar lainnya (forgone benefits) dan ini menjadi oppotunity cost bagi masyarakat sebesar nilai kiwari ribu US$ akibat hutan ditetapkan sebagai taman nasional. Kelemahan penilaian kasus TN Mantadia di atas adalah setiap komponen dinilai secara parsial, bebas satu sama lainnya dan nilai tersebut dianggap konstan pada berbagai kondisi hutan (tidak secara jelas menunjukkan hubungan antara kualitas hutan dengan nilai-nilai tersebut, kecuali untuk nilai dampak banjir). Beberapa pertanyaan belum bisa dijawab dengan baik, misalnya a) jika tidak ditetapkan sebagai taman nasional, apakah nilai rekreasi dan nilai keberadaannya akan menjadi nol?; b) jika model pengelolaan taman nasional menerapkan pemanfaatan terkendali pada satwaliar tertentu apakah ada dampak terhadap nilai rekreasi, pengendalian banjir dan nilai keberadaan?; c) apakah WtP rumah tangga di AS terhadap nilai keberadaan TN tidak dipengaruhi oleh kualitas hutan hujan

4 178 tropis itu? Apakah nilai keberadaan sama besarnya untuk semua lokasi dan kondisi hutan hujan tropis? Kelemahan pendugaan nilai dengan pendekatan statis dan parsial ini semakin besar potensi kesalahannya jika diterapkan pada hutan yang belum ditetapkan tujuan dan bentuk pengelolaannya. Pendugaan NET pada hutan alam produksi akan menghadapi persoalan bagaimana dampak keterkaitan ekologis dan ekonomis antara berbagai komponen atau hasil hutan tersebut. Misalkan nilai kayu dan non kayu diperoleh dari perkalian harga dan produksi tahunan masingmasing jenis hasil hutan; pada saat yang sama dihitung nilai penyerapan (stok) karbon, kemudian NET adalah penjumlahan nilai kayu,non kayu dan stok karbon. Hasil ini kemungkinan bias, karena tidak memperhatikan sifat keterkaitan kayu dan berbagai komponen hasil non kayu, yang mungkin bersifat saling meniadakan (negatif), komplemen (+) atau netral; sedangkan untuk hubungan produksi kayu dan stok karbon jelas bersifat negatif. Pendugaan NET ekosistem hutan dengan pendekatan sistem pada penelitian ini berusaha untuk mengatasi kelemahan pada metode penilaian yang umumnya digunakan saat ini, dengan cara terintegrasi dan dinamis. Berdasarkan pembahasan pada Subsistem nilai kayu dan non kayu yang berasal dari tumbuhan dan satwaliar (nilai guna langsung), Subsistem nilai hidrologis (nilai guna tidak langsung), Subsistem nilai kehati (nilai pilihan dan keberadaan) diperoleh hasil bahwa hubungan antara nilai guna hasil hutan kayu dengan komponen NET lainnya (nilai hasil hutan non kayu, fungsi hidrologis, keanekaragaman hayati) yang bersifat saling meniadakan (negatif). Sementara hubungan diantara nilai hasil hutan non kayu, fungsi hidrologis dan keanekaragaman hayati bersifat sinergis (positif). Yang menjadi pelajaran disini bahwa sifat saling meniadakan ini tidak sempurna, bukan hubungan satu dan nol, tetapi dengan nilai tertentu (parameter) yang dipengaruhi oleh intensitas penebangan tegakan untuk produksi kayu. Disamping itu model keterkaitan antara komponen hasil hutan yang dinilai tidak linier, model spesifik untuk setiap jenis hasil hutan berupa barang maupun dan jasa ekologis. Perbandingan metode pendugaan NET dengan pendekatan sistem dengan metode yang umum dipraktikkan saat ini disajikan pada Tabel 20.

5 179 Tabel 20 Perbedaan metode pendugaan NET ekosistem hutan dengan pendekatan sistem dan metode yang umum dipraktikan saat ini Komponen Pendekatan sistem Pendekatan lama Kaitan biofisik hutan dengan preferensi Waktu Keterkaitan secara langsung perkembangan kondisi biofisik dan hasil hutan yang dinilai dengan preferensi Bersifat dinamis, menggambarkan perubahan komponen yang dinilai dari waktu ke waktu Penggunaan Memiliki kemampuan untuk menduga NET pada berbagai alternatif pengelolaan hutan. Hasil pendugaan NET dapat diperbandingkan secara langsung pada berbagai kondisi hutan (konsep perbandingan dengan & tanpa proyek) Pendekatan parsial berdasarkan sifat setiap komponen hasil hutan yang dinilai Ekosistem hutan Pendekatan terintegrasi berdasarkan sifat hubungan setiap komponen hutan yang menjadi sumber hasil hutan yang dinilai Keterkaitan hanya pada hasil hutan (tidak menunjukkan perkembangan kondisi biofisik hutan) yang dinilai dengan preferensi Bersifat statis, menggambarkan komponen yang dinilai pada waktu tertentu saja (pada saat penilaian dilakukan) Memiliki kemampuan untuk menduga NET pada bentuk pengelolaan hutan tertentu. Hasil pendugaan NET tidak dapat secara langsung diperbandingkan pada berbagai kondisi hutan Secara konsepsional nilai didefinisikan sebagai persepsi seseorang atas objek yang dimaksud menurut tempat dan waktu tertentu (Davis & Johnson 1987). Pada berbagai kasus penilaian NET, kondisi objek (hutan) yang dinilai pada tempat dan waktu tertentu tersebut tidak diuraikan kualitasnya secara jelas. Hal ini berimplikasi pada kemungkinan nilai ekonomi yang diperoleh tidak menggambarkan kondisi objektif hutan tersebut. Misalkan nilai kayu dan non kayu diukur dari perkalian harga dan realisasi produksi. Pada dua areal hutan yang kualitasnya (potensinya) berbeda, bisa memiliki nilai ekonomi yang sama, jika realisasi produksi hasil hutan di kedua hutan itu sama. Pada kasus lain nilai

