3. KENDALA BAGI HAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN PERS

dokumen-dokumen yang mirip
HAK PUBLIK MEMPEROLEH INFORMASI DAN KEBEBASAN PERS Oleh Ashadi Siregar

BAB IV KESIMPULAN. Kebijakan pemerintahan Francisco..., Fadhil Patra Dwi Gumala, FISIP UI, Universitas Indonesia

KODE ETIK JURNALISME DAN KODE PERILAKU PROFESIONAL JURNALIS

HAK BERKOMUNIKASI DALAM MASYARAKAT INFORMASI

KODE ETIK, PELAKSANAAN DAN EFEKTIFITAS PENGAWASANNYA

2. MEMBANGUN PARADIGMA BAGI KEBEBASAN PERS

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM MEMANTAU DAN MENGKRITISI MEDIA

BAB VI KESIMPULAN. Mohamad (GM), sebagai salah seorang pendiri dan mantan pemimpin Majalah

KEKERASAN TERHADAP JURNALIS DAN MEDIA JURNALISME Oleh Ashadi Siregar

Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia

PROFESIONALISME WARTAWAN DAN UPAYA MEMBANGUN INSTITUSI PERS

BAB I PENDAHULUAN. atau di antara dua orang atau lebih dengan tujuan tertentu.komunikasi massa

dan eksternal) yang menghidupi perusahaan media, atau juga bukan untuk kekuasaan politik (negara dan kelompok masyarakat) yang melingkupinya.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Mencermati hasil analisis data dan pembahasan mengenai profesionalisme wartawan / jurnalis pada stasiun televisi lokal

DARI KODE ETIK WARTAWAN INDONESIA KE DEWAN PERS

Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet

ETIKA JURNALISME TELEVISI. Oleh Ashadi Siregar

PROSPEK PERANAN PERS DALAM PERKEMBANGAN DEMOKRASI

BAB V PENUTUP. Tesis ini berupaya untuk memberikan sebuah penjelasan mengenai

Etika Jurnalistik dan UU Pers

KONSEP ETIKA DI RUANG PUBLIK

BAB II KAJIAN KONSEP CIVIL SOCIETY

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar.

Online PPI Belanda JONG JONG. No.6/Mei Tahun III. Hari Bumi, Hari Kita. tahun. PPI Belanda RETNO MARSUDI: Keluarga Adalah Surga Saya

PERS, OPINI PUBLIK, DAN PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK

Matakuliah : PANCASILA Oleh : Dewi Triwahyuni

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. pesan secara massal, dengan menggunakan alat media massa. Media. massa, menurut De Vito (Nurudin, 2006) merupakan komunikasi yang

OTONOMI DAERAH DAN MEDIA MASSA. Oleh Ashadi Siregar

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebebasan pers Indonesia ditandai dengan datangnya era reformasi dimulai

BAB VI PENUTUP. A. Simpulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdemokrasi seperti saat ini. William L. Rivers menempatkan media massa

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR - UMB DADAN ANUGRAH S.SOS, MSI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Taufik Hidayat, 2014 Peranan Adolf Hitler dalam perkembangan Schutzstaffel ( )

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.

I. PENDAHULUAN. diperlukan sikap keyakinan dan kepercayaan agar kesulitan yang kita alami. bisa membantu semua aspek dalam kehidupan kita.

SYARIAT ISLAM DAN KETERBATASAN DEMOKRASI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VII/2009 Tentang UU Tindak Pidana Terorisme Tindak pidana terorisme

Resensi buku: Barrington Jr Moore.1967 SOCIAL ORIGINS OF DICTATORSHIP AND DEMOCRACY: LORD AND PEASENT IN THE MAKING OF THE MODERN WORLD

KONSEP PUBLICSPHERE. berasal dari hirarki sosial ASHADI SIREGAR LP3Y - JURNALISME, PUBLICSPHERE DAN ETIKA 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bahan untuk diskusi pada Lokakarya Forum Penanganan Korban Kekerasan Bagi Perempuan dan Anak, FPK2PA Propinsi DIY, Yogyakarta 5 Februari 2007

PENDIDIKAN PANCASILA

REGULASI PENYIARAN DI INDONESIA

PAPARAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS

BAB I PENDAHULUAN. bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan

ANGGARAN DASAR IKATAN JURNALIS TELEVISI INDONESIA (IJTI)

