BAB I PENDAHULUAN atau 45% dari total jumlah kematian balita (WHO, 2013). UNICEF

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya di berbagai negara berkembang (WHO, 2004). The United Nations

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di Indonesia diare merupakan penyebab kematian utama pada bayi dan anak.

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan gizi yang sering terjadi di seluruh negara di dunia adalah

PENDAHULUAN. Setiap manusia mengalami siklus kehidupan mulai dari dalam. kandungan (janin), berkembang menjadi bayi, tumbuh menjadi anak,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Risk Factors of Moderate and Severe Malnutrition in Under Five Children at East Nusa Tenggara

BAB 1 PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia.

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia yang baik. Menciptakan sumber daya

STUDI TENTANG MANAJEMEN SISTEM PELAKSANAAN PENAPISAN GIZI BURUK DI DINAS KESEHATAN KABUPATEN BOYOLALI

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit diare merupakan salah satu penyebab morbiditas dan. Secara nasional, target Sustainable Development Goals (SDGs) untuk

BAB I PENDAHULUAN. rawan terhadap masalah gizi. Anak balita mengalami pertumbuhan dan. perkembangan yang pesat sehingga membutuhkan suplai makanan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan

1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ini manifestasi dari infeksi system gastrointestinal yang dapat disebabkan berbagai

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita

BAB 1 PENDAHULUAN. cerdas dan produktif. Indikatornya adalah manusia yang mampu hidup lebih lama

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB I PENDAHULUAN. seluruh daerah geografis di dunia. Menurut data World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. sering dijumpai pada anak-anak maupun orang dewasa di negara

BAB I PENDAHULUAN. mendapat perhatian, karena merupakan kelompok yang rawan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan zat gizi yang jumlahnya lebih banyak dengan kualitas tinggi.

BAB 1 PENDAHULUAN. gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan dapat

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan antara asupan makanan dan penggunaan zat gizi. Bila tubuh

BAB I PENDAHULUAN. yaitu program pemberantasan penyakit menular, salah satunya adalah program

BAB I PENDAHULUAN. yang harus ditangani dengan serius. Ditinjau dari masalah kesehatan dan gizi, terhadap kekurangan gizi (Hanum, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. Kasus gizi buruk masih menjadi masalah dibeberapa negara. Tercatat satu

BAB 1 : PENDAHULUAN. terutama dalam masalah gizi. Gizi di Indonesia atau negara berkembang lain memiliki kasus

BAB I PENDAHULUAN. WHO (World Health Organization) mendefinisikan Diare merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Almatsier (2002), zat gizi (nutrients) adalah ikatan kimia yang

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat terpenuhi. Namun masalah gizi bukan hanya berdampak pada

7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. (2)

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita adalah masa yang membutuhkan perhatian lebih dari

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Diare merupakan penyakit dengan tanda - tanda perubahan frekuensi buang air

BAB I PENDAHULUAN. penurunan tingkat kecerdasan. Pada bayi dan anak, kekurangan gizi akan menimbulkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan medis dan pelayanan masyarakat saja. Banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB II KAJIAN PUSTAKA. berbagai faktor multidisiplin dan harus selalu dikontrol terutama pada masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu riset menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa balita merupakan periode penting dalam proses. tumbuh kembang manusia. Pertumbuhan dan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. balita yang cerdas. Anak balita salah satu golongan umur yang rawan. masa yang kritis, karena pada saat itu merupakan masa emas

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit ISPA khususnya pneumonia masih merupakan penyakit utama penyebab

BAB I PENDAHULUAN. lima tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua per tiga kematian tersebut

BAB I PENDAHULUAN. masalah gizi utama yang perlu mendapat perhatian. Masalah gizi secara

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas Sumber Daya Manusia. (SDM), karena keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. beban permasalahan kesehatan masyarakat. Hingga saat ini polemik penanganan

BAB I PENDAHULUAN. disebut infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). ISPA merupakan

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Anak balita adalah anak yang berusia dibawah 5 tahun. Balita usia 1-5

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disekelilingnya khususnya bagi mereka yang termasuk ke dalam kelompok rentan

BAB I PENDAHULUAN. atau lendir(suraatmaja, 2007). Penyakit diare menjadi penyebab kematian

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sosial yang ada di masyarakat umum di luar rumah. Seorang anak TK

BAB 1 PENDAHULUAN. sulit diharapkan untuk berhasil membangun bangsa itu sendiri. (Hadi, 2012).

