BAB I PENDAHULUAN. Salah satu penyakit parasit yang menyerang ternak, seperti fascioliasis

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, karena hanya. Kabupaten Blora sedangkan pemeriksaan laboratorium

PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TARGET LUARAN BAB 3. METODE PELAKSANAAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

Beberapa penyakit yang sering menyerang ternak kambing dan dapat diobati secara tradisional diantaranya adalah sebagai berikut:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2014 Januari 2015 di Kecamatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam. taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

KARYA TULIS ILMIAH PENGOLAHAN LIMBAH KAKAO MENJADI BAHAN PAKAN TERNAK

BAB I PENDAHULUAN. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii

KLASIFIKASI PENGGEMUKAN KOMODITAS TERNAK SAPI Oleh, Suhardi, S.Pt.,MP

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan

CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TEKNIK PENGOLAHAN UMB (Urea Molases Blok) UNTUK TERNAK RUMINANSIA Catur Prasetiyono LOKA PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KEPRI

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tanaman Biduri (Calotropis spp.) Biduri ( Calotropis spp.) merupakan tanaman yang tahan hidup pada

TINGKAT INFESTASI CACING HATI PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA

TREMATODA PENDAHULUAN

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare.

Tinjuan pustaka 1.1 Klasifikasi dan Morfologi Fasciolosis spp

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

APBD PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2011 KODE REKENING

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Desa Kertosari Kecamatan Tanjungsari pada bulan

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah kesehatan kurang

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan

STUDI RENTAN INFEKSI CACING PARASIT (Fasciola hepatica) PADA HATI SAPI. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi,

BAB III METODE PENELITIAN. variabel pada satu saat tertentu (Sastroasmoro, 2011). Cara pengumpulan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman okra adalah sebagai berikut: Tanaman okra merupakan tanaman terna tahunan dengan batang yang tegak.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama

BAB I PENDAHULUAN. Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus

Kompos Cacing Tanah (CASTING)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Percobaan Kandang Bahan dan Alat Prosedur Persiapan Bahan Pakan

PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)

PLATYHELMINTHES. Dugesia tigrina. A. Karakteristik

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERBAU

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN Salah satu penyakit parasit yang menyerang ternak, seperti fascioliasis yang disebabkan oleh cacing hati Fasciola gigantica menimbulkan banyak masalah dalam bidang peternakan. Fascioliasis mengakibatkan suatu penyakit hepatitis parenkimatosa akut dan suatu Cholangitis kronis. Setelah menyerang hati, tahap selanjutnya cacing ini dapat mengakibatkan ganguan metabolisme lemak, protein, karbohidrat, sehingga dapat menggangu pertumbuhan, menurunkan bobot hidup, anemia dan dapat menyebabkan kematian. Ternak yang dapat terinfeksi cacing hati ini antara lain sapi, kerbau, domba, kambing dan ruminansia lain (Anonimus, 2001). Di Indonesia fasciolasis merupakan penyakit yang cukup penting dan sering terjadi pada sapi. Kerugian yang disebabkan penyakit ini cukup tinggi. Penyakit ini ditemukan di seluruh wilayah Indonesia meskipun intensitas kejadiannya menurut daerah. Hal ini disebabkan karena faktor ekologik. Di berbagai daerah persentase hewan yang ditulari meningkat 5070%. Angka infeksi untuk seluruh Indonesia ratarata ialah 30% pada sapi (Ressang, 1984). Lingkungan tropik merupakan tempat yang baik untuk berkembangnya parasit. Banyak parasit yang menyerang di daerah dingin juga terdapat di daerah tropik. Pada daerah tropik yang lebih basah parasit jarang mendapat kondisi yang kering dalam waktu yang lama dan biasanya suhunya optimal sepanjang tahun. Pada kondisi semacam ini ketahanan hidup parasit tinggi dan berkembang ke

2 stadium menyerang serta populasinya meningkat. Bahkan pada kemarau panjang disertai musim hujan yang pendek parasit tetap bertahan dan mengambil keuntungan dari suhu yang hangat dan basah, sementara parasit dewasa yang sudah ada pada hewan akan terlindung selama musim kering (Payne, 1993). Menurut Sudardjat (1991) kerugian ekonomi yang disebabkan oleh parasit cacing pada sapi adalah sebagai akibat beberapa hal, yaitu akibat terhambatnya pertumbuhan tubuh hewan muda baik penambahan berat badannya. Dalam hal ini keterlambatan dapat mencapai 40% lebih dari hewan yang normal. Kualitas karkas menurun termasuk hati dan organorgan tubuh dalam lainnya, terjadinya penurunan fertilitas yang tidak akan berespon terhadap pengobatan hormon. Disamping itu bila menyebabkan ganguan metabolisme seperti acetonemia, anemia, milk fever dan sebagainya. Kerugian ekonomis yang nyata adalah akibat kematian hewan apabila penyakitnya bersifat akut. Tetapi yang sering adalah kasus penyakit berjalan secara kronis dan merupakan penyebab kerugian besar karena turunnya nilai performance hewan baik kualitas maupun kuantitasnya. Pada domba yang menderita fascioliasis akut dapat mati mendadak tanpa gejala klinis sebelumnya. Angka sakit dan mortalitas fascioliasis di daerah endemik cacing kadang sangat tinggi, bahkan dapat mencapai 90%. Kerugian langsung oleh kerusakan hati, menyebabkan penolakan organ hati tersebut untuk konsumsi manusia (Subronto dan Tjahjati, 2004).

3 Menurut sudardjat (1991) Fascioliasis yang akut pada sapi terjadi penurunan nafsu makan, selaput lendir pucat, oedema pada rahang bawah, bulu kering dan rontok, kurus, lemah, dan dapat menyebabkan kematian. Dengan melihat kerugian yang ditimbulkan, maka usaha pengendalian parasit menjadi suatu keharusan, sebab jika hal ini dibiarkan maka fascioliasis akan merajalela dan akan menimbulkan hambatan bagi laju perkembangan atau pembangunan suatu peternakan.

