BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

TINJAUAN YURIDIS PERANAN BUKTI FORENSIK DAN LAPORAN INTELEJEN PADA TAHAP PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERORISME DI KOTA MEDAN (STUDI DI POLRESTA MEDAN)

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

BAB I PENDAHULUAN. mahluk sosial dan sebagai mahluk individu. Dalam kehidupan sehari-harinya

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

commit to user BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan dari segi kualitas dan kuantitas. Kualitas kejahatan pada

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di

BAB I PENDAHUUAN. lainya, mengadakan kerjasama, tolong-menolong untuk memperoleh. pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. perilaku remaja di Indonesia mulai dari usia sekolah hingga perguruan tinggi.

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

jahat tersebut tentunya berusaha untuk menghindar dari hukuman pidana, yaitu dengan cara

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh buktibukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat 2 yang menyatakan : Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. 1 Sesuai ketentuan perundang-undangan diatas, maka dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan 1 Tim Redaksi Fokusmedia, 2004, Lima Undang-Undang Penegak Hukum dan Keadilan, Fokusmedia, Bandung. 1

2 pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud diatas dan yang telah ditentukan menurut ketentuan perundang-undangan adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 184 ayat 1 : Alat bukti yang sah ialah : a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa 2.. Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut. Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada Pasal 120 ayat (1), yang menyatakan : Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. 2 Redaksi Bumi Aksara, 2001, KUHAP LENGKAP, Bumi Aksara, Jakarta.

3 Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, disebutkan pada Pasal 180 ayat (1) yang menyatakan : Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan. Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP diatas, diberikan pengertiannya pada Pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan : Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan Bantuan seorang ahli yang diperlukan dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana, baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan dan pada tahap pemeriksaan lanjutan di sidang pengadilan, mempunyai peran dalam membantu aparat yang berwenang untuk membuat terang suatu perkara pidana, mengumpulkan bukti-bukti yang memerlukan keahlian khusus, memberikan petunjuk yang lebih kuat mengenai pelaku tindak pidana, serta pada akhirnya dapat membantu hakim dalam menjatuhkan putusan dengan tepat terhadap perkara yang diperiksanya. Pada tahap pemeriksaan pendahuluan dimana dilakukan proses penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana, tahapan ini mempunyai peran yang cukup penting bahkan menentukan untuk tahap pemeriksaan selanjutnya dari keseluruhan proses peradilan pidana. Tindakan penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian atau pihak lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan

4 tindakan penyidikan, bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan hasil yang didapat dari tindakan penyidikan suatu kasus pidana, hal ini selanjutnya akan diproses pada tahap penuntutan dan persidangan di pengadilan. Dikatakan, bahwa keterangan orang ahli amat diperlukan dalam setiap tahapan pemeriksaan, oleh karena ia diperlukan baik dalam tahap penyidikan, tahap penuntutan maupun tahap pemeriksaan di sidang Pengadilan. Jaminan akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas keterangan orang ahli atau para ahli yang didasari pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang-bidang keilmuannya, akan dapat menambah data, fakta dan pendapatnya, yang dapat ditarik oleh Hakim dalam menimbang-menimbang berdasarkan pertimbangan hukumnya, atau keterangan ahli itu dalam memutus perkara yang bersangkutan. Sudah tentu, masih harus dilihat dari kasus per kasus dari tindak pidananya tersebut masing masing, atas tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa dalam surat dakwaan dari Penuntut Umum di sidang Pengadilan. 3 Cara untuk dapat mengetahui dan membantu mendapatkan bukti pada perkara pidana yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia diperlukan Visum et Repertum. Pada prakteknya Visum et repertum merupakan alat bukti yang masuk sebagai keterangan ahli jika Visum et repertum ini dibuat oleh seseorang dokter yang ditunjuk sesuai keahliannya. Keterangan ahli ini dimaksudkan keterangan dari seorang ahli yang dinyatakan di dalam sidang pengadilan. Ketika dahulu masih menggunakan HIR (Herziene Indonesische Reglement), Visum et repertum ini biasanya dikategorikan alat bukti surat karena dalam HIR tidak dikenal adanya keterangan ahli. 3 R. Soeparmono, SH., 2002, Keterangan Ahli & Visum et repertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung.

