Penggunaan Kortikosteroid Intranasal Dalam Tata Laksana Rinitis Alergi pada Anak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Rinitis alergika merupakan penyakit kronis yang cenderung meningkat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penyakit Alergi lain yang Dialami Anak dengan Asma

Perbandingan efektivitas flutikason furoat intranasal dengan dan tanpa loratadin oral pada penderita rinitis alergi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

Perbandingan efektivitas flutikason furoat intranasal dengan dan tanpa loratadin oral pada penderita rinitis alergi

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

TUGAS JURNAL LATIHAN PERNAFASAN HIDUNG DAN PENGARUHNYA TERHADAP RHINITIS ALERGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

Pengaruh Kortikosteroid Inhalasi terhadap Pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling

BAB 1 PENDAHULUAN. immunoglobulin E sebagai respon terhadap alergen. Manifestasi yang dapat

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007.

BAB 1 PENDAHULUAN. inflamasi. Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated

Eosinofil Mukosa Hidung Sebagai Uji Diagnostik Rinitis Alergi pada Anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

DRUG DELIVERY SYSTEM INTRANASAL FIFI ELVIRA JAMRI ( )

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,

FAKTOR YANG DIDUGA MENJADI RESIKO PADA ANAK DENGAN RINITIS ALERGI DI RSU DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB I PENDAHULUAN. Reaksi alergi dapat menyerang beberapa organ dan pada setiap kelompok usia.

- Asma pada Anak. Arwin AP Akib. Patogenesis

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN. Kelamin Rumah Sakit Gotong Royong Surabaya Periode 16 Juni. 2. Pada 6 orang pasien yang memiliki riwayat Rinitis Alergi,

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Dermatitis Atopik (DA) merupakan penyakit inflamasi kulit kronik, berulang. serta predileksi yang khas (Patrick, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan di Indonesia tepatnya Jakarta pusat didapatkan 25.5% anak yang

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Migrasi Lekosit dan Inflamasi

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Mometasone furoate topikal menurunkan kadar IL3, IL9-serum dan jumlah eosinofil mukosa hidung penderita rinitis alergi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hipersensitivitas cepat (immediate hypersensitivity) karena reaksi

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT ALERGI KELUARGA, LAMA SAKIT DAN HASIL TES KULIT DENGAN JENIS DAN BERATNYA RINITIS ALERGI ARTIKEL

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

KAJIAN PENGGUNAAN OBAT GOLONGAN KORTIKOSTEROID PADA PASIEN ASMA PEDIATRI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG BOYOLALI TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. bahan kimia atau iritan, iatrogenik, paparan di tempat kerja atau okupasional

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

LAMPIRAN. : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK USU. RSUP. H. Adam Malik, Medan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan infeksi sekunder dari bakteri. 4. Indonesia (IDAI) imunisasi campak diberikan pada bayi usia 9-12 bulan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang banyak ditemui dan

KUALITAS HIDUP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN DENGAN RINITIS ALERGI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG BERPENGARUH LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. beberapa dekade terakhir. Penyakit alergi adalah reaksi hipersensitivitas sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan adanya gejala-gejala nasal seperti rinore anterior atau posterior, bersinbersin,

BAB 1 PENDAHULUAN. dermatitis yang paling umum pada bayi dan anak. 2 Nama lain untuk

RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER Elia Reinhard

Transkripsi:

Sari Pediatri, Sari Pediatri, Vol. 8, No. Vol. 1, 8, Juni No. 2006: 1, Juni 542006-59 Penggunaan Kortikosteroid Intranasal Dalam Tata Laksana Rinitis Alergi pada Anak Benry P. Simbolon, Sjabaroeddin Loebis, Lily Irsa Akhir-akhir ini terdapat peningkatan prevalensi kasus rinitis alergi pada anak. Penyakit ini tidak hanya mengganggu kesehatan fisik dan psikososial, kualitas hidup, kapasitas belajar dan bekerja anak, tetapi juga berperan terhadap timbulnya penyakit lain seperti asma, sinusitis, dan otitis media. Tata laksana rinitis alergi meliputi pengendalian lingkungan untuk menghindari alergen, pemberian obat-obatan seperti antihistamin, dekongestan, dan kortikosteroid, serta imunoterapi. Pemberian kortikosteroid intranasal merupakan indikasi bagi penderita rinitis alergi intermiten sedang-berat dan rinitis alergi persisten. Efek anti inflamasi dari obat ini diperantarai oleh pengaturan ekspresi gen target spesifik. Kortikosteroid intranasal sangat efektif dalam menghilangkan gejala rinitis alergi. Obat ini dapat diberikan dalam bentuk semprot aqua dan inhaler dengan dosis terukur. Pemberian obat ini jarang menimbulkan efek samping sistemik, namun jika diberikan bersamaan dengan kortikosteroid topikal lainnya, harus dilakukan titrasi sampai dosis paling rendah yang dapat mengontrol penyakit. Kata kunci: rinitis alergi, kortikosteroid, intranasal R initis adalah gangguan heterogen yang ditandai dengan satu atau lebih gejala pada hidung seperti bersin, gatal, hidung berair, dan hidung tersumbat. Kira-kira 50% dari semua kasus rinitis disebabkan oleh faktor alergi. Gejala timbul sebagai akibat inflamasi yang disebabkan oleh respons imun yang diperantarai oleh IgE terhadap alergen spesifik, seperti tepung sari, jamur, bulu binatang, dan tungau debu. 1 Alergen penyebab pada bayi dan anak biasanya alergen ingestan, sedangkan alergen inhalan lebih berperan dengan bertambahnya usia. Gejala rinitis alergi (RA) dapat juga dicetuskan oleh berbagai Alamat korespondensi: Dr. Benry P Simbolon. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. FK-USU/RS H Adam Malik, Medan. Jl. Bunga Lau no. 17, Medan 20136. Telepon: 061-836 0405, 836 0143. Fax. 061-836 1721. faktor seperti pajanan terhadap udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, bau masakan, bubuk deterjen, serta bau minuman beralkohol. 2 Selama 40 tahun terakhir terdapat peningkatan jumlah penderita RA yang nyata di negara industri, dan sedikit peningkatan di negara yang belum berkembang. Di negara maju terdapat 20-40% anak menderita RA, 3 di Amerika Serikat 20-40 juta penduduk menderita RA. 1 Satu studi mendapatkan prevalensi RA sebesar 42% pada anak berumur 6 tahun yang didiagnosis oleh dokter dan dipantau sejak lahir. 4 Penderita RA sering menghadapi masalah seperti susah tidur pada malam hari, merasa lemah pada siang hari, keterbatasan aktivitas, kurang konsentrasi dan perhatian, produktivitas yang rendah, perubahan mood serta gangguan kognitif. 5 Rinitis alergi yang tidak diobati selain mengganggu kesehatan fisik dan psikososial, kualitas hidup dan kapasitas kerja dan belajar, juga berperan terhadap timbulnya sekuele yang berpotensi menjadi 54

penyakit serius, seperti asma, sinusitis, dan otitis media. 6 Tujuan utama pengobatan RA adalah mengendalikan penyakit dengan menghilangkan gejala dan memperbaiki kualitas hidup. 7,8 Penanganan yang efektif dapat mengurangi gejala yang berhubungan dengan kondisi yang disebabkan oleh proses inflamasi. Dengan pemahaman dan pengobatan yang tepat, para dokter dapat mengurangi secara dramatis angka kesakitan yang disebabkan oleh penyakit ini. 7 Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk membahas tata laksana rinitis alergi secara umum dan khususnya pemberian kortikosteroid intranasal yang meliputi mekanisme kerja, dosis, dan cara pemberian, serta efek samping, dan keamanan terapi. Tata laksana rinitis alergi Rinitis alergi dapat dibagi menjadi rinitis alergi intermiten dan persisten. Pembagian ini menggantikan klasifikasi yang lama yaitu RA musiman (seasonal) dan sepanjang tahun (perenial) yang masih banyak dipakai. Berdasarkan keparahan gejala, RA intermiten dan persisten dibagi ringan dan sedang-berat.(gambar 1) 7 Pilihan pengobatan pada anak sama seperti pada dewasa. Pengendalian lingkungan untuk meng- hindari alergen sangat penting, namun tidak selamanya dapat dilakukan dengan sempurna. Pemberian obat-obatan selalu diperlukan, antara lain antihistamin, dekongestan, dan kortikosteroid. Pada RA persisten, pemberian imunoterapi dapat dipertimbangkan. 6 Terapi farmakologis RA didasarkan pada berat ringannya penyakit. Pada RA intermiten ringan dapat diberikan antihistamin, sedangkan pada RA intermiten sedang-berat, pilihan pengobatan meliputi pemberian antihistamin ditambah kortikosteroid intranasal (KSIN), yang dihentikan bila gejala menghilang. Pada RA persisten, pengobatan utama adalah dengan menggunakan KSIN, bila perlu ditambahkan antihistamin atau kortikosteroid oral. 9 Penggunaan kortikosteroid intranasal Glukokortikoid adalah obat yang paling poten dalam pengobatan RA. Oleh karena pemberiannya secara sistemik menimbulkan berbagai efek samping, saat ini telah dikembangkan pemberian topikal secara intranasal. 10 Kortikosteroid intranasal memiliki keunggulan yang nyata dalam pengobatan RA. Obat ini lebih unggul dibandingkan dengan antihistamin Intermiten Gejala = 4 hari/minggu ATAU Gejala = 4 minggu/tahun Persisten Gejala > 4 hari/minggu DAN Gejala > 4 minggu/tahun Ringan Sedang-Berat Ringan Sedang-Berat Ringan Sedang-Berat Semua gejala di bawah ini, Dijumpai satu atau lebih, - Tidur tidak terganggu - Tidur terganggu - Tidak ada gangguan aktivitas, - Gangguan aktivitas sehari-hari, olah raga, dan rekreasi oleh raga dan rekreasi - Bekerja dan sekolah tidak terganggu - Gangguan pekerjaan dan sekolah - Tidak ada gejala yang sangat mengganggu - Gejala yang sangat mengganggu Gambar 1. Klasifikasi rinitis alergi yang telah direvisi berdasarkan frekuensi dan keparahan gejala menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) 7 55