ORIENTASI PROFESI JURNALISME. Oleh Ashadi Siregar

berkumpul, kebebasan beragama, dan kebebasan bergerak dalam suatu wilayah sering kali diabaikan dalam kebijakan pemerintah melawan terorisme.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Citra Antika, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pewarta. Dalam melakukan kerjanya, wartawan berhadapan dengan massa,

KARTELISASI POLITIK PILKADA LANGSUNG

MEDIA MASSA DAN MASYARAKAT KONSUMEN. Oleh Ashadi Siregar

Hukum dan Pers. Oleh Ade Armando. Seminar Nasional Mengurai Delik Pers Dalam RUU KUHP Hotel Sofyan Betawi, Kamis, 24 Agustus 2006

POLITIK & SISTEM POLITIK

11 ALASAN PENOLAKAN RUU ORMAS Disiapkan oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB]

Sosialisme Indonesia

Undangan Fellowship Liputan Keberagaman dan Hak-hak Minoritas

BAB I PENDAHULUAN. Kebebasan Pers. Seperti yang sering dikemukakan, bahwa kebebasan bukanlah semata-mata

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Sesi 7: Pelecehan Seksual

BAB V PENUTUP Kesimpulan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA : 33/PUU-X/2012

BAB I PENDAHULUAN. karena kekalahannya dalam Perang Dunia II. Jendral Douglas MacArthur yang

9 Penyebaran hate..., Gloria Truly Estrelita, FISIP UI, 2009

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

BAB V KESIMPULAN. sama lain. Lebih jauh standarisasi ini tidak hanya mengatur bagaimana

MENGAPA MENGELUH? Oleh Yoseph Andreas Gual

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

1. PERS BEBAS ATAU KEBEBASAN PERS?

Advokasi Kreatif Melalui Media (Sosial) Oleh: Rofiuddin AJI Indonesia

BAB V KESIMPULAN. yang sering dilakukan adalah dengan kriminalisasi melalui instrumen hukum.

Desa Kota Lestari. Elanto Wijoyono COMBINE Resource Institution - Yogyakarta Urban Social Forum Solo, 20 Desember 2014

KEKUASAAN DAN WEWENANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dede Iyan Setiono, 2013

TINJAUAN PUSTAKA. Ditinjau secara segi etimologi, kata strategi berasal dari Yunani yaitu Strategos

digunakan untuk mengenyampingkan dan atau mengabaikan hak-hak asasi lainnya yang harus dipenuhi negara, sebagaimana ketentuan hukum

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

PENTINGNYA ETIKA PROFESI

PROSES SOSIAL DAN INTERAKSI SOSIAL

BAB V. Penutup. Dari kajian wacana mengenai Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar

PENERAPAN SILA PERTAMA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

Demokrasi dan HAM. Oleh : Nurhasanah Rahayu Dwi W Muchammad Mashuri

2016, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Kepala Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Intelijen Negara adalah penyelenggara Intelijen

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

STRATEGI MEMAJUKAN PERAN & KEBERLANJUTAN ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL DI INDONESIA 1

BAB II KAJIAN PUSTAKA. semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat,

Proses Komunikasi dalam Masyarakat

TEORI-TEORI KLASIK PEMBANGUNAN EKONOMI

BAB I PENDAHULUAN. fase dimana mengalami pasang surut tentang kebebasan pers. Kehidupan pers

DOMINASI PENUH MUSLIHAT AKAR KEKERASAN DAN DISKRIMINASI

NEGARA SISTEM PEMERINTAHAN KEKUASAAN, WEWENANG, LEGITIMASI LEMBAGA POLITIK

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Transkripsi:

