TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SIKAP KEJAKSAAN ATAS PELIMPAHAN BERKAS PERKARA OLEH PENYIDIK

dokumen-dokumen yang mirip
PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PRAPENUNTUTAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

PEMECAHAN PERKARA (SPLITSING) DALAM PRA PENUNTUTAN

KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh :

KEABSAHAN PERNYATAAN MAJELIS HAKIM SIDANG TERBUKA DAN TERBATAS UNTUK UMUM (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

SANTUNAN OLEH PELAKU TINDAK PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TELAAH NORMATIF PASAL 138 AYAT (2) KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA TENTANG PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA DARI PENUNTUT UMUM KEPADA PENYIDIK

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

PENGATURAN HAK MENGAJUKAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA TINDAK PIDANA DARI KEJAKSAAN KEPADA KEPOLISIAN 1 Oleh : Ridwan Afandi 2

RELEVANSI PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto

Keywords: Financial loss of countries, corruption, acquittal, policy, prosecutor

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

PENYIDIKAN TAMBAHAN DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENJAMIN APABILA TERSANGKA ATAU TERDAKWA MELARIKAN DIRI DALAM MASA PENANGGUHAN PENAHANAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Dasar Hukum Penyampingan Perkara(Seponering) 1. Pengertian Penyampingan Perkara (Seponering)

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

BAB I PENDAHULUAN. penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Institusi

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEWENANGAN PENYIDIKAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. material. Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA

PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM BAP DI MUKA SIDANG PANGADILAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR)

HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DALAM PERJANJIAN KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING DI INDONESIA

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LESSEE DALAM HAL OBJEK LEASING MENGANDUNG CACAT TERSEMBUNYI

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

DASAR HUKUM KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MELARIKAN WANITA YANG BELUM CUKUP UMUR

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

KEKHUSUSAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ( MONEY LAUNDERING )

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

KEDUDUKAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

HAK UNTUK MELAKUKAN UPAYA HUKUM OLEH KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI

BAB III PENUTUP. maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

PENGATURAN MENGENAI PENGANGKATAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH SESEORANG YANG TIDAK KAWIN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

IMPLIKASI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 02 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. Mereka yang ingin mengadakan transaksi tidak harus bertemu face to face,

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam

Transkripsi:

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SIKAP KEJAKSAAN ATAS PELIMPAHAN BERKAS PERKARA OLEH PENYIDIK Oleh: I Gusti Ayu Intan Purnamaningrat I Gede Yusa Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This scientific papers written about the juridical review for the attitude of the Prosecutor's over the transfer case file by investigators. This scientific paper using the normative research methods combined statutory and fact approach. Delegation of the case file from the investigator to the Prosecutor's (public prosecutor) who suffered back and forth without any time limit given CODE of CRIMINAL PROCEDURE as well as listed in the decision of the Minister of Justice:No.: M.01.PW.07.03 1982 is a natural thing happens with the mechanism of the Act No. 8 of 1981 on Criminal Proceedings which focuses on the material truth.because in the science of law, the purpose of criminal law that is the truth of the material to protect the interests of the public, although it must ignore / expense of basic rights. Keywords:The transfer of the case file, the investigator, the public prosecutor, and the truth of the material. ABSTRAK Penulisan makalah ilmiah ini membahas tentang tinjauan yuridis terhadap sikap kejaksaan atas pelimpahan berkas perkara oleh penyidik. Makalah ilmiah ini menggunakan metode penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundangundangan dan pendekatan fakta. Pelimpahan berkas perkara dari penyidik ke kejaksaan (penuntut umum) yang mengalami bolak balik tanpa adanya batas waktu yang diberikan KUHAP seperti halnya tercantum dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW.07.03 Tahun 1982 adalah hal yang wajar terjadi dengan mekanisme Undang- Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang dimana menitikberatkan pada kebenaran materiil. Karena dalam ilmu hukum, tujuan hukum pidana yakni kebenaran materiil untuk melindungi kepentingan masyarakat walaupun harus mengabaikan/mengorbankan hak asasi seseorang. Kata Kunci: pelimpahan berkas perkara, penyidik, penuntut umum, dan kebenaran materiil. BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setelah lahirnya Orde Baru, terbukalah kesempatan yang lapang untuk membangun di segala segi kehidupan. Tidak ketinggalan pula pembangunan di bidang hukum. Puluhan undang-undang telah diciptakan terutama merupakan pengganti 1