oral dan kromolin intranasal. 7,11 Satu studi metaanalisis mendapatkan penggunaan KSIN sebagai pengobatan utama pada RA lebih unggul dibandingkan antihistamin oral. 12 Mekanisme kerja kortikosteroid Kortikosteroid digunakan sangat luas dalam pengobatan berbagai penyakit alergi oleh karena sifat anti inflamasinya yang kuat. Beragam kerja anti inflamasi kortikosteroid diperantarai oleh pengaturan ekspresi dari bermacam gen target spesifik. 13 Telah diketahui bahwa kortikosteroid menghambat sintesis sejumlah sitokin seperti interleukin IL-1 sampai IL-6, tumor nekrosis factor-α (TNF-α), dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Kortikosteroid juga menghambat sintesis khemokin IL-8, regulated on activation normal T cell expressed and secreted (RANTES), eotaxin, macrophage inflammatory protein- 1α (MIP-1α), dan monocyt chemoattractant protein-1. Ekspresi enzim-enzim seperti nitric oxide synthase, phosphilipase A 2, cyclooxygenase pada sel epitel saluran nafas diubah oleh kortikosteroid. Selain itu kortikosteroid juga mengatur ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), dan vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1). 13 Kortikosteroid bebas adalah molekul yang kecil dan bersifat lipofilik, mudah mengalami difusi melalui membran sel ke dalam sitoplasma dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid. Kompleks reseptor glukokortikoid-kortikosteroid ini bekerja dengan memodifikasi aktifitas transkripsi yang menyebabkan penurunan ekspresi molekul pro-inflamasi dan sel-sel seperti sel Langerhans, limfosit, sel mast, basofil, eosinofil, disertai dengan peningkatan ekspresi molekul anti inflamasi dan reseptor β adrenergik. Kerja dari kortikosteroid pada sel efektor terangkum dalam Tabel 1. 14 Selain pada sel efektor, kortikosteroid intranasal juga berperan dalam menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan produksi mukus. 11 Saat ini belum diketahui bagaimana molekul kortikosteroid dapat bekerja secara khusus pada sel-sel inflamasi dan sel-sel epitel di hidung tanpa diserap ke dalam sirkulasi. Mekanisme kerja beberapa molekul kortikosteroid dapat mencapai sirkulasi sistemik sedangkan yang lain sangat sedikit mencapai sirkulasi sistemik masih belum jelas. Belum diketahui pula apakah molekul kortikosteroid hanya melakukan penetrasi pada mukosa hidung atau membutuhkan penetrasi ke bawah membran mukosa, mungkin ke sirkulasi dan kemudian ke sumsum tulang, untuk bekerja pada semua sel-sel target dan mencapai efikasi yang optimal. 14 Tabel 1. Rangkuman kerja kortikosteroid pada sel-sel efektor 14 Sel-sel Efektor Sel Epitel Limfosit Eosinofil Basofil Sel Mast Sel Langerhans Sitokin Th2 Kerja Kortikosteroid Penurunan ekspresi GM-CSF, IL-6, IL-8, dan RANTES Penurunan produksi IL-4, IL-5 Penurunan jumlah sel-sel CD3 +, CD4 +, CD8 +, dan CD25 + Penurunan sekresi dan ekspresi IL-5 (yang menstimulasi eosinofil) Penurunan ekspresi ICAM-1 dan VCAM-1 (yang mengurangi adhesi eosinofil) Penurunan produksi RANTES, macrophage chemoatactic protein-1 (MCP-1), MCP-4, dan eotaksin (kemokin yang menahan eosinofil di jalan nafas) Meningkatkan apoptosis eosinofil Penurunan degranulasi eosinofil Penurunan jumlah basofil dalam sekresi hidung Penurunan produksi IL-4, IL-13 (yang mengurangi molekul adhesi) Penurunan produksi chemoattractant basofil Penurunan jumlah sel mast intraepitel Penurunan histamin dan triptase dalam cairan lavase Penurunan produksi IL-4 Penurunan jumlah sel Menghambat transformasi sel Th0 Menghambat formasi sel Th2, isotipe yang mengubah sel B, sintesis IgE antibodi 56

