Murdoch University. Asia Research Centre Indonesia Research Programme. Indonesia Expertise

dokumen-dokumen yang mirip
Murdoch University. Asia Research Centre Indonesia Research Programme. Indonesia Expertise

JURUSAN Pendidikan Bahasa Inggris Alamat: Karangmalang, Yogyakarta (0274) , Fax. (0274) http: //

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya peran energi dalam kebutuhan sehari-hari mulai dari zaman dahulu

Ombudsman dalam Perspektif Hukum Tata Negara: Beberapa Catatan 1. Satya Arinanto 2

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KURIKULUM MAGISTER MANAJEMEN

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

PENGEMBANGAN KONSEP DASAR PKN

BAB I. Tenggara dengan luas wilayah sebesar km 2 serta terletak di posisi

ISU-ISU TERKINI ASEAN. Dewi Triwahyuni

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PRAKTIK BELAJAR LAPANGAN TERINTEGRASI

BAB I PENDAHULUAN. New York, 2007, p I. d Hooghe, The Expansion of China s Public Diplomacy System, dalam Wang, J. (ed.

BAB I PENDAHULUAN. signifikan terhadap perkembangan penetapan hukum di dunia ini, dimana

KONTRAK PERKULIAHAN. Nama mata kuliah : Konservasi Sumberdaya Perairan Kode mata kuliah : : Sri Nuryatin Hamzah, S.Kel, M.

ASIA PACIFIC PARLIAMENTARY FORUM (APPF)

Keterangan Pers Presiden RI pada acara Indonesia-Australia Annual Leaders Meeting, Bogor,5 Juli 2013 Jumat, 05 Juli 2013

BAB I PENDAHULUAN. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2007) ekonomi gelombang ke-4 adalah

Indonesia Economy : Challenge and Opportunity

PROPOSAL PENGAJUAN BEASISWA UNGGULAN PASCASARJANA DALAM NEGERI BIRO PERENCANAAN DAN KERJASAMA LUAR NEGERI

BAB I PENDAHULUAN. industri tercepat dan terbesar yang menggerakkan perekonomian. Menurut World

Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung SILABUS

Adapun penulis menyadari beberapa kekurangan dari penelitian ini yang diharapkan dapat disempurnakan pada penelitian mendatang :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Teten Ajak Masyarakat Makan Ikan

Students Understanding on Corporate Social Responsibility (CSR)

Pendahuluan. Utama, Jakarta, 2000, p Hadi, dkk., pp

Workshop Pengembangan Model Global Governance dalam Penanganan Isu-isu Global

Keterangan Pers Presiden RI Terkait Surat Balasan PM. Australia, 26 Nov 2013, di Kantor Presiden Selasa, 26 November 2013

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.

4.2 Respon Uni Eropa dan Amerika Terhadap Konflik Rusia dan Ukraina Dampak Sanksi Ekonomi Terhadap Pariwisata Rusia

[Selengkapnya di Infografik Laporan Akhir Tahun CISDI 2016]

PEMULIHAN SOSIO-EKONOMI BALI PASCA BOM BALI I DAN II MELALUI BALI REHABILITATION FUND ( ) SKRIPSI

TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Hendra Wijayanto

- S2, Sociology: Study of NGO and Community Development in India, Andhra University Andhra Pradesh, India

BAB I PENDAHULUAN MENGENALI POLA KETERKAITAN SCIENCE, TEKNOLOGI, MASYARAKAT DAN PEMBANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. yang stabil dalam hal politik maupun ekonomi. Oleh sebab itu, para imigran yang

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi

Peningkatan Kerjasama Indonesia India

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN 2009

Advancing the health of Indonesia s poor and disadvantaged

Marine Debris, Plastics and Microplastics: Indonesian Experience KEMENTERIAN KOORDINATOR MARITIM DAN SUMBER DAYA

DAFTAR PUSTAKA. Ascani, dkk New Economic Geography and Economic Integration: A Review. London: SEARCH.

DAMPAK INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN MERAUKE TESIS MAGISTER. Oleh ROMANUS MBARAKA NIM

BAB I PENDAHULUAN. J. Suatma, Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015, Jurnal STIE Semarang, vol.4 no.1, 2012.

Hubungan antara Pengetahuan Siswa Tentang Konsep Ekologi dengan Ecological Footprint Berdasarkan Gender (Studi Korelasional di SMA Jakarta)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

: Treaties Under Indonesian Law: A Comparative Study Penulis buku : Dr. iur. Damos Dumoli Agusman : PT. Remaja Rosda Karya

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SEAMEO? SEAMEO : South East Asia Ministers of Education Organization

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) Infrastructure Outlook 2016, 10 Februari 2016 Profil Pembicara/Speaker s profile

PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN

Pidato Presiden RI mengenai Dinamika Hubungan Indonesia - Malaysia, 1 September 2010 Rabu, 01 September 2010

Realisme dan Neorealisme I. Summary

I.9 POSISI PINJAMAN MODAL KERJA RUPIAH YANG DIBERIKAN BANK UMUM DAN BPR MENURUT KELOMPOK BANK & LAPANGAN USAHA (Miliar Rp)

Curriculum Vitae Ca C lon o n Dew e an n Kom o isaris

DAFTAR PUSTAKA. Lewis, D. (2009). Nongovernmental Organizations, Definition and History. London School of Economics and Political Science, London.

BAB I PENDAHULUAN. oleh United Nations Security Council yang menyebabkan berkembangnya

Signed. Signed. SEBAGAI BUKTI, yang bertanda-tangan di bawah ini telah menandatangani Kerangka Kerja Bersama ini.

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM

KOMUNIKE BERSAMA MENGENAI KERJA SAMA UNTUK MEMERANGI PERIKANAN TIDAK SAH, TIDAK DILAPORKAN DAN TIDAK DIATUR (/UU FISHING)

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS)

REDD+ dan Tata Kelola Pemerintahan

I.9 POSISI PINJAMAN MODAL KERJA RUPIAH YANG DIBERIKAN BANK UMUM DAN BPR MENURUT KELOMPOK BANK & LAPANGAN USAHA (Miliar Rp)

Politik Global dalam Teori dan Praktik

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DAFTAR RIWAYAT HIDUP. Curriculum Vitae

SEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG

OUTSTANDING OF MICRO, SMALL, AND MEDIUM ENTERPRISES

BAB I : PENDAHULUAN. Australian Greens, Our Story, < diakses pada Senin 4 Mei

Keterangan Pers Presiden RI pada Acara Kunjungan Kenegaraan Presiden Amerika Serikat, Selasa, 09 November 2010

SCALING SOLUTION OF LAND USE CHALLENGES. Musdhalifah Machmud Deputy to Coordinating Minister for Food and Agriculture

I.8 POSISI PINJAMAN MODAL KERJA RUPIAH & VALAS YANG DIBERIKAN BANK UMUM (Miliar Rp)

I.4. POSISI PINJAMAN RUPIAH & VALAS YANG DIBERIKAN BANK UMUM DAN BPR MENURUT KELOMPOK BANK & LAPANGAN USAHA (Miliar Rp)

IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN TANTANGAN MEMBANGUN DUNIA INDUSTRI KONSTRUKSI YANG KONSTRUKTIF DI INDONESIA

Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung SILABUS. : Pengantar Ilmu Politik

PENDAHULUAN Latar Belakang

KEBIJAKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK

SATUAN ACARA PENGAJARAN ( SEJARAH DAN DIPLOMASI BUDAYA CHINA)

Memahami Politik Luar Negeri Indonesia Era Susilo Bambang Yudhoyono secara Komprehensif: Resensi Buku

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

BAB V PENUTUP. yang mengalami kecelakaan di perairan Indonesia koordinasi terhadap

Dampak Krisis Ekonomi Global Tahun 2008 Terhadap Ekspor Batubara di Indonesia (Studi Literatur di Negara Kawasan Asia Timur)

Inovasi Teknologi untuk Mewujudkan Ketahanan & Kedaulatan Pangan

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL KORPORASI

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat masih berupa non-intervensi. Namun ketika Perang Dunia Kedua

SKRIPSI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN POROS MARITIM PEMERINTAHAN JOKOWI SONDANG NOVITA SITANGGANG

Apabila kerjasama TPP masih dilanjutkan, sebaiknya pemerintah Indonesia mempertimbangkan keikutsertaan Indonesia dalam kerjasama TPP.