peraturan warisan kolonial. Suatu undang-undang hukum acara pidana nasional yang modern sudah lama di dambakan semua orang. Dikehendaki hukum acara pidana yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dewasa ini yang sesuai dan selaras dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 1 Semenjak berlakunya KUHAP, dapat disebutkan lebih jauh bahwasanya mulai tanggal 31 Desember 1981 untuk ketentuan hukum acara pidana berlakulah secara tunggal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dan peraturan yang sebelumnya berlaku dinyatakan telah dicabut. 2 Dengan menjadikan KUHAP sebagai satu-satunya landasan hukum acara pidana maka segala tindak tanduk perangkat hukum diatur di dalamnya. Seperti halnya dalam pelimpahan perkara dari penyidik kepada penuntut umum dalam hal ini diartikan Kejaksaan sesuai dengan rumusan lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI. Dengan mengingat tidak adanya batasan waktu dalam pelimpahan perkara dari penyidik kepada penuntut umum (kejaksaan) maka terjadinya ketimpangan tujuan antara penyidik yang memerhatikan hak asasi manusia dari si pelaku dan tujuan dari penuntut umum yaitu melindungi kepentingan masyarakat secara umum. Maka penulis mengangkat permasalahan ini dalam suatu bentuk makalah ilmiah yang berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap Sikap Kejaksaan Atas Pelimpahan Berkas Perkara Oleh Penyidik. 1.2 TUJUAN Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sikap kejaksaan atas pelimpahan berkas perkara oleh penyidik yang ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW.07.03 Tahun 1982. II. ISI MAKALAH 2.1 METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang berdasarkan kaidah 59-60 1 Andi Hamzah, 2014, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 2 Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 40 2

atau norma dalam peraturan perundang-undangan. 3 Sedangkan jenis pendekatan yang dipergunakan yakni pendekatan perundang-undangan dan pendekatan fakta dengan menggunakan sumber bahan hukum primer yang terdiri dari berbagai peraturan perundang-undangan dan sumber hukum skunder yang terdiri dari buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan para ahli hukum yang telah masuk ke dalam media massa, kamus dan ensiklopedia hukum serta internet. 2.2 HASIL DAN PEMBAHASAN 2.2.1 SIKAP KEJAKSAAN ATAS PENYERAHAN PERKARA OLEH PENYIDIK Pelimpahan atau penyerahan berkas perkara dari penyidik terhadap penuntut umum diatur dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP. Pasal 8 ayat (2) berbunyi: Penyidik menyerahkan berkas kepada penuntut umum. Kemudian dalam Pasal 8 ayat (3) berbunyi: Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan : a. Pada tahap pertama hanya menyerahkan berkas perkara; b. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. Penjelasan resmi Pasal 8 KUHAP mencantumkan Cukup jelas. Akan tetapi, ternyata dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982, pada lampirannya, Bidang Penyidik, Bab III butir 4 dimuat penjelasannya lebih lanjut yang dihubungkan dengan Pasal 110 ayat (2) dan (3) KUHAP serta Pasal 138 ayat (2). Untuk jelasnya, perumusan lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tersebut adalah sebagai berikut. 4 Berdasarkan ketentuan pasal-pasal di atas, kemungkinan selalu terbuka timbulnya permasalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi, yaitu antara lain sebagai berikut: a. kembali berkas perkara secara timbal balik dari penyidik kepada penuntut umum atau sebaliknya, maka kemungkinan selalu bisa terjadi, bahwa atas dasar pendapat penuntut umum hasil penyidikan tambahan penyidik dinyatakan belum lengkap, 3 Amirruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta, h.118. 4 Ledeng Marpaung, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana, Di Kejaksaan & Pengadilan Negeri, Upaya Hukum & Eksekusi, Bagian Kedua, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h.1-2 3