4 Tujuan Tujuan yang diharapkan dari penulisan tugas akhir ini adalah mengetahui kejadian Fascioliasis pada sapi di Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta dari tahun 20122014 di pulau Jawa. Cara mengetahui sampel tersebut positif Fascioliasis atau tidak, dengan cara uji feses dengan metode sedimentasi. Jika feses tersebut positif Fascioliasis, maka akan terlihat telur cacing Fasciola sp yang bewarna kuning keemasan dibawah petridish bergaris. Manfaat Hasil pengujian ini semoga bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan bagi pembaca, khususnya Ahli Madya Kesehatan Hewan dalam melakukan pengujian feses terhadap Fasciola sp di Laboratorium Parasitologi,teruama dengan metode sedimentasi dan umumnya bagi pembaca. Tugas akhir ini akan bermanfaat sebagai dasar pemberian obat cacing oleh para peternak dengan harapan dapat memberikan informasi yang layak untuk memperbaiki manajemen kesehatan ternak dan menekan kejadian Fascioliasis di Pulau Jawa.

5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Fasciola sp Cacing Fasciola sp di klasifikasikan ke dalam filum platyhelmintes, kelas Trematoda ordo Digenea, family Fasciolidae, spesais Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica (Anonim, 2001). Fascioliasis (hepatik) atau penyakit cacing hati (PCH) merupakan penyakit yang berlangsung akut, sub akut, atau kronik, disebabkan oleh trematoda genus Fasciola, Fasciloides, dan Dicrocoelium. Pada umumnya istilah fascioliasis digunakan untuk menggambarkan, atau untuk menentukan diagnosis, penyakit cacingan yang menyerang ternak memamah biak, yaitu sapi, kerbau, kambing dan domba, dan spesies lainnya, yang disebabkan oleh cacing trematoda genus Fasciola. Selain di jaringan hati, cacing dapat juga tumbuh dan berkembang di jaringan lain, misalnya paruparu,otak,dan limpa (Subronto dan Tjahjati, 2004). Tiga tipe Fasciola gigantica : a) Tipe pertama : umum dijumpai di Indonesia pada hewan domba,kambing, kerbau, sapi mempunyai caecum dengan cabang kedalam yang sederhana dan cabang keluar yang kompleks pada mid body. Caecum di bagian posterior terbagi menjadi dua dan percabangan sangat kompleks dan berukuran sangat besar, b) tipe kedua : hanya ditemukan pada kerbau di Jawa Tengah mempunyai cabang kedalam dan keluar yang kompleks pada midbody dan membentuk percabangan yang mirip yang satu ujung posterior kecuali lokasi percabangan yang lebih jauh dari ujung posterior. Memiliki spina yang berbentuk segitiga sangat runcing dan lebih panjang dibandingkan dengan

6 dua tipe yang lain. Memiliki diameter ventral sucker yang sangat besar hampir dua kali lipat dari oral sucker, c) tipe ketiga : Ditemukan pada sapi Bali dan kerbau di Jawa Tengah mempunyai cabang caecum kedalam yang sederhana dan cabang keluar yang komplek. Caecum bagian posterior bercabang pendek, yang kedalam sederhana dan yang luar kompleks. Mirip dengan Fasciola hepatica di Brisbane Australia (Kurniasih, 2007). Epidemiologi cacing hati berkaitan erat dengan ekologi siput induk semang antaranya. Fasciola hepatica penting di beberapa bagian dunia, tetapi tidak penting di Amerika serikat. Induk semang antaranya yaitu siput genus Lymnae. Jenis yang paling penting yaitu Lymnae truncatula yang terdapat di Eropa, Asia, kebanyakan Afrika dan Amerika Utara bagian Utara. Induk semang antara lainnya truncatula merupakan siput lumpur, dan lebih senang pada ph yang sedikit asam. Karena itu hewan yang merumput di tempat tempat demikian dapat terinfeksi berat dengan Fasciola hepatica (Levine, 1990). Fasciola hepatica adalah cacing daun pada domba berukurab 2030mm x 1012mm dan seperti namanya menunjukkan bahwa cacing ini terdapat didalam hati, kantung empedu, atau saluransaluran yang berkaitan. Parasit ini juga terdapat pada sapi, kuda, kijang, kelinci, babi, anjing, tupai, hewanhewan lain dan manusia kurang dari satu persen. Gambaran yang mencolok pada cacing dewasa adalah percabanganpercabangan yang sangat banyak pada sebagian besar organorgan tubuhnya (Noble,1989).

7 Etiologi Etiologi Di daerah tropik, termasuk indonesia, fascioliasis paling sering disebabkan oleh spesies Fasciola gigantica, yang menyerang ternak sapi, kerbau, kambing dan domba, dan kadang juga babi. Fascioliasis juga banyak diderita oleh ternak ruminansia di bagian bumi lain, Australia, Amerika, Eropa dan sebagainya, sering disebabkan oleh cacing trematoda Fasciola hepatica. Di Indonesia kejadian fascioliasis pada sapi, kerbau, kambing dan domba, menyebabkan kerugian yang sangat besar. Di daerah arid (kering), yang tidak mendukung untuk hidupnya siput Lymnae, kejadian fascioliasis (hepatik) hanya terbatas di daerah yang ada air menggenang, atau yang lambat mengalirnya, untuk jangka waktu panjang. Spesies cacing hati di suatu daerah menjalani daur hidupnya melalui spesies siput tertentu. Di Indonesia, redia dan cercaria hidup dan berkembang pada siput Lymnae rubiginosa (Subronto dan Tjahjati, 2004). Fasciola adalah parasit yang cukup potensial penyebab Fascioliasis dan Distomatosis. Di Indonesia Fascioliasis merupakan penyakit ternak yang sangat lama dikenal dan tersebar secara luas. Keadaan alam Indonesia dengan curah hujan dan kelembaban yang tinggi. Dan ditunjang oleh sifatnya yang hemaprodit yakni berkelamin jantan dan betina akan mempercepat perkembangbiakan cacing hati tersebut.cacing ini banyak menyerang hewan ruminansia yang biasanya memakan rumput yang tercemar metacercaria, tetapi dapat juga menyerang manusia. Fasciola gigantica hidup di daerah tropika dan subtropika, seperti Afrika, Asia bagian selatan, Amerika bagian selatan dan Hawaii. Induk semang antara