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

DAFTAR PUSTAKA. Chauvel, Richard H. Budaya dan Politik Australia, terj.oleh Harlinah, Sujinah,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992.

untuk memastikan agar liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Hasil dari interaksi tersebut adalah rekomendasi sektor swasta yang

KESEMPATAN KERJA PERDAGANGAN. Rahma Iryanti Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja. Jakarta, 5 Juli 2013

Proses Pembahasan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) di Tingkat Global. Kementerian Luar Negeri

KURIKULUM JURUSAN SEJARAH (PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH)

Keterangan Pers Presiden RI Sebelum Berangkat ke London, Jakarta, 30 Oktober 2012 Selasa, 30 Oktober 2012

Kegiatan Kerjasama dengan Instansi Lain

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

Transkripsi:

Murdoch University Asia Research Centre Indonesia Research Programme Indonesia Expertise 2014

Indonesia Research Programme Murdoch University has a solid reputation for expertise on Indonesia in a range of areas from the social to the life sciences. Its Asia Research Centre is recognised as one of the major international sites of expertise on social, political and economic change in Indonesia. For two decades, the Centre has been the training ground for successive cohorts of Indonesian postgraduates, who remain active today in academia, the public and private sectors, and within NGOs. Murdoch University also has robust connections with various Indonesian institutions in such areas as water management, biotechnology, freshwater biodiversity and more recently, marine resources management. Additionally, its veterinary school is highly respected in Indonesia and has trained many of Airlangga University s (Surabaya) veterinarians. The Indonesia Research Programme was established in 2014 to further develop this expertise and to broaden Murdoch University s existing capabilities in areas relevant to Indonesia, including those beyond the established fields of study. Its purview is to intensify universitywide engagement by exploring new areas of collaboration with Indonesia s higher education institutions, research centres, government ministries, NGOs and media. The university is especially interested in making an impact in the increasingly critical areas of food security, agricultural production, biosecurity and environmentally sustainable development, including the management of marine ecosystems. A number of new collaborative agreements have been signed with several Indonesian institutions. These include the Directorate General of Higher Education (DIKTI), with which Murdoch University has the status of First Priority destination for postgraduate students funded under its national scholarship scheme. Others have been signed with the University of Indonesia (Jakarta), Gadjah Mada University (Yogyakarta), Universitas Katolik Parahyangan (Bandung), Bogor Agricultural University (Bogor) and the Indonesian Institute of Sciences (LIPI). Murdoch University has recently conducted a number of high profile activities that highlight its close relationship with Indonesia. Joint seminars were held, for example, in June 2013 and March 2014 with Kompas, the country s largest newspaper. The first seminar was on Australia-Indonesia Relations and the second was on ASEAN and Political Change in Southeast Asia. In addition, in July 2013, Murdoch hosted a training programme on Governing the Asian Century: Politics, Economics and Public Policy in the Asian Region for civil servants from Indonesian government ministries and agencies. This programme was undertaken in coordination with Bappenas (Indonesian National Development Planning Agency). The director of the Indonesia Research Programme is Professor Vedi Hadiz. 1

Murdoch University Indonesia Experts Professor Vedi Hadiz Author of Localising Power in Post- Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective (Stanford University Press 2010). Adjunct Professor at University of Indonesia, Director of the Indonesia Research Programme. Supervision interests: Issues of social, economic and political change in Indonesia and Southeast Asia as well as broader political economy and political sociology questions. Dr Jane Hutchison Author of Political Economy and the Aid Industry in Asia (Palgrave Macmillan 2014) [with Caroline Hughes, Richard Robison and Wil Hout]. Supervision interests: Social and political change and international development. Dr Shahar Hameiri Author of Regulating Statehood: State Building and the Transformation of the Global Order (Palgrave Macmillan 2010). Supervision interests: Security, international political economy, development and aid, governance, political geography and international relations. Professor Neil Loneragan Director of the Centre for Fish, Fisheries and Aquatic Ecosystem Fisheries Research (CFFAER). Supervision interests: Fisheries ecology and fisheries interactions with protected, threatened and endangered species. Professor Kevin Hewison Editor of The Political Economy of South- East Asia. Markets, Power and Contestation (Oxford University Press 2006) [with Garry Rodan and Richard Robison]. Director of the Asia Research Centre. Supervision interests: The political economy of Southeast Asia; democratization; violence and politics; and labour issues. Dr Lindy Norris Developed two Indonesian-specific language curriculum modules, included in FLOTE online professional development program for language teachers, used in teacher education programs and professional development for language teachers (2010) [with Penelope Coutas]. Supervision interests: Second language teaching and learning, program sustainability and interculturality. Professor David Hill Author of Journalism and Politics in Indonesia: A Critical Biography of Mochtar Lubis (1922-2004) as Editor and Author (Routledge 2010) and co-editor (with Krishna Sen) of Politics and the Media in Twenty-First Century Indonesia: Decade of Democracy (Routledge 2011). Director of Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS). Supervision interests: Contemporary Indonesian media, literature, culture and politics; political biography and life-writing in Indonesia; history of the Indonesian Left abroad since 1965. Professor Benjamin Reilly Author of Democracy in Divided Societies: Electoral Engineering for Conflict Management (Cambridge University Press 2001). Dean of the Sir Walter Murdoch School of Public Policy and International Affairs. Supervision interests: Democratization, comparative politics and political development. 2

Professor Ian Robertson Authored numerous studies on diseases of domestic and wild animals, particularly transboundary diseases, in Indonesia and Southeast Asia. Supervision interests: The major transboundary diseases including Foot and Mouth Disease, Highly Pathogenic Avian Influenza, Brucellosis, Classical Swine Fever and Rabies. Associate Professor Carol Warren Editor of Community, Environment and Local Governance in Indonesia: Locating the Commonweal (Routledge 2008) [with John McCarthy] and author of Adat dalam praktik dan wacana orang Bali in Adat Dalam Politik Indonesia (Yayasan Pustaka Obor Indonesia 2010). Supervision interests: The environment, land tenure and rural development policy in Southeast Asia. Professor Richard Robison Author of Indonesia: The Rise of Capital (Allen and Unwin 1986), and Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (Routledge 2004) [with Vedi Hadiz]. Supervision interests: Political and economic change in Indonesia; political economy; comparative political Islam; the politics of governance. Professor James Warren Author of Pirates, Prostitutes and Pullers: Explorations in the Ethno- and Social History of Southeast Asia (UWA Press 2008). Supervision interests: Southeast Asian social and economic history; Singapore Chinese working class history and society since 1880; slavery and other forms of unfree labour in Southeast Asia; and climate, history and society in Southeast Asia. Professor Garry Rodan Author of The Politics of Accountability in Southeast Asia: The Dominance of Moral Ideologies (Oxford University Press 2014) [with Caroline Hughes]. Supervision interests: The relationship between capitalist development and political regime directions in Southeast Asia. Dr Ian Wilson Author of The Politics of Protection Rackets in Post-New Order Indonesia (Routledge, forthcoming) Supervision interests: The sociology of gangs and paramilitary groups; criminality and its links with state institutions; the politics of Indonesian martial and performing arts; and the anthropology of the body, especially embodied forms of nationalism and state instituted disciplinary regimes. Professor Malcolm Tull Editor of Port Privatisation: The Asia-Pacific Experience (Edward Elgar, 2008). President of the Economic Society of Australia Inc., Western Australian Branch, Supervision interests: Maritime economic history; applied maritime economics; port and fishing industries; and climate change and fisheries. Dr Jeffrey Wilson Author of Governing Global Production: Resource Networks in the Asia-Pacific Steel Industry (Palgrave Macmillan 2013). Supervision interests: International political economy, economic regionalism in the Asia- Pacific, and international resource politics. 3