3. KENDALA BAGI HAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN PERS Profesi jurnalisme digerakkan dengan kode etik yang dianut oleh jurnalisnya. Tetapi profesi ini tidak berada di ruang hampa. Struktur sosial yang menjadi ruang bagi institusi media jurnalisme dengan sendirinya ikut menentukan keberadaan profesi jurnalisme. Landasan hukum dan praktek politik dalam interaksi institusi media jurnalisme dengan institusi lainnya dalam struktur sosial selama belum berlandaskan paradigma yang mengakui hak warga dalam perspektif civil centered, akan menjadi kendala dan ancaman terus menerus terhadap keberadaan profesi dan media jurnalisme yang bertolak dari norma kebebasan pers. Dalam masyarakat modern, hambatan atas kebebasan pers berasal dari kekuasaan negara, karena adanya hegemoni di seluruh sendi kehidupan. Dengan kata lain, ruang bagi media jurnalisme yang berada dalam situasi hegemoni, dengan sendirinya menjadi hilang. (O Connor, 1990) Norma otoritarianisme yang mewujud melalui kerajaan absolut, atau rezim yang secara jelas menjalankan sistem komunisme, ataupun fasisme, lebih mudah diidentifikasi atau dikenali. Sedangkan otoritarianisme yang hadir setelah Perang Dunia Kedua, lebih tersamar, sebab dalam pergaulan internasional seolah berada dalam kelompok negaranegara demokrasi. Karenanya hegemoni negara dapat dilihat melalui sejumlah indikator, yang menunjukkan adanya dominasi oleh penguasa terhadap warga masyarakat. Pada satu sisi menggunakan kekuatan dan kekerasan dalam mengendalikan warga masyarakat, pada sisi lain dominasi dilakukan melalui budaya, dengan menguasai alam pikiran warga masyarakat. Dengan demikian keberadaan media massa menjadi lebih krusial, sebab jika berada dalam lingkup otoritarianisme klasik, segera dapat diketahui posisi dari suatu media. Dari sini konsep kebebasan pers dapat dilihat dalam kerangka yang jelas, apakah berada di dalam kekuasaan negara, atau berada di luar sebagai suatu subversi. Sedangkan dalam hegemoni negara melalui budaya, pengendalian media pers dilakukan melalui cara korporatisme, sehingga pengelola media pers dapat terkooptasi. Manakala berada dalam lingkup kooptasi ini, konsep kebebasan pers seolah dirumuskan bersama-sama antara jurnalis dari organisasi pers dengan penguasa dari birokrasi negara. Definisi bersama ini pada dasarnya berasal dari kekuasaan negara sebagai dasar dalam pengendalian kebebasan pers. Kajian terhadap kebebasan pers dengan sendirinya akan menyinggung masalah kekuasaan dalam struktur kenegaraan. Anatomi dari kekuasaan dapat dilihat melalui struktur dan nilai budaya yang mendasari penyelenggaraan negara. Terganggunya kehidupan sosial karena adanya orientasi budaya negara yang tidak mentoleransi adanya struktur alternatif yang bersifat oposisional. Dengan demikian dalam masyarakat hanya ada budaya mainstream dan counter-nya, sedang budaya negara tidak menyediakan tempat bagi orientasi yang bersifat alternatif. Struktur resmi yang tidak memberi tempat kepada struktur alternatif atau oposisi karena digerakkan oleh budaya dengan norma militerisme dan fasisme. Dengan norma semacam ini, bahkan biasanya terbentuk struktur gelap (hidden structure) yang berasal dari struktur resmi negara. Struktur gelap ini digunakan untuk menjalankan tindakan secara fisik dan metode lainnya di luar hukum oleh penguasa negara untuk mematikan setiap tindakan yang dianggap sebagai oposisi. Selain itu pola-pola militerisme di lingkungan kehidupan sosial juga diperkembangkan. Kelompok-kelompok para-military yaitu orang sipil yang menggunakan atribut dan metode militer dalam kegiatannya, di sadari atau tidak, merupakan ciri dari struktur gelap yang dilegalisasi. 1

