BAB I PENDAHULUAN. diteliti. Padahal pada masa penjajahan sampai dengan tahun 1960-an NU tidak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V SIMPULAN DAN SARAN

2015 STRATEGI PARTAI ISLAM D ALAM PANGGUNG PEMILIHAN PRESID EN DI INDONESIA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Kaderisasi merupakan sebuah proses pencarian bakat atau pencarian sumber

I. PENDAHULUAN. basis agama Islam di Indonesia Perolehan suara PKS pada pemilu tahun 2004

Demokrasi Sudah Digagas Jauh Sebelum Merdeka

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Bab ini berisi interpretasi penulis terhadap judul skripsi Penerimaan Asas

BAB V PENUTUP. 1. Indonesia merupakan sebuah negara multikultural dan plural, yang terdiri dari

I. PENDAHULUAN. merupakan salah satu bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Al Sunnah Waal Jama ah, yakni Hanafi, Maliki, Syafi i, dan Hambali (Pasal 2,

2015 MODEL REKRUTMEN PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU 2014 (STUDI KASUS DEWAN PIMPINAN DAERAH PARTAI NASDEM KOTA BANDUNG)

I. PENDAHULUAN. sebuah tujuan bersama dan cita-cita bersama yang telah disepakati oleh

Ini Alasan Partai Islam Terseok-Seok

Sengkarut Konflik Parpol Rabu, 01 April 2015

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan menurut UUD. Dalam perubahan tersebut bermakna bahwa

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG PENETAPAN JUMLAH DAN TATA CARA PENGISIAN KEANGGOTAAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

SEJARAH PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

Bab III. Dasar-Dasar Politik Partai Kebangkitan Bangsa

untuk mengirim delegasi ke Saudi Arabia, dan membentuk

Presiden Seumur Hidup

JK: Tradisi Golkar di Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang digunakan dalam suatu negara. Indonesia adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. putra-putri terbaik untuk menduduki jabatan-jabatan politik dan pejabatpejabat

BAB I PENDAHULUAN. relatif independen dan juga disertai dengan kebebasan pers. Keadaan ini

I. PENDAHULUAN. Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam

2014 PEMILIHAN UMUM DAN MEDIA MASSA

I. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan

I. PENDAHULUAN. Partai politik adalah alat perjuangan masyarakat untuk menduduki pemerintahan,

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI

SAMBUTAN KETUA DPR RI BAPAK H. MARZUKI ALIE, SE, MM. PADA ACARA PERESMIAN KANTOR BARU PWNU SUMATERA UTARA Medan, 06 Januari 2010

I. PENDAHULUAN. pandangan mengenai nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Salah satu indikator

BAB IV PENUTUP. Rais sebagai figur pemimpin, politikus, akademisi, tokoh Muhammadiyah,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kekalahan jepang oleh sekutu memberikan kesempatan bagi kita untuk

GOLKAR PASCA PUTUSAN MENKUMHAM. LSI DENNY JA Desember 2014

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. kepala daerah di Indonesia ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang

Parpol Islam dan yang berbasis massa Islam, tak lagi terlihat menyuarakan Islam, bahkan seakan menghindar untuk diidentikkan dengan Islam.

BAB I PENDAHULUAN. dimana adanya pemberian kebebasan seluas-luasnya. untuk berpendapat dan membuat kelompok. Pesatnya

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik

BAB VI KESIMPULAN. kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan

BAB IV PELUANG DAN TANTANGAN NU SIDOARJO DALAM USAHA PEMBERDAYAAN CIVIL SOCIETY

Anggaran Rumah Tangga PARTAI KERJA RAKYAT INDONESIA Halaman 1

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB III MEKANISME DAN PROSEDUR PERGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DPRD FRAKSI KEBANGKITAN BANGSA KOTA MOJOKERTO

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2001 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Memaknai Pancasila sebagai Dasar Negara*

Mam MAKALAH ISLAM. Kementerian Agama Pilar Konstitusi Negara

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum adalah salah satu hak asasi warga negara yang sangat

