MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR : 918/MENKES/PER/X/1993 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI MENTERI KESEHATAN

dokumen-dokumen yang mirip
MENTERI KESEHATAN NOMOR : 918/MENKES/PER/X/1993 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN Nomor : 1191/MENKES/SK/IX/2002

Nomor : 1332/MENKES/SK/X/2002 TENTANG NOMOR. 922/MENKES/PER/X/1993

PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 922/MENKES/PER/X/1993 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN APOTIK MENTERI KESEHATAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2014 TENTANG

PEDAGANG BESAR FARMASI. OLEH REZQI HANDAYANI, M.P.H., Apt

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG INDUSTRI FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA APOTEK DAN IZIN USAHA PEDAGANG ECERAN OBAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA APOTEK DAN IZIN USAHA PEDAGANG ECERAN OBAT

2017, No Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (

SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 324/Kpts/TN.120/4/94 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN USAHA OBAT HEWAN MENTERI PERTANIAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1175/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG IZIN PRODUKSI KOSMETIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Bersama ini kami mengajukan permohonan untuk mendapatkan Izin Pedagang Besar Farmasi dengan data sebagai berikut:

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 284/MENKES/PER/III/2007 TENTANG APOTEK RAKYAT MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Kosmetika. Izin Produksi.

MENTERI KESEHATAN TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1191/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG PENYALURAN ALAT KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG IZIN TOKO OBAT

TAR== BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2013 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 35 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PEDAGANG ECERAN OBAT

a. bahwa apotek dan pedagang eceran obat merupakan pelayanan kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh swasta;

SURAT KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBUK INDONESIA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1191/MENKES/PER/VIII/2010 TAHUN 2010 TENTANG PENYALURAN ALAT KESEHATAN

Keputusan Menteri Perindustrian No. 150 Tahun 1995 Tentang : Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri Dan Izin Perluasan

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

2015, No.74 2 Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 T

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 679/MENKES/SK/V/2003 TENTANG REGISTRASI DAN IZIN KERJA ASISTEN APOTEKER

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN KESEHATAN. Industri. Usaha Obat. Tradisional. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA REPUBLIK INDONESIA

MENTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESiA PERA TURAN MENTERI KESEHA TAN REPUBLIK NOMOR 1175/MENKES/PERNIII/2010 TENTANG IZIN PRODUKSI KOSMETIKA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 006 TAHUN 2012 TENTANG INDUSTRI DAN USAHA OBAT TRADISIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 89 TAHUN 1990 TENTANG IZIN USAHA EKSPEDISI MUATAN PESAWAT UDARA (EMPU) MENTERI PERHUBUNGAN,

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Obat Ikan. Peredaran. Mekanisme. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 5 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TITIPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN,

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.10/MEN/V/2009 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KOTA PRABUMULIH NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI PENYELENGGARAAN TOKO OBAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PRABUMULIH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR : 14 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN SARANA KESEHATAN DI KABUPATEN BANTUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 808/Kpts/TN.260/12/94 TENTANG SYARAT PENGAWAS DAN TATACARA PENGAWASAN OBAT HEWAN MENTERI PERTANIAN,

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI SIMEULUE QANUN KABUPATEN SIMEULUE NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN SARANA PELAYANAN KESEHATAN DI KABUPATEN SIMEULUE

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK N0M0R 382/MENKES/PER/VI/ 1989 TENTANG PENDAFTARAN MAKANAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KOTA PRABUMULIH NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI PENYELENGGARAAN APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PRABUMULIH

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 22 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. 590/MPP/Kep/10/1999 T E N T A N G

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Industri Farmasi. Perizinan. Penyelenggaraan.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1189/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG PRODUKSI ALAT KESEHATAN DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA

Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan

Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera, serta memperkuat perekonomian negara dan daya saing bisnis

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TITIPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DI KABUPATEN BARITO UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 74/Permentan/OT.140/12/2007 TENTANG PENGAWASAN OBAT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN,

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 18/Permentan/OT.140/4/2009 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN USAHA OBAT HEWAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG IZIN USAHA PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR

E N T A N G PENILAIAN KEMBALI DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN OBAT JADI YANG BEREDAR MENTERI KESEHATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 314/MENKES/SK/V/2006 T E N T A N G

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA SERTIFIKASI CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

M E M U T U S K A N : : PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PERGUDANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BERITA NEGARA. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pembuatan Obat. Penerapan. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 12 TAHUN 2008 T E N T A N G

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1996 TENTANG IZIN PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PO TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 406 /KMK.06/2004 TENTANG USAHA JASA PENILAI BERBENTUK PERSEROAN TERBATAS

MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR : 2 TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO,

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53/M-DAG/PER/8/2012 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN WARALABA

BUPATI SIDOARJO PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI BUPATI SIDOARJO,

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 73/MPP/Kep/3/2000 TENTANG KETENTUAN KEGIATAN USAHA PENJUALAN BERJENJANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN PENYELENGGARAAN POS

: PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENERBITAN SURAT IZIN USAHA PENJUALAN LANGSUNG.

- 5 - BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1996 TENTANG IZIN PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN. Tahun 2007 No. 15 PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 15 TAHUN 2007

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 04 TAHUN 2004 T E N T A N G SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN DI KABUPATEN BARITO UTARA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1010/MENKES/PER/XI/2008 TENTANG REGISTRASI OBAT

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, NOMOR: HK T E N T A N G

PEMERINTAH KABUPATEN EMPAT LAWANG

PERATURAN BUPATI ACEH UTARA NOMOR 1 TAHUN 2007

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 302/MPP/Kep/10/2001 TENTANG PENDAFTARAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIAHUK NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG INDUSTRI FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK TAHUN 2002 TENTANG PROMOSI OBAT KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

RANCANGAN, 19 DESEMBER 2016 PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2016 TENTANG

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tamb


Transkripsi:

PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR : 918/MENKES/PER/X/1993 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI MENTERI KESEHATAN Menimbang : a. Mengingat b. 1. 2. 3. 4. bahwa persyaratan tentang pedagang besar farmasi seperti tercantum pada keputusan Menteri Kesehatan nomor 243/MEN.KES/SKA//1990 tentang pedagang besar farmasi sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan kefarmasian dewasa ini. bahwa untuk itu perlu ditetapkan peraturan Menteri Kesehatan sebagai pengganti keputusan Menteri Kesehatan Nomor 243/MEN.KES/SK/V/1990 tentang pedagang besar farmasi. Undang-undang obat keras (St. 1937 Nomor 541). Undang-undang Nomor 9 tahun 1976 tentang narkotika (lembaran negara tahun 1976 nomor 37. tambahan lembaran negara nomor 3086). Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan (lembaran negara tahun1992 nomor 100, tambahan lembaran negara nomor 3495) Keputusan Presiden nomor 15 tahun 1984 tentang susunan organisasi departemen. MEMUTUSKAN Mencabut : Keputusan Menteri Kesehatan nomor 243/MEN.KES/SK/V/ 1990 tentang pedagang besar farmasi. Menetapkan : Peraturan Menteri Kesehatan tentang pedagang besar Farmasi.

rr MENTERI KESEHATAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Pedagang besar farmasi adalah badan hukum perseroan terbatas atau koperasi yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran, perbekalan farmasi dalam jumlah besar sesuai ketentuan perundangundangan yang berlaku. 2. Perbekalan farmasi adalah perbekalan yang meliputi obat, bahan obat dan alat kesehatan. 3. Sarana pelayanan kesehatan adalan apotik, rumah sakit dan unit kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri, toko obat dan pengecer lainnya. 4. Menteri adalah Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 5. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pengawasan obat dan makanan. 6. Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah Departemen Kesehatan. 7. Balai pemeriksaan obat dan makanan adalah unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal pengawasan obat dan makanan di Propinsi. Pasal 2 Pedagang besar farmasi wajib memiliki izin usaha pedagang besar farmasi. Pasal 3 Pabrik farmasi dapat menyalurkan hasil produksinya langsung ke pedagang besar farmasi, apotik, toko obat dan sarana pelayanan kesehatan lainnya. BAB II PEMBERIAN IZIN USAHA PEDAGANG BESAR FARMASI Pasal 4 1. Izin usaha pedagang besar farmasi diberikan oleh Menteri. 2. Menteri melimpahkan wewenang pemberian izin usaha pedagang besar farmasi kepada Direktur Jenderal.

