II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Puyuh Burung puyuh adalah unggas darat berukuran kecil namun gemuk dengan ekor sangat pendek, bersarang di permukaan tanah, memiliki kemampuan untuk berlari dan terbang dengan kecepatan tinggi namun dengan jarak tempuh yang pendek. Burung puyuh memakan biji-bijian dan serangga serta mangsa berukuran kecil lainnya. Beberapa jenis burung puyuh yang dipelihara di Indonesia diantaranya Coturnix-coturnix japonica, Coturnix chinensis (Blue Breasted quail), Turnic susciator,arborophila javanica, dan Rollus roulroul yang dipelihara sebagai burung hias karena memiliki jambul yang indah. Burung puyuh yang dipelihara di Amerika disebut dengan Bob White Quail (Colinus virgianus) sedangkan di China disebut dengan Blue Breasted Quail (Coturnix chinensis). Klasifikasi burung puyuh menurut Nugroho dan Mayun (1981) sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Class : Aves (bangsa burung) Ordo : Galiformes Sub Ordo : Phasianoidae Famili : Phasianidae Sub Famili : Phasianidae Genus : Coturnix Species : Coturnix-coturnix japonica Penentuan jenis kelamin dapat dilakukan dengan memperhatikan warna bulu. Umumnya pertumbuhan bulu lengkap pada burung puyuh dicapai pada umur 2-3 minggu. Bulu puyuh umur 3 minggu sudah tumbuh sempurna terutama pada puyuh Jepang. Perbedaan karakteristik morfologi antara jantan dan betina disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 1. 4
5 Tabel 1. Perbedaan Burung Puyuh Jantan dan Betina Dewasa Kelamin Morfologi Jantan Betina Kepala (Muka) Berwarna coklat gelap dan rahang bawah gelap Berwarna terang dan rahang bawah putih. Bulu Dada Coklat kekuning-kuningan dan tanpa garis Terdapat bercak hitam atau coklat Dubur (Anus) Terdapat benjolan berwarna Tidak terdapat benjolan merah di atas dubur dan jika ditekan akan mengeluarkan busa berwarna putih Suara Cekeker Cekikik Sumber : Nugroho dan Mayun (1981) Gambar 1. Burung Puyuh Jantan (Kiri) dan Betina (Kanan) Coturnix coturnix japonica Burung puyuh yang umum dipelihara di Indonesia adalah Coturnixcoturnix japonica yang pada awalnya diimpor dari Taiwan, Hongkong, dan Jepang. Coturnix-coturnix japonica mempunyai panjang badan sekitar 19 cm,
6 berbadan bulat, berekor pendek, berparuh pendek dan kuat, serta berjari kaki empat dan berwarna kekuning-kuningan. Puyuh termasuk family Phasianidae dan ordo Galliformes, dapat menghasilkan telur sebanyak 250-300 butir per ekor selama setahun. Betinanya mulai bertelur pada umur 41 hari. Telurnya berwarna coklat tua, biru, putih dengan bintik-bintik hitam, coklat dan biru. Jantan dewasa diidentifikasikan dengan bulu-bulu berwarna coklat muda pada bagian atas kerongkongan dan dada yang merata. Betina dewasa warnanya mirip dengan jantan, kecuali bulu pada kerongkongan dan pada dada bagian atas warna coklat muda lebih terang, dihiasi totol-totol coklat tua (Listiyowati dan Roospitasari, 2009). Coturnix Chinensis (Blue brested Quail) Di Indonesia dinamakan puyuh pepekoh. Burung puyuh ini termasuk dalam suku Phasianidae. Puyuh jantan di bagian tenggorokannya terdapat warna hitam dengan garis lebar berwarna putih. Puyuh betina warnanya lebih muda, yaitu coklat muda pada muka, dada, dan perut dengan garis kehitaman. Kerongkongannya keputih-putihan. (Listiyowati dan Roospitasari, 1992). Arborophila Javanica (Chesnut bellied Partridge) Di Indonesia disebut puyuh gonggong Jawa. Puyuh ini berukuran sedang, panjang badan mencapai 25 cm. Ciri-cirinya mempunyai bulu kemerah-merahan, pada kepalanya terdapat tanda berbentuk cincin yang berwarna hitam. Ekornya melengkung ke bawah berwarna keabu-abuan. Sayapnya berwarna kecoklatan dengan totol-totol hitam (Listiyowati dan Roospitasari, 2009). Arborophila Orientalis (Grey Bellied Partridge) Di Indonesia disebut puyuh gonggong biasa, tubuhnya berukuran medium dengan panjang 25 cm. Ciri-cirinya pada leher bagian samping terdapat warna coklat gelap dengan strip pada mata, dagu dan kuping yang letaknya tersembunyi berwarna putih. Punggung berwarna coklat dengan