BAB 1 : PENDAHULUAN. kembang. Gizi buruk menyebabkan 10,9 Juta kematian anak balita didunia setiap tahun. Secara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan pada masa usia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (United Nations Developments Program), Indonesia menempati urutan ke 111

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan morbiditas dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Nasional (RPJMN, ) di bidang kesehatan yang mencakup programprogram

BAB 1 PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO) tahun 2013 diare. merupakan penyebab mortalitas kedua pada anak usia

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), diare adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan yaitu meningkatnya kesadaran,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Istilah kembang berhubungan dengan aspek diferensiesi bentuk atau fungsi,

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. target Millenium Depelopment Goals (MDGs) Dimana angka kematian bayi

BAB I PENDAHULUAN. gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pola menyusui yang dianjurkan (Suradi, 1995).

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit yang. menular serta dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani Millenium

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Esa Unggul

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan. tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal sangat ditentukan oleh tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. Usia anak dibawah lima tahun (balita) merupakan usia dalam masa emas

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya

BAB 1 PENDAHULUAN. Pemberian ASI (Air Susu Ibu) secara eksklusif sampai usia 6 bulan pertama

BAB 1 PENDAHULUAN. terutama pada bagian perawatan anak (WHO, 2008). kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20%

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya manusia yang sehat dan berkualitas merupakan modal utama atau investasi dalam pembangunan kesehatan. Gizi merupakan penentu kualitas sumber daya manusia. Kurang gizi bisa mengakibatkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, meningkatkan kesakitan dan kematian (Sihadi, 2009). Kasus gizi buruk sudah banyak menyerang anak balita di seluruh penjuru dunia. Status gizi balita yang buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Jumlah anak balita yang mengalami kurang gizi di negara berkembang pada tahun 2009 dilaporkan sebanyak 129 juta atau sekitar 1 dari 4 balita dan sebanyak 10% mengalami gizi buruk (UNICEF, 2009). Balita yang meninggal akibat gizi kurang dan buruk di negara berkembang pada tahun 2013 dilaporkan sebanyak 2.835.000 atau 45% dari total jumlah kematian balita (WHO, 2013). UNICEF melaporkan bahwa prevalensi balita yang mengalami wasting di Indonesia pada tahun 2009 menduduki peringkat kelima di dunia (setelah India, Nigeria, Pakistan dan Bangladesh) yaitu sebesar 14% atau sebanyak 2.841.000 balita. Selain menyebabkan kematian, gizi buruk dan kurang juga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan, dimana setiap anak yang mengalami gizi buruk dilaporkan mempunyai risiko kehilangan IQ sebesar 10-13 poin (UNICEF, 2009). 1

2 Tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas baik fisik maupun mental menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan suatu negara. Fisik yang kuat, ditopang oleh kesehatan mental yang baik serta tingkat kecerdasan yang tinggi merupakan syarat bagi sumber daya manusia yang disebut berkualitas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007). Mewujudkan syarat-syarat menjadi manusia yang berkualitas bukanlah hal yang mudah, perlu adanya usaha-usaha keras dari berbagai segi kehidupan, salah satunya melalui pencapaian status gizi yang baik. Pencapaian status gizi yang baik adalah melalui konsumsi makanan yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan tubuh terhadap zat gizi, baik dari segi jumlah maupun mutu makanan tersebut (Depkes, 2005). Hubungan gizi dengan pembangunan bersifat timbal balik, yang artinya bahwa gizi akan menentukan keberhasilan suatu bangsa, begitupula sebaliknya kondisi suatu bangsa dapat mempengaruhi status gizi masyarakatnya. Gizi dalam kaitannya dengan pembangunan suatu bangsa berkaitan dengan sumber daya manusia, karena gizi sebagai penggerak pembangunan manusia (Karimah, 2012). Status gizi kurang pada anak balita tahun 2012 secara nasional ditargetkan harus kurang dari 15,0% (Bappenas, 2011). Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan prevalensi gizi buruk dan kurang di Indonesia sebesar 17,9% yang terdiri dari gizi kurang 13,0% dan gizi buruk 4,9%. Pada saat ini Indonesia masih mengalami masalah gizi kurang (Bappenas, 2011). Keadaan ini ditandai dengan masih tingginya prevalensi balita gizi kurang yaitu pada tahu 2005 sebesar 28% (Susenas, 2005). Secara umum gizi kurang pada anak