Jenis dan cara pemberian kortikosteroid Kortikosteroid yang lebih dahulu dikenal seperti deksametason dan betametason memiliki efek sistemik bila digunakan intranasal. Kortikosteroid yang lebih baru seperti beklometason dipropionat (BDP), triamsinolon asetonid (TAA), flunisolid (FLU), budesonid (BUD), flutikason propionat (FP) dan mometason furoat (MF), memiliki efek sistemik yang sangat rendah. 11 Obat-obat tersebut tersedia dalam bentuk semprot larutan zat tersebut dalam air (aqua based) dan inhaler (Tabel 2). 15 Efek samping dan keamanan terapi kortikosteroid Pemberian kortikosteroid secara topikal dapat mengurangi dosis yang dibutuhkan dan mengurangi efek samping. Meskipun penggunaan KSIN dapat mengurangi efek samping sistemik, efek samping lokal dapat juga timbul. Efek samping lokal yang kadang timbul adalah krusta pada hidung, rasa kering, dan epistaksis. 9,18 Efek samping ini biasanya ringan dan akan hilang dengan sendirinya. Perforasi septum dapat juga terjadi, namun hal ini sangat Tabel 2. Preparat kortikosteroid intranasal 15 Obat Beklometason(BDP) Inhaler Budesonid (BUD) Inhaler Flunisolid (FLU) Flutikason (FP) Mometason (MF) Triamsinolon(TAA) Inhaler Dosis per semprot/inhaler 42 ìg 84 ìg 32 ìg 32 ìg 25 ìg 50 ìg 50 ìg 55 ìg 55 ìg Dosis per nostril 1 semprot, 2-3x/hr 2 semprot, 2x/hari, 4 semprot/hari 1 semprot/hari 2 semprot, 2x/hari Kortikosteroid intranasal sangat efektif dalam menghilangkan gejala RA seperti bersin, rasa gatal, hidung berair, dan hidung tersumbat. 6,7,15 Efek terapi mulai kelihatan pada hari kedua sampai ketiga pengobatan dengan puncaknya pada minggu kedua sampai ketiga. 16 Oleh karena gejala RA didahului oleh proses alergi dan hipereaktivitas, terapi KSIN sebaiknya diberikan sebelum gejala timbul. Akan tetapi jika diberikan segera setelah timbulnya reaksi terhadap alergi, obat tersebut dapat juga mencegah berlanjutnya inflamasi dan mencegah timbulnya gejala. 7 Biasanya pada permulaan terapi sering dikombinasikan dengan antihistamin. 9 Kortikosteroid intranasal saat ini dianjurkan untuk anak berumur di atas 6 tahun, 9 dengan pengecualian MF dapat diberikan pada anak di atas 3 tahun, 11,15,16,17 dan FP dapat diberikan pada anak di atas 4 tahun. 6,16 jarang. 18 Untuk mengurangi efek lokal ini dapat digunakan formulasi aqua, karena kurang menimbulkan iritasi. 16 Dengan pemberian KSIN diharapkan tercapai rasio aktifitas topikal terhadap sistemik yang tinggi, sehingga efek samping sistemik dapat dikurangi. Namun terdapat juga absorbsi ke sirkulasi sistemik dengan jumlah yang bermakna melalui fraksi yang tertelan atau melalui mukosa hidung. 18 Efek sistemik KSIN yang banyak diteliti adalah penekanan pada poros hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) dan gangguan pertumbuhan. 9 Rendahnya dosis yang diberikan dan keterbatasan ketersediaan dalam sirkulasi sistemik menyebabkan pasien yang mendapat KSIN memiliki risiko yang sangat rendah untuk mengalami penekanan poros HPA. 7 Satu studi pada orang dewasa mendapatkan pe- 57