8 utamanya ialah Lymnae auricularia yang memilih iklim yang lebih panas dan lebih akuatik daripada Lymnae truncatula di Fasciola gigantica terdapat di pembuluh empedu sapi, domba dan mamalia lain di seluruh dunia, tetapi tampaknya tidak di Amerika utara. Fasciola gigantica tidak ada bahu yang menonjol. Telurnya mirip dengan Fasciola hepatica, siput Lymnae merupakan induk semang antara dan metacercaria terdapat pada tumbuhtumbuhan (Levine,1990). Sekarang disetujui bahwa Fasciola gigantica adalah spesies yang terdapat pada daerah tropis dan terutama pada sapi dan kerbau sedang, Fasciola hepatica adalah spesies daerah sedang. Terutama parasit pada domba. Jika Fasciola hepatica penyakitnya terdapat pada sapi maka penyakitnya bersifat ringan, demikian pula Fasciola gigantica terdapat pada domba maka penyakitnya adalah ringan (Brotowidjoyo, 1987). Fasciola gigantica dianggap sebagai parasit asli yang ada di Indonesia. Sedangkan Fasciola hepatica merupakan parasit pendatang, kemungkinan masuk ke Indonesia bersamasama sapi perah Fries Holland (FH) yang didatangkan dari Belanda, yaitu pada awal abad ke20. Penyebaran parasit selanjutnya di Indonesia, melalui lalu lintas hewan, baik sapi, kerbau, kambing maupun domba (Sudardjat, 1991).

9 Gambar. Morfologi Fasciola sp (Nguyen, 2012). Fasciola gigantica berukuran 2527 x 312 mm, mempunyai pundak sempit, ujung posterior tumpul, ovarium lebih panjang dengan banyak cabang, sedangkan Fasciola hepatica berukuran 35 x 10 mm, mempunyai pundak lebar dan ujung posterior lancip. Daur hidup Daur hidup berbagai jenis Fasciola sp umumnya memiliki pola yang sama, dengan variasi pada ukuran telur, jenis siput sebagai hospes. Untuk Fasciola hepatica, daur hidup diawali dengan pertumbuhan sel telur, dan setelah keluar dari uterus cacing, telur berukuran 140 x 70 mm masuk ke dalam saluran kantong empedu, dan saluran hati hospes definitif. Selanjutnya, telur tersebut terbawa empedu masuk kedalam usus dan dikeluarkan bersama tinja. Di tempat basah, lembab dan hangat operculum telur terbuka, yang untuk itu diperlukan enjima proteolitik yang berasal dari dalam telur sendiri, dan selanjutnya miracidium bercilia keluar, berenang dan berputarputar di dalam air selama

10 beberapa jam, untuk suatu saat menempel dan menembus kulit siput Lymnae. Di dalam tubuh siput miracidia berkembang menjadi sporokista dan melalui pembiakan asexual dihasilkan beberapa redia generasi pertama dan kedua. Redia generasi kedua keluar dari siput sebagai cercaria, dan pada waktu malam berenang di air dan selanjutnya menempel pada daun sebagai metacercaria. Metacercaria yang terdapat menempel pada daun padi kirakira setinggi dua pertiga dari tinggi batang (6070cm). Secara teoritis, satu ekor miracidium dapat menghasilkan 1000 ekor larva (cercaria, metacercaria) yang infektif. Waktu yang diperlukan cercaria menjadi metacercaria lebih kurang dari dua bulan. Metacercaria yang hidup di dalam kista tumbuh sebagai cacing muda. Apabila daun tempat kista cacing dimakan ternak, cacing muda menembus usus (duodenum), selanjutnya menerobos rongga peritoneum untuk akhirnya mencapai tepi jaringan hati, menembusnya, dan sampai pada saluran empedu (Subronto dan Tjahjati, 2004).

11 Gambar. siklus hidup Fasciola sp (Bogits,dkk, 2012). Dalam tubuh hospes yaitu ternak, ikan dan manusia, cacing dewasa hidup di dalam hati dan betelur di usus, kemudian telur keluar bersama feses. Telur menetas menjadi larva dengan cilia (rambut getar) di seluruh permukaan tubuhnya yang disebut miracidium. Larva miracidium kemudian berenang mencari siput Lymnea. Miracidium akan mati jika tidak masuk ke dalam tubuh siput air tawar (Lymnea rubiginosa). Setelah berada dalam tubuh siput selama dua minggu, miracidium akan berubah menjadi sporosis. Larva tersebut mempunyai kemampuan bereproduksi secara aseksual dengan cara paedogenesis di dalam tubuh siput, sehingga terbentuk larva yang banyak. Selanjutnya sporosis akan melakukan paedogenesis menjadi beberapa redia, kemudian redia melakukan paedogenesis menjadi serkaria. Larva serkaria kemudian akan berekor menjadi

