SIARAN PERS ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN (AJI) TENTANG SIARAN TELEVISI DIGITAL

dokumen-dokumen yang mirip
KOALISI NASIONAL REFORMASI PENYIARAN

Peraturan organik untuk berbagai lembaga penyiaran terkait keberadaan LPPPS dan LPPPM adalah sebagai berikut:

2 tentang Tata Cara Perhitungan Tarif Sewa Saluran Siaran Pada Penyelenggaraan Penyiaran Multipleksing; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 19

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tent

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENYIARAN

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU TAHUN 2016 MEWUJUDKAN KPI PUSAT DAN KPI DAERAH SEBAGAI REGULATOR PENYIARAN YANG EFEKTIF

BERITA NEGARA. No.702, 2012 KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. Penyiaran Multipleksing. Penyelenggaraan.

KAJIAN HARMONISASI RUU PENYIARAN BADAN LEGISLASI DPR RI 2017

PERSYARATAN PENDIRIAN DAN PERIZINAN LPPL WORKSHOP PENYIARAN PERBATASAN

b. Zona-2 1) Izin Prinsip (Baru) Per Izin 1,315,000 2) Izin Tetap (Baru) Per tahun 927,000 3) Izin Perpanjangan Per tahun 1,190,000

UPAYA PEMAJUAN PENYELENGGARAAN PENYIARAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI RUU TENTANG PENYIARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

BERITA NEGARA. No.747, 2011 KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. Televisi Digital Terestrial. Penyelenggaraan.

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

RESUME PENYIARAN TV DIGITAL

BAB I PENDAHULUAN. makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa orang lain. Dalam kegiatan saling

BAB I PENDAHULUAN. Televisi sebagai salah satu media komunikasi massa adalah yang paling

PERKEMBANGAN HUKUM MEDIA DI INDONESIA. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur

Ketentuan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran terkait Haluan Dasar, Karakteristik Penyiaran, dan Prinsip Dasar Penyiaran di Indonesia

DAFTAR INFORMASI PUBLIK INFORMASI YANG WAJIB TERSEDIA SETIAP SAAT PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI RI TAHUN 2013

BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN

BAB I PENDAHULUAN. struktur organisasi negara, termasuk bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi lembaga

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, maupun komunikasi. Salah satu buah

PARTISIPASI PUBLIK DALAM PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. membawa kita ke dalam suatu perkembangan teknologi, dimana era globalisasi

Rilis Pers Bersama. Perppu Ormas Ancaman bagi Demokrasi dan Negara Hukum

Bahan Rapat Panja Harmonisasi Baleg, tanggal 30 Mei 2017

Selasa, 17 November 2009 HUBUNGAN NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI

RISALAH SIDANG PERKARA NO. 030/SKLN-IV/2006 DAN PERKARA 031/PUU-IV/2006

PEMERINTAH KABUPATEN TANAH BUMBU PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG

13. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika

BAB V PENUTUP. Internsip Dokter sebagai Social Engineering Pendistribusian Dokter di. Indonesia, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

LOGO KEMENTRIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA LAPORAN AKTIVITAS WORKING GROUP ON LICENSING

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN KOMUNITAS

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. Perubahan Data. Perizinan Penyiaran. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 08/P/M.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Pointers Hakim Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H.,M.S. Dalam Acara

Tahun Sidang : Masa Persidangan : II Rapat Ke : Hari/Tanggal : Rabu, 8 Desember 2010

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR TAHUN 2013 T E N T A N G

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

CRITICAL POINT DIGITALISASI PENYIARAN TERESTERIAL DI INDONESIA KOMISI PENYIARAN INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN BERLANGGANAN

1 of 10 3/17/2011 4:26 PM

S A L I N A N KEPUTUSAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA NOMOR 005/SK/KPI/5/2004 TENTANG

Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan

TEKNOLOGI & FREKUENSI PENYIARAN MUHAMMAD IRAWAN SAPUTRA, S.I.KOM., M.I.KOM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN BERLANGGANAN

