BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara anatomi, sendi glenohumeral dibentuk oleh fossa glenoidalis

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. integrasi penuh dari sistem tubuh. Munculnya beberapa keluhan juga sering

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya untuk memajukan bangsa dan negara didukung oleh. kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta faktor ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. untuk hiduplebih maju mengikuti perkembangan tersebut. Untuk memenuhi tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. trauma, over use, repetitive injury, operasi pada sendi, hypertiroidisme,

BAB I PENDAHULUAN. itu gerak dan fungsi dari sendi bahu harus dijaga kesehatannya. tersebut, salah satu diantaranya adalah frozen shoulder.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional dewasa ini meliputi seluruh aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai pada usia di bawah 40 dan 65 tahun. Frozen shoulder sering dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat di suatu

BAB I PENDAHULUAN. dan tugas-tugasnya dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. sendi bahu dan mengakibatkan gangguan aktivitas fungsional.

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh umur, psikis dan keadaan lingkungan sosial individu. Banyak. terhadap gerak dan fungsi tubuh. (Depkes RI, 1999).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS. 4 kg, sedangkan untuk kelas junior putra 5 kg dan putri 3 kg.

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 6,7% hingga 66,7%. Keluhan tentang keluhan bahu juga sering terjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam melakukan aktivitasnya sehari hari manusia harus bergerak,

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS CAPSULITIVE ADHESIVA SINISTRA DI RSUD SALATIGA

NASKAH PUBLIKASI PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA POST DISLOKASI SHOULDER DEXTRA DI RSUD SUKOHARJO

Oleh: NURUL SAKINAH J KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. dan perlu mendapat perhatian adalah masalah kesehatan. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. fungsional. Banyak faktor yang dapat menimbulkan gangguan aktifitas

DEPARTEMEN ANATOMI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu dan teknologi pada zaman modern ini sangat. perlu melakukan sesuatu yang terlalu membebankan tubuh dan anggota

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk yang dinamis, dimana pada hakekatnya selalu

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERBEDAAN PENGARUH INTERVENSI SHORT WAVE DIATHERMY DAN TERAPI MANIPULASI DENGAN SHORT WAVE DIATHERMY DAN LATIHAN PENDULUM

MOBILISASI SHOULDER GIRDLE

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI FROZEN SHOULDER CAPSULITIS ADHESIVE DEXTRA DI RST DR. SOEDJONO MAGELANG

BAB l PENDAHULUAN. gerakannya, dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan aktifitas atau

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga ikut mempengaruhi. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering jumpai seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. maka setiap warga Indonesia berhak memperoleh derajat sehat yang setinggitingginya

NASKAH PUBLIKASI STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PEMBERIAN TRAKSI OSCILASI PADA PASIEN DENGAN FROZEN SHOULDER

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Sindroma miofasial adalah kumpulan gejala dan tanda dari satu atau

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam memasuki era globalisasi, khususnya di bidang kesehatan semakin

BAB I PENDAHULUAN. tubuh secara biologis maupun psikologis sehat, dalam arti bahwa tubuh dapat

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan perilaku hidup sehat, sehingga tuntunan masyarakat akan layanan

Oleh: ARIF FI AM J KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk hidup, salah satu ciri makhluk hidup. dan fungsi dari sendi bahu harus dijaga kesehatannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA CAPSULITIS ADHESIVA DEXTRA DI RUMKITAL dr. RAMELAN SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sumber daya manusia/human Development Index. disamping faktor pendidikan dan pendapatan (Depkes RI, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin maju, berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Insidens Dislokasi sendi panggul umumnya ditemukan pada umur di bawah usia 5 tahun. Lebih banyak pada anak laki-laki daripada anak perempuan.

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas sehari- hari, beradaptasi dan berkontribusi di lingkungan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. barang, mencuci, ataupun aktivitas pertukangan dapat mengakibatkan

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS TENDINITIS BICIPITALIS SINISTRA DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. paling umum. Sebagian besar cedera pada tangan merupakan cedera

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tingkat derajad kesehatan masyarakat secara makro. Berbagai

BAB I PENDAHULUAN. umum dan untuk mencapai tujuan tersebut bangsa Indonesia melakukan

Teksbook reading. Tessa Rulianty (Hal 71-80)

BAB I PENDAHULUAN. Manusia setiap hari melakukan gerakan untuk melakukan suatu tujuan

NASKAH PUBLIKASI. Disusun oleh: AYUDIA SEKAR PUTRI J

SHOULDER INJURY. Disusun oleh : : Arius Suwondo : 07/250602/KU/12185

KARYA TULIS ILMIAH PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI TENDINITIS SUPRASPINATUS DEXTRA DI RS. AL. DR. RAMELAN SURABAYA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. gerak: nyeri cukup berat, sedangkan pada terapi ke-6 didapatkan hasil bahwa

Latihan Aktif Dan Pasif / Range Of Motion (ROM) Pada Pasien. Stroke Non Hemoragik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di zaman globalisasi sekarang ini, ilmu pengetahuan dan teknologi

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS FROZEN SHOULDER E.C CAPSULITIS ADHESIVA SINISTRA DI RST. dr. SOEDJONO MAGELANG