12 metacercaria, dan segera keluar dari siput dan berenag mencari tanaman yang ada di pinggir perairan misalnya rumput, tanaman padi atau tumbuhan air lainnya. Setelah menempel, metacercaia akan membungkus diri dan menjadi kista yang dapat bertahan lama pada rumput, tanaman padi, atau tumbuhan air lainnya. Apabila tumbuhan air tersebut termakan ternak oleh hewan ruminansia maka kista dapat tersebar menembus dinding usus, kemudian masuk ke dalam hati, lalu ke saluran empedu dan menjadi dewasa selama beberapa bulan sampai bertelur dan siklus ini terulang kembali (Ditjennak, 2012). Telur cacing dalam duodenum di keluarkan bersama feses pada temperature yang optimal dari kelembaban yang tepat, telur menetas dalam sembilan hari menjadi larva yang dikenal sebagai miracidium, dan pada temperatur yang rendah, telur dapat bertahan selama beberapa periode, kemudian miracidium berenang bebas dan segera mencari siput yang berguna untuk melanjutkan siklus hidupnya (Levine, 1994). Dalam tubuh siput, larva mengalami beberapa fase perkembangan dengan cara membelah diri dan berubah bentuk. Setelah enam minggu dalam tubuh siput, mengalami perkembangan yang sempurna dan kemudian keluar dari tubuh siput. Larva yang baru saja keluar dari tubuh siput aktif berenangrenang dan menempel pada dedaunan atau rerumputan yang berada di dekatnya, dan membungkus dirinya dengan suatu kista sebagai perlindungan. Bersamasama rumput yang termakan hewan, kista masuk ke dalam alat pencernaan. Kemudian dinding kista hancur dan cacing hati yang masih muda tadi muncul, akhirnya menembus dindingdinding usus, pindah ke hati bersama aliran darah. Parasitparasit muda

13 tadi akan berada di dalam hati selama enamdelapan minggu. Sesudah mengalami kedewasaan, parasit berpindah ke saluran empedu, dan di situlah cacing Fasciola sp bertelur, telurtelur tadi berpindah ke alat pencernaan melalui saluran darah dan kemudian keluar dari tubuh hewan bersama kotoran (Sugeng, 2007). Gejala Gejala gejala pada domba yang menderita Fascioliasis akut dapat mati mendadak tanpa gejala klinis sebelumnya. Pada yang terinfeksi tidak masif, domba tampak lesu, lemah, anoreksia, pucat, oedema pada mukosa dan konjungtiva, dan rasa sakit saat ditekan di daerah palpasi hati. Penderita dapat mati dalam waktu 48 jam. Wabah fascioliasis akut yang menyerang domba muda, menyebabkan kematian secara beruntun dalam waktu beberapa minggu. Pada sapi fascioliasis sub akut kurang memperlihatkan gejalagejala, atau tidak sama sekali. Pada waktu hewan tersebut dipekerjakan di sawah atau di transportasikan yang melelahkan dapat mengalami kematian secara mendadak. Gambaran klinis pada hewan muda mirip dengan yang dialami oleh domba (Subronto dan Tjahjati, 2004). Lesi yang disebabkan oleh infeksi Fasciola sp pada semua ternak hampir sama bergantung pada tingkat infeksinya. Kerusakan hati paling banyak terjadi pada waktu cacing muda mulai menembus dinding usus antara minggu ke 1215 pasca infeksi. Kerusakan jaringan mulai terjadi pada waktu cacing muda mulai menembus dinding usus tetapi kerusakan yang berat dan peradangan mulai terjadi sewaktu cacing bermigrasi dalam parenkim hati dan ketika berada dalam saluran empedu dan kantong empedu (Ditjennak, 2012).

14 FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Fascioliasis Cacing Fasciola ini menyerang sapi berbagai umur. Bentuknya segi tiga, pipih, bewarna abuabu kehijauan sampai kecoklatan. Panjangnya mencapai 23 cm. Cacing ini mengalami siklus hidup yang kompleks. Penyebarannya melalui pakan dan air minum, khususnya melalui dedaunan dan rerumputan yang telah di tulari larva (Sugeng, 2007). Pengaruh umur terhadap kejadian penyakit tidak diketahui, namun pada umur lebih muda, lama waktu infeksi relatif lebih pendek dibanding pada hewan yang tua. Demikian pula perbedaan jenis kelamin juga berpengaruh (Darminto dkk, 1995). Pakan juga dapat menyebabkan terjadinya infeksi cacing hati, karena kemungkinan pakan tersebut mengandung metacercaria. Penggembalaan ternak di daerah becek kemungkinan terkontaminasi cukup besar, karena di daerah becek hidup berbagai macam siput, sehingga kemungkinan larva cacing tumbuh besar. Daerah becek dapat karena pengaruh hujan, sehingga pada bulanbulan curah hujannya tinggi, kemungkinan menderita fascioliasis sangat besar. Sebaliknya pakan yang berasal dari daerah kering, kemungkinan terjadinya fascioliasis kecil karena larva cacing tidak dapat berkembang dengan baik (Levine, 1994).

15 Diagnosis Penentuan diagnosis fascioliasis seekor hewan atau sekelompok hewan harus dibuktikan dengan ditemukannya telur Fasciola sp, yang dapat dilakukan dengan metode sedimentasi. Pada hewan yang berkelompok, diagnosis juga diperkuat dengan kerusakan hati salah satu hewan yang mati dengan melalui proses nekropsi (Subronto dan Tjahjati, 2004). Menurut(Levine, 1994 ) Penyakit parasit pada hewan merupakan penyakit yang dapat mempengaruhi produktivitas ternak dan umumnya tidak menimbulkan kematian tetapi bersifat menahun yang dapat mengakibatkan kekurusan, lemah dan turunnya daya produksi. Identifikasi parasit yang tepat memerlukan pengalaman dalam membedakan sifat sebagai spesies, parasit, kista, telur, larva, dan juga memerlukan pengetahuan tentang berbagai bentuk pseudoparasit dan aterfak yang mungkin dikira parasit. Identifikasi parasit juga bergantung pada persiapan bahan yang baik untuk pemeriksaan baik dalam keadaan hidup maupun sediaan yang telah di pulas. Bahan yang di periksa tergantung dari jenis parasitnya, untuk cacing atau protozoa usus maka bahan yang di periksa adalah tinja atau feses, sedangkan parasit darah dan jaringan dengan biopsi, kerokan kulit maupun imunologis. Feses adalah sisa hasil pencernaan dan absorbsi dari makanan yang di makan dan di keluarkan oleh anus dari saluran pencernaan. Pemeriksaan feses adalah salah satu pemeriksaan laboratorium yang telah lama di kenal untuk membantu klinisi menegakkan diagnosis suatu penyakit. Meskipun saat ini telah berkembang berbagai pemeriksaan laboratorium yang modern dalam beberapa