KAJIAN SERTIFIKASI PADA PROFESI JURNALIS. Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1

Siaran Televisi Digital Indonesia Siap Dinikma5

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN BERLANGGANAN


CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana

RechtsVinding Online

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN KOMUNITAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN KOMUNITAS

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip dasar yang dideklarasikan dalam WSIS untuk mewujudkan masyarakat informasi antara lain diperlukannya peran pemerintah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA

REGULASI PENYIARAN DI INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK

Hukum dan Pers. Oleh Ade Armando. Seminar Nasional Mengurai Delik Pers Dalam RUU KUHP Hotel Sofyan Betawi, Kamis, 24 Agustus 2006

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

Pengaturan Tata Kelola Gas Bumi dalam UU Migas dan Kesesuaiannya dengan Konstitusi

BAB IV ANALISIS TENTANG KONSEP SYURA DALAM ISLAM ATAS PELAKSANAAN DEMOKRASI KONSTITUSIONAL DI INDONESIA MENURUT MAHFUD MD

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2012 TENTANG

SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN SWASTA

URGENSI MENYEGERAKAN PEMBAHASAN RUU KITAB HUKUM PEMILU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 17 Juli 2016; disetujui: 15 September 2016

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2016 TENTANG

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kritis dari teori Teun A. Van Dijk terhadap tayangan program paket berita jurnal

BERITA NEGARA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

BAB 3 STUDI KASUS MASYARAKAT PERS DAN PENYIARAN INDONESIA (MPPI) VS PT MEDIA NUSANTARA CITRA TBK (MNC)

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

REPUBLIK INDONESIA PERATURAN TENTANG MAHA ESA. non-teknis. Lembaran. Indonesia. Nomor 4252); Tambahan. Nomor 3981); Nomor 4485); Nomor 4566);

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi dan Reformasi Hukum

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Peran RelawanT dalam Mendukung Program Kementerian Kominfo

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN

Akankah Tahun Depan Tidak Ada Lagi RRI dan TVRI.?.

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan rasa kepedulian perusahaan terhadap lingkungan sosial yang ada di

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada

13 Alasan Untuk Merevisi. PerMenKominfo No: 01/PER/M.KOMINFO/01/2009

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan rating melalui program-program yang varatif dan kreatif, disisi lain

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG

Desain Tata Kelola Kelembagaan Hulu Migas Menuju Perubahan UU Migas Oleh: Wiwin Sri Rahyani * Naskah diterima: 13 April 2015; disetujui: 22 April 2015

VI. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. 1. TVRI Stasiun Sulawesi Tenggara sebagai televisi publik lokal dan Sindo TV

CATATAN KRITIS REVISI UNDANG-UNDANG MD3 Oleh : Aji Bagus Pramukti * Naskah diterima: 7 Maret 2018; disetujui: 9 Maret 2018

Transkripsi:

SIARAN PERS ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN (AJI) TENTANG SIARAN TELEVISI DIGITAL Latar Belakang Siaran televisi yang kita saksikan di Indonesia saat ini, secara teknis telekomunikasi, masih menggunakan teknologi analog. Di mana satu kanal frekuensi hanya bisa diisi oleh satu saluran program siaran. Secara sederhana, siaran televisi dengan teknologi analog memang dapat menjangkau lokasi-lokasi yang jauh, meski kualitas penerimaan gambar dan suaranya akan semakin turun. Dalam perkembangannya, dikenal pula teknologi digital. Dengan teknologi digital, hanya ada dua kemungkinan bagi penonton televisi: (1) bila ia menerima sinyal siaran, maka kualitas gambar dan suaranya jauh lebih baik, tapi (2) bila ia tidak menerima sinyal siaran, maka pesawat televisinya sama sekali tidak dapat menerima gambar atau suara apa pun. Berbeda dengan siaran analog yang masih dapat menerima gambar, meski kualitasnya buruk. Tapi yang lebih penting, di dalam teknologi analog, satu kanal frekuensi hanya bisa diisi satu saluran program siaran. Namun dengan digital, satu kanal frekuensi dapat digunakan oleh 6 hingga 12 saluran program siaran. Sehingga, secara teoritis, setelah pemberlakuan teknologi digital, akan ada sekitar 1.000 kanal siaran televisi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Kondisi ini, di atas kertas, seharusnya memungkinkan semakin beragamnya isi program siaran dan semakin banyaknya pemain dalam industri penyiaran. Tapi yang terjadi, menunjukkan gejala yang bertolak belakang dengan bayangan tersebut. Pemerintah Indonesia pernah menargetkan pada tahun 2018, seluruh siaran televisi akan bermigrasi dari analog ke digital (analog switch off). Karena itu, sejak 2007, pemerintah dan industri penyiaran (pemain-pemain lama) menyiapkan peta jalan (road map) untuk bermigrasi dari analog ke digital. Lalu dibuatlah Peraturan Menteri (Permen) Kominfo No. 22 tahun 2011 tentang penyelenggaraan siaran TV digital terestrial tak berbayar (free to air). Peraturan Menteri tersebut pada intinya: (1) Membagi industri penyiaran menjadi dua pemain, yakni penyelenggara multipleksing (penyedia infrastruktur siaran digital), dan penyelenggara isi siaran; (2) Membagi wilayah Indonesia dalam zona-zona siaran dan menyerahkan pengisian zona tersebut kepada pihak swasta dengan jaminan pemerintah (penyelenggara multipleksing); dan (3) Semua lembaga penyiaran (swasta) yang selama ini telah memperoleh izin di analog, otomatis mendapat izin siaran digital, meski tak semua lembaga penyiaran (swasta) dapat menjadi penyelenggara multipleksing. Dengan aturan tersebut, terjadilah apa yang dikhawatirkan oleh sebagian kalangan sebagai kelanjutan dari oligarki atau oligopoli media di era digital. Aturan tersebut meninggalkan sejumlah catatan yang patut dikritisi:

Pertama, penyelenggara multipleksing (penyedia infrastruktur) adalah lembaga penyiaran (swasta) yang selama ini telah mendominasi ranah analog alias pemain-pemain lama dengan skala bisnis swasta nasional. Pemerintah memang mewajib mereka menyediakan infrastruktur kepada lembaga-lembaga penyiaran yang berada di zona kerjanya dengan sistem sewa sesuai tarif yang juga ditentukan pemerintah. Kedua, namun penyedia infrastruktur (multipleksing) juga bisa bertindak sebagai pemain (lembaga yang memproduksi siaran), bersama lembaga penyiaran lain yang menyewa infrastuktur mereka. Ketiga, semua kanal digital yang jumlahnya lebih banyak daripada kanal analog ini, dapat diberikan oleh pemerintah kepada pemodal yang lebih siap atau pemenang tender, tanpa ada klausul tentang proteksi yang proposional untuk lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran lokal, lembaga penyiaran berjaringan, atau lembaga penyiaran komunitas. Keempat, dengan target switch off 2018, televisi komunitas yang minim modal, dipaksa menjadi digital dan harus menjadi penyewa infstruktur pada penyedia multipleksing (swasta nasional). Namun di saat yang sama, lembaga penyiaran komunitas dibatasi wilayah siar secara geografis. Kondisi ini tentu menyulut ketidakadilan. Kelima, televisi-televisi dengan modal lokal (dan bukan bagian dari jaringan swasta nasional yang berbendera lokal) pada faktanya tidak mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi penyelenggara multipleksing, sehingga mereka hanya ditempatkan sebagai penyewa yang harus membayar kepada pemain nasional. Keenam, semua aturan dalam Permen Kominfo 22/2011 tersebut, tidak memiliki dasar yuridis dalam Undang Undang Penyiaran 32/2002 yang belum memberikan dasar norma bagi diselenggarakannya siaran digital. Sehingga, belum lagi amanat UU Penyiaran yang memandatkan keberagaman isi siaran dan menghindari adanya pemusatan kepemilikan di ranah analog dijalankan, pemerintah hendak mengulang masalah yang sama di ranah digital. Karena itu, pada tahun 2013, Mahkamah Agung telah membatalkan Permen Kominfo 22/2011 karena tidak memiliki landasan yuridis atau sandaran Undang Undang. MA juga membatalkan klausul switch off tahun 2018, dan menganggap pembagian pemain menjadi penyelenggara multipleksing dan lembaga penyiaran tidak memiliki dasar hukum. Namun, putusan tersebut dijawab Kementrian Kominfo dengan menerbitkan beleid baru: Permen Kominfo 32/2013 yang secara substansi masih sama, dan hanya menghilangkan istilah-istilah teknis yang tidak terdapat dalam UU Penyiaran. Kemenkominfo juga menganggap putusan MA tidak berlaku surut, sehingga hasil-hasil tender di lima zona yang telah dikuasai swasta nasional, tetap diakui dan dilanjutkan.