3 balita dapat menciptakan generasi penerus bangsa fisik dan mentalnya lemah (Dinkes Propinsi Sulawesi Tenggara, 2007). Secara umum status gizi anak dipengaruhi oleh dua faktor langsung yaitu konsumsi makanan dan kesehatan. Konsumsi makanan meliputi zat gizi yang terkandung dalam makanan, ada tidaknya pemberian makanan di luar keluarga, daya beli keluarga, kebiasaan makan, persediaan makanan di rumah, kemiskinan, kurang pendidikan, kurang ketrampilan dan krisis ekonomi, sedangkan faktor kesehatan meliputi pemeliharaan kesehatan, lingkungan fisik dan sosial serta penyakit infeksi yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan dan perawatan anak (Supariasa, 2002). Hal ini didukung oleh penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa faktor determinan status gizi balita adalah frekuensi sakit anak, pengetahuan ibu, pendapatan perkapita keluarga dan frekuensi ke posyandu pada anak balita di Kota Kupang (Diah, 2011). Status gizi anak sangat menentukan perkembangan fisik dan mental di kemudian hari. Kekurangan gizi pada masa balita akan mempengaruhi pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan emosionalnya, sehingga pada saat dewasa nantinya balita ini tidak dapat memberikan sumbangan terhadap pembangunan secara optimal (Depkes RI, 2002; Sediaoetama, 2008). Status gizi balita sangat tergantung pada tingkat pengetahuan orang tua terutama ibu (Hidayat, 2006; Lutviana, 2010). Gizi kurang dan buruk pun sangat berkaitan erat dengan masalah kemiskinan. Keadaan sosial ekonomi merupakan aspek sosial budaya yang sangat mempengaruhi status kesehatan, pola penyakit serta dapat berpengaruh juga pada kematian, misalnya obesitas banyak ditemukan

4 pada golongan masyarakat berstatus ekonomi tinggi, sedangkan gizi buruk dan kurang lebih banyak ditemukan pada kelompok masyarakat dengan ekonomi rendah (Notoadmodjo, 2005; Yusrizal, 2008). Pengetahuan dan pendidikan merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi status gizi karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi maka pengetahuan atau informasi yang diterima dan yang dimiliki tentang gizi akan lebih baik, begitu pula sebaliknya jika pendidikannya lebih rendah, maka daya tangkap terhadap informasi penting mengenai gizi akan lebih rendah (Soekirman, 2006). Seringkali masalah gizi timbul karena adanya ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang gizi yang dimiliki oleh keluarga terutama ibu. Pengetahuan merupakan faktor yang berperan penting dalam mempengaruhi komposisi dan pola konsumsi pangan. Walaupun keluarga mampu membeli dan menyiapkan pangan, tetapi bila tidak disertai dengan pengetahuan gizi yang tepat akan tetap menjadi masalah bagi keluarga tersebut (Berg, 1987; Hidayat, 2006). Status gizi yang rendah terkait pula dengan jarak kelahiran yang terlalu dekat, ini akan berdampak terhadap pendeknya waktu menyusui ibu kepada bayinya. Jarak antar kelahiran yang pendek tersebut akan mengakibatkan terjadinya kompetisi dari anak-anak dalam pembiayaan untuk kebutuhan makan, kesehatan dan pendidikan yang akhirnya akan berdampak terhadap status gizi dan kesehatan anak-anak tersebut (Wilopo, 2010). Tingkat higienitas dan sanitasi merupakan salah satu faktor risiko terhadap kejadian gizi buruk pada balita. Sanitasi yang baik merupakan salah satu parameter tercapainya gizi balita yang baik (Istiono, 2009). Tingkat higienitas dan

5 penyakit infeksi berhubungan sinergi dengan gizi anak balita. Penyakit infeksi yang sering kali mempengaruhi terjadinya gizi buruk antara lain infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan diare (Pudjiadi, 2003). Salah satu upaya dalam memantau status gizi balita adalah melalui posyandu. Posyandu merupakan wadah pembinaan dan pelayanan kesehatan masyarakat dalam meningkatkan perilaku kesehatan dan gizi masyarakat. Ibu yang aktif berkunjung ke posyandu sampai anak lima tahun akan mendapatkan bimbingan dan pengawasan tumbuh kembang anak secara berkelanjutan sehingga status gizi balita dapat dipertahankan dalam kondisi baik (Sudarsana, 2003). Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, NTT menempati urutan tertinggi kedua dibawah Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk status gizi buruk dan kurang yaitu sebesar 29,4% yang terdiri dari gizi buruk 9,0% dan gizi kurang 20,4%. Jumlah balita di Propinsi NTT tahun 2010 sebanyak 595.331 balita, maka dapat diperkirakan terdapat 53.580 balita yang mengalami gizi buruk dan 121.448 balita yang mengalami gizi kurang. Ini berarti terdapat 175.028 kasus balita gizi buruk dan kurang (Riskesdas, 2010). Data gizi buruk dan kurang di 21 Kabupaten dan Kota di NTT menunjukkan bahwa di Kabupaten Kupang tercatat 741 balita menderita gizi buruk, diikuti oleh Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) 466 balita, menyusul Sumba Barat Daya 419 orang (1,3%), berikut Kabupaten Alor 341 balita lalu Kabupaten Manggarai Timur 306 orang dan Kabupaten Lembata 221 orang (Seran, 2010). Data tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Sumba Barat Daya menduduki peringkat ketiga teratas kabupaten dengan penderita gizi buruk