ANATOMI HUMERUS DAN FEMUR

BAB I PENDAHULUAN. hidup produktif secara sosial dan ekonomis. individu untuk memenuhi kebutuhan gerak yang fungsional dalam

BAB I PENDAHULUAN. nyeri tak tertahankan, mempengaruhi tangan, punggung, leher, lengan, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi seperti saat ini, setiap orang dituntut untuk dapat

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA CAPSULITIS ADHESIVA DEXTRA DI RST DR SOEDJONO MAGELANG


BAB 1 PENDAHULUAN. serta bidang kesehatan. Setiap orang yang hidup baik usia produktif maupun

GANGGUAN MANSET ROTATOR SENDI BAHU Suatu tinjauan anatomik

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Diploma III pada Jurusan Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, dimana harus mempunyai kemampuan fungsi yang optimal

BAB III PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI. dilakukan pada tanggal 5 Februari 2016 secara auto anamnesis yaitu

BAB I PENDAHULUAN. optimal untuk dapat berinteraksi atau beradaptasi dengan lingkungannya. Hal

BAB I PENDAHULUAN. lain olahraga dan pekerjaan maupun aktivitas sehari-hari. Dalam olahraga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Hasil Evaluasi Nyeri Tekan Menggunakan Skala VDS

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perubahan ini terjadi sejak awal kehidupan sampai lanjut usia pada

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS FROZEN SHOULDER AKIBAT CAPSULITIS ADHESIVA SINISTRA DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. melakukan segala aktifitas dalam kehidupan sehari-hari nya. Sehat adalah

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA TENDINITIS SUPRASPINATUS DEXTRA DI RSUD SRAGEN

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran sehingga dapat memperbaiki kualitas kesehatan para penduduk

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI CAPSULITIS ADHESIVA DEXTRA DENGAN MODALITAS SHORT WAVE DIATHERMI DAN TERAPI LATIHAN DI RSUD SRAGEN

dengan processus spinosus berfungsi sebagai tuas untuk otot-otot dan ligamenligamen

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu gerak yang merupakan kebutuhan dasar manusia untuk beraktivitas

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI FROZEN SHOULDER SINISTRA DI RSUD SRAGEN

PENGARUH PENAMBAHAN KINESIO TAPING

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS FRACTURE CAPUT HUMERI DISERTAI DISLOKASI SHOULDER DEXTRA DENGAN MODALITAS INFRA RED DAN TERAPI LATIHAN

PENGARUH TERAPI MANIPULASI TERHADAP PENINGKATAN LINGKUP GERAK SENDI BAHU PADA FROZEN SHOULDER. DI RST dr. SOEDJONO MAGELANG NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. sehingga menghambat aktivitas kegiatan sehari-hari, di Jerman persentase

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. derajat kesehatan masyarakat yang optimal sesuai dengan Undang-Undang No. 23

BAB I PENDAHULUAN. sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Olahraga merupakan kebutuhan yang tidak asing lagi.

BAB I PENDAHULUAN. kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang sangat banyak. cidera atau gangguan sendi yang cukup besar. (Kuntono 2003).

BAB I PENDAHULUAN. merupakan keadaan dinamis dan dapat ditingkatkan sehingga manusia dapat

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS FROZEN SHOULDER SINISTRA AKIBAT CAPSULITIS ADHESIVE DI RSUD Dr. HARJONO PONOROGO

BAB I PENDAHULUAN. Cita cita bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam. pembukaan Undang Undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa

MODUL PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGUKURAN FISIOTERAPI. Topik : Pengukuran Lingkup Gerak Sendi Siku (Elbow Joint)

MODUL PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGUKURAN FISIOTERAPI. Topik : Pengukuran Lingkup Gerak Sendi Bahu (Shoulder Joint) Tim Penyusun :

BAB 1 PENDAHULUAN. kebutuhan tersebut manusia melakukan macam aktivitas. Aktivitas yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. jaman. Termasuk ilmu tentang kesehatan yang di dalamnya mencakup. manusia. Selama manusia hidup tidak pernah berhenti menggunakan

HUBUNGAN ANTARA AKTIVITAS BERMAIN BULUTANGKIS DENGAN KECENDERUNGAN TERKENA TENNIS ELBOW DI GOR BULUTANGKIS DIRGANTARA KARTASURA

acromion yang panjang dengan permukaan yang kasar. Penjuluran ini berfungsi sebagai tuas saat os scapula melakukan gerakan perputaran dan melempar

KEJADIAN NYERI BAHU PADA OLAHRAGAWAN BULUTANGKIS PUTRA DI PERSATUAN BULUTANGKIS TAMA TARAMAN YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. lingkup perkantoran biasanya sudah dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas serta

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Fungsional Secara anatomi, sendi glenohumeral dibentuk oleh fossa glenoidalis scapulae dan caput humeri. Fossa glenoidalis scapulae berperan sebagai mangkuk sendi glenohumeral yang terletak di anterosuperior angulus scapulae yaitu pertengahan antara acromion dan processus cocacoideus (Porterfield & De rosa, 2004). Sedangkan caput humeri berperan sebagai kepala sendi yang berbentuk bola dengan diameter 3 cm dan menghadap ke superior, medial, dan posterior. Berdasarkan bentuk permukaan tulang pembentuknya, sendi glenohumeral termasuk dalam tipe ball and socket joint. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.1 berikut ini. Gambar 2.1 Struktur Bagian Dalam Sendi Bahu Dilihat dari Anterior (Pubz, 2002) 9