Recent Publications Select Recent Books Mark Beeson (2014) Regionalism and Globalization in East Asia: Politics, Security and Economic Development, 2 nd Edition. Basingstoke: Palgrave. Rajat Ganguly (ed.) (2012) Autonomy and Ethnic Conflict in South and South-East Asia. London: Routledge. Vedi Hadiz and Khoo Boo Teik (with Yoshihiro Nakanishi) (eds) (forthcoming 2014) Between Dissent and Power: The Transformation of Islamic Politics in the Middle East and Asia. Basingstoke: Palgrave Macmillan. Vedi Hadiz (2010) Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective. Palo Alto, CA: Stanford University Press. David Hill (with K Sen) (eds) (2011) Politics and the Media in Twenty-First Century Indonesia: Decade of Democracy. London and New York: Routledge. David Hill (2010) Journalism and Politics in Indonesia: A Critical Biography of Mochtar Lubis (1922-2004) as Editor and Author. London: Routledge. Jane Hutchison, Caroline Hughes and Richard Robison (with Wil Hout) (2014) Political Economy and the Aid Industry in Asia. Basingstoke and New York: Palgrave Macmillan. Susan Ledger (with Lesley Vidovich and Thomas O Donoghue) (2014) Global to Local Policy Trajectories: An Indonesian Journey. New York: Springer Publishing. Richard Robison (ed.) (2012) Routledge Handbook of Southeast Asian Politics. London: Routledge. Garry Rodan and Caroline Hughes (2014) The Politics of Accountability in Southeast Asia: The Dominance of Moral Ideologies, Oxford Studies in Democratization. London and New York: Oxford University Press. Ranald Taylor (forthcoming) Human Resource Economics: An East Asian Perspective. Cheltenham, UK: Edward Elgar. Malcolm Tull and Joseph Christensen (2014) Historical Perspectives on Fisheries Exploitation in the Indo-Pacific. Dordrecht: Springer. Carol Warren (with A Lucas) (eds) (2013) Land For the People: State Policy and Agrarian Conflict in Indonesia. Athens, OH: Ohio University Press. Ian Wilson (forthcoming) The Politics of Protection Rackets in Post-New Order Indonesia. London: Routledge. Select Recent Journal Articles Amun Amri, Zhong-Tao Jiang, Chun-Yang Yin and Nicholas Mondinos (with N Ali, M Rahman, X Zhao, Z Xie and D Habibi) (2014) Tailoring the Physicochemical and Mechanical Properties of Optical Copper Cobalt Oxide Thin Films Through Annealing Treatment. Surface and Coatings Technology, 239: 212-21. Amun Amri, Zhong-Tao Jiang, Trevor Pryor, Chun-Yang Yin and Sinisa Djordjevic (2014) Developments in the Synthesis of Flat Plate Solar Selective Absorber Materials via Sol Gel Methods: A Review. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 36: 316-28. Amun Amri, Zhong-Tao Jiang, Trevor Pryor, Chun-Yang Yin and Nicholas Mondinos (with Z Xie) (2012) Optical and Mechanical Characterization of Novel Cobalt-Based Metal Oxide Thin Films Synthesized Using Sol Gel Dip-Coating Method. Surface and Coatings Technology, 207: 367-74. Chandrika Akilan (with D-J Kim, C S Gahan, S-Y Choi and B-G Kim) (2013) Microbial Desulfurization of Three Different Coals from Indonesia, China and Korea in Varying Growth Medium. Korean Journal of Chemical Engineering, 30 (3): 680-87. Mark Beeson and Diane Stone (forthcoming) Introduction: Leadership Patterns in the Asia-Pacific. Pacific Review. Mark Beeson (2014) Security in Asia: What s Different, What s Not? Journal of Asian Security and International Affairs, 1 (1): 1-23. Mark Beeson (with D Stone) (2013) The European Union Model s Influence in Asia after the Global Financial Crisis. European Journal of East Asian Studies, 12: 167-90. Mark Beeson (2013) Living with Giants: ASEAN and the Evolution of Asian Regionalism. TRaNS: Trans-Regional and -National Studies of Southeast Asia, 1 (2): 303-22. Mark Beeson and Richard Higgott (forthcoming) The Changing Architecture of Politics in the Asia-Pacific: Australia s Middle Power Moment? International Relations of the Asia Pacific. Bogdan Dlugogorski (with A Setiawan, J Friggieri, E M Kennedy and M Stockenhuber (2014) Catalytic Combustion of Ventilation Air Methane (VAM) Long Term Catalyst Stability in the Presence of Water Vapour and Mine Dust. Catalysis Science & Technology, 4 (6): 1793. Domenico Gasbarro (with M Hadad, A Agusman, G Monroe and J Zumwalt) (2011) Market Discipline, Financial Crisis and Regulatory Changes: Evidence from Indonesian Banks. Journal of Banking & Finance, 35 (6): 1552-62. 4

Kelly Gerard (2013) From the ASEAN People s Assembly to the ASEAN Civil Society Conference: The Boundaries of Civil Society Advocacy. Contemporary Politics, 19 (4): 411-26. Vedi Hadiz (2013) The Rise of Capital and the Necessity of Political Economy. Journal of Contemporary Asia, 43 (2): 208-25. Vedi Hadiz (2013) Political Islam in Southeast Asia: A (Re) Emergent Issue. TRaNS: Trans-Regional and -National Studies of Southeast Asia, 1 (2): 215-35. Vedi Hadiz and Richard Robison (2013) The Political Economy of Oligarchy and the Reorganisation of Power in Indonesia. Indonesia, 96: 35-57. Vedi Hadiz and Richard Robison (2012) Political Economy and Islamic Politics: Insights from the Indonesian Case. New Political Economy, 17 (2): 137-55 Vedi Hadiz (2011) The Faces of Islamic politics. Kyoto Review of Southeast Asia, e-journal, January. Vedi Hadiz (2011) Indonesian Political Islam: Capitalist Development and the Legacies of the Cold War. Journal of Current Southeast Asian Affairs, 30 (1): 3-38. Vedi Hadiz (2011) No Turkish Delight : The Impasse of Indonesian Islamic Party Politics. Indonesia, 92 (October): 1-18. Vedi Hadiz and Khoo Boo Teik (2011) Approaching Islam and Politics from Political Economy: A Comparative Study of Indonesia and Malaysia. The Pacific Review, 24 (4): 463-85. Norman Hall and Ian Potter (with C Bartron, W White and Dharmadi) (2012) Biology of the Silky Shark Carcharhinus Falciformis (Carcharhinidae) in the Eastern Indian Ocean, Including an Approach to Estimating Age when Timing of Parturition Is Not Well Defined. Journal of Fish Biology, 80 (5): 1320-41. Shahar Hameiri (2014) Avian Influenza, Viral Sovereignty, and the Politics of Health Security in Indonesia. The Pacific Review, 27 (3): 333-56. Shahar Hameiri (with Lee Jones) (forthcoming) Non-Traditional Security, Political Economy and State Transformation: The Case of Avian Influenza in Indonesia. International Politics. Kevin Hewison (with A Kalleberg) (2013) Precarious Work and the Challenge for Asia. American Behavioral Scientist, 57 (3): 271-88. Kevin Hewison (with A Kalleberg) (2013) Precarious Work and Flexibilization in South and Southeast Asia. American Behavioral Scientist, 57 (4): 395-402. David Hill (2011) The Teaching of Indonesian in Australian Universities: Some Brief Comments on the Past and Present. Indonesia Gengo to Bunka (Indonesia: Bahasa dan Budaya), Jurnal Himpunan Pengkaji Indonesia Seluruh Jepang, 17. David Hill (2010) Indonesia s Exiled Left as the Cold War Thaws. RIMA (Review of Indonesian and Malaysian Affairs), 44 (1): 21-51. 5