5 Kualitas kejahatan perkosaan dapat dilihat dengan semakin beragamnya cara yang digunakan pelaku untuk melakukan tindak perkosaan, berbagai kesempatan dan tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya tindak perkosaan, hubungan korban dan pelaku yang justru mempunyai kedekatan karena hubungan keluarga, tetangga, bahkan guru yang seharusnya membimbing dan mendidik, bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap korban, serta usia korban perkosaan yang saat ini semakin banyak terjadi pada anakanak. Untuk mengungkap suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan, akan dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi, berupaya membuat terang tindak pidana tersebut, dan selanjutnya dapat menemukan pelaku tindak pidana perkosaan. Tindak pidana perkosaan termasuk dalam kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan yang diatur dalam Bab ke XIV dari Buku ke II Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam bab tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi orang-orang yang dipandang perlu untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan asusila. Perkosaan dalam hukum pidana diklasifikasikan sebagai kejahatan atau pelanggaran kesusilaan memang sering terjadi di masyarakat. Didalam masyarakat kita hal yang menyangkut seksual dianggap hal yang tabu, oleh karena itu kadang kala jika terjadi tindak perkosaan oleh masyarakat ditutuptutupi sehingga dalam pemeriksaan mengalami kesulitan.

6 Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana perkosaan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan Visum et repertum. Bahwa dengan melampirkan bukti Visum et repertum dalam suatu berkas perkara pada BAP oleh penyidik atau pada tahap pemeriksaan dalam proses penuntutan oleh penuntut umum, setelah dinyatakan cukup hasil pemeriksaan itu dari perkara pidana yang didakwakan kepada terdakwa kemudian diajukan ke persidangan, maka bukti Visum et repertum menjadi termasuk sebagai alat bukti sah, seperti disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) sub. b dan sub. e KUHAP. Semua alat-alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana yang berlaku mempunyai kekuatan hukum yang sama. Permasalahannya terletak sejauh mana alat-alat bukti yang sah itu khususnya Visum et repertum dipergunakan oleh Hakim di dalam persidangan. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, maka penulis tertarik untuk menyusun penelitian hukum dengan judul : TINJAUAN YURIDIS VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERSIDANGAN PERKARA TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Wonogiri)

7 B. Rumusan Masalah. Berdasarkan apa yang telah Penulis uraikan pada Latar Belakang Masalah tersebut di atas yang intinya berkenaan dengan Visum et repertum sebagai alat bukti dalam persidangan tindak pidana perkosaan, maka Penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah fungsi Visum et repertum dalam persidangan tindak pidana perkosaan? 2. Apakah yang menjadi hambatan Majelis Hakim dalam menggunakan Visum et repertum dalam persidangan tindak pidana perkosaan? C. Tujuan Penelitian. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui fungsi Visum et repertum dalam persidangan tindak pidana perkosaan; 2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang timbul ketika Majelis dalam menggunakan Visum et repertum sebagai alat bukti dalam persidangan tindak pidana perkosaan. D. Manfaat Penelitian. Di dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis.

8 Dapat memberikan sumbangan pengetahuan serta pemikiran yang bermanfaat di bidang ilmu hukum khususnya hukum acara pidana tentang mengetahui fungsi Visum et repertum dalam persidangan tindak pidana perkosaan. 2. Manfaat Praktis. Sebagai bahan masukan informasi pada instansi yang terkait dan pihakpihak yang membutuhkan untuk mengetahui fungsi Visum et repertum dalam persidangan tindak pidana perkosaan. E. Keaslian Penelitian. Dengan ini penulis menyatakan bahwa Penulisan Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, bukan merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain. Jika Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku. F. Batasan Konsep. Perumusan perbuatan perkosaan (rape) ada dalam Pasal 285 KUHP yang berbunyi : Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa

9 seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Jadi di sini unsur unsur yang terdapat dalam delik perkosaan adalah : 1. Barang siapa : dalam hal ini menunjukkan si pelaku adalah manusia atau orang. 2. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan : kekerasan yang dimaksud adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan badan yang agak hebat. Atau dalam Pasal 89 KUHP yang memperluas pengertian kekerasan sehingga memingsankan atau melemahkan orang, disamakan dengan melakukan kekerasan. 3. Memaksa : berarti di luar kehendak atau bertentangan dengan kehendak si wanita. 4. Seorang wanita bersetubuh dengan dia : pengertian bersetubuh pada saat ini diartikan

10 bahwa penis telah penetrasi (masuk) ke dalam vagina. 5. Di luar perkawinan. : berarti wanita itu bukan istrinya. 6. Visum et repertum : keterangan yang dibuat oleh dokter kehakiman mengenai kondisi korban dan sebab kematian atau lukanya. 4 G. Metode Penelitian. berikut : Penulis dalam penelitian ini menggunakan metodologi penelitian sebagai 1. Jenis penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian normatif deksriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan bagaimana Visum et repertum digunakan di dalam persidangan untuk memeriksa tindak pidana perkosaan. 2. Sumber data. a. Sumber data primer. Berupa data yang dapat memberikan informasi secara langsung mengenai segala hal yang berkaitan dengan obyek penelitian. Sebagai 4 Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, 2007, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

11 sumber data primer ini adalah pejabat yang berkompeten di Pengadilan Negeri Wonogiri yaitu Hakim Pengadilan Negeri Wonogiri. b. Sumber data sekunder. Berupa data yang diperoleh dari literatur, dokumen, arsip-arsip, berkas-berkas perkara di Pengadilan Negeri Wonogiri, dan peraturanperaturan yang berlaku dan bersifat mendukung sumber data primer. 3. Metode Pengumpulan Data. a. Wawancara. Merupakan cara pengumpulan data dalam penelitian dengan tanya jawab secara lisan kepada narasumber. Dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan beberapa hakim yang pernah memeriksa dan mengadili perkara yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti. Yakni di Pengadilan Negeri Wonogiri. b. Studi Kepustakaan. Merupakan cara pengumpulan data dari bahan pustaka yaitu berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku dan berkas perkara yang ada hubungannya dengan penelitian. 4. Metode Analisis Data. Analisis data merupakan studi dan identifikasi dari komponen bagian yang membentuk segala sesuatu yang diselidiki. Menurut Winarno

12 Surachmad, teknis analisis data dalam penelitian dijelaskan sebagai berikut : Dalam membahas teknik analisis data dalam penelitian diskriptif dapat digunakan studi komperatif untuk mencari pemecahan melalui analisis perhubungan sebab akibat, yaitu meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan situasi fenomena yang diselidiki membandingkan dengan faktor yang lain. 5 H. Sistematika/Kerangka Isi Skripsi. Dalam sistematika ini Penulis akan memberikan uraian tentang garis besar hal-hal pokok yang ada dalam skripsi. Adapun sistematika skripsi ini terdiri dari tiga bab yaitu : BAB I : PENDAHULUAN. Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan konsep, metode penelitian, lokasi penelitian, metode analisis dan sistematika skripsi. BAB II : FUNGSI VISUM ET REPERTUM DALAM PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN. Bab ini akan membahas mengenai : pertama tinjauan tentang Visum et repertum yang akan membahas mengenai pengertian Visum et repertum, kedua tinjauan pustaka, ketiga tinjauan mengenai sistem pembuktian dalam hukum acara pidana, 5 Winarno Surachmad, 2004, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, PT. Tarsito Bandung, Bandung.

13 keempat tinjauan tentang tindak pidana perkosaan yang meliputi pengertian tindak pidana perkosaan, unsur tindak pidana. BAB III : PENUTUP. Bab ini berisikan kesimpulan dan saran.