10 Sudut bulatan caput humeri 180, sedangkan sudut cekungan fossa glenoidalis scapulae hanya 160, sehingga 2/3 permukaan caput humeri tidak dilingkupi oleh fossa glenoidalis scapulae. Hal ini mengakibatkan sendi glenohumeral tidak stabil. Oleh karena itu, stabilitasnya dipertahankan oleh stabilisator yang berupa ligamen, otot, dan kapsul (Porterfield & De rosa, 2004). Ligamen pada sendi glenohumeral antara lain ligament coracohumeral dan ligament glenohumeral. Ligament coracohumeral terbagi menjadi 2, berjalan dari processus coracoideus samapai tuberculum mayor humeri dan tuberculum minor humeri. Sedangkan ligament glenohumeral terbagi menjadi 3 yaitu : (1) superior band yang berjalan dari tepi atas fossa glenoidalis scapulae sampai caput humeri, (2) middle band yang berjalan dari tepi atas fossa glenoidalis scapulae sampai ke depan humeri, (3) inferior band yang berjalan menyilang dari tepi depan fossa glenoidalis scapulae sampai bawah caput humeri (Porterfield & De rosa, 2004). Gambar 2.2 Struktur Sendi Bahu dilihat dari anterior (Pubz, 2002)

11 Kapsul sendi merupakan pembungkus sendi yang berasal dari fossa glenoidalis scapulae sampai collum anatomicum humeri. Kapsul sendi dibagi menjadi dua lapisan yaitu : kapsul synovial dan kapsul fibrosa (Neumann, 2002). 1. Kapsul synovial (lapisan dalam) Kapsul synovial mempunyai jaringan fibrocolagen agak lunak dan tidak memiliki saraf reseptor dan pembuluh darah. Fungsinya menghasilkan cairan synovial dan sebagai transformator makanan ke tulang rawan sendi (Suharto, 1999). Cairan synovial normalnya bening, tidak berwarna, dan jumlahnya ada pada tiap-tiap sendi antar 1 sampai 3 ml (Price & Wilson, 1994). 2. Kapsul fibrosa (lapisan luar) Kapsul fibrosa berupa jaringan fibrous keras yang memiliki saraf reseptor dan pembuluh darah. Fungsinya memelihara posisi dan stabilitas sendi regenerasi kapsul sendi (Neumann, 2002). Otot-otot pembungkus sendi glenohumeral terdiri dari m. supraspinatus, m. infraspinatus, m. teres minor dan m.subscapularis (Snell, 2000). a. m. Supraspinatus m. supraspinatus berorigo di fossa supraspinatus scapulae, berinsertio di bagian atas tuberculum mayor humeri dan capsula articulation humeri dan disarafi oleh n. suprascapularis. Fungsi otot ini adalah membantu m.deltoideus melakukan abduksi bahu dengan memfiksasi caput humeri pada fossa glenoidalis scapulae.

12 b. m. Infraspinatus m. infraspinatus berorigo di fossa infraspinata scapulae, berinsertio di bagian tengah tuberculum mayor humeri dan capsula articulation humeri dan disarafi oleh n. suprascapularis. Fungsi otot ini adalah melakukan eksorotasi bahu dan menstabilkan articulation. c. m. Teres minor m. Teres minor berorigo di 2/3 bawah pinggir lateral scapulae berinsertio di bagian bawah tuberculum mayor humeri dan capsula articulation humeri dan disarafi oleh cabang n. axillais. Otot ini berfungsi melakukan eksorotasi bahu dan menstabilakan articulation humeri. d. m. Subscapularis m. subscapularis berorigo di fossa subscapularis pada permukaan anterior scapula dan berinsersio di tuberculum minor humeri yang disarafi oleh n. subscapularis superior dan inferior serta cabang fasciculus posterior plexus brachialis. Fungsi otot ini adalah melakukan endorotasi bahu dan membantu menstabilkan sendi yang dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut ini.

13 Gambar 2.3 Otot Penggerak Sendi Bahu (Pubz, 2002) Sendi glenohumeral memiliki beberapa karakteristik, antara lain : (1) perbandingan antara mangkok sendi dan kepala sendi tidak sebanding, (2) kapsul sendinya relatif lemah, (3) otot-otot pembungkus sendi relatif lemah, (4) gerakanya paling luas, (5) stabilitas sendi relatif kurang stabil (Suharto, 1999). Gerakan yang dapat dilakukan oleh sendi glenohumeral antara lain fleksi, ekstensi, abduksi, eksorotasi, endorotasi, dan sirkumduksi (Snell, 2000). 2.2 Frozen Shoulder 2.2.1 Definisi Frozen shoulder adalah kekakuan sendi glenohumeral yang diakibatkan oleh elemen jaringan non-kontraktil atau gabungan antara jaringan non-kontraktil dan kontraktil yang mengalami fibroplasia. Baik gerakan pasif maupun aktif terbatas