Mengapa diambil jalan melalui struktur gelap? Karena peniadaan oposisi jika melalui struktur resmi harus melalui lembaga yudikatif, sementara penguasa negara biasanya tidak dapat menunggu proses yang terlalu lama, atau kemungkinan masih ada hakim yang tidak terkooptasi oleh birokrasi negara. Untuk itu teror gelap, atau bahkan pembunuhan gelap atas diri warga masyarakat sering terjadi, dan ini dijalankan oleh personel dari struktur gelap. Rezim negara yang digerakkan oleh norma militerisme dan/atau fasisme menjalankan prinsip monopoli mulai dari pengendalian secara fisik, sampai penguasaan alam pikiran warga. Pengendalian fisik antara lain dengan tindakan-tindakan uniformitas, sementara penguasaan alam pikiran dilakukan dengan monopoli wacana melalui penguasaan alat-alat komunikasi dalam masyarakat. Militerisme dan fasisme dapat berjalan bersamaan, dan dapat berjalan terpisah. Militerisme pada dasarnya secara sederhana dapat diartikan sebagai tindakan yang menggunakan metode militer dalam kehidupan sipil. Metode militer atau dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai operasi militer, yang dijalankan dalam kehidupan perang merupakan bentuk politik yang paling akhir, setelah seluruh politik gagal dijalankan. Karenanya metode militer hanya boleh dijalankan dalam ranah perang yang dinyatakan secara hukum. Sementara di luar zona perang, hanya boleh dijalankan tindakan polisional. Untuk menjadikan suatu wilayah dan masyarakatnya berada dalam zona perang, harus ada dekrit hukum dari suatu negara. Dekrit hukum inipun masih dapat dinilai dalam konteks hukum internasional, apakah memang memiliki dasar yang kuat. Metode militer yang digerakkan dengan norma fasisme dapat menjadi sangat eksesif jika budaya negara ini digerakkan oleh pimpinan negara yang memiliki kecenderungan psikopatolologi. Eric Fromm (1997) mencatat bahwa bertumbuhnya paham Nazisme yang menjadi dasar negara fasisme Jerman, bersumber dari kecenderungan psikologi. Dengan demikian kecenderungan pemimpin yang mengidap psikopatologis, berkombinasi dengan pengikut yang fanatik, menjadi faktor bagi negara fasis. Dengan kecenderungankecenderungan psikologis semacam ini dijelaskan mengapa warga masyarakat lebih suka berada di bawah kungkungan, tidak berani mengambil kebebasannya. Penguasa rezim fasis selalu menyebutkan kondisi ini terjadi karena warga masyarakat tidak atau belum siap untuk berdemokrasi. Ketidak-siapan untuk mengambil jalan demokrasi ini biasanya dikaitkan dengan kondisi warga yang kurang terdidik, atau tingkat kemiskinan, dan sebagainya yang berkaitan dengan variabel sosial lainnya. Dengan cara lain ketidak-siapan suatu kelompok atau bangsa mengambil kebebasan sebenarnya perlu dijelaskan dari kecenderungan psikologis yang bersifat kolektif. Kecenderungan psikologis ini lebih jauh perlu dicari akar penyebabnya, yaitu dari struktur yang menekan, represi yang berlangsung secara intens dan jangka panjang sampai merasuk ke dalam ruang psikologis secara kolektif. Represi secara fisik muncul melalui penghukuman dengan cara yang sangat keras atas setiap tindakan yang digolongkan sebagai keluar dari sistem negara (struktur resmi). Atau lebih keras lagi melalui struktur gelap dengan intimidasi terhadap warga masyarakat, baik fisik maupun sosial, yang semuanya mengarah kepada tekanan psikologis yang bersifat terus menerus. Selain yang berlangsung melalui struktur negara (resmi dan gelap), penguasaan alam pikiran warga masyarakat dilakukan dengan mengendalikan media massa. Media massa dijadikan oleh penguasa negara sebagai sarana pengendalian warga masyarakat. Dalam norma otoritarianisme umumnya dan fasisme khususnya pada dasarnya hanya menjadi alat bagi kekuasaan, bukan sebagai sarana masyarakat untuk mendapat fakta dan mengekspresikan dirinya. (McQuail, 1987) 2