1. Izin usaha pedagang besar farmasi berlaku untuk seterusnya selama perusahaan pedagang besar farmasi yang bersangkutan masih aktif rnelakukan kegiatan usahanya dan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. 2. Untuk memperoleh izin usaha pedagang besar farmasi tidak di pungut biaya dalam bentuk apapun. BAB III PERSYARATAN PEDAGANG BESAR FARMASI Pasal 5 Pedagang besar farmasi wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Dilakukan oleh badan hukum berbentuk perseroan terbatas, koperasi, perusahaan nasional maupun perusahaan patungan antara perusahaan penanaman modal asing yang telah memperoleh izin usaha industri farmasi di Indonesia dengan perusahaan nasional. b. Memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). c. Memiliki asisten apoteker atau apoteker penaggung jawab yang bekerja penuh. d. Anggota direksi tidak pernah terlibat pelanggaran ketentuan perundangundangan di bidang farmasi. Pasal 6 1. Pedagang besar farmasi dan setiap cabangnya berkewajiban mengadakan, menyimpan dan menyalurkan perbekalan farmasi yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan Menteri dengan memperhatikan ketentuan pasal 9. 2. Pedagang besar farmasi wajib melaksanakan pengadaan obat, bahan baku obat dan alat kesehatan dari sumber yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku Pasal 7 1. Kewajiban yang dimaksud dalam pasal 6 dipertanggungjawabkan oleh penanggung jawab teknis seorang apoteker atau asisten apoteker yang mempunyai surat izin kerja.

2. Kewajiban yang dimaksud dalam pasal 6 khusus untuk pedagang besar farmasi yang menyalurkan bahan baku obat, wa ib dipertanggungjawabkan seorang apoteker yang mempunyai surat izin kerja. 3. Setiap pergantian penanggungjawab dimaksud ayat (1) wajib dilaporkan selambat-lambatnya daiam jangka waktu 6 hari kepada kepala kantor wilayah setempat Pasal 8 Pelanggaran ketentuan dalam pengadaan, penyimpanan dan penyaluran menjadi tanggungjawab Direktur dan Penanggungjawab tekhnis. Pasal 9 1. Pedagang besar farmasi dan setiap cabangnya wajib menguasai bangunan dan sarana yang memadai untuk dapat melaksanakan pengelolaan, penyimpanan dan penyaluran perbekalan farmasi serta dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi Pedagang besar farmasi. 2. Gudang wajib dilengkapi dengan perlengkapan yang dapat menjamin mutu serta keamanan perbekalan farmasi yang disimpan. 3. Gudang dan kantor Pedagang besar farmasi dan setiap cabangnya dapat berada pada lokasi yang terpisah dengan syarat tidak mengurangi efektivitas pengawasan intern oleh direksi dan penanggungjawab 4. Pedagang besar farmasi wajib melaksanakan dokumentasi pengadaan, penyimpanan penyaluran secara tertib ditempat usahanya mengikuti pedoman teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Pasal 10 1. Pedagang besar farmasi yang menyalurkan bahan baku farmasi wajib menguasai laboratorium yang mempunyai kemampuan pengujian bahan baku farmasi yang disalurkan sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal. 2. Untuk setiap pengubahan kemasan bahan baku obat dari kemasan aslinya wajib dilakukan pengujian laboratorium untuk identifikasi.