14 dan nyeri. Pada gerakan pasif, mobilitas terbatas pada pola kapsular yaitu rotasi eksternal paling terbatas, diikuti dengan abduksi dan rotasi internal (Hand et al., 2007; Uhthoff & Boileau, 2007). Frozen shoulder adalah semua gangguan pada sendi bahu yang menimbulkan nyeri dan keterbatasan luas gerak sendi (Kuntono, 2004). Dari definisi frozen shoulder yang dijelaskan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa frozen shoulder adalah gangguan pada sendi bahu yang dapat menimbulkan nyeri di sekitar sendi bahu dan selalu menimbulkan keterbatasan gerak sendi ke semua arah gerakan sehingga akan menimbulkan terjadinya permasalahan baik permasalahan fisik maupun penurunan aktivitas fungsional. 2.2.2 Etiologi Frozen shoulder merupakan sindroma yang ditandai dengan adanya keterbatasan gerak idiopatik pada bahu yang biasanya menimbulkan rasa nyeri pada fase awal. Sebab-sebab sekunder meliputi perubahan stuktur pendukung dari dan sekitar sendi bahu dan penyakit endokrin atau penyakit sistemik yang lain (Siegel,et al, 2005). Faktor etiologi frozen shoulder antara lain : a. Usia dan Jenis kelamin Frozen shoulder paling sering terjadi pada orang berusia 40-60 tahun dan biasanya wanita lebih banyak terkena dari pada pria.

15 b. Gangguan endokrin Penderita diabetes mellitus beresiko tinggi terkena, gangguan endokrin yang lain misalnya masalah thyroid dapat pula mencetuskan kondisi ini (Donatelli, 2004). c. Trauma sendi Pasien yang memiliki riwayat pernah mengalami cedera pada sendi bahu atau menjalani operasi bahu (seperti tendinitis bicipitalis, inflamasi rotator cuff, fraktur) dan disertai imobilisasi sendi bahu dalam waktu yang lama akan beresiko tinggi mengalami frozen shoulder (Donatelli, 2004) d. Kondisi sistemik Beberapa kondisi sistemik seperti penyakit jantung dan Parkinson dapat meningkatkan resiko terjadinya frozen shoulder (Donatelli, 2004). e. Aktivitas Beberapa kegiatan umum termasuk latihan beban, olahraga aerobik, menari, golf, renang, permainan raket seperti tenis dan badminton, dan olahraga melempar, bahkan panjat tebing telah diminati banyak orang. Orang lainnya ada juga yang meluangkan waktu untuk belajar dan bermain alat musik. Semua kegiatan ini dapat menuntut kerja yang luar biasa pada otot dan jaringan ikat pada sendi bahu. Demikian pula, diperlukan berbagai lingkup gerak sendi dan penggunaan otot tubuh bagian atas dan bahu yang sangat spesifik dan tepat untuk setiap kegiatan. Akibat dari peningkatan jumlah individu dari segala usia terlibat dalam berbagai kegiatan tersebut, gangguan sendi bahu seperti frozen shoulder sekarang muncul dengan frekuensi yang lebih besar (Porterfield & De rosa, 2004).

16 2.2.3 Patologi Perubahan patologi yang merupakan respon terhadap rusaknya jaringan lokal berupa inflamasi pada membran synovial, menyebabkan perlengketan pada kapsul sendi dan terjadi peningkatan viskositas cairan synovial sendi glenohumeral dan selanjutnya kapsul sendi glenohumeral menyempit. Frozen shoulder atau sering juga disebut capsulitis adhesive umumnya akan melewati proses yang terdiri dari beberapa fase yaitu, Fase nyeri (Painful): Berlangsung antara 0-3 bulan. Pasien mengalami nyeri spontan yang seringkali parah dan mengganggu tidur. Pasien takut menggerakkan bahunya sehingga menambah kekakuan. Pada akhir fase ini, volume kapsul glenohumeral secara signifikan berkurang. Fase kaku (Freezing): Berlangsung antara 4-12 bulan. Fase ini ditandai dengan hyperplasia sinovial disertai proliferasi fibroblastik pada kapsul sendi glenohumeralis. Rasa sakit seringkali diikuti dengan fase kaku. Fase beku (frozen): Berlangsung antara 9-15 bulan. Di fase ini patofisiologi sinovial mulai mereda/membaik tetapi adesi terjadi dalam kapsul diikuti penurunan volume intra-articular dan kapsul sendi. Pasien mengalami keterbatasan lingkup gerak sendi dalam pola kapsuler yaitu rotasi eksternal paling terbatas, diikuti dengan abduksi dan rotasi internal. Fase mencair (Thawing Phase): Fase ini berlangsung antara 15-24 bulan. Fase akhir ini digambarkan sebagai mencair ditandai dengan kembalinya ROM secara berangsur-angsur (Hannafin & Chiaia, 2000).