Ulangan Akhir Semester (UAS) Semester 1 Tahun Pelajaran

BAB 1 PENGANTAR Latar Belakang. demokrasi sangat tergantung pada hidup dan berkembangnya partai politik. Partai politik

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2014 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

Komitmen Dan Kebersamaan Untuk Memperjuangkan Hak Asasi Manusia diselenggarakan oleh Pusham UII bekerjasama dengan

Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Politik

BAB V PENUTUP. Sebagai intisari dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya dan

BAB V PENUTUP. merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah KH. Abdurrahan Wahid (Gus

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

BAB I PENDAHULUAN. langsung oleh rakyat. Pemilihan umum adalah proses. partisipasi masyarakat sebanyak-banyaknya dan dilaksanakan

BAB 2 DATA DAN ANALISA. Metode yang digunakan untuk mendapatkan data antara lain: - Tinjauan Pustaka : Buku Mengapa Kami Memilih Golput.

BAB I PENDAHULUAN. selalu menarik adalah diselenggarakannya pemilu di Indonesia. Kita tahu bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Partai politik merupakan fenomena modern bagi negara-negara di dunia.

BAB IV ELIT POLITIK PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN KABUPATEN BANTUL. IV. 1. Partai Persatuan Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan, kedaulatan berada pada tangan rakyat. Demokrasi yang kuat,

KET BERKAS PERSYARATAN PAW ADA

PARTAI POLITIK. R. HERLAMBANG PERDANA WIRATRAMAN, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga

AKTUALISASI POLITIK ISLAM INDONESIA : BELAJAR DARI PEROLEHAN SUARA PARTAI ISLAM DALAM PEMILU 1. Yusuf Hamdan **

Perkembangan Peradaban Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan

V. PENUTUP. seterusnya. Partai NasDem sebagai satu-satunya partai baru yang dinyatakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. partai lokal Aceh merupakan sebuah proses demokrasi yang wajib dilaksanakan di

BAB I PENDAHULUAN. jatuhnya pemerintahan Orde Baru sesungguhnya, sebagaimana dikatakan Amien

Pemilu Serentak 2019 dan Penguatan Demokrasi Presidensial di Indonesia. Oleh Syamsuddin Haris

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil

publik pada sektor beras karena tidak memiliki sumber-sumber kekuatan yang cukup memadai untuk melawan kekuatan oligarki politik lama.

Pimpinan dan anggota pansus serta hadirin yang kami hormati,

BAB IV TRAH KIAI DAN PENGARUHNYA DALAM KONTESTASI POLITIK PEMILUKADA DI KABUPATEN BANGKALAN PERIODE

BAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 24/PUU-XV/2017 Penyelesaian Perselisihan Kepengurusan Partai Politik

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 21 Januari 2016; disetujui: 27 Januari 2016

PENINGKATAN NILAI PARTISIPASI PEMILIH

TULISAN HUKUM. Transparansi-dan-Akuntabilitas-Pengelolaan. m.tempo.co

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DI KABUPATEN MAGELANG

ANGGARAN RUMAH TANGGA PARTAI GERAKAN INDONESIA RAYA GERINDRA

BAB IV KESIMPULAN. diharapkan untuk meningkatkan kualitas politik dan kehidupan demokrasi bangsa Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Gejala politik pada bulan mei 1998 merupakan suatu peristiwa bersejarah bagi bangsa

Dibacakan oleh: Dr. Ir. Hj. Andi Yuliani Paris, M.Sc. Nomor Anggota : A-183 FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. melaluinya masyarakat dapat menyalurkan, menitipkan mandat dan harapan.