Pasal 11 Pendirian cabang Pedagang besar farmasi di propinsi wajib dilaporkan kepada Kepala Kantor Wilayah setempat dengan tembusan kepada Direktur Jenderal dan Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan. BAB IV TATA CARA PENGAJUAN DAN PEMBERIAN PERSETUJUAN IZIN USAHA PEDAGANG BESAR FARMASI Pasal 12 1. Permohonan izin usaha diajukan pemohon kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah dengan menggunakan contoh formulir Model POM-1. 2. Permohana izin usaha diajukan setelah Pedagang Besar Farmasi siap untuk melakukan kegiatan. 3. Dengan menggunakan contoh Formulir Model POM-12 Kepala Kantor Wilayah selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak menerima tembusan permohonan wajib telah menugaskan Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan Pedagang Besar Farmasi untuk melakukan kegiatan. 4. Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan selambat-lambatnya 6 (enam) hari setelah penugasan dari Kepala Kantor Wilayah wajib melaporkan hasil pemeriksaan kepada Kepala Kantor Wilayah dengan menggunakan contoh Formulir POM-3. 5. Kepala Kantor Wilayah selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah menerima hasil pemeriksaan dari kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan wajib melaporkan kepada Direktur Jenderai dengan menggunakan contoh Formulir POM-4 6. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) sampai dengan ayat (5) tidak dilaksanakan pada waktunya, pemohon yang bersangkutan dapat membuat surat pernyataan siap melakukan keqiatan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah setempat dengan menggunakan contoh Formulir POM-5

REPUBUK INDONESIA 7. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (5) atau pernyataan yang dimaksud ayat (6), Direktur Jenderal mengeluarkan surat izin usaha Pedagang Besar Farmasi atau menundanya dengan menggunakan contoh Formulir Model POM-6 atau POM-7. Pasal 13 1. Penundaan Pemberian Izin Usaha Pedagang Besar Farmasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (7) dilakukan apabila permohonan belum memiliki/memenuhi salah satu hal sebagai berikut: a. Persyaratan administratif. b. Nomor Pokok Wajib Pajak. c. Penanggungjawab yang bekerja penuh. d. Bangunan dan sarana untuk melaksanakan pengelolaan, pengadaan, penyimpanan dan penyaluran perbekalan farmasi. 2. Terhadap penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pedagang Besar Farmasi diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak menerima surat penundaan. 3. Apabila kesempatan untuk melengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud daiam ayat 2 (dua) tidak dipenuhi, maka permohonan Izin Usaha Pedagang Besar Farmasi ditolak dengan menggunakan formulir Model POM-8. 4. Apabila pemohon sudah melengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka izin Usaha Pedagang Besar Farmasi diberikan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12. BABV TATA CARA PENYALURAN PERBEKALAN FARMASI Pasal 14 1. Pedagang Besar Farmasi dilarang menjual perbekalan farmasi secara eceran, baik ditempat kerjanya atau ditempat lain. 2. Pedagang Besar Farmasi dilarang melayani resep dokter.

Pasal 15 Pedagang Besar Farmasi dilarang melakukan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran narkotika dan psikotropika tanpa izin khusus dari Menteri. Pasal 16 Pedagang Besar Farmasi hanya melaksanakan penyaluran obat keras kepada Pedagang Besar Farmasi, apotik dan rumah sakit serta institusi yang di izinkan berdasarkan Surat Pesanan yang ditanda tangani Apoteker Pengelola Apotik atau Apoteker penanggungjawab Pedagang Besar Farmasi atau Apoteker penanggungjawab unit yang di izinkan oleh Menteri. Pasal 17 1. Pedagang Besar Farmasi wajib membukukan dengan lengkap setiap pengadaan, penyimpanan dan penyaluran perbekalan farmasi sehingga dapat dipertanggungjawabkan setiap saat dilakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan yang dimaksud Pasal 9 ayat (4). 2. Pembukuan dimaksud ayat (1) mencakup Surat Pesanan, Faktur Penerimaan, Faktur Pengiriman dan Penyerahan, kartu persediaan digudang maupun di kantor Pedagang Besar Farmasi. BAB VI INFORMASI PEDAGANG BESAR FARMASI Pasal 18 1. Pedagang Besar Farmasi dan setiap cabangnya wajib menyampaikan laporan secara berkala sekali 3 (tiga) bulan mengenai usahanya yang meliputi jumlah penerimaan dan penyaluran masing-masing jenis obat kepada Direktur Jenderal dan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah setempat, dengan menggunakan contoh formulir Model POM-9. 2. Pedagang Besar Farmasi yang menyalurkan narkotika dan psikotropika wajib menyampaikan laporan penyaluran narkotika dan psikotropika sesuai perundang-undangan yang berlaku disamping laporan berkala seperti disebut dalam ayat (1)