6 180 ekonomi hutan setiap tahun meningkat (flow), tetapi sebaliknya nilai stok (potensi) hutan semakin menurun. Disini preferensi seseorang hanya menggambarkan nilai satuan hasil hutan ( harga ) secara benar, tetapi penentuan nilai flow sumberdaya tidak didasarkan atas potensi hutan sesungguhnya. Pada banyak kasus penentuan nilai keberadaan, nilai yang menggambarkan preferensi seseorang itu, tidak secara jelas merupakan cerminan preferensi terhadap kualitas hutan dengan ukuran-ukuran tertentu. Oleh karena itu pendekatan sistem pada penilaian NET perlu didasarkan atas dinamika kondisi biofisik dan preferensi akan memunculkan nilai per satuan dan nilai total hasil hutan yang dinilai. Dengan demikian NET tahunan yang diperoleh dapat dievaluasi terhadap perkembangan kondisi stok (potensi) hutan yang terjadi maupun tingkat produksi yang dilakukan. Pendekatan sistem yang dikembangkan pada penelitian masih terbatas pada pengaruh dinamika tegakan akibat berbagai intensitas penebangan terhadap perkembangan potensi (dinamika) hasil non kayu, fungsi hidrologis dan kehati. Variabel penjelas (X) terhadap variabel tidak bebas (non kayu, fungsi hidrologis dan kehati) adalah jangka waktu setelah penebangan. Secara empiris jangka waktu setelah penebangan (X) mampu secara baik menjelaskan dinamika komponen ekosistem yang lain, tetapi pendekatan sistem ini hanya mampu secara tidak langsung menjelaskan sifat keterkaitan diantara komponen hasil non kayu, fungsi hidrologis, dan kehati. Diasumsikan perubahan potensi non kayu berhubungan langsung dengan fungsi pengendalian erosi dan tata air serta tingkat kehati ekosistem hutan alam produksi tersebut, dan dinamikanya mengikuti pola hubungannya dengan produksi kayu. Konsep ekonomi yang digunakan dalam mengukur NET pada penelitian ini adalah nilai tambah. Nilai tambah pada NET ini menerangkan manfaat ekonomi ekologis terdiri dari nilai manfaat bersih sumberdaya alam berupa barang dan jasa fungsi hidrologis (resources rent), pendapatan bersih yang diperoleh para pelaku usaha pengelolaan (pemanfaatan) hasil hutan serta manfaat ekonomi para tenaga kerja yang ikut serta dalam pengelolaan hutan tersebut. Kalau menggunakan konsep surplus hanya mengukur keuntungan yang diperoleh

7 181 pemilik modal finansial (pihak pengelola) serta nilai sumberdaya (resource rent) yang diperoleh pemilik sumberdaya hutan. Konsep nilai tambah yang digunakan pada penelitian ini bukan sifat khusus dari motode pendugaan NET dengan pendekatan sistem. Analisis ekonomi di dalam evaluasi suatu keputusan pengelolaan (kebijakan ekonomi), menggunakan analisis surplus produsen dan konsumen untuk melihat perubahan kesejahteraan sosial. Konsep surplus didasarkan pada efisiensi yang akan menjadi opportunity cost bagi pemilik modal (finansial & sumberdaya alam) di dalam pilihan alokasinya. Pertimbangan penggunaan konsep nilai tambah adalah untuk memperluas gambaran manfaat ekonomi pengelolaan hutan bagi masyarakat yang ikut di dalam kegiatan ini. Dari sisi pertimbangan sosial, perhatian terhadap manfaat hutan sebagai lapangan pekerjaan yang memberi pendapatan bagi mereka, dirasa sangat penting. Dari segi ekonomi peranan pendapatan pekerja ini akan berkontribusi terhadap perekonomian desa-desa yang ada di sekitar hutan. Pertimbangan lain adalah secara empiris issu konflik lingkungan bukan hanya melibatkan pemilik modal (pengusaha) dengan masyarakat, tetapi sering menimbulkan konflik horizontal antara masyarakat yang bekerja dan masyarakat yang tidak bekerja di perusahaan. Analisis NET ekosistem hutan hasil penilaian dengan pendekatan sistem ini menyangkut sifat hubungan antara nilai guna langsung kayu dan non kayu dari tumbuhan dan satwaliar, nilai guna tidak langsung fungsi hidrologis, nilai pilihan dan keberadaan keanekaragaman hayati. Pada Gambar 20 (a) menunjukkan nilai kiwari NET 1 pada siklus tebang 35 tahun pertama, kombinasi dari nilai guna kayu (Ky) dan non kayu dari tumbuhan dan satwaliar (NK) pada berbagai intensitas penebangan. Hubungan nilai guna kayu dan non kayu bersifat trade off, dimana semakin tinggi intensitas penebangan akan meningkatkan nilai guna kayu, yang peningkatannya lebih besar dari penurunan nilai guna non kayu. Pada Gambar 20 (b) hubungan komponen NET 3 antara nilai guna kayu (Ky) dan penjumlahan seluruh nilai guna non kayu, nilai guna tidak langsung fungsi hidrologis, nilai pilihan dan keberadaan keanekaragaman hayati (NK + ), juga bersifat trade off. Dari uraian ini maka hipotesis pertama bahwa interaksi di antara hasil hutan kayu,