Pengendalian media massa oleh penguasa negara bukanlah semata-mata untuk menguasai media tersebut. Tetapi lebih jauh adalah untuk menguasai alam pikiran warga masyarakat, untuk kemudian dalam pengendalian alam pikiran ini struktur negara yang bersifat monopolistis dapat berjalan. Dengan kata lain, baik mekanisme melalui struktur gelap, maupun pengendalian media massa, dimaksudkan pada ujungnya adalah untuk mengendalikan warga masyarakat. Apa sebenarnya yang diharapkan dari terkuasainya alam pikiran warga masyarakat? Pada tahap awal mungkin dengan alasan pragmatisme pembangunan. Perlu ada keseragaman pemikiran, sehingga mengefisienkan dalam mobilisasi pembangunan. Pembangunan disini dimaksudkan untuk mengejar ketertinggalan kondisi ekonomi akibat masa lalu. Di Jerman masa Hitler untuk bangun setelah negara Prusia porak-poranda akibat Perang Dunia Pertama. Di berbagai negara yang baru lepas dari penjajahan, diperlukan untuk meningkatkan kondisi negara secara cepat. Jargon yang lazim terdengar adalah akselerasi atau percepatan pembangunan. Untuk percepatan ini struktur negara sama sekali tidak boleh diganggu dengan orientasi dan alternatif pemikiran lainnya. Tetapi dalam praktek politik, sulit membedakan antara mobilisasi warga untuk tujuan pembangunan, dengan tindakan represi yang bertujuan menghilangkan daya kritis masyarakat. Karena rezim semacam ini yang kemudian bersifat korup dapat menjalankan kekuasaan tanpa adanya kontrol dari masyarakat. Penyalah-gunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi elit kekuasaan dapat berlangsung dengan lancar, karena berada dalam lingkungan warga yang penuh ketakutan ataupun sebaliknya, sepenuhnya menganggap tindakan-tindakan penguasa negara memang benar adanya. Media massa hanyalah korban karena berada dalam struktur yang tidak menghormat kebenaran yang berasal dari kenyataan. Kebenaran hanya boleh datang dari kekuasaan negara. Karenanya jika pada bagian 1 (PERS BEBAS ATAU KEBEBASAN PERS?) ditunjukkan bagaimana fakta dan informasi menjadi basis kerja dalam jurnalisme, sedangkan dalam sistem otoritarianisme fasis mekanis dalam kerja jurnalisme berada dalam sistem komunikasi. Sumber kebenaran adalah dari ideologi negara. Ideologi negara ini secara praksis mewujud melalui tindakan-tindakan penguasa negara melalui struktur resmi, dan tindakan-tindakan person yang menggerakkan struktur gelap. Pada lingkup informasi, ideologi negara mewujud melalui jargon-jargon negara yang biasa dinyatakan oleh penguasa negara. Dalam pengertian yang umum, jargon adalah istilah yang mengandung makna teknis yang digunakan oleh sekelompok orang. Setiap kelompok yang bekerja dalam kaidah-kaidah teknis yang khas memiliki jargon yang khas pula, yang digunakan untuk lingkungan sendiri. Berbeda halnya dalam lingkup struktur negara yang berdasarkan fasisme, jargon digunakan untuk menampung gagasan yang bersifat monopolistis. Jargon negara menampung gagasan-gagasan yang berasal dari struktur negara. Media massa dengan sendirinya harus menggunakan jargon ini, sehingga dalam proses terusmenerus, setiap jargon identik dengan makna publik. Adapun makna publik adalah hal-hal yang dianggap atau diterima sebagai sesuatu yang benar oleh warga masyarakat. Dengan demikian terjadi monopoli kebenaran yang bersumber dari penguasa negara. Sementara pada pihak lain, penguasa negara dalam menindas setiap oposisi, juga menerapkan sejumlah label (pencapan) terhadap person yang digolongkan ke luar dari sistem resmi. Secara fisik, pelaku oposisi dicap sebagai kriminal sehingga terjadi kriminalisasi politik. Dengan kata lain, tindakan bersifat politik dari warga diredusir melalui lembaga kepolisian dan pengadilan sebagai tindakan kriminal. Label seperti pengacau, dengan mudah diterapkan kepada person yang digolongkan menentang 3