berkas perkara bisa berlarut-larut, mondar mandir dari penyidik kedapa penuntut umum atau sebaliknya. 5 Jika ditinjau dari Pasal 110 KUHAP pada ayat (2) dan (3) terjadinya bolak balik berkas perkara dari penyidik kepada jaksa merupakan sesuatu umum yang terjadi dengan mekanisme KUHAP yang tidak memberikan batasan berapa kali berkas perkara tersebut dapat mengalami bolak balik. Sehingga penyidik harus mampu selalu memperbaiki berkas yang dirasa kurang lengkap oleh jaksa penuntut umum, hal ini dilandasi alasan yang kuat dari jaksa penuntut umum yang menginginkan agar tuntutannya kelak di muka siding peradilan dapat kuat dan tidak mudah digugurkan. Selanjutnya perlu diperhatikan rumusan lebih lanjut pada huruf a lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI di atas yakni menyatakan Keadaan demikian jelas tidak menguntungkan tersangka.. Karena tidak ada satu ketentuan yang memberikan batasan berapa kali dapat dikembalikan, tetapi apabila dikaitkan dengan tujuan hukum, yaitu dalam rangka pemberian perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi seseorang haruslah ada suatu criteria pembatasan.. Sehingga dengan demikian, baik secara hukum maupun atas dasar perlindungan dan jaminan hukum terhadap hak asasi manusia, tindakan pengembalian itu dapat dipertanggungjawabkan. 6 Rumusan tersebut diatas perlu ditelaah lagi karena telah sedikit menyimpangi tujuan dari hukum pidana materiil. Dalam perspektif ilmu hukum pidana yang materiil bertujuan untuk menjamin perlindungan terhadap masyarakat umum. Jadi dapat dilihat bahwa ketentuan lampiran diatas sangat condong terhadap jaminan perlindungan hak asasi manusia. Di satu sisi penyidik berpikir dari segi kerugian yang diamlami pelaku mengingat pelaku pun masih memiliki hak asasi manusia, namun disisi lain penuntut umum berpandangan dari segi kepentingan yang lebih besar yakni adalah kepentingan masyarakat umum. Bilamana untuk memenuhi rasa aman dan keadilan dalam masyarakat umum dibutuhkan adanya pengorbanan hak asasi dari seseorang maka hal ini diperbolehkan mengingat KUHAP dibentuk berdasarkan tujuan dari hukum pidana materiil yakni menjaga dan melindungi kepentingan masyarakat umum. Serta keadilan dalam masyarakat dapat terpenuhi karena yang dituju terlebih dahulu adalah pemain 5 Ibid, h. 2 6 Ibid, h. 4 4

utama (dader/madedader) barulah orang-orang sekitar yang terlibat dalam aksi kejahatan tersebut. III. KESIMPULAN Dari pembahasan di atas maka dapat ditelaah bahwa lampiran Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW.07.03 Tahun 1982 rumusannya telah mengandung suatu kekeliruan dalam perspektif penegakan hukum pidana materiil. Padahal untuk dapat menegakkan hukum pidana materiil yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat umum masih dimungkinkan dan diperkenankan untuk mengorbankan hak asasi manusia seseorang. Maka dari itu baik dari penyidik dan/ataupun penuntut umum harus tetap berpedoman dengan KUHAP sebagai suatu kodifikasi peratuan perundang-undangan Indonesia yang berpedoman terhadap tujuan hukum pidana materiil yaitu perlindungan terhadap kepentingan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Buku: Andi Hamzah, 2014, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Amirruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta. Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. Ledeng Marpaung, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana, Di Kejaksaan & Pengadilan Negeri, Upaya Hukum & Eksekusi, Bagian Kedua, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW.07.03 Tahun 1982. 5