8 182 non kayu, fungsi hidrologis dan keanekaragaman hayati bersifat saling meniadakan dapat dibuktikan. (a) Nilai Kiwari NET1 (Rp/ha) NET 1, NET 1, NET 1, NET 1, IP 0% IP 50% (b) IP 76% IP 100% NK NK NK NK Ky 0 Ky Ky Ky NET NK=nilai kiwari hasil hutan non kayu; Ky = nilai kiwari hasil hutan kayu (Rp/ha) (b) Nilai Kiwari NET3 (Rp/ha) NET NET NET NET IP 0% IP 50% IP 76% IP 100% NK NK NK NK + ( ) Ky 0 Ky Ky Ky NET NK + = nilai kiwari hasil hutan non kayu+fungsi hidrologis+kehati; Ky= nilai kiwari hasil hutan kayu (Rp/ha) Gambar 20 NET ekosistem hutan alam produksi pada berbagai intensitas penebangan (a) NET 1 yang terdiri dari nilai guna kayu dan non kayu (b) NET 3 yang terdiri dari nilai guna kayu dan non kayu, nilai guna tidak langsung fungsi hidrologis, nilai pilihan dan keberadaan kehati Sifat hubungan komponen NET pada Gambar 20 trade off, tetapi terdapat perbedaan diantara komponen-komponen NET di kedua gambar tersebut. Jika

9 183 alternatif keputusan hanya mempertimbangkan hasil hutan kayu dan non kayu saja (Gambar 20 a), maka keputusan pada intensitas penebangan tinggi. Sebaliknya pada Gambar 20 (b) peningkatan intensitas penebangan membawa konsekuensi penurunan nilai non kayu, fungsi hidrologis dan kehati yang cukup besar. Penurunan nilai non kayu fungsi hidrologis dan kehati ini tidak dapat diimbangi oleh kenaikan nilai kayu. Dengan demikian, keputusan tujuan pengelolaan yang memaksimumkan NET bukan lagi pada pilihan intensitas penebangan tinggi, tetapi sebaliknya pilihan pada tanpa penebangan (tanpa produksi kayu). Pengetahuan yang diperoleh dari analisis NET ini bahwa hubungan komponen NET bersifat trade off, dan jumlah komponen NET yang dipertimbangkan memberikan pengaruh yang berbeda di dalam keputusan memaksimumkan NET, akibat pengaruh besar interaksi trade off yang terjadi diantara komponen NET tersebut di tiap-tiap intensitas penebangan. NET ekosistem hutan menjadi masukan di dalam pengambilan keputusan pengelolaan hutan. Informasi NET memuat prinsip moral biosentrisme dan ekosentrisme, meskipun pengungkapannya masih tetap didasarkan oleh preferensi manusia, sebagaimana pada etika antroposentrisme. Konsep NET pada teori ekonomi ekologi bersama-sama dengan konsep ecological economic efficiency pada teori steady state economics merupakan konsep yang tergolong paradigma kelestarian kuat (strong sustainability paradigm). Pendugaan nilai NET dapat digunakan dalam penghitungan ecological economic efficiency, khususnya efisiensi manfaat ekosistem (ecosystem service efficiency/ese). Efisiensi ini mengukur jumlah stok sumberdaya alam atau ekosistem yang dipanen(nk stock) per unit manfaat ekosistem hutan yang dikorbankan atau hilang (NK service sacrificed). Secara matematis adalah ESE NK = stock. NK service sacrificed Berdasarkan data pada Gambar 20 (b), apabila penebangan tegakan 100% maka ESE = 0,73; penebangan tegakan 76%, ESE = 0,79; penebangan 50% ESE = 0,94. Untuk memperoleh efisiensi (ESE) tinggi, tindakan penting yang harus dilakukan adalah memperkecil biaya berupa manfaat ekosistem yang dikorbankan. Pada kasus ini dengan cara memperkecil intensitas penebangan tegakan. Upaya lain yang perlu dilakukan adalah menggunakan teknologi pemanenan yang lebih ramah lingkungan (reduced impact logging), teknik