6 terbanyak. Selain itu, di Sumba Barat Daya tercatat sebanyak 1.565 (4,9%) dari 31.575 balita menderita gizi kurang dan menduduki urutan ke-9 kabupaten dengan jumlah penderita gizi kurang terbanyak dari 21 kabupaten yang ada di NTT setelah Kabupaten Belu, Sikka, Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS) Manggarai Barat, Kota Kupang, Lembata dan Manggarai Timur (Dinkes Provinsi NTT, 2010). Selain jumlah penderita gizi buruk dan kurang yang tinggi, jumlah rumah tangga miskin pun cukup tinggi yaitu 18.230 rumah tangga (Dinas Kesehatan Provinsi NTT, 2010). Salah satu kecamatan di Kabupaten Sumba Barat Daya yaitu Kecamatan Kodi Utara mempunyai data kejadian gizi buruk dan kurang yang cukup tinggi pada bulan Januari-Desember 2013 sebanyak 40 kasus (Puskesmas Kori, 2013). Penderita gizi buruk dan kurang yang ada pada Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya tercatat dari 4.321 balita, 10 balita (0,02%) mengalami gizi buruk, sedangkan 30 balita (0,69%) mengalami gizi kurang (Puskesmas Kori, 2013). Data ini belum menggambarkan kondisi seluruh balita di Kecamatan Kodi Utara karena dari 4.321 balita baru sebesar 60% anak balita yang ditimbang, sehingga angka gizi buruk dan kurang bisa jadi lebih tinggi (Puskesmas Kori, 2013). Rendahnya kunjungan balita ke Posyandu kemungkinan disebabkan oleh karena kesibukan dari orang tua yang bercocok tanam serta tempat layanan kesehatan yang cukup sulit dicapai mengingat topografi Kecamatan Kodi Utara berbukit-bukit.

7 Adanya perbedaan yang menonjol antara kasus gizi buruk dan kurang yang ditemukan di Propinsi NTT dan di Puskesmas Kori dikarenakan perbedaan metode survei yang dilakukan dalam pengumpulan data. Pada kasus di Propinsi NTT, kasus dikumpulkan secara aktif survei dimana kasus dikumpulkan langsung di lapangan atau turun ke masyarakat, sedangkan kasus di Puskesmas, hanya menunggu kasus yang datang ke posyandu atau puskesmas. Sehingga kasus yang dikumpulkan bukanlah kasus yang real. Rendahnya pendapatan perkapita, rendahnya cakupan balita ditimbang tiap bulan, sanitasi lingkungan, pengetahuan ibu tentang gizi yang cukup rendah, pendidikan ibu yang rendah, dan tingginya kejadian gizi buruk dan kurang di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya, sebagai dasar penelitian ini dilakukan, sehingga diketahuinya faktor risiko kejadian gizi buruk dan kurang di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya, dan dijadikan masukan untuk tindakan penanggulangan dan pencegahan kasus gizi buruk dan kurang di Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya khususnya di Puskesmas Kori. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dirumuskan beberapa masalah penelitian sebagai berikut : 1.2.1 Apakah pemberian ASI eksklusif berisiko terhadap kejadian gizi buruk dan

8 1.2.2 Apakah pemberian MP-ASI berisiko terhadap kejadian gizi buruk dan Kabupaten Sumba Barat Daya tahun 2014? 1.2.3 Apakah kesulitan makan anak berisiko terhadap kejadian gizi buruk dan 1.2.4 Apakah frekuensi sakit anak berisiko terhadap kejadian gizi buruk dan 1.2.5 Apakah durasi sakit anak berisiko terhadap kejadian gizi buruk dan 1.2.6 Apakah pendapatan perkapita keluarga berisiko terhadap kejadian gizi buruk dan kurang pada anak balita di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara 1.2.7 Apakah pendidikan ibu berisiko terhadap kejadian gizi buruk dan kurang pada anak balita di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya tahun 2014? 1.2.8 Apakah pengetahuan ibu tentang gizi berisiko terhadap kejadian gizi buruk dan kurang pada anak balita di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara

9 1.2.9 Apakah status pekerjaan ibu berisiko terhadap kejadian gizi buruk dan 1.2.10 Apakah jarak kelahiran balita yang diteliti dengan kakak diatasnya berisiko terhadap kejadian gizi buruk dan kurang pada anak balita di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya tahun 2014? 1.2.11 Apakah jumlah anak berisiko terhadap kejadian gizi buruk dan kurang pada anak balita di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya tahun 2014? 1.2.12 Apakah sumber air minum berisiko terhadap kejadian gizi buruk dan 1.2.13 Apakah sistem pembuangan air limbah rumah tangga berisiko terhadap kejadian gizi buruk dan kurang pada anak balita di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya tahun 2014? 1.2.14 Apakah penggunaan jamban berisiko terhadap kejadian gizi buruk dan 1.2.15 Apakah kebiasaan memasak air berisiko terhadap kejadian gizi buruk dan

10 1.2.16 Apakah pengelolaan sampah berisiko terhadap kejadian gizi buruk dan 1.2.17 Apakah frekuensi ke posyandu berisiko terhadap kejadian gizi buruk dan 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor risiko kejadian gizi buruk dan kurang pada anak balita di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya tahun 2014. 1.3.2 Tujuan Khusus Untuk mengetahui : 1.3.2.1 Risiko pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian gizi buruk dan Kabupaten Sumba Barat Daya tahun 2014 1.3.2.2 Risiko pemberian MP-ASI pada anak balita terhadap kejadian gizi buruk dan kurang 1.3.2.3 Risiko kesulitan makan pada anak balita terhadap kejadian gizi buruk dan kurang 1.3.2.4 Risiko frekuensi sakit pada anak balita terhadap kejadian gizi buruk dan kurang

11 1.3.2.5 Risiko durasi sakit pada anak balita terhadap kejadian gizi buruk dan kurang 1.3.2.6 Risiko pendapatan perkapita keluarga terhadap kejadian gizi buruk dan kurang 1.3.2.7 Risiko pendidikan ibu terhadap kejadian gizi buruk dan kurang 1.3.2.8 Risiko pengetahuan ibu tentang gizi terhadap kejadian gizi buruk dan kurang 1.3.2.9 Risiko status pekerjaan ibu terhadap kejadian gizi buruk dan kurang 1.3.2.10 Risiko jarak kelahiran balita yang diteliti dengan saudara diatas atau dibawahnya terhadap kejadian gizi buruk dan kurang 1.3.2.11 Risiko jumlah anak terhadap kejadian gizi buruk dan kurang 1.3.2.12 Risiko sumber air minum terhadap kejadian gizi buruk dan kurang 1.3.2.13 Risiko sistem pembuangan air limbah rumah tangga terhadap kejadian gizi buruk dan kurang 1.3.2.14 Risiko penggunaan jamban terhadap kejadian gizi buruk dan kurang 1.3.2.15 Risiko kebiasaan memasak air terhadap kejadian gizi buruk dan kurang 1.3.2.16 Risiko pengelolaan sampah terhadap kejadian gizi buruk dan kurang 1.3.2.17 Risiko frekuensi ke posyandu terhadap kejadian gizi buruk dan kurang

12 1.3.2.18 Untuk mengetahui faktor faktor yang berperan terhadap status gizi balita di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara Kabupaten Sumba Barat Daya 1.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis: meningkatkan wawasan dan pengetahuan serta menjadi salah satu referensi penelitian dimasa yang akan datang. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan untuk kemudian dipertimbangkan oleh Dinas Kesehatan NTT umumnya dan bagi Dinas Kesehatan Sumba Barat Daya khususnya serta pihak lain yang terkait dalam rangka menentukan kebijakan untuk menanggulangi kasus gizi buruk dan gizi kurang pada bayi atau balita. 2. Manfaat praktis: peneliti memperoleh pengalaman langsung di lapangan berkenaan dengan penelitian mengenai faktor risiko kejadian gizi buruk dan kurang, serta masyarakat mendapatkan pengetahuan dan wawasan tambahan mengenai faktor-faktor yang berkaitan dengan kejadian gizi buruk dan kurang sehingga dapat mengambil langkah dan tindakan penanganan serta pencegahan masalah gizi tersebut.