Diskresi Birokrasi. Dari Sudut Tepian Mahakam. dikatakan lebih unggul karena bagaimanapun juga rekruitmentnya

dokumen-dokumen yang mirip
INSTRUMEN PEMERINTAH

FREIES ERMESSEN DALAM KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN. Oleh :

RANCANGAN UNDANG UNDANG RANCANGAN UNDANG UNDANG

Perbuatan hukum Administrasi Negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam berita AIPI (1997) mengatakan bahwa pelaksanaan berasal dari kata

Diskresi dalam UU Administrasi Pemerintahan. Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.

DISUSUN OLEH: FARIDA RIANINGRUM Rombel 05

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB III TINJAUAN ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK. A. Sejarah Kelahiran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEDUDUKAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DALAM MENDORONG PELAKSANAAN REFORMASI BIROKRASI

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN HUKUM TENTANG DISKRESI PEJABAT PEMERINTAHAN, LARANGAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG TERKAIT DISKRESI MENURUT UUAP

Kajian Yuridis Tindakan Nyata Pemerintah.Anak Agung Putu Wiwik Sugiantari 63

Pdengan Persetujuan Bersama

BAB I PENDAHULUAN. suatu kegiatan untuk menjaga dan mengawal hukum agar tetap tegak sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

OLEH Dr. Santer Sitorus, SH.,, M.Hum. Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya

I. PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan, dalam penyelenggaraan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Sengketa Kewenangan dalam Administrasi Pemerintahan: Alternatif Penyelesaian Sengketa yang Terabaikan oleh A. Haryo Yudanto, SH, MH, BKP

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN

FENOMENA DALAM KEKOSONGAN HUKUM Oleh : Hario Mahar Mitendra Diterima 19 April 2018; disetujui 26 April 2018

- 1 - PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA PONTIANAK

1

Lex Administratum, Vol. III/No.2/April/2015

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DISKRESI PADA SISTEM PELAYANAN PUBLIK DI KOTA TEGAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Rencana Kegiatan Mingguan dan Bahan Ajar Hukum Pengawasan Terhadap Aparatur Pemerintah

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN. Peranan negara dalam kegiatan ekonomi dapat diwujudkan dengan

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

pengantar : Pelayanan Publik dan Standar Pelayanan Publik (SPP)

Hukum Administrasi Negara

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambaha

Arsip Nasional Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Gagalnya konsep legal state atau negara penjaga malam, melahirkan

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/PER/M.KOMINFO/12/2011 TENTANG

KEBEBASAN BERTINDAK PEMERINTAH (DISKRESI) SEBAGAI PERWUJUDAN NILAI-NILAI MORAL DAN ETIKA. Oleh : Azmi Fendri Fakultas Hukum Universitas Andalas

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Guna mencapai tujuan pembangunan nasional maka dalam

Lex Administratum, Vol. III/No.1/Jan-Mar/2015

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 9 TAHUN 2005 PEMERINTAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Tujuan dikeluarkannya kebijakan mengenai otonomi daerah, yang diatur dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

MEWUJUDKAN DPR RI SEBAGAI LEMBAGA PERWAKILAN YANG KREDIBEL 1 Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

BAB I PENDAHULUAN. good governance dan clean government. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah

Kedudukan Diskresi Pejabat Pemerintahan dan Kewenangan Pada Umumnya

DEPARTEMEN KAJIAN Dan AKSI STRATEGIS. Kenaikan. HargaBBM. Ditinjau dari Aspek Kewenangan Pengambilan Kebijakan. buka dari sini

KEDUDUKAN HUKUM PERATURAN/KEBIJAKAN DIBAWAH PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS

Rancangan Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 Huruf a UU No. 5 Tahun 1999

PERATURAN DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 01/17/PDK/XII/2012 TENTANG KODE ETIK OTORITAS JASA KEUANGAN

KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009. Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Modul I : Pengantar UU NO. 5/1999 TENTANG LARANGAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERA

BAB II LANDASAN TEORI

INDEPENDENSI BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL NEGARA

BAHAN RAPAT KERJA MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI RI, MENTERI DALAM NEGERI RI, DAN MENTERI HUKUM DAN HAM RI DENGAN