16 kasus pemeriksaan feses masih diperlukan dan tidak dapat digantikan oleh pemeriksaan lain. Pengetahuan mengenai berbagai macam penyakit yang memerlukan pemeriksaan feses, cara pengumpulan sampel yang benar serta pemeriksaan dan interpretasi yang benar akan menentukan ketepatan diagnosis yang dilakukan oleh klinisi. Berdasarkan gejala klinis dan dari pemeriksaan umum dan khusus. Dilakukan juga pemeriksaan feses dan pemeriksaan darah untuk mendukung hasil diagnosis. Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode natif, metode sentrifuse, metode parfitt dan bank atau metode McMaster. Menurut (Hendrix, 2012) metode natif (langsung) dilakukan untuk mendiagnosa ada tidaknya telur cacing atau oosista protozoa dalam feses secara cepat. Metode ini sangat sederhana, dilakukan dengan mencampur feses dengan aquades sampai homogen dan diletakkan diatas object glass, di tutup dengan cover glass, lalu diamati dengan mikroskop. Metode pemeriksaan feses apung berfungsi untuk mengamati telur cacing dalam feses dengan lebih jelas, karena debris atau kotorankotoran feses akan berkurang dengan metode ini akibat perbedaan berat jenis sehingga bentuk telurnya akan terlihat lebih jelas. Pemeriksaan feses dengan metode apung dilakukan dengan cara melarutkan dua gram (0,5 sendok teh ) feses ke dalam 30 ml air sampai merata, lalu masukkan kedalam tabung reaksi. Tambahkan larutan NaCl jenuh sampai membentuk cembung pada permukaan tabung, lalu letakkan converglass dan tunggu selama 20 menit. Converglass diambil dan diletakkan diatas obyek glass lalu diperiksa dengan mikroskop. Metode parfitt dan bank digunakan untuk mendeteksi perbedaan antara telur cacing trematoda yaitu Fasciola sp dengan telur cacing

17 lainnya. Metode ini diperlukan untuk mendeteksi ada atau tidaknya infestasi Fasciola sp yang merupakan parasit yang umum ditemukan di Indonesia. Metode parfitt dan bank menggunakan NaoH 10% dan pewarna Methylen Blue 0,5%. Kerugian ekonomis Direktorat jendral peternakan (2012) melaporkan bahwa taksiran kerugian ekonomi akibat cacing hati tidak kurang dari Rp513,6 M, yaitu berupa kematian, penurunan bobot hidup, organ hati yang terpaksa harus dibuang, penurunan produksi susu, serta biaya pengobatan. Namun demikian usaha penangulangan penyakit fascioliasis belum maksimal karena jarang sekali dilakukan pencegahan oleh peternak terhadap penyakit ini. Fasciola hepatica terdapat di dalam pembuluh empedu domba, kambing, sapi dan kelinci, manusia hampir mamalia lain diseluruh dunia. Di Amerika Serikat cacing hati menyebabkan kerugian karena kematian setiap tahun sebesar $ 3.002.000 dan ditambah $ 1657.000 disebabkan hati yang di afkir pada sapi dan $ 98.000 pada domba (Levine, 1994). Infeksi cacing hati menyebabkan terjadinya laju pertumbuhan dan berat badan ternak, penurunan efisiensi pakan, kematian pada derajat infeksi yang tinggi terutama pada pedet maupun sapi usia produktif, daya tahan tubuh akibat anemia yang di timbulkan, serta kerusakan jaringan terutama hati dan saluran empedu. Kerugian ekonomi yang utama di dasarkan akibat terbuangnya hati baik sebagian maupun seluruhnya serta biaya pembelian obatobatan dan tenaga ahli seperti dokter hewan (Mitchell, 2007).

18 Pencegahan Peternak harus memahami betul bagaimana cara perawatan segala aspek yang menyangkut tentang kesehatan ternak. Salah satunya adalah memperhatikan siklus hidup cacing parasit. Halhal yang harus diperhatikan : pada rumput yang berembun mungkin terdapat larva akan turun dari pucuk rumput ke permukaan tanah. Disarankan menyabit rumput pada pagi hari setelah embun menghilang. Air sungai, air sawah, atau rumput yang di ambil dari rawarawa dapat mengandung larva (kista,serkaria) dari cacing hati Fasciola sp. Di dalam hati sapi kista atau serkaria berkembang menjadi cacing hati dewasa. Oleh karena itu air minum sapi harus berasal dari sumber air yang bersih (sumur timba, sumur pompa). Untuk pencegahan dan pengendalian perlu diperhatikan beberapa hal yaitu (satu), pembetian ransum/ makanan yang berkualitas dan cukup jumlahnya,(dua) menghindari kepadatan dalam kandang, (tiga) memisahkan antara ternak muda dan dewasa, (empat) memberikan konstruksi dan sanitasi (kebersihan lingkungan), (lima) menghindari tempattempat yang basah / lembab, (enam) menghindari pengembalaan yang terlalu pagi, (tujuh) melakukan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan secara teratur. (Susanti, 2011) Menurut Martidah, dkk (2005). Prinsip pengendalian Fascioliasis pada ternak ruminansia adalah memutus daur hidup cacing. Secara umum strategi pengendalian Fascioliasis di dasarkan pada musim penghujan atau basah dan musim kemarau. Pada musim penghujan populasi siput mencapai puncaknya dan tingkat pencemaran metacercaria sangat tinggi. Untuk itu di perlukan tindakan