10 184 konservasi tanah dan air, sehingga kehilangan manfaat ekologis ekosistem hutan dapat diperkecil. Implikasi pada Kebijakan Pengelolaan Hutan Alam Pembelajaran penting dari banyak kasus deforestasi dan degradasi ekosistem hutan, adalah karena perilaku di dalam pengelolaan hutan yang tidak memiliki landasaran etika yang kuat terhadap kelestarian. Anomali yang dihadapi oleh paradigma pengelolaan hutan seperti alokasi lahan hutan untuk fungsi tertentu (penatagunaan hutan) maupun kelestarian hasil kayu menyiratkan adanya kebutuhan perubahan paradigma pengelolaan hutan. Evaluasi kebijakan pengelolaan hutan produksi secara konvensional menggunakan ukuran nilai produk domestik bruto (PDB). Semakin tinggi produksi kayu bulat yang menjadi bahan baku industri pengolahan kayu, maka PDB (pertumbuhan ekonomi) semakin tinggi. Berbagai kebijakan seperti pemanfaatan kayu, konversi hutan alam ke hutan tanaman ataupun penebangan ilegal, dari ukuran PDB akan positif bagi pertumbuhan ekonomi. Evaluasi dengan menggunakan konsep NET memperhitungkan deplisi stok hutan dan kehilangan manfaat hasil hutan non kayu serta lingkungan, menghasilkan hal sebaliknya (negatif). Studi IPB dan Bappenas (2004) menunjukkan kasus pengelolaan hutan produksi di Propinsi Riau menanggung kerugian ekonomi dan lingkungan ratarata 3,6 milyar/tahun (Lampiran 13). Hal ini menjelaskan ukuran PDB sebagai manifestasi etika antroposentrisme telah membawa penurunan kualitas hidup masyarakat, telah memberi arah yang salah dalam pengambilan keputusan. Bahasa alam yang dipahami sebagai pengetahuan sifat hubungan dan besar pengaruh (sensitivitas) yang ditimbulkan oleh perubahan satu komponen terhadap komponen lain pada NET menjadi informasi penting di dalam pengambilan keputusan ataupun evaluasi kebijakan pengelolaan hutan. Dengan semakin banyak, komponen NET ekosistem hutan yang dapat dinilai dan dipertimbangkan dalam keputusan, akan semakin lengkap informasi yang diperoleh. Keputusan yang mempertimbangkan sebanyak mungkin komponen NET akan memberikan hasil keputusan yang lebih objektif.

11 185 Pengambilan keputusan pengelolaan hutan alam menggunakan beberapa kriteria keputusan yaitu : 1) maksimasi NET, 2) harmonisasi kepentingan stakeholders, 3) kelestarian hasil dan sumberdaya (stok) hutan. Metode yang digunakan untuk mengevaluasi NET adalah perbandingan NET dengan konsep dengan dan tanpa proyek atau perbandingan diantara setiap alternatif keputusan tersebut, yang dapat difasilitasi oleh metode pendugaan NET dengan pendekatan sistem. Subsistem model penduga NET dan distribusinya pada stakeholders disajikan pada Lampiran 14. Simulasi alternatif keputusan penebangan dilakukan untuk memahami perilaku NET dan implikasinya terhadap kepentingan stakeholders. Landasan pemikirannya adalah intensitas penebangan mempengaruhi dinamika NET, dan terkait dengan implikasi maksimasi nilai dari perspektif salah satu stakeholders. Intensitas tebangan 100% adalah refleksi kepentingan pengelola hutan, dan 0% kepentingan masyarakat lokal (LSM), kemudian 50% intensitas diantara keduanya, dan 76% menunjukkan intensitas penebangan minimum yang dipraktikan saat kini oleh pengelola hutan di lokasi penelitian. Tabel 21 Perbandingan komponen-komponen NET untuk setiap alternatif penebangan tegakan dengan basis intensitas penebangan 0% Komponen NET setiap alternatif penebangan Perubahan nilai kiwari NET menurut intensitas penebangan (Rp/ha) IP 0 IP 50 IP 76 IP 100 NET 1 : NKy + NNK NET 2 : NKy + NFHid+ NKehati NET 3 : Nky + NNK+ NFHid + NKehati 0 (99.989) ( ) ( ) Pada Tabel 21 analisis maksimasi NET dilakukan dengan perbandingan setiap alternatif intensitas penebangan tegakan terhadap alternatif tanpa penebangan (intensitas penebangan 0%) sebagai basis perbandingan. Kaidah keputusan adalah jika perubahan NET yaitu NET IP j NET IP 0 > 0 maka keputusan dilakukan penebangan, dan alternatif keputusan yang memberikan NET maksimum adalah alternatif yang memiliki perubahan nilai kiwari NET terbesar.