Recent Publications David Hill (with A Dragojlovic) (2010) Indonesian Exiles: Crossing Cultural, Political and Religious Borders: Introduction. RIMA (Review of Indonesian and Malaysian Affairs), 44 (1): 1-7. Sue Hoffman (2012) Living in Limbo: Iraqi Refugees in Indonesia. Refuge, 28 (1): 15-24. John Huisman and Michael Borowitzka (with O De Clerck and W F P Van Reine) (2011) Spongophloea, a New Genus of Red Algae Based on Thamnoclonium Sect. Nematophorae Weber-Van Bosse (Halymeniales). European Journal of Phycology, 46 (1): 1-15. Zhong-Tao Jiang, Amun Amri and Chun- Yang Yin (with M M Rahman, A Duan, Z Xie, A Wu and B Cowie) (2013) Near-Edge X-Ray Absorption Fine Structure Studies of Cr1-Xmxn Coatings. Journal of Alloys and Compounds, 578: 362-68. Neil Loneragan (with A Hordyk, K Ono, K Sainsbury and J Prince) (2014) Some Explorations of the Life History Ratios to Describe Length Composition, Spawning- Per-Recruit, and the Spawning Potential Ratio. ICES Journal of Marine Science, January Neil Loneragan (with A Hordyk, K Ono, S R Valenciennes and J Prince) (2014) A Novel Length-Based Empirical Estimation Method of Spawning Potential Ratio (SPR), and Tests of Its Performance, for Small-Scale, Data-Poor Fisheries. ICES Journal of Marine Science, February. Neil Loneragan (with J D Prince, A Hordyk, S R Valenciennes and K J Sainsbury) (2014) Extending the Principle of Beverton-Holt Life History Invariants to Develop a New Framework for Borrowing Information for Data-Poor Fisheries from the Data-Rich. ICES Journal of Marine Science. Kusuma Margawani, Ian Robertson and David Hampson (2009) Isolation of the Anaerobic Intestinal Spirochaete Brachyspira Pilosicoli from Long-Term Residents and Indonesian Visitors to Perth, Western Australia. Journal of Medical Microbiology, 58 (2): 248-52. Kenneth Pollock (with J Prescott, C Vogel, S Hyson, D Oktaviani and A S Panggabean) (2013) Estimating Sea Cucumber Abundance and Exploitation Rates Using Removal Methods. Marine and Freshwater Research, 64 (7): 599-608. Benjamin Reilly (2013) Southeast Asia: In the Shadow of China, Journal of Democracy, 24 (1): 156-64. Garry Rodan (2012) Competing Ideologies of Political Representation in Southeast Asia. Third World Quarterly, 33 (2): 335-56. Kathleen Máñez Schwerdtner (with S Husain, S Ferse and M Costa) (2012) Water Scarcity in the Spermonde Archipelago, Sulawesi, Indonesia: Past, Present and Future. Environmental Science & Policy, 23 (Nov): 74-84. Kathleen Máñez Schwerdtner (with S Ferse, M Glaser and M Neil) (2012) To Cope or to Sustain? Eroding Long-Term Sustainability in an Indonesian Coral Reef Fishery. Regional Environmental Change: Natural and Social Aspects, 1: online. Phil Stumbles and Graham Wilcox (with I W M Tenaya and K Heel) (2012) Flow Cytometric Analysis of Lymphocyte Subset Kinetics in Bali Cattle Experimentally Infected with Jembrana Disease Virus. Veterinary Immunology and Immunopathology, 149 (3-4): 167-76. Terri Trireksani (2012) Accounting and Engineering Students Perceptions of Good Teaching in Universities. Asian Journal of Finance & Accounting, 4 (2): 332-46. Terri Trireksani (with H Djajadikerta) (2012) Corporate Social and Environmental Disclosure by Indonesian Listed Companies on Their Corporate Web Sites. Journal of Applied Accounting Research, 13 (1): 21-36. James Tweedley, Ian Potter and Howard Gill (with D Bird, P J Miller, G O Donovan and A H Tjakrawidjaja) (2013) Species Compositions and Ecology of the Riverine Ichthyofaunas on Two Sulawesian Islands in the Biodiversity Hotspot of Wallacea. Journal of Fish Biology, 82 (6): 1916-50. Carol Warren (2012) Risk and the Sacred: Environment, Media and Public Opinion in Bali. Oceania, 82 (3): 294-307. 6

Kristin Warren (with D Perwitasari- Farajallah, J Pamungkas et al.) (2011) Sex-Biased Dispersal and Volcanic Activities Shaped Phylogeographic Patterns of Extant Orangutans (Genus: Pongo). Molecular Biology and Evolution, 28 (8): 2275-88. Jonathan Whale and Tania Urmee (with S Murni, J K Davis and D Harries) (2012) The Role of Micro Hydro Power Systems in Remote Rural Electrification: A Case Study in the Bawan Valley, Borneo. Procedia Engineering, 49: 189-96. Ian Wilson (2014) Resisting Democracy: Front Pembela Islam and Indonesia s 2014 Elections. ISEAS Perspective, 10: 1-8. Ian Wilson (forthcoming) The Political Ecology of Islamic Vigilantism in Indonesia: The Case of the Front Pembela Islam. Review of Indonesian Studies, inaugural edition. Ian Wilson (with A Rosser) (2012) Democratic Decentralisation and Pro- Poor Policy Reform: The Politics of Health Insurance for the Poor in Two Indonesian Districts. Asian Journal of Social Science, 40 (5-6): 608-34. Amanda Woods-McConney (with R M Klassen, S Aldhafri, C F Mansfield, E Purwanto, A F Y Siu and M W Wong) (2012) Teachers Engagement at Work: An International Validation Study. The Journal of Experimental Education, 80 (4): 317-37. Augusto Zimmerman (2013) Under God and the Law: Natural-Law Foundations of the English Common Law. Universitas Pelita Harapan Law Review, 13 (1): 165-84. Augusto Zimmerman (2013) Understanding the Natural Law Tradition in Western Jurisprudence. Dialogia Juridica, 3 (2): 196. Select Recent Journal Special Issues Mark Beeson and Diane Stone (eds) (forthcoming) Asia s leadership deficit? The Pacific Review. Vedi Hadiz (ed.) (2013) Capitalism and Indonesia s Democracy. Journal of Contemporary Asia, 43 (2). Kevin Hewison (with A Kalleberg) (eds) (2013) Precarious Work in South and Southeast Asia. American Behavioral Scientist, 57 (4). David Hill (with A Dragojlovic and C Macknight) (eds) (2010) Indonesian Exiles: Crossing Cultural, Political and Religious Borders. Review of Indonesian and Malaysian Affairs, 44 (1). Select Recent Book Chapters Mark Beeson (with Will Lee) (forthcoming) The Middle Power Moment: A New Basis for Cooperation between Indonesia and Australia? In C Roberts, D Habir and L Sebastian (eds) Indonesia s Ascent: Power, Leadership and Asia s Security Order. Basingstoke: Palgrave Macmillan. Mark Beeson and Kelly Gerard (forthcoming) ASEAN, Regionalism, and Democracy in W Case (ed.) Routledge Handbook of Southeast Asian Democratization. London: Routledge. Mark Beeson (forthcoming) Southeast Asia s Post-Crisis Recovery: So Far, So Good. In C Wise, L Armijo and S Katada (eds) Unexpected Outcomes: How Emerging Markets Survived the Global Financial Crisis. Washington: Brookings Press. Mark Beeson (forthcoming) Security Governance in Southeast Asia: The Paradoxes of Cooperation. In J Sperling (ed.) Handbook on Governance and Security. Cheltenham: Edward Elgar. Mark Beeson (2013) The USA s Relations with East and Southeast Asia. In A Tan (ed.) East and Southeast Asia: International Relations and Security Perspectives. London: Routledge, 167-77. Joseph Christensen (2014) Unsettled Seas: Towards a History of Marine Animal Populations in the Central Indo-Pacific. In J Christensen and M Tull (eds) Historical Perspectives on Fisheries Exploitation in the Indo-Pacific. Dordrecht: Springer, 13-40. Joseph Christensen (2014) Shark Bay Snapper: Science, Policy, and the Decline and Recovery of a Marine Recreational Fishery. In J Christensen and M Tull (eds) Historical Perspectives on Fisheries Exploitation in the Indo-Pacific. Dordrecht: Springer, 251-68. Penelope Coutas (2012). Ketenaran, Rezeki, Fantasi: Indonesian Idol dan Selebriti Baru. In A Heryanto (ed.) Budaya Populer di Indonesia: Mencairnya Identitas Pasca-Orde Baru. Jakarta: Anggota IKAPI, 165-92. 7