BAB I PENDAHULUAN. melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

TINJAUAN YURIDIS KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI SEBAGAI KOMISI NEGARA DALAM PENYIDIKAN ANAK AGUNG PUTU WIWIK SUGIANTARI

CARUT MARUT PENAMBANGAN PASIR DI JAWA TIMUR. Oleh: Imam Koeswahyono 1. Selama enam hari harian Surya minggu akhir bulan September 2007 memuat headline

BUPATI KEEROM PERATURAN DARAH KABUPATEN KEEROM NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana

KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA BERDASAR UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN. Dewasa ini, kebutuhan untuk menjaga lingkungan hidup dan

BAB I PENDAHULUAN. memadai untuk terciptanya sebuah struktur pasar persaingan. 1 Krisis ekonomi

KODE ETIK PENYELENGGARA NEGARA SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN ETIKA BAGI PENYELENGGARA NEGARA

BAB I PENGANTAR. Administrasi Negara sesuai dengan asas-asas yang berlaku dalam suatu

PERSAMAAN HTN DAN HAN: MERUPAKAN BAGIAN DARI SISTEM HUKUM NASIONAL YANG MENGATUR TENTANG URUSAN KENEGARAAN

Persamaan HTN dan HAN: merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang mengatur tentang urusan kenegaraan

KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Menuju Masyarakat Informasi Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. aparatur dalam berbagai sektor terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil

BAB I PEDAHULUAN. Negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

PT HD CAPITAL TBK ( PERSEROAN ) KODE ETIK ( CODE OF CONDUCT )

BAB I PENDAHULUAN. adanya administrasi perpajakan, untuk administrasi pajak pusat, diemban oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di Indonesia secara normatif-konstitusional adalah negara

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BARRU TAHUN 2011 NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARRU NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN PUBLIK

POKOK-POKOK PIKIRAN RUU APARATUR SIPIL NEGARA TIM PENYUSUN RUU TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

BAB IV ANALISIS YURIDIS PERATURAN KAPOLRI NOMOR 1 TAHUN 2009 TERKAIT PENGGUNAAN SENJATA API PADA TUGAS KEPOLISIAN PERSPEKTIF MAS}LAH}AH MURSALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media

BENTUK-BENTUK PERBUATAN PEMERINTAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM

Transkripsi:

Diskresi Birokrasi Sejak Undang-Undang 32 tahun 2004 diberlakukan, secara simultan daerah otonom melaksanakan semua urusan, sesuai dengan kewenangan yang dimiliki masing-masing daerah otonom. Dalam pelaksanaannya, d a e r a h d i b e r i r u a n g u n t u k mengembangkan kreatifitas sesuai dengan kondisi dan situasi masingmasing daerah. Outcome yang dihasilkan beragam antara daerah otonom yang satu dibandingkan dengan daerah otonom yang lain. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat umum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa s e n d i r i b e r d a s a r k a n a s p i r a s i masyarakat dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa s e n d i r i b e r d a s a r k a n a s p i r a s i masyarakat sesuai dengan perundangundangan disebut dengan Otonomi Daerah. Praktek pemerintahan daerah dengan norma UU 32/2004 setidaknya telah mendorong dinamika lokal secara kompetitif. Sejumlah isu penting dalam praktek masih menimbulkan masalah sekalipun sebenarnya tidak terlalu signifikan. Salah satu permasalahan klise yang sering terjadi adalah rendahnya profesionalisme birokrasi. Padahal dari segi kompetensi sumber daya manusia, birokrasi dapat dikatakan lebih unggul karena bagaimanapun juga rekruitmentnya m a s i h m e n g g u n a k a n k r i t e r i a mekanisme dan seleksi yang jelas (walaupun sering dilanggar). bebeda dengan counterpartnya di lembaga legislatif yang pola rekruitmentnya hanya mengandalkan suara terbanyak. Sumber dari permasalahan itu adalah 'ketidakberdayaan' birokrasi dalam menangkal intervensi 'kepentingan' baik politik maupun finansial. Sebagaimana konsepsi Weber dan pengikutnya, karena lingkungan birokrasi yang sarat kepentingan itulah maka perlunya prinsip ideal birokrasi agar selalu sadar dan berusaha menegakkan prinsip tersebut. Berangkat dari pandangan itu, birokrasi sudah seharusnya memilliki ruang diskresi yang memungkinkan pengambilan keputusan secara mandiri, responsif dan semata mata ditunjukkan untuk mengatasi masalah riil di lapangan. Asumsi yang berkembang, diskresi itu berbahaya sehingga harus dibatasi bahkan tidak perlu ada. tapi disisi lain ada yang berpendapat bahwa birokrasi itu justru dilindungi sehingga siapapun yang akan memanfaatkan birokrasi untuk kepentingan dirinya atau kelompok akan mendapat sanksi yang tegas. Pejabat setingkat Sekertaris Daerah dan Kepala Dinas perlu mendapat perlindungan ketika mengambil keputusan diskresi namun masih dalam batas kewenangannya dan demi mengatasi masalah yang lebih urgent. Jurnal Borneo Administrator Vol. 7 No. 1 Tahun 2011 1