nurunan pengeluaran kortisol melalui urin selama pengobatan dengan BUD dan FP, sedangkan studi lain pada anak tidak menemukan efek pemberian BUD dan FP pada penekanan poros HPA. 19 Satu studi jangka pendek mendapatkan bahwa pemberian BUD inhaler 200ìg, 2 kali sehari, secara bermakna menurunkan pertumbuhan tungkai bawah, sedangkan studi lain dengan pemberian BUD inhaler 200μg, 1 kali sehari, tidak mempengaruhi pertumbuhan. 20 Galant dan kawan-kawan melaporkan pemberian FP intranasal pada anak penderita RA musiman selama 4 minggu tidak menunjukkan pengaruh pada penekanan poros HPA. 21 Beklometason dipropionat menunjukkan pengaruh pada pengeluaran kortisol melalui urin pada sukarelawan sehat, namun studi jangka panjang pada anak tidak menunjukkan pengaruh pada penekanan poros HPA. 19 Skoner dan kawan-kawan dalam satu studi pada anak penderita RA perenial yang diberi 168μg BDP, 2 kali sehari, selama 1 tahun, mendapatkan perlambatan pertumbuhan dibandingkan kelompok plasebo, tetapi tidak dijumpai penekanan pada konsentrasi kortisol basal. Pada studi tersebut terdapat perbedaan umur dan tinggi badan kedua kelompok sebelum penelitian dilakukan. 22 Penelitian secara ekstensif telah dilakukan untuk meneliti efek pemberian mometason furoat dalam lebih dari 20 studi pada anak dan dewasa. Tidak dijumpai pengaruh pemberian MF intranasal pada penekanan poros HPA pada anak-anak dan dewasa. 19 Studi yang dilakukan oleh Schenkel dan kawan-kawan men dapatkan pemberian MF intranasal 100ìg sehari, selama 1 tahun, pada anak penderita RA perenial dapat ditoleransi dengan baik dan tidak dijumpai retardasi pertumbuhan dan penekanan poros HPA. 23 Perry dan kawan-kawan melaporkan pemberian BUD, FLU, dan BDP intranasal berkaitan dengan timbulnya sindrom Cushing, gangguan pertumbuhan dan penekanan adrenal. Namun dalam laporan tersebut selain mendapat KSIN untuk pengobatan RA, pasien juga mendapat kortikosteroid inhalasi untuk pengobatan asma. 24 Pasien anak RA sering juga menderita penyakit atopik lain, seperti asma dan dermatitis, yang mungkin memerlukan kortikosteroid topikal pada beberapa tempat. 11 Untuk mengurangi timbulnya efek sistemik, dosis kortikosteroid harus dititrasi sampai dosis yang paling rendah, yang dapat mengendalikan penyakit. 11,19 Ringkasan Rinitis alergi adalah gangguan heterogen yang disebabkan oleh faktor alergi yang yang ditandai dengan satu atau lebih gejala pada hidung, seperti bersin, gatal, hidung berair, dan hidung tersumbat. Penderita RA sering menghadapi masalah seperti susah tidur, merasa lemah, keterbatasan aktivitas, kurang konsentrasi dan perhatian, produktivitas yang rendah, perubahan mood, serta gangguan kognitif. Terapi farmakologis RA didasarkan pada berat ringannya penyakit. Kortikosteroid intranasal diberikan pada RA intermiten sedang-berat dan RA persisten. Obat ini efektif untuk menghilangkan gejala bersin, rasa gatal, hidung berair dan hidung tersumbat. Pemberian kortikosteroid intranasal kadangkala dapat menimbulkan efek samping lokal seperti rasa kering, krusta dan epistaksis, namun hal ini biasanya ringan dan dapat hilang sendiri. Efek samping sistemik dapat timbul jika diberikan bersamaan dengan kortikosteroid topikal lain. Daftar pustaka 1. Skoner DP. Allergic rhinitis: defenition, epidemiology, pathophysiology, detection, and diagnosis. J Allergy Clin Immunol 2001; 108:S2-8. 2. Munasir Z, Rakun MW. Rinitis alergik. Dalam: Akip AAP, Matondang CS, penyunting. Buku Ajar Alergi- Imunologi Anak. Jakarta: IDAI, 1996. h. 173-8. 3. Milgrom H, Leung DYM. Allergic rhinitis. Dalam: Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders Company, 2004. h. 759-60. 4. Wright AL, Holberg CJ, Martinez FD. Epidemiology of physician-diagnosed allergic rhinitis in childhood. Pediatrics 1994; 94:895-91. 5. Leynaert B, Neukirch C, Liard R, Bousquet J, Neukirch F. Quality of life in allergic rhinitis and asthma. A population-based study of young adults. Am J Resp and Crit Care Med 2000; 162:1391-6. 6. Fireman P. Therapeutic approaches to allergic rhinitis: Treating the child. J Allergy Clin Immunol 2000; 105:S616-21. 7. Luskin AT, Scherger JE, Pollart SM. Beyond the nose: The sistemic inflamatory effects of allergic rhinitis. Hospital Physician. February 2004:13-22. Didapat dari: http://www.turner-white.com/memberfile.php?pubcode= hp_feb04_nose.pdf 58