17 Cedera teringan terjadinya frozen shoulder adalah jenis gesekan yang dapat menyebabkan reaksi radang lokal maupun tendinitis. Penyakit ini biasanya sembuh dengan sendirinya, tetapi bila disertai dengan impairment yang lebih lama dan terutama pada orang tua dapat terjadi kerobekan kecil, ini dapat diikuti dengan pembentukan jaringan parut, metaplasia, fibrikartilaginosa maupun pengapuran tendon. Penyembuhan disertai dengan reaksi vaskuler dan kongesti lokal yang menyebabkan rasa nyeri dan menyebabkan kelainan lebih lanjut (Apley, 1993). Rasa sakit dari daerah bahu sering menghambat pasien frozen shoulder dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari (ADL) dan ini adalah salah satu alasan penurunan kekuatan dan ketahanan otot bahu ( Sandor & Brone, 2000). Karena stabilitas glenohumeral sebagian besar oleh sistem muscolotendinogen, maka gangguan pada otot-otot bahu tersebut akan menyebabkan nyeri dan menurunya mobilitas sendi sehingga mengakibatkan keterbatasan luas gerak sendi yang berakibat pada penurunan aktivitas fungsional (Donatelli, 2004). 2.2.4 Klasifikasi Frozen shoulder dibagi menjadi dua tipe berdasarkan patologinya yaitu: primer atau idiopatik frozen shoulder dan sekunder frozen shoulder (Siegel et al., 1999). Primer atau idiopatik frozen shoulder yaitu frozen shoulder yang tidak diketahui penyababnya. Frozen shoulder lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria terutama pada usia lebih dari 45 tahun. Frozen shoulder biasanya terjadi pada lengan yang tidak dominan dan lebih sering terjadi pada orang yang bekerja dengan gerakan bahu yang sama secara berulang-ulang. Sekunder frozen

18 shoulder yaitu frozen shoulder yang terjadi setelah trauma berarti pada bahu misalnya fraktur, dislokasi, dan luka bakar yang berat. Meskipun trauma terjadi beberapa tahun sebelumnya (Siegel et al., 1999). Frozen shoulder sekunder dibagi menjadi 3 subkategori berdasarkan hubungannya dengan penyakit lain : Intrinsik, ekstrinsik dan sistemik (Jurgel et al., 2005; Kelley et al., 2009). Intrinsik, merupakan keterbatasan gerak aktif maupun pasif ROM yang disebabkan oleh gangguan pada otot-otot rotator cuff (seperti tendinitis, ruptur parsial atau penuh), tendonitis otot-otot biceps, atau kalsifikasi tendinitis (pada kasus kalsifikasi tendonitis, temuan radiografi yang diterima termasuk deposit kalsifikasi di dalam ruang subacromial/tendon-tendon rotator cuff). Ekstrinsik, merupakan keterbatasan gerak aktif maupun pasif lingkup gerak sendi yang diketahui disebabkan oleh faktor yang berada di luar bahu yang mempengaruhi gerakan bahu, sebagai contoh: keterbatasan gerak bahu sehubungan dengan post operasi kanker payudara ipsilateral, cervical radikulopati, tumor thorax, akibat kecelakaan cerebrovascular, atau factor ekstrinsik yang lebih lokal seperti: fraktur shaft humeri, abnormalitas sendi scapulothoracal, arthritis sendi acromioclavicular dan fraktur clavicula. Sistemik, merupakan keterbatasan gerak yang disebabkan gangguan sistemik, tetapi tidak terbatas pada diabetes mellitus, juga hyper/hypothyroidism, hypoadrenalism, atau kondisi-kondisi lain yang mempunyai hubungan dengan perkembangan frozen shoulder (Brotzman & Manske, 2011; Zuckerman & Rokito, 2011).

19 2.2.5 Tanda dan Gejala Frozen shoulder ditandai dengan adanya keterbatasan LGS glenohumeral yang nyata, baik gerakan aktif maupun gerakan pasif. Nyeri dirasakan pada daerah m. Deltoideus. Bila terjadi pada malam hari sering sampai menggangu tidur. Sifat keterbatasan meliputi pola kapsuler yaitu keterbataan gerak sendi yang spesifik mengikuti struktur kapsul sendi. Sendi bahu mengikuti keterbatasan yang paling terbatas yaitu eksoritasi, endorotasi, dan abduksi (Kuntono, 2004). Tanda dan gejala frozen shoulder adalah nyeri terutama ketika meraih ke belakang dan elevasi bahu dan rasa tidak nyaman biasanya dirasakan pada daerah anterolateral bahu dan lengan (Sheon et al., 1996). Tanda dan gejala lainnya frozen shoulder biasanya tidak terlihat kecuali sedikit pengecilan otot dan mungkin juga terdapat rasa nyeri, tetapi gerakan selalu terbatas. Pada kasus yang berat bahu sangat kaku (Apley & Solomon, 1995). Pada kasus ini, nyeri yang terletak di anterolateral sendi dan menyebar ke bagian anterior lengan atas, kadang-kadang juga ke bagian fleksor lengan bawah. Rasa tidak nyaman memburuk pada malam hari dan biasanya mengganggu tidur. Tenderness terjadi di sekitar caput humeri dan sulcus bicipitalis. Gerakan pasif maupun aktif terbatas pada semua arah gerakan, nyeri muncul pada gerak ekstrim. Pada stadium akut, spasme otot terlihat pada semua otot di sekitar bahu (Turek, 1997). Dari gejala dan tanda tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa gejala dan tanda yang khas dari frozen shoulder adalah nyeri, kekakuan, keterbatasan pada luas gerak sendi bahu. Kadang-kadang disertai dengan penurunan kekuatan otot