12 186 Keputusan maksimasi NET selain dipengaruhi oleh intensitas penebangan juga dipengaruhi oleh komponen NET yang dipertimbangkan dalam keputusan tersebut. NET 1 yang terdiri atas nilai guna kayu dan non kayu, maksimum pada intensitas penebangan 100%, tetapi NET 3 yang mencakup nilai nilai guna kayu, non kayu, nilai guna tidak langsung fungsi hidrologis, nilai pilihan dan keberadaan keanekaragaman hayati maksimum pada alternatif tanpa penebangan tegakan. Analisis distribusi manfaat ekonomi ekologis (NET) bagi stakeholders didasarkan atas sistem pengelolaan hutan alam saat. Stakeholders terdiri dari pemerintah, pengelola hutan alam produksi, masyarakat lokal. Pengelola dan pekerja memperoleh manfaat dari produksi kayu bulat; pemerintah memperoleh resource rent dari hasil kayu dan non kayu, menanggung eksternalitas penurunan produktivitas atau kehilangan unsur hara karena erosi (on site effect) dan memperoleh nilai pilihan dan keberadaan kehati; masyarakat memperoleh manfaat produksi hasil hutan non kayu dan nilai air (off site effect). Distribusi NET 1 dan NET 3 menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu adaya divergensi kesejahteraan di antara stakeholders terjadi pada alternatif tanpa tebangan (IP 0%) dan intensitas penebangan 100%. Kecenderungan konvergensi kesejahteraan terjadi diantara kedua alternatif ekstrim tersebut, yaitu penebangan 50% dan 76% (Gambar 21). Jika alternatif keputusan bergerak dari tanpa penebangan menuju penebangan dengan intensitas semakin tinggi, maka hasil analisis distribusi NET -1 menunjukkan masyarakat lokal yang berisiko tinggi mengalami penurunan kesejahteraan cukup besar (dari 90% menjadi 10% NET 1 ). Sedangka pemerintah dan pengelola hutan cenderung semakin naik kesejahteraannya (better off), pemerintah bergerak dari 10% menjadi 33% dan pengelola dari 0% menjadi 56%. Pada analisis distribusi NET 3 yang mengandung komponen-komponen NET yang lebih lengkap, menunjukkan fenomena yang berbeda, kebalikan dari distribusi NET 1. Pemerintah berisiko tinggi mengalami worse off yang sangat tinggi (dari 19% menjadi -7%), sedangkan masyarakat lokal tetap cenderung turun tetapi tidak sebesar pemerintah (dari 81% menjadi 30%). Sedangkan pengelola hutan selalu

13 187 akan lebih baik, dari tanpa penebangan menjadi dengan penebangan, yaitu mendapat nilai manfaat kayu dari 0% menjadi 77% NET 3. NET3 untuk stakeholders (%) NET1 untuk stakeholders (%) (a) Pemerintah Intensitas penebangan (%) Pengelola Hutan (b) Masyarakat Lokal Intensitas penebangan (%) Pemerintah Pengelola hutan Masyarakat lokal Gambar 21 Distribusi NET untuk stakeholders menurut intensitas penebangan: (a) Nilai guna kayu dan non kayu, (b) Nilai guna kayu, non kayu, nilai guna tidak langsung fungsi hidrologis, nilai pilihan dan keberadaan kehati hutan alam produksi Berdasarkan hasil simulasi intensitas penebangan ini harmonisasi kepentingan stakeholders dapat dilakukan pada kisaran 50% sampai 76%. Harmonisasi dapat dilakukan dengan mekanisme perundingan di antara stakeholders dengan beberapa pertimbangan yaitu :

14 Keadilan manfaat NET yang diperoleh, yang dapat diterjemahkan dengan kesetaraan nilai manfaat yang diperoleh stakeholders 2. Proporsi tingkat kebutuhan modal dan risiko yang ditanggung oleh pengelola untuk setiap jenis manfaat hutan 3. Tingkat kepentingan penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat di sekitar hutan untuk mendukung pengembangan kesejahteraan masyarakat pedesaan 4. Tingkat keterkaitan dengan aktivitas ekonomi di sektor bagian hulu (backward linkages) dan di bagian depan (forward linkages) serta peranan fungsi hidrologis hutan mendukung dan memelihara aset ekonomi di daerah hilir Kriteria keputusan yang penting yang ketiga adalah kelestarian hasil hutan dan stok sumberdaya (ekosistem hutan). Pada penelitian ini dilakukan analisis rasio kelestarian hasil hutan dan stok tegakan (Lampiran 15). Pada intensitas penebangan 0% dan 50% semua jenis hasil hutan memenuhi kriteria kelestarian hasil dan juga kelestarian stok tegakan. Pada intensitas 76% dan 100% kelestarian hasil kayu dan stok tegakan tidak terpenuhi. Dengan demikian, kriteria kelestarian ini mendukung alternatif keputusan tanpa penebangan dan intensitas penebangan rendah (0% dan 50%). Sedangkan pada intensitas 50% dan 76% memenuhi kriteria harmonisasi kepentingan stakeholders. Pengetahuan yang dapat diperoleh dari pola distribusi NET ini adalah: 1) Setiap komponen NET memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap pola distribusi NET untuk stakeholders yang relevan; 2) Jumlah komponen NET yang dinilai dan dipertimbangkan dalam keputusan membawa implikasi perubahan kesejahteraan yang berbeda-beda; 3) Kriteria maksimasi NET tercapai pada pola pengelolaan hutan alam tanpa penebangan, yang menurut teori steady state economics efisiensi (ecological economic efficiency) tercapai; 4) Ada kecenderungan konvergensi kesejahteraan dari pengelolaan hutan alam produksi atau keadilan distribusi NET untuk stakeholders pada alternatif intensitas penebangan sedang (pada kasus ini intensitas 50% dan 76%). Dari uraian di atas pada ekosistem hutan terdapat berbagai macam manfaat berupa barang, jasa fungsi hidrologis dan kehati, dimana manfaat ekosistem hutan