8. Meltzer EO. Quality of life adults and children with allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol 2001;108:S45-53. 9. Suyoko EMD. Penggunaan kortikosteroid topikal pada penatalaksanaan rinitis alergi. Dalam: Akib AAP, Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit Alergi dan Infeksi. PKB Dep IKA FKUI Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2001. h. 149-53. 10. Naclerio RM. Drug therapi, allergic rhinitis. New Engl J Med 1991; 325:860-9. 11. Scadding GK. Corticosteroids in the treatment of pediatric allergi rhinitis. J Allergy Clin Immunol 2001; 108:S59-63. 12. Weiner JM, Abramson MJ, Puy RM. Intranasal corticosteroids versus oral H 1 receptor antagonists in allergic rhinitis: Systematic review of randomized controlled trials. BMJ 1998; 317:1624-9. 13. Atkins D, Leung DYM. Principles of treatment of allergic disease. Dalam: Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders Company, 2004. h. 752-8. 14. Mygind N, Nielsen LP, Hoffmann HJ, dkk. Mode of action of intranasal corticosteroids. J Allergy Clin Immunol 2001; 108:S16-25. 15. Boguniewicz M, Leung DYM. Allergic rhinitis. Dalam: Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM. Penyunting. Current Pediatrics Diagnosis and Treatment. Edisi ke-17. New York: McGraw-Hill Co, 2001. h. 938-50. 16. Orlandi R, Baker J, Andreae M, Dubay D Erickson S. Allergic rhinitis. University of Michigan Health System Allergic Rhinitis Guideline Month 2002. Didapat dari: http://cme.med.umich.edu/pdf/guideline/allergic.pdf. 17. Dibildox J. Safety and efficacy of mometason furoate agueous nasal spray in children with allergic rhinitis: result of recent clinical trials. J Allergy Clin Immunol 2001; 108:S54-8. 18. Szefler SJ. Pharmakokinetics of intranasal corticosteroids. J Allergy Clin Immunol 2001; 108:S26-31. 19. Boner AL. Effects of intranasal corticosteroids on the hypothalamic-pituitary-adrenal axis in children. J Allergy Clin Immunol 2001; 108:S32-9. 20. Pedersen S. Assessing the effect of intranasal steroids on growth. J Allergy Clin Immunol 2001; 108:S40-4. 21. Galant SP, Ahrens RC, Dockhorn RJ, dkk. Fluticasone propionate collaborative pediatric working group. Treatment of seasonal allergic rhinitis with once-daily intranasal fluticasone propionate therapy in children. J Ped 1994; 125:628-34. 22. Skoner DP, Rachelefsky GS, Meltzer EO. Detection of growth suppression in children during treatment with intranasal beclomethasone dipropionate. Pediatrics 2000;105. Didapat dari : http://www.pediatrics.org/cgi/ content/full/105/2/e23 23. Schenkel EJ, Skoner DP, Bronsky EA. Absence of growth retardation in children with perennial allergic rhinitis after one year of treatment with mometasone furoate aqueous nasal spray. Didapat dari: http://www. pediatrics.org/cgi/content/full/105/2/e22 24. Perry RJ, Findlay CA, Donaldson MDC. Cushing s syndrome, growth impairment, and occult adrenal suppression associated with intranasal steroids. Arch Dis Child 2002; 87:45-8. 59