Recent Publications Stewart Dallas, Davina Lee Boyd and Goen Ho (with R Phillips, G Wibisono and E Wahyuniati) (2009) Developing Indonesian Capacity in Sanitation: Constructed Wetlands for the Treatment of Wastewater. In J Nair, C Furedy, C Hoysala and H Doelle (eds.) Technologies and Management for Sustainable Biosystems. New York: Nova Science Publisher, 235-45. Rajat Ganguly (2012) Conclusion: What Does the Empirical Evidence Tell Us about the Suitability of Territorial Autonomy in Resolving Ethno-National Conflicts in South and South-East Asia? In R Ganguly (ed.) Autonomy and Ethnic Conflict in South and South-East Asia. London: Routledge, 156-9. Rajat Ganguly (2012) Introduction: Is Autonomy a Solution Or an Obstacle to Resolving Ethno-National Conflicts? In R Ganguly (ed.) Autonomy and Ethnic Conflict in South and South-East Asia. London: Routledge, 1-7. Vedi Hadiz and Khoo BT (with Y Nakanishi) (forthcoming 2014) Islamic Politics between Dissent and Power: An Overview. In V Hadiz, Khoo BT and Y Nakanishi (eds) Between Dissent and Power: The Transformation of Islamic Politics in the Middle East and Asia. Basingstoke: Palgrave Macmillan. Vedi Hadiz (forthcoming 2014) The Organizational Vehicles of Islamic Political Dissent: Social Bases, Genealogies and Strategies. In V Hadiz, Khoo BT and Y Nakanishi (eds) Between Dissent and Power: The Transformation of Islamic Politics in the Middle East and Asia. Basingstoke: Palgrave Macmillan. Vedi Hadiz (2012) Democracy and Money Politics: The Case of Indonesia. In R Robison (ed.) Routledge Handbook of Southeast Asian Politics. Routledge, 71-82. Vedi Hadiz (2010) Politik gerakan buruh di Asia tenggara. In S Arifin, I Fahmi, A Mufakhir and Fauzan (eds) Memetakan Gerakan Buruh. Lembaga Informasi Perburuhan Sedane, 1-28. David Hill (2013) Twilight in Jakarta: Fifty Years New. In M Lubis Twilight in Jakarta. Yayasan Lontar, v-xi. David Hill (2013) From Kitchen to Buffet, from Authoritarianism to Open Market (in Indonesian). In B Triharyanto and F Salam (eds) Media Kitchen: Anthology of Media Coverage in Indonesia. Yayasan Pantau, 9-17 David Hill (2012) Writing Lives in Exile: Autobiographies of the Indonesian Left Abroad. In M Perkins (ed.) Locating Life Stories: Beyond East-West Binaries in (Auto) Biographical Studies. Honolulu: University of Hawai i Press, 215-37. David Hill (2011) Pressures on the Borders of the State: Local Media in the Land of Papua. In K Sen and D Hill (eds) Politics and the Media in Twenty-First Century Indonesia. London and New York: Routledge, 28-48. David A Newsome (2010) The Need for a Planning Framework to Preserve the Wilderness Values of Sibayak Volcano, North Sumatra, Indonesia. In P Erfurt- Cooper and M Cooper (eds) Volcano and Geothermal Tourism: Sustainable Geo- Resources for Leisure and Recreation. New York: Earthscan, 131-39. Benjamin Reilly (forthcoming) Electoral Systems. In W Case (ed.) Routledge Handbook of Southeast Asian Democratization. London: Routledge. Richard Robison (forthcoming 2014) Political Economy and the Explanation of Islamic Politics in the Contemporary World in V Hadiz, Khoo BT and Y Nakanishi (eds) Between Dissent and Power: The Transformation of Islamic Politics in the Middle East and Asia. Basingstoke: Palgrave Macmillan. Garry Rodan (2013) Southeast Asian Activism and Limits to Independent Political Space. In M Ford (ed.) Social Activism in Southeast Asia. London: Routledge, 22-39. Garry Rodan and Kevin Hewison (2012) Southeast Asia: The Left and the Rise of Bourgeois Opposition. In R Robison (ed.) Routledge Handbook on Southeast Asian Politics. London: Routledge, 25-39 Garry Rodan (2011) Progress and Limits in Regional Cooperation: Australia and Southeast Asia. In J Cotton and J Ravenhill (eds) Middle Power Dreaming: Australia in World Affairs 2006 2010. Melbourne: Oxford University Press, 165-84. Terri Trireksani (with H G Djajadikerta) (2013) Executive Perceptions of Corporate Social and Environmental Disclosure. In J Westover (ed.) Socially Responsible and Sustainable Business around the Globe. Champaign, IL: Common Ground Publishing, 70-79. Malcolm Tull (2014) The History of Shark fishing in Indonesia. In J Christensen and M Tull (eds.) Historical Perspectives on Fisheries Exploitation in the Indo-Pacific. Dordrecht: Springer, 63-81. Malcolm Tull and Joseph Christensen (2014) Introduction: Historical Perspectives of Fisheries Exploitation in the Indo-Pacific. In J Christensen and M Tull (eds.) Historical Perspectives on Fisheries Exploitation in the Indo-Pacific. Dordrecht: Springer, 1 12. Carol Warren (2013) Indonesia s Land Titling Program (LAP): The Market Solution? In A Lucas and C Warren (eds) Land for the People: State Policy and Agrarian Conflict in Indonesia. Athens, OH: Ohio University Press, 93-113. Carol Warren (2013) Introduction: The Land, the Law and the People. In A Lucas and C Warren (eds) Land for the People: State Policy and Agrarian Conflict in Indonesia. Athens, OH: Ohio University Press, 1-39. Carol Warren (2013) Legal Certainty for Whom? Land Contestation and Value Transformations at Gili Trawangan, Lombok. In A Lucas and C Warren (eds) Land for the People: State Policy and Agrarian Conflict in Indonesia. Athens, OH: Ohio University Press, 243-73. Carol Warren (with D Bachriadi and A Lucas) (2013) The Agrarian Movement, Civil Society, and Emerging Political Constellations. In A Lucas and C Warren (eds) Land for the People: State Policy and Agrarian Conflict in Indonesia. Athens, OH: Ohio University Press, 308-71. Carol Warren (with A Lucas) (2013) Agrarian Resources and Conflict in the Twenty-first Century. In A Lucas and C Warren (eds) Land for the People: State Policy and Agrarian Conflict in Indonesia. Athens, OH: Ohio University Press, 372-89. 8

Carol Warren (2010) Adat dalam praktek dan wacana orang Bali: Memposisikan prinsip kewargaan dan kebersamaan. In D Henley, J Davidson and S Moniaga (eds) Adat dalam Politik Indonesia. Leiden: Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV) and Yayasan Obor, 187-219. Ian Wilson (forthcoming 2014) Morality Racketeering: Vigilantism and Populist Islamic Militancy in Indonesia. In V Hadiz and Khoo BT (eds) Between Dissent and Power: The Transformation of Islamic Politics in the Middle East and Asia. London: Palgrave Macmillan. Ian Wilson (2012) Testing the Boundaries of the State: Gangs, Vigilantes and Violent Entrepreneurs in Southeast Asia. In R Robison (ed.) Routledge Handbook of Southeast Asian Politics. London: Routledge, 288-302. Ian Wilson (2012) The Biggest Cock : Masculinity, Violence and Authority Amongst Jakarta s Gangs. In L Lyons and M Ford (eds) Masculinities in Southeast Asia. London: Routledge, 121-38. Ian Wilson (2012) Selama caranya Halal: Preman Islam di Jakarta. In G Fealy and S White (eds) Ustadz Seleb, Bisnis Moral & Fatwa Online: Ragam Ekspresi Islam Indonesia Kontemporer. Komunitas Bambu, 191-206. Ian Wilson (2011) Reconfiguring Rackets: Racket Regimes, Protection and the State in Post-New Order Jakarta. in E Aspinall and G van Klinken (eds) The State and Illegality in Indonesia. Leiden: KITLV Press, 239-60. Ian Wilson (2011) The Biggest Cock: Territoriality, Invulnerability and Honour amongst Jakarta s Gangsters. In M Ford and L Lyons (eds) Men and Masculinities in Southeast Asia. London: Routledge. Ian Wilson (2010) The Rise and Fall of Political Gangsters in Indonesian Democracy. in E Aspinall and M Meitzner (eds) Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. 9