Garis batas kewenangan antara pejabat politik dengan birokrasi perlu dipertegas agar tidak ada yang saling mengintervensi dan dominasi diantara mereka yang pada gilirannya justru merugikan kepentingan politik. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Diskresi (discretion) adalah kewenangan yang diberikan kepada pemerintah untuk mengambil kebijakan tertentu dalam situasi dan kondisi yang mendesak yang belum diatur secara rinci dalam berbagai peraturan perundangan. Menurut Michael J. Licari (2007), bahwa kewenangan untuk memutuskan b a g a i m a n a k e b i j a k a n a k a n dilaksanakan adalah komponen kunci kekuasaan birokrasi. Banyak pakar hukum yang memberikan definisi asas diskresi. Saut P. Panjaitan (2001), mendefinisikan diskresi (pouvoir discretionnaire, Perancis) ataupun Freies Ermessen (Jerman) sebagai suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet matigheid van bestuur, namun juga merupakan pengecualian dari asas administrasi negara. Sementara itu Prof. Benyamin Hossein (2009) menyatakan bahwa diskresi merupakan sebuah kebebasan pejabat publik dalam mengambil keputusan yang dilakukan atas dasar pertimbangannya sendiri. Diskresi dapat lahir dari benak seorang pejabat publik yang berpikiran positif untuk kepentingan hak hidup orang banyak serta kesejahteraannya, namun disisi lain kewenangan tersebut tidak melanggar peraturan perundangan yang berlaku. Hak diskresi ini terjadi biasanya merupakan instan decision (tanpa rencana) dan bukan pelanggaran tindak pidana. Sjachran Basah (2001) menyataka bahwa terdapat unsur-unsur y a n g h a r u s d i p e n u h i d a l a m pengambilan keputusan secara diskresi antara lain sebagai berikut: adanya tugas-tugas public service yang diemban oleh pejabat publik; dalam menjalankan tugas tersebut, para administratur negara diberikan keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan; dan kebijakank e b i j a k a n t e r s e b u t d a p a t dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum. Muchsan (2001) menyatakan bahwa pelaksanaan diskresi oleh aparat pemerintah (eksekutif) dibatasi oleh 4 (empat) hal, yaitu: apabila terjadi kekosongan hukum; adanya kebebasan interprestasi; adanya delegasi perundang-undangan; dan, demi pemenuhan kepentingan umum. C h r i s t i a n H u n o l d ( 2 0 0 1 ) menambahkan bahwa, dalam cakupan birokrasi, diskresi banyak dikaitkan dengan masalah-masalah serta isu-isu yang beredar luas, baik masalah tersebut berkaitan langsung dengan masyarakat (sosial), kebijakan ekonomi, politik bahkan hukum, dan biasanya akan langsung membuat percikan-percikan dari yang kontra dengan pembuat kebijakan tersebut. Menurut Evelyn Z (2006) dalam kajian deskresi birokrasi ada hal yang harus dikemukakan yaitu, pentingnya sebuah musyawarah sebelum menyatukan sikap, karena diskresi yang sifatnya personal selalu menjadi masalah. Pada setiap pejabat pemerintah, sejatinya melekat wewenang yang bersifat diskresional (discretionary power), yang diberikan undang-undang untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan berdasarkan pertimbangan- 2 Jurnal Borneo Administrator Vol. 7 No. 1 Tahun 2011