20 sekitar bahu dan penurunan kemampuan aktivitas fungsional karena tidak digunakan (Kenny, 2006). 2.2.6 Activities limitation Masalah aktivitas yang sering ditemukan pada penderita frozen shoulder adalah tidak mampu menyisir rambut; kesulitan dalam berpakaian; kesulitan memakai breastholder (BH) bagi wanita; mengambil dan memasukkan dompet di saku belakang; gerakan-gerakan lainnya yang melibatkan sendi bahu (Jurgel et al., 2005; Kelley et al., 2009; Hsu et al., 2011). Karena stabilitas glenohumeral sebagian besar oleh sistem muscolotendinogen, maka gangguan pada otot-otot bahu tersebut akan menyebabkan nyeri dan menurunnya mobilitas sendi sehingga mengakibatkan keterbatasan luas gerak sendi yang berakibat pada penurunan aktivitas fungsional (Donatelli, 2004) seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.4 berikut. Gambar 2.4 Beberapa keterbatasan gerak fungsional sendi bahu (Yang, 2006).

21 2.3 Terapi Manipulasi Terapi manipulasi merupakan teknik terapi yang digunakan pada gangguan sendi dan jaringan lunak terkait dan salah satu metode penanganan yang utama adalah mobilisasi meliputi mobilisasi sendi dan jaringan lunak yang dalam praktek kedua tehnik ini selalu digabungkan (Kaltenborn, 2011). Mobilisasi sendi bahu di sini akan dibahas tentang mobilisasi artikuler yang berkaitan dengan mekanisme joint play movement yaitu roll gliding dan traksi serta kompresi. Roll gliding adalah kombinasi antara gerakan rolling dan gliding yang hanya bisa terjadi pada permukaan sendi lengkung yang tidak kongruen. Rolling adalah gerakan permukaan sendi bilamana perubahan jarak titik kontak pada satu permukaan sendi sama besarnya dengan perubahan jarak titik kontak pada permukaan sendi lawannya. Sedangkan gliding adalah gerakan permukaan sendi dimana hanya ada satu titik kontak pada satu permukaan sendi yang selalu kontak dengan titik-titik kontak yang baru (selalu berubah) (Syatibi, 2002).

22 Gambar 2.5 Rolling dan Gliding sendi glenohumereal tampak superior (Chai, 2004) Traksi adalah gerakan translasi tulang yang arahnya tegak lurus dan menjauhi bidang terapi. Sedangkan kompresi adalah gerakan translasi tegak lurus terhadap arah bidang terapi, dan kedua permukaan sendi saling mendekat atau menekan (Syatibi, 2002). 1. Arah gliding dan traksi Arah gerakan gliding dapat disimpulkan menggunakan hukum konkafkonvek. Jika permukaan konkaf bergerak, arah gliding searah dengan gerakan tulang,. Jika permukaan sendi konvek bergerak, maka gliding dan gerakan tulang berlawanan arah (Kaltenborn, 2011). Sendi glenohumeral secara anatomi dan secara mekanik merupakan sendi dengan tiga aksis. Permukaan konvek dimiliki oleh caput humeri dari articulation

23 humeri dan permukaan konkaf dimiliki oleh scapula (cavitas glenoidalis) (Kaltenborn, 1989). Sesuai dengan hukum konkaf-konvek maka arah gliding pada sendi bahu yaitu : (1) ke arah kaudal, untuk memperbaiki gerakan abduksi, (2) arah postero lateral, untuk memperbaiki endorotasi, (3) arah antero medial, untuk memperbaiki eksorotasi (Syatibi, 2002). 2. Indikasi traksi dan gliding Pemeriksaan yang teliti pada setiap pasien perlu dilakukan untuk mengetahui sumber dari tanda dan gejala yang dialami pasien dalam aktivitas fungsionalnya. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan gerakan osteokinematika dan artrokinematika untuk menentukan problem yang tepat dari jaringan spesifik. Hal ini untuk menyusun strategi dan dosis terapi. Maitland mengembangkan empat Grade (Grade I, II, III, IV) mobilisasi sendi dan Grade V disebut thrust manipulations. Grade berdasarkan pembagian Maitland teridiri dari: Grade 1, slow amplitude kecil, permulaan gerakan; Grade II slow, amplitudo lebih besarkapsul mengalami regangan tapi belum limit; Grade III slow, amplitudo lebih besar, kapsul mengalami tegang dan pada batas limit; Grade IV slow, amplitude lebih kecil, kapsul mengalami teregang dan batas limit; Grade V amplitudo kecil thrust. Grade I dan II disebut Low Grade berfungsi untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan lubrikasi pada sendi. Grade III dan IV disebut juga High Grade terutama berfungsi untuk peregangan peri articular tissue (Edmond, 2006).