15 189 itu tidak seluruhnya dapat ditransfer melalui mekanisme pasar. Penilaian terhadap beragam macam manfaat ekosistem hutan alam itu membuktikan secara empiris besar nilai secara moniter, yang sejak dulu sudah menjadi tesis secara kualitatif di dalam konsep-konsep tentang ekosistem hutan dan pengelolaan hutan. Adanya beragam nilai yang ada di dalam NET merupakan wujud beragamnya preferensi orang terhadap ekosistem hutan, yang juga merefleksikan kepentingan yang beragam dengan dasar nilai moral (etika) dari antroposentris sampai ekosentris. Adanya pergeseran paham etika ini merupakan suatu landasan yang cukup kuat untuk pergeseran kepada paradigma kelestarian yang kuat di dalam pengelolaan hutan. Implikasi kebijakan dari tuntutan pergeseran paradigma pengelolaan itu adalah perubahan sistem pengelolaan hutan alam (khususnya hutan alam produksi) yang mengintegrasikan berbagai macam komponen NET, dan dilakukan berdasarkan perilaku alam. Dinamika komponen ekosistem hutan merupakan bahasa alam atau ayat qauniyah yang dikomunikasikan sebagai pengetahuan untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam pengelolaan hutan. Informasi pilihan intensitas penebangan sedang adalah gambaran adanya kebutuhan hasil hutan yang beragam (multiple use) bukan produk tunggal, di dalam penentuan tujuan pengelolaan hutan alam produksi (multiple-use management). Konsep NET dan sarana metode penilaian dengan pendekatan sistem ini memungkinkan dilakukannya perencanaan tujuan pengelolaan di setiap hutan alam. Dengan demikian penetapan fungsi hutan tidak secara kaku hanya menekankan satu fungsi tertentu seperti sekarang ini, berupa hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Penetapan tujuan harus didasarkan untuk masyarakat luas dengan berbagai ragam preferensi (kepentingan) dan harus dikelola berdasarkan pengetahuan terbaru tentang perilaku komponen ekosistem hutan dan mencegah seminimal mungkin eksternalitas negatif. Belajar dari kasus hutan alam produksi ini, bahwa NET tertinggi pada alternatif pengelolaan tanpa penebangan, maka dapat diduga hutan konservasi dan hutan lindung secara potensial mempunyai NET maksimum. Partisipasi atau dukungan terhadap konservasi dan perlindungan akan sangat kuat jika pengelolaan hutan konservasi dan hutan lindung mampu memaksimalkan NET

16 190 tersebut dan mendistribusikannya kepada stakeholders. Untuk mencapai NET maksimum perlu pengembangan sistem pengelolaan hutan konservasi dan lindung. Pada hutan konservasi terdapat flora dan fauna langka, yang secara ekonomi memiliki harga tinggi. Pada konsep ekonomi harga sebagai resource allocator, oleh karena itu modal perlu diarahkan bagi usaha pengembangan flora dan fauna langka ini agar dapat ditingkatkan hasilnya dan diperdagangkan mengikuti ketentuan CITES. Diperlukan investasi untuk peningkatan hasil yang berarti mengembangkan sumberdaya itu (flora dan fauna), dimana hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan sistem pengelolaan dan teknologi seperti breeding, penangkaran secara insitu dan eksitu dan lain-lain. Perilaku yang salah, dan harus diubah adalah memahami hasil, akibatnya yang dilakukan adalah eksploitasi atau perburuan yang berarti memusnahkan sumberdaya atau potensi ekonomi itu sendiri. Yang dihadapi di dalam pengelolaan adalah adanya sifat hasil yang melekat dengan sumber, jika ingin meningkatkan hasil maka harus meningkatkan sumbernya. Pengelolaan hutan konservasi dan hutan lindung juga perlu pengembangan pemanfaatan hasil hutan non kayu dari berbagai flora, dan juga jasa lingkungan seperti wisata alam dan jasa penyerapan karbon, yang pemanfaatannya akan sangat mendukung kelestarian sumberdaya hutan. Saat ini hutan alam produksi mengalami degradasi yang cukup tinggi, potensi panen kayu secara lestari sangat rendah, maka sudah saatnya dilakukan perubahan pengelolaan hutan alam produksi. Kembali belajar dari hasil simulasi pada penelitian ini, maka perlu pengembangan sistem pengelolaan dan teknologi yang mampu membina sumber dan meningkatkan hasil-hasil non kayu secara optimal. Dengan demikian, peranan ekonomi kehutanan yang saat ini menurun akan dapat ditingkatkan kembali guna mendukung kemajuan pembangunan ekonomi daerah dan nasional, termasuk juga berkontribusi dalam mengurangi pengangguran dan kemiskinan di daerah pedesaan sekitar hutan.

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 22 PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena kerusakan sumberdaya hutan (deforestasi dan degradasi) terjadi di Indonesia dan juga di negara-negara lain, yang menurut Sharma et al. (1995) selama periode 1950-1980

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Masyarakat Desa Hutan Masyararakat desa hutan dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan aktivitas atau kegiatan yang berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah

BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah Hutan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan wilayah yang terdiri dari tegakan pohon dan faktor-faktor abiotis seperti, air, udara, tanah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis meliputi konsep ekonomi pencemaran, Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode valuasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia, baik yang berupa manfaat ekonomi secara langsung maupun fungsinya dalam menjaga daya dukung lingkungan. Hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN. Emi Roslinda

PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN. Emi Roslinda PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN Emi Roslinda Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak Email : eroslinda71@gmail.com ABSTRAK Secara konvensional