pertimbangannya sendiri. Esensi dasar k e w e n a n g a n d i s k r e s i d a l a m penyelenggaraan pemerintahan adalah m e n g h i n d a r i k e k o s o n g a n pemerintahan, menyelamatkan kepentingan negara dan kepentingan umum yang mendesak, serta berbagai pilihan tindakan yang disediakan peraturan perundang-undangan untuk dilakukan. Prinsip dasarnya adalah tidak melanggar tujuan-tujuan konstitusional negara dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Apakah tersedia kewenangan diskresi atau tidak, pejabat harus melihat dalam UU dan peraturan perundangundangan lain apakah diberikan wewenang tersebut. Lazimnya wewenang diskresi dalam peraturan perundang-undangan ditandai oleh penggunaan kata dapat, boleh, bisa, diberikan wewenang dan atau seharusnya. Pemerintah sendiri telah mempersiapkan Rancangan Undang- Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP) yang salah satu tujuannya adalah untuk memperjelas garis batasan diskresi. Dalam RUU AP Pasal 1 ayat (5) Rancangan Undang Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP) ditegaskan, diskresi merupakan kewenangan Pejabat Administrasi Pemerintahan yang digunakan dalam mengambil keputusan untuk mengatasi masalah dengan memperhatikan batasbatas hukum yang berlaku, asas-asas umum pemerintahan yang baik dan norma-norma yang berkembang di masyarakat. Dengan kata lain Diskresi merupakan keputusan pejabat administrasi pemerintahan yang bersifat khusus, bertanggungjawab dan tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dapat dijelaskan bahwa nantinya badan atau pejabat pemerintahan yang diberikan k e w e n a n g a n d i s k r e s i d a l a m m e n g a m b i l k e p u t u s a n w a j i b mempertimbangkan tujuan diskresi, peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar diskresi, dan senantiasa memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Perlu diwaspadai bahwa ada beberapa asas umum pemerintahan yang baik yang paling mendasar dan perlu diperhatikan ketika akan mengambil diskresi yaitu larangan penyalahgunaan wewenang dan larangan bertindak sewenangwenang. B a d a n a t a u p e j a b a t pemerintahan yang menggunakan diskresi wajib mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil. Pertanggungjawaban kepada atasan dilaksanakan dalam bentuk tertulis dengan m e m b e r i k a n a l a s a n - a l a s a n pengambilan keputusan diskresi. Sedangkan pertanggungjawaban kepada masyarakat diselesaikan melalui proses peradilan. Keputusan dan/atau tindakan diskresi pejabat administrasi pemerintahan dapat diuji melalui Upaya Administratif atau gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara. Jika terjadi sengketa terhadap diskresi yang diambil, saat ini dapat diselesaikan melalui Undang-Undang Pengadilan Tata Usaha Negara (UU PTUN). Nantinya, RUU AP akan memperjelas penyelesaian sengketa yang ditimbulkan oleh diskresi yang Jurnal Borneo Administrator Vol. 7 No. 1 Tahun 2011 3

sebelumnya belum terakomodir dalam U U P T U N. M e k a n i s m e pertanggungjawaban menurut RUU AP i n i a d a l a h m e k a n i s m e pertanggungjawaban administrasi terkait dengan keputusan ataupun tindakan yang telah diambil oleh pejabat administrasi pemerintahan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, diskresi muncul karena adanya tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari paham negara welfare state adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuk negara kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Dalam paragraf keempat dari pembukaan UUD 1945 tersebut tergambarkan secara tegas tujuan bernegara yang hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiban memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya. Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan mencampuri bidang kehidupan sosialekonomi masyarakat (public service) yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih terjadi kekososngan hukum (rechtsvacuum). Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan bergerak, diberikan kepada administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan bertindak (pouvoir discretionnaire/freies ermessen). Ada beberapa manfaat atau aspek kelebihan dalam penggunaan prinsip Freies Ermessen atau kebebasan bertindak oleh pejabat pemerintah yaitu diantaranya; pertama; kebijakan pemerintah yang bersifat emergency terkait hajat hidup orang banyak dapat segera diputuskan atau diberlakukan oleh pemerintah meskipun masih debatable secara yuridis atau bahkan terjadi kekosongan hukum sama sekali; kedua; badan atau pejabat pemerintah tidak terjebak pada formalisme hukum dengan asumsi bahwa tidak ada kekosongan hukum bagi setiap kebijakan publik (policy) s e p a n j a n g b e r k a i t a n d e n g a n kepentingan umum atau masyarakat luas; ketiga; sifat dan roda pemerintahan menjadi makin fleksibel, sehingga sektor pelayanan publik makin hidup dan pembangunan bagi peningkatan kesejahtraan rakyat menjadi tidak statis alias tetap dinmais seiring dengan dinamika masyarakat dan perkembangan zaman. Namun begitu, disisi lain kebebasan bertindak oleh apartur pemerintahan yang berwenang sudah tentu juga menimbulkan kompleksitas masalah karena sifatnya yang menyimpangi asas legalitas dalam arti yuridis (unsur exception). Terdapat beberapa parameter dalam hal batasan toleransi bagi Badan atau Pejabat pemerintahan dalam menggunakan asas diskresi yaitu; (a) adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri; (b) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu; (c) tidak boleh 4 Jurnal Borneo Administrator Vol. 7 No. 1 Tahun 2011