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran perempuan dalam kontestasi politik di Indonesia, baik itu

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi

SURAT KEPUTUSAN Nomor : 0027/KPTS/DPP/V/2016. Tentang

BAB IV ANALISIS FIKIH SIYASAH TERHADAP PELAKSANAAN PERGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DPRD FKB PEMKOT MOJOKERTO PERIODE

PANDANGAN AKHIR FRAKSI PARTAI DAMAI SEJAHTERA DPR-RI TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 35/PUU-XII/2014 Sistem Proporsional Terbuka

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nahdlatul Ulama laksana gadis cantik yang menarik untuk diteliti walau dari berbagai pandangan dan latar belakang yang berbeda. Ormas Islam terbesar di tanah air ini sepertinya tidak pernah tuntas untuk diamati dan diteliti. Padahal pada masa penjajahan sampai dengan tahun 1960-an NU tidak mendapatkan perhatian dari pengamat yang saat itu meneliti umat Islam di Indonesia. Ormas Islam yang menjadi pengamatan hanyalah Muhammadiyah dan Masyumi walaupun ada yang membahas NU, itu pun hanya bersifat instrumental. Kelahiran NU dibidani oleh Hadratus Syekh Hasyim Asy ari dan ulama-ulama terkemuka lainnya, seperti K.H Wahab Hasbullah dan Bisri Sansuri, pada tanggal 26 Januari 1926. Salah satu tujuannya adalah untuk melindungi praktik dan pemikiran keagamaan Muslim Indonesia yang berbeda dengan praktik dan pemikiran keagamaan Muslim Timur Tengah, khususnya Arab Saudi yang puritanistik (gerakan pembaharu). Menurut Elnerst Gellner (Kompas, 2010 : 4-5), NU berdiri untuk membela praktis Islam yang cenderung dekat dengan local Islam. Dalam kitab Qanun Asasi Li Jami ati Nahdlatul Ulam, K.H Hasyim Asy ari memprihatinkan adanya gerakan keagamaan baru yang menyerukan pemberantasan bid ah (heterodoksi) dengan kedok kembali kepada Al- Quran. Padahal, gerakan baru inilah yang memproduksi bid ah. Pernyataan K.H Hasyim ini bisa dianggap merespons situasi internasional tentang maraknya gerakan Wahabisme di Timur Tengah, dan terhadap situasi nasional tentang maraknya gerakan pembaharuan (puritanisme) Islam.

2 Dari sini dapat disimpulkan, bahwa pendirian NU bukan untuk tujuan politik kekuasaan, melainkan politik (keagamaan) kerakyatan. Maka, bagi umat Islam Indonesia yang menginginkan pelaksanaan praktik dan pemikiran keagamaannya dekat dengan tradisi lokalnya, kehadiran NU dinilai memberi perlindungan. Bila ini bisa disebut tindakan politik kerakyatan --dalam pengertian luas-- maka politik jenis inilah yang patut disebut tingkatan politik tertinggi NU. Politik kenegaraan belum muncul karena pada saat itu (1926) diskursus tentang negara belum ada. Seiring dengan kompleksitas perkembangan politik Indonesia, perjalanan politik NU juga berkembang. NU mulai bersentuhan dengan ranah politik kenegaraan (kebangsaan), terutama menjelang dan pasca kemerdekaan. Persentuhan ini merupakan pengaruh gerakan nasionalisme di beberapa negara yang bergerak menuju kemerdekaan. Kontribusi politik kenegaraan NU yang paling jelas adalah dukungan Wahid Hasyim, wakil NU pada PPKI, untuk tidak mencantumkan Piagam Jakarta di dalam dasar negara kita. Selain itu, selama menjadi organisasi sosial, juga politik-keagamaan, NU tidak pernah terlibat kasus-kasus pemberontakan Islam. Komitmen terhadap negara dan bangsa diletakkan di atas segala-galanya karena NU menyadari, eksistensi negara adalah hal utama bagi kehidupan agama dan manusia sesuai dengan garis Ahlus Sunnah wal Jama ah. Dua model politik NU itu (kerakyatan dan kenegaraan) merupakan pengalaman paling ideal dalam sejarah NU. Dua model ini menjadikan NU sebagai organisasi keagamaan yang berorientasi pada kebaikan dan