19 tindakan pencegahan terhadap infeksi dan menekan serendahrendahnya terjadi pencemaran lingkungan, antara lain dengan cara: (satu). Limbah kandang hanya digunakan sebagai pupuk pada tanaman padi apabila sudah dikomposkan terlebih dahulu sehingga telur Fasciola sp sudah mati. (dua). Pengambilan jerami dari sawah sebagai pakan ternak dilakukan dengan pemotongan sedikit di atas tinggi galengan 11,5 jengkal dari tanah. (tiga). Jerami di jemur selama 23 hari berturutturut dibawah sinar matahari dan di bolakbalik selama penjemuran sebelum diberikan untuk pakan ternak. (empat). Penyisiran daun jerami agar daun padi yang kering terlepas untuk mengurangi pencemaran metacercaria. (lima). Tidak melakukan penggembalaan ternak di daerah yang berair atau yang tercemar oleh metacercaria cacing hati, misalnya di sawah sekitar kandang ternak atau dekat pemukiman. Pembasmian Fasciola sp terutama ditujukan kepada pembasmian siput, bekicot, misalnya tidak membiarkan lapangan pangonan tergenang air atau drainase jelek. Memberikan copper sulphat di lapangan penggembalaan. Hindarkan pemberian makanan hijauan dan yang terkontaminasi siput, dan usahakan agar hijauan pakan dicuci dahulu sebelum diberikan kepada ternak(murtidjo, 1990). Usaha menghindari padang rumput lembab sebagai tempat hudupnya induk semang antara akan menghalangi infeksi cacing hati pada sapi. Daerah daerah sekitar kolam harus di pagari dan sapi jangan dibiarkan merumput di tempat tersebut. Tindakan pengendalian fascioliasis dilakukan berdasarkan pemutusan siklus hidup Fasciola sp, dengan cara membunuh siput dengan

20 mollicidia, memberantas siput secara biologis yaitu dengan jalan memelihara itik, membunuh cacing dalam hospes utamanya dengan obat cacing seperti dovemix, valbazen, ivomac F dan fasinec, memanfaatkan kotoran ternak untuk pupuk tanaman polowijo atau mengkomposkannya, mengeringkan padang rumput dari kelembaban, lumpur dan genangan air, hindari penggembalaan ternak di daerah yang tercemar metacercaria (Levine, 1994). Pengobatan Pengobatan fascioliasis pada sapi, kerbau, domba menggunakan Nitroxinil dengan dosis 10 mg/kg sangat efektif dengan daya bunuh 100% pada infeksi setelah enam minggu. Namun pengobatan ini perlu di ulang 812 minggu setelah pengobatan pertama. Pemberian obat cacing secara berkala minimal dua kali dalam satu tahun dengan tujuan mengeliminasi migrasi cacing dewasa. Pengobatan pertama dilakukan pada akhir musim penghujan sehingga selama musim kemarau, ternak dalam kondisi yang baik dan juga menjaga lingkungan terutama kolam air. Pengobatan kedua dilakukan pada akhir musim kemarau dengan tujuan untuk mengeleminasi cacing muda yang bermigrasi ke dalam parenkim hati. Pada pengobatan kedua ini perlu di pilih obat cacing yang dapat membunuh cacing muda (Ditjennak, 2012).

21 Terapi pengobatan fascioliasis tergantung pada efektifitas obat terhadap stadia perkembangan cacing, pada fase migrasi atau pada fase menetap di hati, dan sifat toksik dari obat harus rendah karena jaringan hati yang terlanjur mengalami kerusakan. Yang paling baik suatu obat mampu membunuh Fasciola sp yang sedang bermigrasi dan cacing dewasa, serta tidak toksik terhadap jaringan. Derivat benzimidazol, terutama albendazol, triclabendazol dan probendazol febantel, memperoleh perhatian luas karena selain efektif terhadap cacing nematoda senyawa tersebut juga efektif untuk membunuh cacing muda dan dewasa. Dengan dosis yang di anjurkan, efek samping yang berupa kematian embrio mamalia, absorbsi teratogenik dapat dihindarkan.pemberian obat beberapa minggu setelah inseminasi hendaknya dihindari. Air susu sapi, kambing, yang diobati tidak boleh dikonsumsi anak. Dosis sapi dan kerbau 1015mg/kg. Untuk kambing dan domba 7,510mg/kg. Untuk cacing nematoda dosis tersebut dapat diturunkan hingga dua pertiganya. Di beberapa daerah, dosis triclsbendazol digunakan dengan efektifitas tinggi terhadap cacing berbagai umur (Subronto dan Tjahjati, 2004).