kekuasaan negara. Media massa menjadi penyalur dari label ini, sehingga dalam warga terbentuk konsep tentang musuh bersama. Keberadaan rezim fasis dibangun melalui dua cara, yaitu paksaan (coercion) dan kekerasan, dan melalui metode propaganda media massa. Paksaan dan kekerasan dilakukan dengan tindakan-tindakan melalui struktur resmi maupun gelap. Mekanisme komunikasi ini pada dasarnya bergerak dalam pembentukan monopoli makna publik di satu pihak, dan pembentukan musuh bersama. George Orwell (1949) menulis novel satiristis mengenai rezim otoritarianisme fasis. Kendati sebuah fiksi, pemikiran yang terkandung di dalamnya sangat tajam mengungkapkan bagaimana bekerjanya rezim fasis. Selain menggunakan mekanisme kontrol secara fisik, rezim ini juga menggunakan media dan sistem bahasa yang dirancang untuk menguasai alam pikiran. Tujuan dari pembentukan bahasa baru adalah memaksakan makna-makna sesuai dengan kekuasaan untuk menghancurkan makna-makna yang pernah dikenal oleh warga. Bahasa baru (Newspeak) digunakan secara intensip sehingga melahirkan kamus untuk bahasa Ingsoc di negara Oceania yang diceritakan Orwell. Melalui kamus ini kata-kata yang dapat menampung gagasan atau pemikiran yang tidak sesuai dengan penguasa, dihapus atau diganti maknanya. Dengan begitu pengendalian alam pikiran menjadikan warga masyarakat sebagai otomaton, sepenuhnya dapat dan harus dikendalikan oleh penguasa. Dalam skala yang berbeda, manakala penguasa negara yang menggunakan bahasa sebagai alat dalam menguasai rakyatnya, maka media massa secara luas dan represif lebih dulu dikendalikan. Karenanya pengelola media pers atau jurnalis perlu waspada terhadap kekuasaan yang menghambat kebebasan pers. Hambatan terhadap kebebasan pers pada satu sisi tentulah dari struktur yang menekan seluruh warga, sehingga warga masyarakat berada dapat situasi monopoli makna publik. Permasalahan struktural semacam ini tentulah berada di luar ranah media pers. Kebebasan pers memang bukan hanya menjadi urusan orang pers sendiri. Masalah struktural yang menjadikan masyarakat tidak memerlukan kebenaran yang berasal dari fakta sosial, sebab makna publik dimonopoli oleh penguasa negara, merupakan faktor yang meniadakan kebebasan pers. Sedang kebebasan pers yang berkaitan langsung dengan media adalah kekuasaan bersifat struktural yang berinteraksi dengan jurnalis, yang menyebabkan jurnalis terganggu dalam memproses fakta menjadi informasi. Dengan demikian masyarakat tidak dapat memperoleh informasi media, dan lebih jauh masyarakat tidak memiliki landasan dalam mencari dan menguji kebenaran. Kekuasaan struktural dapat datang dari struktur resmi negara, seperti lisensi terbit, atau bentuk-bentuk sensor lainnya yang bersifat legal. Sedang struktur gelap negara dapat datang dari ancaman dan teror yang bersifat ilegal atau tidak berdasarkan hukum. Begitu pula dari tekanan struktural yang berasal dari kekuatan ekonomi, dapat menjadi faktor mengancam kebebasan pers. Tetapi selain itu kekuasaan dari manajemen perusahaan media tempat seorang jurnalis bekerja, dapat pula menjadi ancaman yang menghalangi kebebasan pers, sebab menekan jurnalis bekerja hanya demi kepentingan modal perusahaan tempatnya bekerja. Jika jurnalis berusaha agar terbebas dari kekuasaan struktural, maka masyarakat perlu pula mengawasi media pers, untuk melihat sejauh mana terkooptasi oleh kekuasaan strukrtural. Dengan begitu perlu ada aktivitas dalam masyarakat yang melakukan upaya kritisisme terhadap muatan media pers, sehingga dapat diketahui apakah media pers hanya menjadi penyalur kepentingan dari kekuasaan tersebut. 4

Dari sini dapat dibayangkan pentingnya upaya menjaga kebebasan pers. Musuh yang mengancam kebebasan pers, pertama bersifat internal yaitu jurnalis dan pengelola media pers, berupa penyalah-gunaan media pers demi kepentingan-kepentingan pragmatis sendiri. Kedua bersifat eksternal yaitu kekuasaan (negara dan modal) yang berpretensi menggunakan media pers untuk kepentingan sendiri, sehingga media pers bukan sebagai forum bebas bagi kebenaran, tetapi hanya menjadi alat untuk merekayasa masyarakat. Dengan demikian upaya menjaga dan mengembangkan kebebasan pers ditempuh melalui sikap kritis dalam menghadapi keluaran media massa di tengah masyarakat di satu pihak, dan memberikan perhatian dan perlindungan bagi jurnalis yang menjalankan jurnalisme bebas pada pihak lain. Kegiatan ini terdiri atas 2 kelompok besar, pertama berupa langkah pengawasan dan monitoring terhadap tampilan media massa (media watch). Dan kedua, perlindungan terhadap jurnalis (protect for journalist) dalam menjalankan tugas jurnalisme dalam standar profesional. Kedua macam ini perlu dijalankan secara simultan di seluruh Indonesia, untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam norma kebebasan pers. Pentingnya program ini lebih-lebih mengingat kerasnya tekanan kekuasaan negara terhadap kebebasan pers, dan meluasnya sikap submisif di kalangan jurnalis dalam situasi kooptasi negara selama rezim Orde Baru. 5 Belanjut ke: PENUTUP