3 kepentingan umum (mashlahah ammah). Namun, NU ternyata tidak mampu mempertahankan dua model politik ini karena godaan politik kekuasaan, baik dari tokoh NU sendiri maupun dari luar NU. Keterlibatan pertama NU dengan politik kekuasaan adalah dukungan organisasi ini terhadap pendirian Masyumi. Ketika menjadi organisasi penyangga Masyumi, tokoh-tokoh NU terlibat perebutan kekuasaan baik untuk jabatan dalam tubuh partai maupun di luar partai (eksekutif). Politik kekuasaan masa ini diakhiri dengan perpecahan. Ketelibatan paling pekat dengan politik kekuasaan saat NU berdiri sebagai partai politik (1952) pasca pecah dari Masyumi. Menurut Greg Fealy (Kompas, 2010 : 5), tujuan politik NU saat menjadi parpol adalah pertama, penyaluran dana pemerintah terhadap NU. Kedua, mendapatkan peluang bisnis. Ketiga, menduduki jabatan birokrasi. Dengan tiga tujuan politik seperti itu, tampaknya justru menyebabkan NU terjerembab dalam kubangan orientasi politik materialistis, lalai pada politik kerakyatan. Bahkan pada periode ini NU dituduh sebagai oportunis dan akomodasionis. Inilah periode terburuk sejarah NU karena ketika menjadi parpol, NU tidak menunjukkan prestasi gemilang bahkan bisa dikatakan gagal. Kegagalan itu tidak segera disadari sehingga saat Soeharto menerapkan kebijakan fusi bagi partai-partai politik Indonesia, NU tidak memanfaatkan momentum ini kembali ke jalan politik NU sesuai khittah 1926. Bahkan NU tetap menjadi pendukung PPP di garis depan. Dukungan terhadap PPP menunjukkan orientasi politik kekuasaan masih menjadi prioritas utama. Dan apa yang terjadi selama bergabung dengan PPP, pengulangan sejarah saat NU bergabung dengan Masyumi. Merasa dicurangi

4 dan dikebiri, NU memutuskan kembali ke model NU tahun 1926, NU yang berorientasi pada jama ah dan jam iyyah. Akan tetapi, keputusan untuk kembali kepada khittah 1926 ternyata tidak membuat NU benar-benar kembali kepada politik kerakyatan dan kenegaraan. Lubang untuk melakukan politisasi NU masih terbuka karena khittah NU 1926 tidak tegas mengatur hubungan antara organisasi dan pengurus. Padahal, ini merupakan titik krusial yang menyebabkan pertarungan politik praktis di antara tokoh NU. Dalam hal ini, khittah 1926 hanya menyatakan NU sebagai organisasi harus netral, namun sebagai individu, pengurus NU bisa berpolitik praktis. Memang ada aturan, pengurus NU yang rangkap jabatan dalam parpol harus memilih salah satu. Namun, aturan ini tidak bisa diterapkan untuk kasus selain partai politik. Meskipun dalam kadar yang berbeda, namun dari titik inilah muncul dua peristiwa politik berorientasi kekuasaan pasca khittah 1926 dalam tubuh NU. Pertama, kesediaan K.H Abdurrahman Wahid menjadi calon presiden RI pada Pemilu 1999. Kedua, pencalonan K.H Hasyim Muzadi oleh PDI-P untuk wakil presiden dalam Pemilu 5 Juli 2004. Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto lengser keprabon sebagai akibat desakan arus reformasi yang kuat. Mulai yang mengalir dari diskusi terbatas, unjuk rasa, unjuk keprihatinan, sampai istighosah dan lain sebagainya. Peristiwa ini menandai lahirnya era baru di Indonesia, yang kemudian disebut era reformasi.