22 BAB III Materi Praktek Kerja Lapangan dilaksanakan di Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta, pada tanggal 27 April 30 April 2015. Materi yang digunakan untuk penulisan tugas akhir ini adalah data dari tahun 20122014 yang diperoleh dari Laboratorium Epidemiologi di Balai Besar Veteriner Wates. Penulisan Tugas Akhir ini berkaitan dengan kasus Fascioliasis pada sapi di Pulau Jawa. Pengujian terhadap adanya infeksi Fasciola sp dengan menggunakan metode sedimentasi yang dilakukan di Laboratorium Parasitologi. Prinsip metode sedimentasi adalah untuk menemukan telur cacing Fasciola sp yang berwarna kuning keemasan. Alat yang digunakan antara lain timbangan elektronik digital, gelas beker 100 ml, saringan, tabung kerucut, karet penutup bertangkai, sendok, petridish bergaris, pipet, timer, mikroskop stereo. Bahan yang digunakan adalah feses segar/dengan pengawet formalin 10% methylen blue 1%, air, larutan gula jenuh. Metode Pengembilan data yang dilakukan pada saat peraktek kerja lapangan adalah dengan cara melakukan pengamatan secara langsung dan wawancara kepada para pegawai Laboratorium Parasitologi dan pengambilan data Fasciolasis di Laboratorium Epidemiologi. Pengamatan langsung dilakukan dengan cara mengikuti kegiatan di Laboratorium Parasitologi. Metode yang digunakan pada pemeriksaan feses untuk pengamatan Fasciolasis adalah sedimentasi. Menurut Levine (1990) telur cacing daun

23 mempunyai kecendrungan tenggelam kedasar daripada terapung kepermukaan, maka dari itu teknik sedimentasi lebih tepat digunakan. Cara kerja metode sedimentasi adalah feses ditimbang sebanyak 3 gram dalam beker gelas, kemudian tambahkan larutan gula jenuh sebanyak 50 ml, dan aduk higga feses hancur dan homogen kemudian disaring sambil diaduk, kemudian dimasukan kedalam gelas ukur kerucut dan tambahkan air hingga 250 ml, diamkan selama lima menit. Karet penutup bertangkai dimasukkan kedalam gelas kerucut tanpa menimbulkan goncangan pada sedimen dan buang supernatnya. Tambahkan air kembali hingga 250 ml dan diamkan selama lima menit. Karet penutup bertangkai dimasukkan kembali kedalam gelas kerucut tanpa menimbulkan goncangan pada sedimen, dan buang supernatnya. Goncang sedimen dan tuangkan ke dalam petridish bergaris. Tetskan methylen blue dengan menggunakan pipet sebanyak dua tetes, kemudian goyanggoyangkan petridish agar homogen. Setelah itu periksa dibawah mikroskop stereo dengan perbesaran 10 x, hitung semua telur Fasciola sp yang terdapat pada petridish bergaris. Hasil positif jika ditemukan adanya telur Fasciola sp yang berwarna kuning keemasan.

24 BAB IV Hasil Kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) selama di Balai Besar Veteriner (BBVet) Wates di peroleh data kejadian Fascioliasis selama Tahun 20122014 di pulau Jawa, berdasarkan data yang diperoleh dari Balai Besar Veteriner Wates dapat dilihat bahwa kejadian Fascioliasis selama tahun 20122014 sebesar 16,76%. Hasil tersebut didapatkan dari sampel tinja dengan uji sedimentasi. Sampel yang masuk berasal dari kiriman perorangan, pelayanan aktif, kiriman dinas, dan lainlain. Sampel yang masuk dari Tahun 20122014 sebanyak 14325 dengan hasil positif Fasciola sp sebanyak 2402 sampel yang berasal dari pulau Jawa yang meliputi DIY(Daerah Istimewa Yogyakarta), Jawa Tengah, Jawa Barat. Tabel 1. Kejadian Fasciolosis pada sapi tahun 2012 Provinsi Sampel (+) ( ) % per provinsi DIY 2493 354 2139 14,19% Jawa Tengah 2386 751 1635 31,87% Jawa Timur 548 84 464 15,32% Jawa Barat 321 20 301 6,20% Jumlah 5748 1209 4539 21,03% Tabel 2. Kejadian Fasciolosis pada sapi tahun 2013 Provinsi Sampel (+) ( ) % per provinsi DIY 239 50 189 20,92% Jawa Tengah 1875 562 1814 29,97% Jawa Timur 185 7 178 3,78% Jawa Barat 203 44 159 21,67% Jumlah 2503 663 1840 27,88%

25 Tabel 3. Kejadian Fasciolosis pada sapi tahun 2014 Provinsi Sampel (+) ( ) % per provinsi DIY 1439 184 1255 12,78% Jawa Tengah 3148 235 2913 7,46% Jawa Timur 1487 111 1376 7,46% Jawa Barat Jumlah 6074 530 5544 9,01% 30,00% 25,00% 20,00% Persentase Fascioliasis pada Tahun 2012 2014 21,03% 27,88% 15,00% 10,00% 5,00% 0,00% 2012 2013 2014 9,01% Tabel 4. Kejadian Fascioliasis per Bulan pada Tahun 2012 Bulan Sampel (+) () %perbulan Januari Febuari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 626 654 506 603 1888 141 179 171 318 223 373 66 194 111 170 147 99 30 40 69 93 42 196 18 432 543 336 456 1789 111 139 102 225 181 177 48 30,99% 16,97% 33,59% 24,37% 5,2% 21,27% 22,23% 40,35% 29,24% 18,83% 52,54% 27,27% Jumlah 5748 1209 4539 21,03%

26 Tabel 5. Kejadian Fascioliasis per Bulan pada Tahun 2013 Bulan Sampel (+) () %perbulan Januari Febuari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 203 223 689 157 254 283 172 522 44 107 168 14 126 65 55 84 159 116 521 143 128 218 117 438 21,67% 47,98% 24,38% 8,9% 49,60% 22,96% 31,97% 16,09% Jumlah 2503 663 1840 27,88% Tabel 6. Kejadian Fascioliasis per Bulan pada Tahun 2014 Bulan Sampel (+) () %perbulan Januari Febuari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 96 82 395 463 1012 201 16 263 796 1408 480 862 9 14 67 78 136 9 1 50 55 44 13 55 87 68 328 385 876 192 15 213 741 1364 467 807 9,37% 17,07% 16,96% 16,84% 13,43% 4,47% 6,25% 19,01% 6,90% 3,12% 2,70% 6,38% Jumlah 6074 530 5544 9,01%