7 garis-garis hitam, sayap coklat dengan totol hitam. Dada coklat keabu-abuan dan perut keputih-putihan. Pinggul berwarna hitam bercampur putih, mata dan kaki berwarna kuning, paruh coklat kemerahan (Listiyowati dan Roospitasari, 1992). B. Minyak Ikan Lemuru Beberapa sifat positif dari penambahan lemak dalam ransum ruminan antara lain kadar energinya lebih tinggi dibanding dengan sumber energi lainnya (2,25 x karbohidrat), sehingga dengan penambahan sedikit saja dalam ransum efek peningkatan kadar energi ransum akan jelas terlihat. Lemak yang ditambahkan dapat mengurangi sifat berdebu dari ransum, dengan demikian dapat mengurangi jumlah ransum yang terbuang. Selain itu juga sebagai sumber asam lemak essensial, dan dapat meningkatkan palatabilitas ransum (Parakkasi, 1999). Ikan Lemuru (Sardinella sp.) merupakan jenis ikan yang banyak ditemukan di perairan Indonesia. Hasil tangkapan ikan lemuru biasaanya diolah menjadi ikan kaleng, ikan asin dan tepung. Industri pengalengan ikan lemuru menghasilkan beberapa jenis produk samping yang belum dimanfaatkan. Salah satu produk sampingnya adalah minyak ikan lemuru (lemuru precook oil) yang merupakan limbah dan hanya dijual murah untuk digunakan dalam industri cat, vernis, dan bahan campuran ransum ternak atau tidak dimanfaatkan sama sekali. Minyak ikan lemuru (lemuru precook oil) adalah limbah cair yang dihasilkan pada tahap prapemasakan (precooking) dalam proses pengalengan ikan lemuru. Industri pengalengan ikan lemuru dapat menghasilkan lemuru precook oil sebanyak 5% dari total bahan baku yang digunakan (Rasyid, 2001). C. L-Karnitin L-Karnitin adalah senyawa yang mengandung nitrogen dengan berat molekul yang rendah yang melayani bolak-balik gugus asil lemak melintasi membrane mitokondria (Montgomery et al., 1993). Penambahan L-Karnitin dalam ransum mengandung lemak sangat dibutuhkan, L-Karnitin berperan
8 dalam transfer asam lemak rantai panjang untuk melintasi membrane dalam mitokondria menuju matriks mitokondria (Owen et al., 2001). Penambahan L-Karnitin diperlukan pada saat aktivitas metabolisme dan tuntutan energi yang meingkat misalnya pada saat pertumbuhan, periode bertelur, stres lingkungan, dan penambahan lemak (Arslan, 2006). Peran penting dari L-Karnitin adalah membantu metabolisme asam lemak (energi) dan sebagai pembawa untuk pengangkutan asam lemak rantai panjang dari sitosol melintasi membran mitokondria bagian dalam oleh karena itu penting untuk metabolisme energi dan disarankan penggunaannya pada ternak berkisar 10-50 ppm (Europen Food Safety Autority, 2012). D. Konsumsi Ransum Ransum adalah makanan yang disediakan bagi hewan 24 jam (Anggorodi, 1995). Menurut Wahju (1988) Konsumsi ransum adalah jumlah ransum yang dapat dikonsumsi oleh unggas dalam jumlah dan waktu tertentu. Konsumsi ransum dipengaruhi oleh hewan yang bersangkutan dan bergantung kepada besarnya, keaktifan, temperature, dan kebutuhan untuk pertumbuhan atau produksi telur. Kebutuhan ransum puyuh fase