24 3. Untuk gerakan terapi manipulasi sendi bahu adalah : a. Traksi latero-ventro-cranial Pasien diposisikan tidur telentang dan terapis berdiri di sisi bagian yang diterapi. Scapula difiksasi oleh berat tubuh pasien. Apabila memungkinkan dapat difiksasi menggunakan sabuk. Kedua tangan terapis memegang humeri sedekat mungkin dengan sendi, kemudian melakukan traksi ke arah latero-ventro-cranial. Lengan bawah pasien relaks disangga lengan bawah terapis. Lengan bawah terapis yang berlainan sisi mengarahkan gerakan (Syatibi, 2002). Traksi dipertahankan selam tujuh detik, diulangi sebanyak delapan kali dengan Grade III dan IV. b. Gliding ke caudal untuk memperbaiki gerak abduksi sendi bahu Pasien diposisikan tidur telentang, terapis berdiri di sisi bagian yang diterapi. Gelang bahu terfiksasi oleh posisi depresi. Tangan yang berlainan sisi diletakkan pada humeri dari lateral dan sedekat mungkin dengan sendi dan selanjutnya mendorong caput humeri ke arah caudal menggunakan berat badan. Terapis menempelkan lengannya pada tubuh (Syatibi, 2002). Gliding diulangi delapan kali sebanyak lima kali pengulangan Grade III dan IV. c. Gliding ke dorsal untuk memperbaiki gerak endorotasi sendi bahu Pasien diposisikan tidur telentang sedikit miring ke sisi yang sakit, terapis berdiri di sebelah medial dari lengan yang diterapi. Scapula terfiksasi oleh sisi tempat tidur. Tangan sesisi diletakkan pada lengan atas bagian ventral, sedekat mungkin dengan sendi dan selanjutnya melakukan gerakan gliding ke arah dorsal sedikit lateral. Lengan pasien disangga oleh tangan terapis yang lain (Syatibi,

25 2002). Gliding diulangi delapan kali sebanyak lima kali pengulangan dengan Grade III dan IV. Gambar 2.6 Gliding sendi bahu ke arah dorsal, untuk memperbaiki endorotasi sendi bahu (Manske, 2010). d. Gliding ke ventral untuk memperbaiki gerak eksorotasi sendi bahu Posisi awal pasien tidur miring ke sisi sehat, terapis berdiri disamping pasien di sisi yang akan diterapi. Tangan fisioterapi yang sesisi diletakkan di sebelah dorsal bahu kanan dengan pegangan sedekat mungkin dengan ruang sendi bahu, selanjutnya melakukan gerakan gliding ke arah ventral sedikit medial. Gliding diulangi delapan kali sebanyak lima kali Grade III dan IV. 4. Kontra Indikasi Kontra indikasi pemberian terapi manipulasi yaitu : (1) hipermobilitas sendi, (2) efusi sendi, (3) radang (Kisner, 2007).

26 5. Tujuan Mobilisasi Tujuan mobilisasi sendi adalah untuk mengembalikan fungsi sendi normal dengan tanpa nyeri. Secara mekanis tujuannya adalah untuk memperbaiki joint play, dengan demikian akan memperbaiki roll-gliding yang terjadi selama gerakan aktif. Terapi harus diakhiri apabila sendi sudah mencapai LGS maksimal tanpa nyeri dan pasien dapat melakukan gerakan aktif dengan normal (Syatibi, 2002). 2.4 Pelatihan Hold Relax dan Contract relax Hold relax adalah suatu teknik yang menggunakan kontraksi isometrik yang optimal dari kelompok otot antagonis yang memendek, dilanjutkan dengan relaksasi otot tersebut (prinsip reciprocal inhibition) (Kisner, 2007). Hold Relax adalah suatu teknik yang menggunakan kontraksi optimal secara isometrik (tanpa terjadi gerakan pada sendi) pada kelompok otot agonis, yang dilanjutkan dengan relaksasi kelompok otot tersebut (prinsip reciprocal inhibition). Pemberian Hold Relax agonist contraction akan mengakibatkan penurunan spasme akibat aktivasi golgi tendon organ, dimana terjadi pelepasan perlengketan fasia intermiofibril dan pumping action pada sisa cairan limfe dan venosus, sehingga (venous return dan limph drainage meningkat yang kemudian akan meningkatkan vaskularisasi jaringan sehingga elastisitas jaringan meningkat berpengaruh terhadap penurunan nyeri (Wahyono, 2002). Hold relax dan contract relax merupakan teknik dalam propioceptor neuromusculair fascilitation (PNF). PNF memiliki prinsip dasar yaitu (1) optimum resistance, (2) manual contact, (3) verbal stimulation, (4) visual feedback, (5) body-position and body-mechanic, (6) traction and approximation, (7)

27 irradiation (overflow), (8) reinforcement, (9) Pola gerak. Pola gerak pada PNF yaitu (1) gerakan meliputi komponen spiral (eksorotasi-endorotasi), komponen diagonal (fleksi-ekstensi dan abduksi-adduksi), (2) arah gerak meliputi menjauhi tubuh (ekstensi, abduksi dan eksorotasi), mendekatka tubuh (fleksi, adduksi, dan endorotasi), (3) Sendi di tengah (siku dan lutut) dapat bergerak kearah diam, fleksi, atau ekstensi. Gambar 2.7 Posisi saat melakukan hold relax atau contract relax pada otot-otot ekstensor dan adduktor bahu (Adler, 2008) Tujuan pemberian hold relax dan contract relax adalah perbaikan relaksasi pola antagonis, perbaikan mobilisasi dan untuk menurunkan nyeri lebih baik menggunakan hold relax (Beckers & Buck, 2001). Teknik contract relax menggunakan perubahan ketegangan di otot dengan cara kontraksi isotonik untuk memfasilitasi relaksasi sehingga mengulurkan otot. Dengan memfasilitasi relaksasi otot kita dapat meningkatkan sirkulasi dan meningkatkan perpanjangan jaringan myofascial. Untuk mencapai hal ini otot