Pandangan non-retroaktif atau tidak berlaku surut ini menuai kecaman, karena bagaimana mungkin sebuah beleid yang dinilai tidak memiliki landasan yuridis yang cukup dan telah dibatalkan, justru diteruskan implementasinya di lapangan. Di sisi lain, revisi UU Penyiaran yang mestinya bisa menjadi payung hukum yang mengatur tata cara migrasi siaran analog ke digital, belum tuntas, dan salah satu faktornya karena pemerintah tidak menyambut inisiatif DPR yang telah menyusun Rancangan UU Penyiaran yang lebih tegas dan lebih demokratis dalam menjamin keberagaman isi siaran dan keberagaman kepemilikan lembaga siaran. Diskusi Terfokus Dengan latar belakang tersebut, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebagai wadah bagi para pekerja media, menggelar diskusi terbatas pada hari Rabu. 26 Februari 2014 di Jakarta untuk membedah persoalan ini. Dalam forum tersebut, AJI mengundang berbagai pemangku kepentingan dalam dunia penyiaran seperti pemerintah, DPR, organisasi profesi, asosiasi pengusaha televisi, Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, dan para akademisi serta lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam isu-isu penyiaran dan informasi. Yang hadir dalam diskusi tersebut antara lain, Staf Ahli Kemenkominfo (Henri Subiakto), Komisi 1 DPR (Mahfudz Sidik), anggota KPI (Aziman Subagio), anggota Dewan Pers (Imam Wahyudi), pengamat dan akademisi (Paulus Wirutomo dan Amir Effendi Siregar), hingga wakil dari Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia/ATVJI (Santoso). Secara substansi, forum diskusi terbatas ini merangkum kembali diskursus dan polemik yang selama ini telah muncul di permukaan, seperti: 1. Pemerintah tetap dalam posisinya bahwa migrasi analog ke digital harus dilaksanakan, untuk mengantisipasi perkembangan teknologi dan untuk memaksimalkan penggunaan frekuensi untuk berbagai keperluan industri telekomunikasi. Dalam pelaksanaan tersebut, pemerintah tidak dapat menunggu proses politik di DPR, dalam hal ini amandemen UU Penyiaran, yang belum jelas kapan akan menghasilkan produk legislasi baru, mengingat, DPR periode 2009-2014 akan habis masa tugasnya, dan DPR periode mendatang belum tentu memasukkan isu penyiaran (digital) menjadi program legislasi nasional. 2. Pemerintah tetap menganggap, Permen 32/2013 yang baru, tidak bertentangan dengan putusan MA, dan semua tender yang telah dijalankan dan dimenangi oleh industri-industri penyiaran nasional, tetap sah dan berlaku karena putusan tersebut tidak bersifat retroaktif.