RAD RAD RAD RAD RAD RAD RAD RAD RAD KOMPAS/DAHLIA IRAWATI RAD RAD Sumber: ABARES (2011), BPS, Kementerian Perdagangan KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA (juta dollar AS) 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 FOTO: KOMPAS/AGUS SUSANTO; GRAFIK: NOVAN In the News KOMPAS, JUMAT, 28 JUNI 2 01 3 57 Media: Saat Paling Menantang bagi Surat Kabar HAL 69 Dukungan Australia pada kemerdekaan Indonesia 1945-1949 adalah sejarah yang terekam sepanjang zaman. Namun, mengapa kemudian hubungan kedua negara terus diliputi kete g a n g a n? P ernyataan sumber ketegangan terkait hal yang disebut ben- turan kebudayaan dalam bentuk paling konvensional sebenarnya mengabaikan fakta rumit pada kedua negara yang tarik-menarik seperti magnet. Ketegangan di permukaan ibarat muara dari banyak kepentingan sosial dan bersumber pada persoalan politik domestik. Kesadaran tentang hal itu sangat penting untuk menutup peluang penyalahgunaan sentimen nasionalisme pada kedua negara dan semakin mengaburkan masalah yang lebih fundamental. Selama ini yang mendapat manfaat dari ketegangan berbasis budaya dalam persepsi sempit adalah kepentingan politik konservatif di kedua negara yang bertarung mendefinisikan kesetaraan, demokrasi, hak asasi, dan martabat manusia. Politik budaya yang pertama kali harus menghapus pandangan tentang kultur yang homogen dan kecenderungan memaksakan gambaran ideal suatu negara kepada negara lain. Perbincangan tentang kultur selalu berkaitan dengan kekuasaan dan relasi kuasa. Pengabaian aspek itu menyebabkan kepekaan kultural yang keliru. Hal-hal terkait kepekaan kultural inilah yang memengaruhi hubungan dua negara dan kadang mencapai masa penuh ket e g a n g a n. Australia dianggap sering memaksakan nilai-nilai budaya (liberal) kepada Indonesia. Bukan hanya oleh orang Indonesia, melainkan juga oleh tokoh-tokoh kunci dalam perdebatan kebijakan domestik Australia. Pandangan nilai-nilai demokrasi bukan kultur Indonesia memberi pengesahan kuat pada pemerintah otoriter Orde Baru. Kepekaan kultural yang keliru tampak pada lobi politik di Australia yang berpandangan hak asasi manusia bukan budaya Indonesia, sedangkan korupsi adalah budaya Indonesia. Harus dipahami bahwa perjuangan demokrasi di Indonesia dilandasi pengalaman Indonesia mengenai isu sosial, kesetaraan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Jadi, bukan sesuatu yang dipaksakan pihak luar. Sementara itu, ada kecenderungan JUMAT, 28 JUNI 2013 EDISI 100 HAL AMAN Internasional : Kepemimpinan Kunci Sukses China HAL 74 D I S K U S I K O M P A S - M U R D O C H U N I V E R S I T Y K E T EG A N G A N Saling Menarik seperti Magnet Prof Dr Richard Robison Prof Dr Rhenald Kasali Prof Dr David T Hill menjadikan nilai-nilai tertentu sebagai bagian tak terpisahkan dari Australia. Namun, pengaruh neoliberal melalui kebijakan Pemerintah Australia yang merasuk sejak dua dekade lalu semakin mengikis solidaritas sosial sebagai detak nadi sosial demokrasi (sosdem) dalam negara kesejahteraan. Melemahnya sosdem diikuti munculnya pandangan chauvinistic (supe- rioritas sebagai bangsa) dan xenofobia (ketakutan pada orang asing) di dalam masyarakat. Secara bersamaan pemahaman toleransi liberal-pluralis sebagai bagian nilai intrinsik struktur sosial di negeri itu dengan mudah dipatahkan jika melihat perlakuan terhadap kaum Dr A Prasetyantoko Dr Sharar Hameiri Dr Inaya Rakhmani aborigin sampai saat ini. B e r ke l a n j u t a n Rezim otoritarianisme di Indonesia telah berakhir. Namun, kontroversi mengenai isu hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi, perjuangan buruh, penyelundupan orang, dan terorisme terus berlanjut. Pada saat bersamaan citra tentang Indonesia, terutama yang disebarkan media internasional, selalu dikaitkan dengan ketidakpastian dan tata kelola pemerintahan yang buruk. Indonesia lalu dituding sebagai biang kerok membanjirnya manusia kapal yang sebagian besar pengungsi dari Prof Dr Rina Oktaviani Dr Jeffrey D Wilson Prof Dr Vedi R Hadiz Irak, Afganistan, dan Sri Lanka. Mereka diselundupkan melalui Indonesia ke Australia beberapa tahun terakhir. Namun, ada fakta lain yang tak dipaparkan. Setiap tahun sekitar 2.000 kapal masuk ke wilayah Australia dan ratusan ribu visa diberikan kepada penduduk permanen. Pemerintah Australia juga tidak bersoal dengan 50.000-60.000 visa warga negara Inggris, AS, dan Selandia Baru yang melebihi batas waktu tinggal setiap tahun. Tragedi bom Bali dan di hotel JW Marriot seperti memperlihatkan keterkaitan antara demokrasi dan ketidakpastian di Indonesia serta proses Prof Dr Pratikno Dr Ian Wilson Para pembicara dalam diskusi bertema Indonesia-Australia in The 21th Century yang diadakan Harian Kompas dan Asian Research Centre Murdoch University di Redaksi Kompas, Jakarta, 4 Juli lalu adalah panelis Prof Dr David T Hill, Prof Dr Richard Robison, Prof Dr Vedi R Hadiz, Dr Ian Wilson, Dr Jeffrey D Wilson, Dr Shahar Hameiri dan Dr Inaya Rakhmani, pembahas Rektor Universitas Gadjah Mada Prof Dr Pratikno dan pengajar ekonomi Institut Pertanian Bogor Prof Dr Rina Oktaviani, serta moderator Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unika Atma Jaya Jakarta Dr A Prasetyantoko dan pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Prof Dr Rhenald Kasali. pilkada yang rusuh meski peristiwa sama terjadi di negara lain. Dugaan seperti itu dalam beberapa hal memperlihatkan kelanjutan pandangan mengenai ketidakcocokan kultural pemerintah non-otoritarian untuk masyarakat Indonesia. Alasan mempertahankan pandangan itu bersifat multifaset. Beberapa negara, termasuk Australia, merasa lebih nyaman dengan segala hal yang pasti seperti pada masa pemerintahan otoritarian yang tersentralisasi, khususnya di bidang bisnis. Boleh dibilang kepentingan sebenarnya kelompok sangat berkuasa di Australia adalah ketertiban dan kepastian di Indonesia, 57 bukan demokrasi meski retorika tentang demokrasi terus digaungkan. (Ba- ca juga Mereka Menyibak Tabir Transparansi di halaman...) Saling mendukung Atas nama kepekaan kultural (yang keliru), terorisme di Indonesia juga dipandang sebagai akibat demokrasi yang tidak pasti (chaotic), bukan akibat keterpinggiran sosial puluhan tahun di bawah pemerintah otoriter. Isu terorisme yang dikaitkan dengan kecenderungan Islam garis keras di Indonesia mewarnai hubungan Indonesia-Australia pasca-soeharto. Dukungan kepada pasukan antiterorisme Polri oleh Pemerintah AS dan Australia memicu perdebatan lebih luas dan konflik lebih dalam di kedua negara. Di Indonesia, wacana itu tak bisa dipisahkan dari mobilisasi sentimen nasionalis oleh beberapa aktor politik. Tuduhannya selain campur tangan asing terhadap urusan dalam negeri Indonesia, juga bagian dari konspirasi menyerang Islam. Hal itu berkaitan dengan perdebatan di Indonesia mengenai posisi Islam dalam masyarakat dan negara modern, seperti tecermin dalam kontroversi tentang perda syariah dan tindak kekerasan terhadap kelompok agama min o r i t a s. Diskusi mengenai posisi warga Muslim dalam masyarakat Australia juga memanas dalam konteks perang melawan teror meski pasal hukumnya dicangkokkan pada aturan lama tentang imigrasi, khususnya bagi warga negara non-eropa. Dengan kata lain, pemahaman orang Australia tentang terorisme di Indonesia banyak diwarnai ketegangan di masyarakat Australia terkait perang melawan teror. Situasi itu dimanfaatkan berbagai kelompok berbeda kepentingan yang bersatu ketika ketegangan terjadi. Koalisi sosial yang diuntungkan sentimen xenofobia mengadvokasi kebijakan imigrasi dan menyebar ketakutan