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen masyarakat dunia. Pada saat ini, beberapa negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia, telah menerima konsep

Lebih terperinci

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati sangat besar peranannya bagi kelangsungan hidup manusia. Alam memang disediakan untuk memenuhi kebutuhan manusia di bumi,

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 6.1 Kesimpulan Perubahan iklim diperkirakan memberikan dampak pada perekonomian dan sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan iklim

Lebih terperinci

TEKNOLOGI DALAM AGRIBISNIS

TEKNOLOGI DALAM AGRIBISNIS TEKNOLOGI DALAM AGRIBISNIS Teknologi agribisnis merupakan sarana utama untuk mencapai tujuan efektifitas, efisiensi, serta produktifitas yang tinggi dari usaha agribisnis. Penentuan jenis teknologi sangat

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Organik Saat ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan dari sektor pertanian mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan lingkungan.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien Deskripsi Dokumen: http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=74226&lokasi=lokal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Nilai Sumberdaya Hutan Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu objek (sumberdaya hutan) bagi individu tertentu pada tempat dan waktu tertentu. Oleh karena

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

PENDEKATAN SISTEM DALAM PENDUGAAN NILAI EKONOMI TOTAL EKOSISTEM HUTAN : STUDI KASUS HUTAN ALAM PRODUKSI BEKAS TEBANGAN BAHRUNI

PENDEKATAN SISTEM DALAM PENDUGAAN NILAI EKONOMI TOTAL EKOSISTEM HUTAN : STUDI KASUS HUTAN ALAM PRODUKSI BEKAS TEBANGAN BAHRUNI PENDEKATAN SISTEM DALAM PENDUGAAN NILAI EKONOMI TOTAL EKOSISTEM HUTAN : STUDI KASUS HUTAN ALAM PRODUKSI BEKAS TEBANGAN BAHRUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Rakyat Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik (Departeman Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan yang berkelanjutan dimasa kini telah menjadi keharusan, dimana keberadaan serta keberlangsungan fungsi sumber daya

Lebih terperinci

3.5.4 Analisis Skala Optimal Prosedur Analisis

3.5.4 Analisis Skala Optimal Prosedur Analisis DAFTAR ISI COVER HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii PRAKATA... iv DAFTAR ISI... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xv ABSTRACT... xvii INTISARI......

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disebutkan di atas, terdapat unsur-unsur yang meliputi suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. yang disebutkan di atas, terdapat unsur-unsur yang meliputi suatu kesatuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi sumber daya alam Indonesia sangat melimpah, antara lain potensi

BAB I PENDAHULUAN. Potensi sumber daya alam Indonesia sangat melimpah, antara lain potensi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumber daya alam Indonesia sangat melimpah, antara lain potensi sumber daya alam dari kehutanan. Hasil hutan dapat dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kemakmuran

Lebih terperinci

PDRB HIJAU (KONSEP DAN METODOLOGI )

PDRB HIJAU (KONSEP DAN METODOLOGI ) PDRB HIJAU (KONSEP DAN METODOLOGI ) Oleh: M. Suparmoko Materi disampaikan pada Pelatihan Penyusunan PDRB Hijau dan Perencanaan Kehutanan Berbasis Penataan Ruang pada tanggal 4-10 Juni 2006 1 Hutan Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di bumi saat ini, pasalnya dari hutan banyak manfaat yang dapat diambil

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di bumi saat ini, pasalnya dari hutan banyak manfaat yang dapat diambil BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan tumpuan dan harapan bagi setiap komponen makhluk hidup yang ada di bumi saat ini, pasalnya dari hutan banyak manfaat yang dapat diambil baik yang bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sumberdaya alam yang siap dikelola dan dapat memberikan manfaat ganda bagi umat manusia baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi. Manfaat hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan

Lebih terperinci

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL 6.1. Dampak Kebijakan Makroekonomi Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu penawaran uang, dan kebijakan fiskal, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian di Indonesia mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian bangsa. Sektor pertanian telah berperan dalam pembentukan PDB, perolehan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekowisata bagi negara-negara berkembang dipandang sebagai cara untuk mengembangkan perekonomian dengan memanfaatkan kawasan-kawasan alami secara tidak konsumtif. Untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perekonomian padi dan beras merupakan pendukung pesatnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perekonomian padi dan beras merupakan pendukung pesatnya II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekonomi Padi Perekonomian padi dan beras merupakan pendukung pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut Kasryno dan Pasandaran (2004), beras serta tanaman pangan umumnya berperan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus akan mengalami

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekonomi tidak akan pernah ada tanpa sumberdaya alam dan lingkungan karena setiap aktivitas ekonomi pastilah bersentuhan dengan salah satu atau bahkan keduanya sekaligus.