28 ditempatkan pada posisi maksimal memanjang dan diberikan tahanan untuk kontraksi otot-otot yang akan mengalami penguluran (kontraksi langsung) atau otot antagonis (relaksasi timbal balik). Gerakan akan terjadi selama kontraksi ini. Setelah kontraksi ini anggota tubuh santai dan setelah relaksasi secara aktif maupun pasif bisa dilakukan penguluran lebih lanjut (Beckers & Buck, 2001). Pelaksanaan hold relax dan contract relax, dibedakan oleh gerakan yang terjadi saat melakukan contract relax sebagai tujuan penguluran sehingga otot bekerja secara isotonik dan memungkinkan ada gerakan rotasi pada sendi bahu. Gerakannya yaitu (1) gerakan pasif atau aktif pada pola gerak agonis hingga batas keterbatasan gerak atau hingga LGS dimana nyeri mulai timbul, (2) terapis member tahanan meningkat secara perlahan pada pola antagonisnya, pasien mesti melawan tahanan tersebut tanpa disertai adanya gerakkan (dengan aba-aba, Pertahankan disini! untuk latihan hold relax, dan tetap dorong tangan saya! pada latihan contract relax), (3) diikuti relaksasi dari pola antagonis tersebut, tunggu hingga benar-benar relaks, (4) gerakkan secara aktif atau pasif ke arah pola agonis, (5) ulangi prosedur tersebut di atas, (6) penguatan pola gerak agonis dengan cara menambah LGS-nya, (7) selama fase relaksasi, manual kontak tetap dipertahankan untuk mendeteksi bahwa pasien mampu benar-benar relaks (Beckers & Buck, 2001). Untuk pemberian tahanan pada hold relax, terapis meminta kontraksi isometrik dari otot yang memendek atau pola (antagonis) dengan penekanan pada rotasi,dimana kontraksi harus dipertahankan setidaknya 5-8 detik. Pada pemberian tahanana saat melakukan contract relax, terapis meminta pasien untuk kontraksi

29 yang kuat pada otot yang memendek atau pola (antagonis) dimana kontraksi harus diadakan setidaknya 5-8 detik (Adler, 2008) Pelaksanaan hold relax dan contract relax pada kasus frozen shoulder yaitu : a. Pola gerak fleksi-abduksi-eksorotasi untuk menambah LGS abduksi dan eksorotasi Posisi awal pasien adalah terlentang dengan bahu extensi, adduksi, dan endorotasi, siku lurus, lengan bawah pronasi dan tangan palmar fleksi. Terapis berdiri di sisi yang kan diterapi, tepat pada bidang gerak, dengan satu tungkai di depan dan kedua kedua lutut sedikit fleksi. Tangan terapis yang sesisi memegang bagian distal lengan bawah pasien dan tangan satunya memegang bagian ibu jari, metacarpal II dan metacarpal V. terapis memposisikan bahu elongated kemudian terapis memberikan stretch pada pergelanagan tangan dan meminta pasien untuk membuka tangan, putar keluar dan kemudian mendorong tangan terapis. Saat berada di LGS, di mana nyeri mulai timbul, terapis memberikan tahanan meningkat secara perlahan pada pola antagonisnya, pasien harus melawan tahanan tersebut tanpa disertai adanya gerakan, lalu diberi aba-aba pertahankan di sini! untuk latihan hold relax, dan tetap dorong tangan saya! pada latihan contract relax. Selanjutnya diikuti relaksasi dari pola antagonis tersebut. Saat benar-benar relaks, terapis menggerakan secara aktif maupun pasif ke arah pola agonis. Selama fase relaksasi manual kontak tetap dipertahankan untuk mendeteksi bahwa pasien benar-benar relaks.

30 b. Pola gerak ekstensi-abduksi-endorotasi Posisi awal pasien adalah terlentang dengan bahu fleksi, adduksi, dan eksorotasi. Terapis berdiri di sisi yang kan diterapi, tepat pada bidang gerak, dengan satu tungkai di depan dan kedua kedua lutut sedikit fleksi. Tangan terapis yang sesisi memegang bagian distal lengan bawah pasien dan tangan satunya memegang bagian ibu jari, metacarpal II dan metacarpal V. Pasien diminta untuk membuka tangan, putar ke dalam dan kemudian mendorong tangan terapis. Saat berada di LGS, di mana nyeri mulai timbul, terapis memberikan tahanan meningkat secara perlahan pada pola antagonisnya, pasien harus melawan tahanan tersebut tanpa disertai adanya gerakan, lalu diberi aba-aba pertahankan di sin! untuk hold relax. Pada latihan contract relax, terapis memberikan tahanan meningkat secara perlahan pada pola antagonisnya, pasien harus melawan tahanan tersebut disertai adanya gerakan, lalu diberi aba-aba tetap dorong tangan saya! Diikuti relaksasi dari pola antagonis tersebut. Saat benar-benar relaks, terapis menggerakan secara aktif maupun pasif ke arah pola agonis. Selama fase relaksasi manual kontak tetap dipertahankan untuk mendeteksi bahwa pasien benar-benar relaks.