mengakibatkan kerugian kepada m a s y a r a k a t, h a r u s d a p a t dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral. Bila berbicara mengenai pertanggungjawaban maka diskresi akan terkait dengan permasalahan subyek yang memiliki kewenangan membuat diskresi. Memang harus diakui apabila tidak digunakan secara cermat dan hatihati maka penerapan asas diskresi ini rawan menjadi konflik struktural yang berkepanjangan antara penguasa versus masayarakat. Ada beberapa kerugian yang bisa saja terjadi jika tidak diantisipasi secara baik yakni diantaranya: pertama, aparatur atau pejabat pemerintah bertindak sewenang-wenang karena terjadi ambivalensi kebijakan yang tidak dapat d i p e r t a n g g u j a w a b k a n k e p a d a masyarakat; kedua, sektor pelayanan publik menjadi terganggu atau malah makin buruk akibat kebijakan yang tidak popoluer dan non-responsif diambil oleh pejabat atau aparatur pemerintah yang berwenang; ketiga, sektor pembangunan justru menjadi terhambat akibat sejumlah kebijakan (policy) pejabat atau aparatur pemerintah yang kontraproduktif dengan keinginan rakyat atau para pelaku pembangunan lainnya; keempat, aktifitas perekonomian masyarakat justru menjadi pasif dan tidak berkembang akibat sejumlah kebijakan (policy) yang tidak promasyarakat dan terakhir adalah terjadi krisis kepecayaan publik terhadap penguasa dan menurunya wibawa pemernitah dimata masyarakat sebagai akibat kebijakan-kebijakannya yang dinilai tidak simpatik dan merugikan masyarakat. Disadari atau tidak, fakta emperik menunjukkan, bahwa banyaknya diskresi yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan berpotensi menimbulkan permasalahan hukum dan administratif, sehingga perlu diawasi oleh masyarakat beserta organisasi-organisasi NGO yang concern terhadap good governance. Melihat rawannya potensi kekacauan hukum dan administrasi yang ditimbulkan, maka diskresi harus dapat d i p e r t a n g g u n g j a w a b k a n ( r e s p o n s i b i l i t y ) s e k a l i g u s d i p e r t a n g g u n g g u g a t k a n (accountability). Oleh karena itu, penggunaan diskresi secara tepat sesuai dengan ketentuaan yang ada, yakni dengan senantiasa bersandar kepada asas-asas umum pemerintahan yang baik tentunya akan membawa manfaat bagi masyarakat. Dalam perspektif ini, perlu ditekankan bahwa seorang pejabat adminisatrasi pemerintahan dituntut harus dapat mempertanggungjawabkan tindakan diskresi yang dibuat olehnya kepada masyarakat tanpa perlu menunggu adanya gugatan secara legalisitik. Mengingat hal tersebut merupakan suatu kewajiban yang sifatnya melekat pada kewenangan yang menjadi dasar akan adanya tindakan diskresi itu sendiri. (Ferry Firdaus) Jurnal Borneo Administrator Vol. 7 No. 1 Tahun 2011 5