Lebih terperinci

Pengertian Produk Domestik Bruto

Pengertian Produk Domestik Bruto KONTRIBUSI KEHUTANAN TERHADAP PRODUK DOMESTIK BRUTO 1 Dodik Ridho Nurrochmat 2 Pengertian Produk Domestik Bruto Neraca pendapatan nasional (national income accounting) merupakan salah satu inovasi penting

Lebih terperinci

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan merupakan salah satu subsektor strategis yang secara ekonomis, ekologis dan sosial budaya memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional. Sesuai Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN 7 Latar Belakang Tekanan terhadap sumberdaya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan, sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal. Tekanan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya Alam dan Lingkungan (SDAL) sangat diperlukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila dilakukan secara berlebihan dan tidak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peran dan fungsi jasa lingkungan ekosistem hutan makin menonjol dalam menopang kehidupan untuk keseluruhan aspek ekologis, ekonomi dan sosial. Meningkatnya perhatian terhadap

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian mencakup wilayah kawasan hutan dimana akan dilakukan kegiatan penambangan batu kapur dan lempung oleh PT Tambang Semen Sukabumi (PT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor lain untuk berkembang karena kegiatan pada sektor-sektor lain

BAB I PENDAHULUAN. sektor lain untuk berkembang karena kegiatan pada sektor-sektor lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu sektor yang perkembangannya memicu sektor lain untuk berkembang karena kegiatan pada sektor-sektor lain menghasilkan produk-produk yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang mampu menyediakan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan bagi keluarga, sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka resmi Kementerian Kehutanan Republik Indonesia pada tahun 2012 luas kawasan hutan di Indonesia sekitar

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG 7.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Analisis finansial dan ekonomi usahatani jagung memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai tingkat kelayakan usahatani

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

dikeluarkannya izin untuk aktivitas pertambangan pada tahun 1999 dengan dikeluarkannya SK Menperindag Nomor. 146/MPP/Kep/4/1999 tanggal 22 April 1999

dikeluarkannya izin untuk aktivitas pertambangan pada tahun 1999 dengan dikeluarkannya SK Menperindag Nomor. 146/MPP/Kep/4/1999 tanggal 22 April 1999 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Awal mula aktivitas pertambangan di Pulau Bangka terjadi sejak awal abad ke-18 oleh VOC (Heidhues, 2008). Pulau Bangka memiliki cadangan timah yang sangat besar karena

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bambu merupakan salah satu taksa yang sangat beragam dan mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. Bambu termasuk ke dalam anak suku Bambusoideae dalam suku Poaceae. Terdapat

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi areal vital bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan akan air. Pemanfaatan air sungai banyak digunakan sebagai pembangkit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Peranan sektor pertanian memiliki kontribusi bagi pembentukan

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Peranan sektor pertanian memiliki kontribusi bagi pembentukan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan pertanian dewasa ini telah berorientasi bisnis (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut usahatani (on-farm agribusiness)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

KODEFIKASI RPI 25. Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan

KODEFIKASI RPI 25. Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan KODEFIKASI RPI 25 Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan Lembar Pengesahan Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan 851 852 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional Undang-undang No. 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Negara Indonesia yang terdiri dari 17.058 pulau itu memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan jasad renik yang lebih besar daripada negara-negara tetangganya.

Lebih terperinci

PENDEKATAN SISTEM DALAM PENDUGAAN NILAI EKONOMI TOTAL EKOSISTEM HUTAN : STUDI KASUS HUTAN ALAM PRODUKSI BEKAS TEBANGAN BAHRUNI

PENDEKATAN SISTEM DALAM PENDUGAAN NILAI EKONOMI TOTAL EKOSISTEM HUTAN : STUDI KASUS HUTAN ALAM PRODUKSI BEKAS TEBANGAN BAHRUNI PENDEKATAN SISTEM DALAM PENDUGAAN NILAI EKONOMI TOTAL EKOSISTEM HUTAN : STUDI KASUS HUTAN ALAM PRODUKSI BEKAS TEBANGAN BAHRUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup dan sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons atau common

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI 3.1 Perkiraan Luas Tutupan Hutan 1

VALUASI EKONOMI 3.1 Perkiraan Luas Tutupan Hutan 1 VALUASI EKONOMI Dalam menentukan kontribusi suatu sektor kegiatan ekonomi terhadap pembangunan nasional pada umumnya dinyatakan dalam nilai uang yang kemudian dikonversi dalam nilai persentase. Setiap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 3. Sebagai penghalang sampainya air ke bumi melalui proses intersepsi.

TINJAUAN PUSTAKA. 3. Sebagai penghalang sampainya air ke bumi melalui proses intersepsi. TINJAUAN PUSTAKA Fungsi Hutan Sebagai Pengatur Tata Air Menurut fungsinya hutan mempunyai fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Hutan yang mempunyai fungsi konservasi adalah kawasan hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena makhluk hidup sangat dianjurkan. Kita semua dianjurkan untuk menjaga kelestarian yang telah diciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya pemanfaatan sumber daya alam khususnya hutan, disamping intensitas teknologi yang digunakan. Kehutanan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

VISI HIJAU UNTUK SUMATRA

VISI HIJAU UNTUK SUMATRA REPORT FEBRUARY 2O12 Ringkasan Laporan VISI HIJAU UNTUK SUMATRA Menggunakan informasi Jasa Ekosistem untuk membuat rekomensi rencana peruntukan lahan di tingkat provinsi dan kabupaten. Sebuah Laporan oleh

Lebih terperinci

6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN 6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN 6. Analisis Input-Output 6.. Analisis Keterkaitan Keterkaitan aktivitas antar

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pengelolaan sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pengelolaan sumber BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pengelolaan sumber daya alam. Sub sistem ekologi,

Lebih terperinci