BAB VII PENCABUTAN IZIN USAHA PEDAGANG BESAR FARMASI Pasal 19 Izin Pedagang Besar Farmasi beserta cabangnya dicabut dalam hal : a. Tidak mempekerjakan Apoteker atau Asisten Apoteker Penanggungjawab yang memiliki surat izin kerja ; atau b. Tidak aktif lagi dalam penyaluran obat selama 1 (satu) tahun; atau c. Tidak lagi memenuhi persyaratan usaha sebagaimana ditetapkan dalam peraturan ini; atau d. Tidak lagi menyampaikan informasi Pedagang Besar Farmasi tiga kali dalam berturut-turut; dan atau e. Tidak memenuhi Tata Cara Penyaluran Perbekalan Farmasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 14, 15, 16 dan 17. Pasal 20 1. Pelaksanaan pencabutan izin usaha Pedagang Besar Farmasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 dilakukan setelah dikeluarkan : a. Peringatan secara tertulis kepada Pedagang Besar Farmasi sebanyak tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu masmg-masing 2 (dua)bulan dengan menggunakan contoh Formulir POM-10. b. Pembekuan iztn Usaha Pedagang Besar Farmasi untuk jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dikeluarkannya Penetapan Pembekuan Kegiatan Usaha Pedagang Besar Farmasi dengan menggunakan contoh Formulir Model POM-11. 2. Pembekuan izin usaha Pedagang Besar Farmasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) b. dapat dicairkan kembali apabila Pedagang Besar Farmasi telah membuktikan memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan ini. 3. Pejabat yang berwenang memberi peringatan dan melakukan Pembekuan izin seperti disebutkan pada ayat (1) adalah Direktur Jenderal 4. Pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha Pedagang Besar Farmasi adalah Direktur Jenderal dengan menggunakan contoh formulir Model POM-12

5. Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah Pedagang Besar Farmasi yang sudah tidak aktif lagi selama 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf (b). Pasal 21 Pembekuan atau pencabutan izin usaha Pedagang Besar Farmasi berlaku juga untuk seluruh cabang Pedagang Besar Farmasi. BAB VIII KETENTUAN PIDANA Pasal 22 Sesuai dengan undang-undang No. 9Tahun 1976 tentang Narkotika, Undangundang obat keras No. 541 Tahun 1987, Undang-undang No. 23 Tahun 1992 serta ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, disamping sanksi dimaksud dalam pasal 19, Pedagang Besar Farmasi yang melanggar ketentuan yang berlaku dapat dikenakan sanksi pidana. BAB IX PEMBINAAN Pasal 23 1. Pembinaan terhadap Pedagang Besar Farmasi dilaksanakan oleh Direktur Jenderal. 2. Pembinaan dimaksud ayat (1) meliputi pelaksanaan kebijaksanaan umum dibidang pengadaan, penyimpanan dan penyaluran perbekalan farmasi yang ditetapkan oleh Menteri. BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 24 Izin Usaha Pedagang Besar Farmasi yang dikeluarkan Berdasarkan Surat Keputusan ini berlaku pula bagi gudang atau tempat Penyimpanan peralatan, perlengkapan, bahan baku, obat jadi dan alat kesehatan yang dikuasai Pedagang Besar Farmasi untuk keperluan kegiatan usahanya.

BABX KETENTUAN PENUTUP Pasal 25 Semua ketentuan Menteri tentang Pedagang Besar Farmasi yang telah dikeluarkan sebelum ditetapkannya peraturan ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan ini. Pasal 26 Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal di tetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkandi : J A K A R T A Pada tanggal : 23 Oktober 1993 MENTERI KESEHATAN PROF. DR. SUJUDI