terhadap pendatang yang katanya akan menguras sumber daya negara itu. Seluruh pemaparan di atas memperlihatkan diulangnya kasus terkait kepekaan kultural yang keliru sehingga memberi angin kepentingan konservatif di kedua negara. Terlepas dari semua itu sebenarnya masyarakat Indonesia dan Australia menghadapi perjuangan sama, yakni mencapai demokrasi bermakna, keadilan, martabat, dan kesetaraan sosial. Karena itu, salah satu cara membangun pengertian di antara keduanya adalah menjauhi narasi resmi yang keliru mengenai budaya dan saling mendukung perjuangan masing-masing. KOMPAS, JUMAT, 28 JUNI 2013 D I S K U S I K O M P A S - M U R D O C H U N I V E R S I T Y 61 K etimpangan tampak dari perbandingan jumlah antara siswa/mahasiswa Australia yang belajar di Indonesia dan siswa/mahasiswa Indonesia yang belajar di Australia. Saat ini diperkirakan tiap tahun sekitar 15.000 orang Indonesia belajar di Australia, mulai dari tingkat sekolah menengah pertama hingga pascasarjana. Sebelum ada program Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS) tahun 1994, nyaris tak ada warga Australia belajar di Indonesia. Program ACICIS, diprakarsai Murdoch University yang mengajak beberapa universitas lain, berhasil menarik minat 45-60 orang per semester dan sudah membantu sekitar 1.400 orang untuk belajar di Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Indonesia, Universitas Katolik Atma Jaya, dan Universitas Parahyangan. Dampaknya, pengetahuan dan pemahaman dari sisi Indonesia terhadap Australia masih lebih baik daripada pemahaman dan pengetahuan orang Australia terhadap Indonesia. Sementara di Australia, minat belajar bahasa Indonesia cenderung menurun. Hanya ada 20-30 mahasiswa berbagai universitas belajar selama setahun di Murdoch University. Selain itu, banyak tempat belajar bahasa Indonesia tutup. Rupanya Pemerintah Indonesia mulai menyadari perubahan situasi tersebut. Pada Mei 2013, Duta Besar Indonesia untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema membuat program pendidikan singkat bagi mahasiswa pascasarjana Indonesia di Australia. Mereka diminta mengajar bahasa Indonesia untuk kursus singkat temporer. Ekspor pendidikan Pendidikan telah menjadi komoditas kompleks yang mampu memengaruhi relasi antarnegara di tataran politik, ekonomi, dan sosial. Secara bertahap, pendidikan menjadi ajang diplomasi publik. Bagi Australia, pendidikan adalah juga bisnis dan ekspor terbesar keempat dengan nilai lebih dari 15 miliar dollar Australia (lebih Rp 135 triliun) yang mampu menyediakan 100.000 lapangan pekerjaan. Sekitar 15.000 pelajar Indonesia telah menambah pendapatan 500 juta dollar (sekitar Rp 4,5 triliun) untuk Australia per tahun. Sekitar 21 persen mahasiswa di Australia adalah mahasiswa asing. Angka berkebalikan drastis jika melihat posisi Indonesia dalam dunia pendidikan tinggi. Tanpa data memadai, memakai kalkulasi kasar didapat angka sekitar 750.000 dollar Australia (lebih Rp 6,5 miliar). Sementara kursus musim panas menghasilkan sekitar 1 juta dollar AS (lebih Rp 9 miliar). Secara formal, kerja sama pendidikan telah dimulai sejak tahun 1950-an saat negara-negara Commonwealth, termasuk Australia, membuat program Colombo Plan. Colombo Plan yang diperluas mencakup negara-negara non-commonwealth, termasuk Indonesia. Wakil Presiden Boediono serta pengacara dan aktivis hukum senior Adnan Buyung Nasution adalah peserta program tersebut yang belajar di Australia. Sebaliknya, jumlah mahasiswa asing di Indonesia yang terbanyak berasal dari Malaysia, yaitu sekitar 6.500 mahasiswa, disusul dari Timor Leste sekitar 2.300 mahasiswa pada tahun 2008, dan di posisi ketiga diisi Australia. Indonesia sebagai anggota organisasi masyarakat Asia Tenggara ASEAN berada di dalam Jaringan Universitas ASEAN, salah satu jaringan terkuat di ASEAN. Di tengah meningkatnya kemakmuran Asia dan semakin menyatunya Asia ke dalam satu kawasan ekonomi, politik, sosial, dan budaya, negara di luar ASEAN, seperti Jepang, Korea Selatan, dan China, juga masuk ke dalam jaringan ini. Australia, di sisi lain, belum memanfaatkan jaringan P E N D I D I KA N Potensi Diplomasi yang Terabaikan Potensi bidang pendidikan untuk memperkuat pemahaman antarnegara Indonesia dan Australia belum sepenuhnya tergali. Meskipun sudah lebih dari lima dekade membangun hubungan melalui program pendidikan, perkembangan arus pelajar antardua negara yang timpang mengakibatkan pemahaman yang juga masih sepihak. S i sw a Lorne Aireys Inlet P-12 College dari Australia belajar Tari Remo di SMA Muhammadiyah 2 Surabaya, Jawa Timur, Minggu (26/6/2011). Minat orang Australia belajar tentang Indonesia belakangan menurun, sementara jumlah pelajar Indonesia di Australia tetap tinggi. Pendidikan selain dapat menjadi sumber devisa juga sebagai alat diplomasi melalui hubungan orang per orang. ini. Belakangan tampak kecenderungan mahasiswa Indonesia memilih Korea Selatan dan China. Penyebabnya, antara lain, karena biaya pendidikan yang lebih murah, selain juga kepentingan Pemerintah Korea Selatan memanfaatkan fasilitas di lembaga pendidikan tingginya yang mulai berada di bawah kapasitas setelah melambatnya pertumbuhan penduduk Korsel. Lobi politik Dalam kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terdapat tiga menteri lulusan Australia, yaitu Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, dan Menteri Keuangan Chatib Basri, selain Wapres Boediono. Lobi Australia ini masih kalah dominan dari apa yang disebut lobi Amerika yang saat pemerintah Orde Baru dijuluki Mafia Berkeley. Orang-orang di dalamnya mendominasi kabinet era Soeharto dengan kebijakan ekonomi pembangunannya. Argumentasi saat itu, penempatan lulusan AS adalah untuk meningkatkan mutu perguruan tinggi di Indonesia serta menetralisasi paham komunisme. Saat ini dalam kabinet di Indonesia terdapat 10 lulusan AS, sekitar seperempat jumlah menteri. Di sisi lain, di Australia tak satu pun anggota kabinet pernah tinggal atau belajar di Indonesia. Sukses ekspor pendidikan Australia yang menghasilkan sarjana Indonesia dengan pengetahuan tentang Australia dipandang Pemerintah Australia tidak cukup untuk menyongsong masa depan. Dalam The Asian Century White Pa p e r yang diterbitkan pemerintahan Julia Gillard Oktober 2012, disebutkan peta jalan untuk penguasaan pengetahuan akan Asia di kalangan anak muda Australia pada 2025. Pemuda Australia didorong membina hubungan dengan pemuda Indonesia, India, China, Thailand, Jepang, dan Korea. Implikasinya, universitas di Australia didorong memiliki penelitian bersama dengan perguruan tinggi di Indonesia. Perguruan tinggi di Australia didorong meningkatkan jumlah mahasiswa yang belajar soal kajian Asia, seperti bahasa. Perguruan tinggi di Australia juga didorong membuka perwakilan di negara lain atau membuat sistem agar kredit mata kuliah bisa dikonversi. Melengkapi itu dikucurkan dana beasiswa AsiaBound senilai 37 juta dollar Australia. Bila Pemerintah Australia menyadari pendidikan memiliki dimensi politik, sosial, dan bisnis dengan pelaku utamanya warga, hal itu belum sepenuhnya disadari Pemerintah Indonesia. Dalam perundingan bilateral, pendidikan selalu mendapat prioritas rendah. Indonesia negara dengan populasi keempat terbanyak di dunia memiliki posisi strategis dalam geopolitik global. Pada masa lalu, isu Timor Leste sempat mengganggu hubungan Indonesia-Australia di tingkat pemerintah dan individu, termasuk pelajar Indonesia di Australia. Saat ini dan ke depan, isu Papua dapat menjadi batu sandungan hubungan kedua negara. Pendidikan adalah cara termudah