5 Sehari setelah peristiwa bersejarah itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mulai kebanjiran usulan dari warga NU di seluruh pelosok tanah air. Usulan yang masuk ke PBNU sangat beragam, ada yang hanya mengusulkan agar PBNU membentuk parpol dan ada yang mengusulkan nama parpol. Di antara yang usulannya paling lengkap adalah Lajnah Sebelas Rembang yang diketuai K.H M Cholil Bisri dan PWNU Jawa Barat. Beberapa bulan setelah lengsernya Soeharto, yaitu pada tanggal 23 Juli 1998 berdirilah sebuah Partai Politik. Partai ini bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berlambangkan bola dunia dengan dikelilingi oleh sembilan bintang. Asas yang dianut adalah Pancasila dengan prinsip ahlus sunnah wal jamaah. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan salah satu Partai Politik (Parpol) yang tak pernah putus dirundung konflik. Bahkan PKB sudah berkonflik sejak sebelum kelahirannya. Yang pada saat itu terjadi pro dan kontra terhadap kelahiran partai berlambang bola dunia ini. Ini merupakan konflik perdana bagi PKB. Ketika muncul gagasan mendirikan parpol di kalangan ormas Nahdlatul Ulama (NU), tak lama setelah Soeharto tumbang, pro dan kontra di kalangan ormas yang selalu diklaim terbesar ini bermunculan. Mereka yang kontra berpendapat bahwa NU menjadi sebuah parpol saja. Karena NU memang pernah menjadi parpol dan memperoleh suara yang tidak sedikit pada Pemilu 1955. Sedangkan kelompok pro memiliki argumentasi yang tak kalah kuatnya. Yakni NU adalah ormas yang sudah bertekad kembali ke Khittah

6 1926, dan jangan kembali dibawa kepada urusan politik praktis. Urusan bertambah rumit ketika PKB digagas sebagai parpol yang tidak menggunakan asas Islam, melainkan terbuka. Ujung dari konflik perdana tersebut adalah lahirnya PKB yang dimotori para kiai NU yang disebut mainstream atau secara sinis disebut kiai struktural. Mereka yang kontra disebut kiai non-struktural kemudian mendirikan parpol lain. Namun sayangnya, mereka tidak solid sehingga melahirkan parpol lain, seperti Partai Nahdlatul Ummat (PNU) dan Partai Kebangkitan Umat (PKU). Konflik paling serius dan berlarut-larut adalah pecahnya partai ini menjadi kubu Matori Abdul Djalil dan kubu Alwi Shihab. Perseturuan ini berlangsung dari pusat sampai daerah. Berawal dari pemecatan Matori sebagai Ketua Umum Partai karena hadir dalam SI MPR 2001 yang menjatuhkan Gus Dur. Sejumlah upaya islah dicoba ditempuh, namun selalu mengalami kebuntuan. Urusan akhirnya selesai melalui proses hukum. Mahkamah Agung memenangkan kubu Alwi. Kemudian Matori mendirikan partai baru. Kasus Matori bisa berlalu, namun perkara baru datang membelit. PKB disibukkan polemik reposisi Syaifullah Yusuf dari posisi sekretaris jenderal. Menggoyang Syaiful ternyata bagaikan membuka kotak Pandora. Pernik konflik internal yang selama ini terpendam mendadak menghambur secara terang-benderang ke permukaan. Sejumlah kiai kharismatik tiba-tiba berani terbuka berseberangan dengan sikap Gus Dur. Di antara mereka KH