starter (0-3 minggu) memerlukan ransum dengan kandungan protein 25% dan energi 2900 kkal/kg. fase grower (3-5 minggu) membutuhkan ransum dengan kadar protein 18-20% dan energi 2600 kkal/kg dan diperkirakan konsumsi untuk puyuh dewasa 19 g/hari (Harjanto, 2009). Konsumsi ditentukan oleh kandungan energi dalam ransum. Semakin tinggi energi ransum maka konsumsinya semakin menurun begitu juga sebaliknya (Wahju, 1988). Konsumsi ransum erat kaitannya dengan pertumbuhan karena akan mencerminkan efisiensi penggunaan ransum. Semakin banyak ransum yang dikonsumsi semakin cepat laju pertumbuhan yang dicapai (Schaible, 1979). Kesempurnaan imbangan gizi dalam konsumsi ransum sangat penting bagi pertumbuhan optimal. Ransum dibutuhkan sebagai sumber energi dalam semua proses biologi hewan, diantaranya pergerakan, pernafasan, pengaturan suhu tubuh dan proses kehidupan pada umumnya (Card dan Neisheim, 1972). Puyuh selama periode pertumbuhan memerlukan ransum sebanyak 523,3
9 gram (Narahari, 1988), 650 gram (Listiyowati dan Rospitasari, 1992) dan 500 gram (Anggorodi, 1995). Untuk mecegah pemborosan dalam pemberian ransum maka pemberiannya disesuaikan menurut umur puyuhnya. E. Konversi Ransum Konversi ransum adalah jumlah ransum yang diperlukan untuk membentuk satu kilogram bobot badan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum, antara lain laju pertumbuhan dan produksi telur, kandungan energi dalam ransum, besar atau berat badan, kecukupan nutrient, temperature dan kesehatan (Suprijatna et al., 2005). Konversi ransum ditentukan dengan cara membagi konsumsi ransum dengan pertambahan bobot badan dalam satuan yang sama. Konversi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor antara genetik, bobot badan, imbangan protein dan energi, suhu lingkungan dan kesehatan ternak (Card dan Nesheim, 1972). Faktor yang sangat mempengaruhi nilai konversi ransum pada puyuh adalah genetik (Marks, 1980). Siegel dan Wisman (1966) mengemukakan bahwa terdapat hubungan positif antara selera makan dan efisiensi penggunaan ransum dan bobot badan. Konversi ransum mereflesikan efek fisiologis pemanfaatan unsur-unsur gizi, sehingga semakin kecil konversi ransum maka semakin menguntungkan (Soeharsono, 1976). F. Pertumbuhan Pada Puyuh (Coturnix coturnic Japonica) Pertambahan bobot badan merupakan tolak ukur kecepatan pertumbuhan biasanya ternak ditimbang berdasarkan pada satuan waktu tertentu (Soeharsono, 1976). Card dan Nesheim (1972) menyatakan bahwa pertumbuhan dapat diperlihatkan dengan adanya pertambahan bobot badan setiap minggunya dan laju pertumbuhan puyuh jantan dan betina terbesar yaitu pada minggu pertama dan ketiga yaitu 56,5 % dan 58,3 % (El Ibiary, dkk., 1966). A. Pertumbuhan dipengaruhi banyak factor diantaranya, ransum, iklim, dan genetik. Laju pertumbuhan dan ransum yang dikonsumsi berkorelasi positif dimana semakin banyak ransum yang dikonsumsi akan semakin besar pertambahan bobot badan yang dicapai (Schaible, 1979). Laju pertumbuhan
10 puyuh jantan dan betina akan menurun setelah berumur 5-6 minggu dan perbedaan kecepatan pertumbuhan antara puyuh jantan dan betina akan terlihat berumur 6 minggu (El Ibiary, dkk., 1966). Hal ini diperlihatkan oleh bobot badan puyuh dimana pada akhir periode pertumbuhan, pertambahan bobot badan semakin kecil dan terjadi perbedaan bobot badan, dimana puyuh betina lebih berat dari puyuh jantan. (Woodard, dkk. 1971) melaporkan bahwa pada umur enam minggu bobot badan jantan antara 110-130 gram dan betina 120-160 gram