27 BAB V Pembahasan Pemeriksaan feses terhadap adanya Fascioliasis yang dilakukan di Laboratorium Parasitologi Balai Besar Veteriner Wates menggunakan metode sedimentasi, dikarenakan telur cacing daun mempunyai kecenderungan tengelam ke dasar daripada terapung ke permukaan pada preparat apung, sehingga teknik sedimentasi lebih tepat untuk diagnosis (Levine,1994). Telur Fasciola sp cendrung mempunyai dinding yang lebih tebal dibanding Paramphistomum sp yang mempunyai dinding tipis, jadi walaupun diberi methylen blue ia tidak serap warna dan warna tetap kekuningan. Kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Balai Besar Veteriner Wates berlangsung pada tanggal 2730 april 2015 di wilayah pulau jawa didapat kejadian fasciolosis selama tahun 20122014 di wilayah pulau jawa. Berdasarkan tabel satu kejadian Fascioliasis, persentase Fascioliasis di Balai Besar Veteriner diperoleh perhitungan bahwa kejadian Fascioliasis yang menyerang pada sapi di wilayah pulau jawa pada tahun 2012 adalah 21,03% dari sampel feses yang masuk sebanyak 5784 dan diperoleh hasil positif Fasciola sp sebanyak 1209 sampel. Kejadian Fasciolosis tertinggi di tahun 2012 per provinsi terdapat di provinsi Jawa Tengah, yaitu 31,87% dibawahnya adalah Jawa Timur 15,32% selanjutnya diikuti DIY 14,19%, dan terendah yaitu Jawa Barat 6,25% hal ini bisa dikarenakan wilayah Jawa Tengah banyak peternak sapi yang secara aktif maupun pasif mengirim sampel ke Balai Besar Veteriner Wates dan sampel yang

28 masuk pada tahun 2012 di dominasi dari wilayah Jawa Tengah. Kejadian Fascioliasis per bulan selama 2012 berdasarkan tabel empat tertinggi di bulan November yaitu 52,54% dan terendah pada bulan Maret yaitu 5,2%. Hal ini dikarenakan pada bulan Maret jumlah sampel yang dikirim berjumlah sedikit,sedangkan tertinggi di bulan November dan mengingat Indonesia memiliki iklim tropis, basah, lembab, dan panas.lingkungan tropis merupakan tempat yang cocok untuk perkembangan parasit (Brotowidjoyo, 1987) Berdasarkan tabel dua kejadian Fascioliasis, persentase Fascioliasis di Balai Besar Veteriner Wates pada tahun 2013 adalah 27,20% dengan jumlah sampel yang masuk sebanyak 2503, dari sampel feses yang masuk diperoleh hasil positif Fasciola sp sebanyak 663 sampel. Kejadian Fascioliasis tertinggi di tahun 2013 per provinsi terdapat di provinsi Jawa Tengah yaitu 29,97, dibawahnya DIY 20,92%, Jawa Barat 21,67% dan yang terendah yaitu Jawa Timur 3,78%.kejadian Fascioliasis tertingi per bulan selama tahun 2013 tertinggi di bulan Juli yaitu 49,60%. Dan terendah pada bulan juni yaitu pada bulan januari, Februari dan Desember dikarenakan tidak ada sampel yang masuk Berdasarkan tabel tiga kejadian Fascioliasis, persentase Fascioliasis di Balai Besar Veteriner Wates pada tahun 2014 adalah 9,01% dengan jumlah sampel yang masuk sebanyak 6.074, dan diperoleh hasil positif Fasciola sp sebanyak 530 sampel. Persentase kejadian Fascioliasis pada tahun 2014 tergolong rendah, hal ini dikarenakan provinsi Jawa Barat tidak melakukan pengiriman sampel, sehingga persentase kejadian Fascioliasis pada tahun 2014 mengalami penurunan drastis. Kejadian Fascioliasis tertinggi di tahun 2014 per provinsi

29 terdapat di provinsi DIY, yaitu 12,78% dibawahnya adalah provinsi Jawa Timur yaitu 7,46% dan terendah yaitu Jawa Tengah 7,46%. Berdasarkan tabel enam kejadian Fascioliasis perbulan tertinggi terjadi pada bulan Agustus yaitu 19,01% dan terendah pada bulan November yaitu 2,70%. Hal ini dikarenakan topografi keadaan lingkungan berbeda dengan provinsi lain juga menjadi faktor pertumbuhan parasit. Dari data kejadian Fascioliasis selama tahun 20122014 di pulau Jawa, berdasarkan data yang di peroleh dari Balai Besar Veteriner Wates dapat dilihat bahwa kejadian Fascioliasis selama tahun 20122014 sebesar 16,76%. Hasil tersebut tergolong rendah, dikarenakan Fascioliasis di seluruh dunia dan prevalensi pada ruminansia diperkirakan berkisar 90% di beberapa negara, misalnya kamboja 85,2%, Wales 86%, Indonesia 8090%, Tunisia 68,4% dan Vietnam 3090% (Nguyen,2012). Hal ini juga dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian fascioliasis. Adapun faktor yang mempengaruhi : Pengaruh umur erat kaitannya dengan kurun waktu infestasi terutama di lapangan. Semakin tua umur sapi maka semakin tinggi pula resiko infeksi terhadap Fasciola sp. Pada sapi muda prevalensi fascioliasis lebih rendah, hal ini disebabkan oleh sapi muda relatif lebih sering dikandangkan dalam rangka penggemukan (Hambal,dkk,2013). Selain itu intensitas makan rumput sapi muda lebih rendah dibanding kan sapi dewasa, hal ini karena sapi muda masih minum air susu induknya sehingga kemungkinan untuk terinfeksi metacercaria lebih rendah. Menurut (Subronto dan Tjahjati 2004) menyebutkan bahwa kebanyakan jenis parasit saluran pencernaan masuk ke dalam tubuh hospes definitif melalui mulut dari pakan yang tercemar larva.