3. Wakil DPR beranggapan, pemerintah mengambil risiko besar menerapkan sebuah sistem penyiaran baru yang hanya bersandarkan pada aturan menteri yang dengan mudah dapat diganti bila pemerintahan berganti. Karena itu, DPR menegaskan bahwa tata kelola siaran digital (seperti halnya analog), harus diatur dalam Undang Undang sebagai bagian dari public policy mengingat frekuensi adalah sumber daya alam yang terbatas, dan menurut amanat konstitusi, harus dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 4. KPI menganggap pemerintah berjalan sendiri dalam mengatur tata kelola siaran digital, dan tidak melibatkan lembaganya, meski aturan perundangan mensyaratkan hal tersebut. 5. Penyelenggara televisi lokal dan jaringan beranggapan, dengan terbitnya beleid baru dari Kemenkominfo, meski aturan sebelumnya dibatalkan MA, pemerintah tetap bias kepentingan dan menguntungkan pemainpemain lama dalam industri penyiaran. 6. Dengan keputusan MA, seharusnya semua akibat dari terbitnya Permen Kominfo mengenai penyelenggara multipleksing dan lelang-lelang kanal digital yang notabene tetap dikuasai pemain-pemain lama di ranah analog, juga batal secara hukum dan tidak sah. 7. Adapun kalangan akademisi menyebut pemerintah melanjutkan oligopoli dan oligarki industri penyiaran di ranah digital dan semakin menjauhkan dari semangat keberagaman isi dan keragaman kepemilikan. 8. Permen Kominfo yang baru, tidak berubah secara substansi dan dianggap melecehkan keputusan Mahkamah Agung dengan tetap mempertahankan substansi yang tidak memiliki landasan yuridis di UU Penyiaran. 9. Tidak ada urgensi untuk bertindak buru-buru dalam migrasi dari analog ke digital, mengingat Indonesia bukan termasuk zona di dunia yang terikat dengan kesepakatan International Telecomunication Union (ITU). Sehingga, inisiatif pemerintah (Kominfo) yang mengabaikan norma dan landasan yuridis dalam mengatur tata kelola televisi digital, dinilai terkesan mengejar setoran. Setelah mengikuti dan terlibat dalam diskusi dengan mengundang multistakeholder tersebut, AJI merumuskan sikap sebagai berikut: 1. Migrasi dari siaran televisi analog ke digital harus dianggap sebagai momentum menata ulang distribusi frekuensi yang sejak kekuasaan otoriter Orde Baru, dibagi-bagi kepada kroni dan lalu diperjualbelikan begitu saja di antara sesama pemodal besar. 2. Migrasi dari siaran analog ke digital harus menjamin peningkatan kualitas isi siaran yang lebih kreatif dan bermanfaat bagi publik dengan

memberikan jaminan dan proteksi kepada lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran (modal) lokal, dan penyiaran komunitas, serta tidak menyerahkan distribusi kanal kepada mekanisme pasar. 3. Migrasi analog ke digital harus memunculkan pemain-pemain (lokal) baru dan tidak boleh melanjutkan dan melanggengkan oligopoli atau pemusatan kepemilikan di tangan segelintir orang atau kelompok usaha (nasional), hanya semata-mata karena kesiapan modal dan infrastruktur. 4. Distribusi kanal digital harus dilakukan secara bertahap sesuai skala ekonomi sebuah daerah dan harus dibarengi dengan syarat yang ketat tentang keragaman isi siaran dan konsistensi isi siaran sebagaimana yang diajukan melalui proposal program dari lembaga penyelenggara siaran. 5. Distribusi kanal digital harus mempertimbangkan reputasi para pemegang izin frekuensi di era analog. Mereka yang terbukti kerap menyalahgunakan frekuensi publik untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan, tidak patut mendapatkan mandat untuk mengelola domain publik. 6. Pemerintah dan DPR harus segera melakukan revisi UU Penyiaran, karena selain perlu mengatur tentang tata kelola siaran televisi digital, amandemen juga diperlukan untuk mempertegas mandat pentingnya keberagaman isi dan kepemilikan, serta memperkuat lembaga pengawasan dan perlindungan bagi publik. Jakarta, 26 Februari 2014