7 Idris Marzuki, KH Cholil Bisri, dan KH Mas Subadar, yang sebelumnya dikenal sebagai pembela Gus Dur yang loyal. Tidak berarti mereka berubah menjadi pendukung loyal Syaiful. Kasus keponakan Gus Dur itu mereka jadikan momentum untuk mengungkapkan kekecewaan pada berbagai policy Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKB yang lain. Dimulai dari persoalan penetapan calon kepala daerah (gubernur dan bupati/walikota) sampai cara DPP yang dinilai arogan dalam mengurusi konflik-konflik tingkat daerah. Namun diantara konflik yang terjadi di dalam tubuh PKB, Kubu KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Kubu Muhaimin Iskandar merupakan puncak konflik yang terjadi di tahun 2009. Konflik ini berimbas pula pada sikap politik PKB dalam menghadapi Pemilu. Dan konflik itu pun tidak hanya terjadi di tingkat pusat saja, melainkan merambah ke tingkat daerah. Seringnya PKB memiliki konflik internal ternyata tidak hanya merepotkan kalangan jurnalis dan para pengamat politik. Tapi, juga Depkum dan HAM dan KPU. KPU dipastikan akan kesulitan membuat keputusan, hal ini bisa disebabkan apabila PKB kedua kubu yang berkonflik sama-sama mendaftar sebagai peserta Pemilu dengan nama Parpol yang sama. Konflik internal PKB kubu Gus Dur dan kubu Muhaimin Iskandar pun terjadi di DPC PKB Kota Tasikmalaya. Sosok Gus Dur yang kontroversial selalu memiliki pengikut yang loyal pada dirinya. Pengikut Gus Dur di DPC PKB Kota Tasikmalaya pun mendapatkan pertentangan dari pengikut Muhaimin Iskandar. Perebutan pengaruh dan kekuasaan terjadi di DPC PKB

8 Kota Tasikmalaya. Dari data pra-survei dan hasil diskusi dengan salah seorang responden, di dapat tiga kubu yang konflik di tubuh DPC PKB Kota Tasikmalaya. Yakni kubu Gus Dur, kubu Muhaimin versi A dan kubu Muhaimin versi B. Hal ini disebabkan oleh adanya kepentingan dan perebutan kekuasaan dalam menghadapi Pemilu 2009. Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik internal DPC PKB Kota Tasikmalaya merupakan imbas dari struktur secara nasional. Di DPC PKB Kota Tasikmalaya sendiri terdapat kader-kader PKB yang setia kepada Gus Dur. Namun disamping itu terdapat pula kader-kader PKB yang hanya mencari jabatan atau ruang politik pragmatis. Pada Pemilu Legislatif 2009, sempat terjadi peristiwa dimana kaderkader DPC PKB Kota Tasikmalaya kubu Gus Dur tidak mau mencalonkan sebagai anggota DPRD Kota Tasikmalaya. Dengan alasan kepemimpinan dan mayoritas kepengurusan DPC PKB Kota Tasikmalaya dihuni oleh kader-kader PKB kubu Muhaimin Iskandar. Hal ini menyebabkan kader-kader PKB kubu Gus Dur lebih memilih tidak mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, mencari kendaraan politik lain dan memilih mencalonkan sebagai anggota legislatif tingkat propinsi. B. Perumusan Masalah Segala permasalahan yang dihadapi PKB menggugah Penulis untuk meneliti serta mengkaji pemahaman tentang konflik secara lebih mendalam.

9 1. Bagaimana konflik internal dapat terjadi di tubuh DPC PKB Kota Tasikmalaya? 2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya konflik internal di tubuh DPC PKB Kota Tasikmalaya? C. Pembatasan Masalah Pada penelitian ini, Peneliti melakukan pembatasan terhadap permasalahan yang ada dan telah dirumuskan agar terarah dan terkonsentrasi dalam melakukan penelitian. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah Konflik Internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kubu Gus Dur dan Kubu Muhaimin Iskandar (Studi Kasus DPC PKB Kota Tasikmalaya) pada masa kepemimpinan Didin C Nurdin. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memahami tentang konflik secara lebih mendalam, yakni terjadinya konflik internal di tubuh DPC PKB Kota Tasikmalaya serta mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan konflik itu terjadi. Dengan pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah Konflik Internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kubu Gus Dur dan Kubu Muhaimin Iskandar (Studi Kasus DPC Kota Tasikmalaya) pada masa kepemimpinan Didin C Nurdin.

10 E. Manfaat Penelitian Dengan tujuan yang ditetapkan diatas, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi berbagai pihak, diantaranya: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan kajian ilmu sosial dan politik, khususnya mengenai konflik politik. 2. Manfaat praktis Secara praktis, penelitian ini di harapkan dapat menjadi bahan masukan bagi para akademisi dan praktisi politik, kader partai politik.