menjembatani kesenjangan pemahaman satu sama lain karena orang per orang dapat melakukan. Australia adalah negara tetangga terdekat. Ketahanan regional tergantung pada kedekatan pada tetangga. KOMPAS, JUMAT, 28 JUNI 2013 D I S K U S I K O M P A S - M U R D O C H U N I V E R S I T Y 59 64 KOMPAS, JUMAT, 28 JUNI 2 01 3 D I S K U S I K O M P A S - M U R D O C H U N I V E R S I T Y P erahu yang dinaiki 55 pencari suaka itu tenggelam di perairan utara Pulau Christmas, awal Juni 2013. Tim penyelamat Australia menemukan 13 jenazah terapung di laut bersama puing perahu dan sejumlah jaket pelampung. Setiap insiden tragis seperti ini terjadi, terkesan ada keinginan melibatkan Indonesia. Dalam tiap pemberitaan di media Barat, selalu disebut lokasi kejadian lebih dekat dengan wilayah Indonesia daripada dengan daratan utama Benua Australia. Dalam berita Agence France Presse (AFP), Minggu (9/6), Komandan Komando Perlindungan Perbatasan Australia Laksamana Pertama David Johnston menyatakan, otoritas maritim Indonesia, dalam hal ini Basarnas (Badan SAR Nasional), Tentu saja tahu tentang insiden itu. Namun, lanjut Johnston, Basarnas telah disibukkan membantu perahu lain yang berada lebih dekat dengan garis pantai Indonesia. Bukan rahasia lagi, para manusia perahu ini memang berangkat dari Indonesia, menggunakan perahu nelayan asal Indonesia, dan diawaki orang Indonesia. Organ PBB untuk Urusan Kriminalitas dan Obat-obatan Terlarang (UNODC), dalam laporan bertajuk Transnational Organized Crime in East Asia and the Pacific: A Threat Assessment yang dirilis 16 April, menyebut, Indonesia adalah titik transit utama jaringan penyelundupan manusia yang menyelundupkan para imigran, terutama dari Irak, Afganistan, Iran, Sri Lanka, dan warga etnis minoritas Rohingya dari Myanmar, menuju Australia. Begitu tiba di Indonesia, baik melalui jalur udara maupun laut, mereka kemudian diberangkatkan ke wilayah Australia melalui dua titik utama, yakni pesisir selatan Jawa serta Bali dan S u m b awa. Rombongan dari Jawa menuju Pulau Christmas yang berjarak sekitar 340 kilometer sebelah selatan Jawa. Sementara dari Bali dan Sumbawa, mereka menuju Karang Ashmore, h a ny a 150 kilometer dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Meskipun mereka berangkat dari Indonesia, bukan berarti warga negara Indonesia turut dalam gelombang eksodus ke Australia. UNODC memaparkan gamblang, pencari suaka bukan orang Indonesia. Kalaupun ada orang Indonesia ikut sampai ke Australia, mereka biasanya awak perahu nelayan yang disewa pencari suaka. MANUSIA PERAHU Duri Aba di Hubungan I n d o n e s i a -Au st ra l i a Sekitar tiga pekan lalu, debat soal manusia perahu atau pencari suaka kembali memanas di Australia. Pemicunya, seperti sudah puluhan atau bahkan ratusan kali terjadi, adalah kecelakaan perahu pengangkut pencari suaka yang menimbulkan korban jiwa. Sebanyak 21 imigran asal Sri Lanka, Selasa (26/3), terdampar di perairan pantai selatan Kabupaten Malang, Jawa Timur. Mereka hendak mencari suaka ke Australia demi mendapatkan kehidupan lebih baik. Imigran gelap merupakan salah satu isu yang diwarnai salah persepsi, baik oleh pihak Indonesia maupun Australia. P ra s a n g ka Meskipun demikian, orang Australia telanjur mudah mengambil stereotip setiap manusia perahu adalah orang asal Indonesia. Sebuah kejadian nyata dialami seorang Indonesia saat sedang berjalan-jalan di Fremantle, Australia Barat. Saat bertemu penduduk kulit putih setempat, ia ditanya, Apakah Anda baru saja turun dari perahu? Dalam prasangka mereka, semua orang Indonesia dianggap imigran gelap yang datang dengan perahu. Jawaban orang Indonesia itu, S ay a datang kemari naik pesawat. Bagaimana dengan kakek Anda, perahu mana yang dia tumpangi? Jawaban itu mengingatkan, kakek moyang orang kulit putih Australia sesungguhnya juga imigran dari Eropa. Karikatur di surat kabar Northern Territory News di Australia saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Australia, Juli 2012, memperlihatkan seorang perempuan Australia, kemungkinan yang dimaksud adalah Perdana Menteri Julia Gillard, menyambut orang Indonesia mengenakan peci dan berdasi, kemungkinan yang dimaksud Presiden SBY, di bawah tangga pesawat, dengan kalimat Se- nang melihat Anda datang naik pesawa t. Karikatur sarkastis itu langsung memicu komentar anti-australia saat ditayangkan di edisi daring salah satu surat kabar nasional di Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana isu manusia perahu bisa memicu sentimen sedalam itu di Australia, mengingat imigran yang menuju Australia bukan hal baru. Faktanya, rata-rata hanya ada sekitar 2.000 manusia perahu datang ke wilayah Australia tiap tahun. Sementara Australia mengeluarkan lebih dari 100.000 visa permanent residence s et i a p tahun. Di Australia juga ada 50.000-60.000 pemegang visa atau yang sudah melebihi batas waktu tinggal di sana. Semua itu tak diributkan karena mereka rata-rata warga Amerika, Inggris, dan Selandia Baru. Sementara jika yang datang para pencari suaka dari negara yang sedang dilanda tragedi kemanusiaan selalu jadi perdebatan politik panas di Australia. Pengacara keadilan sosial Elizabeth O Shea dalam tulisan di harian The G u a rd i a n Australia, 11 Juni, mengemukakan, arus kedatangan pencari suaka tersebut hanya menyumbangkan sekitar 2 persen dari total imigran Australia. Namun, tulis O Shea, mayoritas warga Australia tak memahami itu. Isu migrasi nonreguler tersebut harus juga diletakkan dalam konteks perubahan konsep ancaman di Barat setelah era Perang Dingin, dan terutama pasca-serangan 11 September 2001. Hal ini tecermin, antara lain, dalam program bantuan Barat, termasuk Australia, kepada negara berkembang. Bantuan Australia kepada Indonesia berhubungan dengan kepentingan Pemerintah Australia untuk mengelola beragam isu keamanan nontradisional. Migrasi nonreguler, selain terorisme dan penyakit infeksi menular, dianggap sebagai isu keamanan nontradisional. Konflik internal Gambaran di atas dapat dilihat sebagai dampak pengikisan paham demokrasi sosial oleh serangan neoliberal. Hal tersebut menimbulkan semacam kegelisahan di kalangan mayoritas warga Australia. Kegelisahan itu berubah menjadi perasaan xenofobia, suatu kekhawatiran pendatang akan mengambil jatah pekerjaan orang Australia dan hanya memanfaatkan sistem kesejahteraan sosial di negeri itu. Konflik internal di dalam masyarakat Australia sendiri itulah yang lebih sering menimbulkan masalah dengan Indonesia daripada gagasan hubungan kedua negara memang memiliki aspek intrinsik inheren untuk saling curiga dan bermusuhan. Di tengah kebingungan memuncak di Australia, menteri luar negeri bayangan Australia dari pihak oposisi, Julia Bishop, awal Juni lalu mengklaim sudah berkoordinasi dengan Indonesia untuk memulangkan perahu itu kembali ke Indonesia. Duta Besar RI untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema langsung membantah klaim itu. Nadjib menegaskan, dalam konteks masalah pencari suaka, Indonesia juga korban. Jadi, memulangkan mereka ke Indonesia bukan solusi. Seperti dikutip Radio Australia 1 Juni lalu, Nadjib menekankan, bila ingin memulangkan pencari suaka, mereka harus dipulangkan ke negara asal, bukan ke Indonesia yang hanya menjadi negara transit. Pemerintah Indonesia bahkan menyebut usulan kebijakan itu sebagai langkah mundur. Sampai pemahaman yang lebih baik di antara pemerintahan dan masyarakat masing-masing negara terbentuk, isu manusia perahu tampaknya akan terus menjadi duri dalam daging. PENGELOLAAN EKONOMI Mereka Menyibakkan Tabir Transparansi Para akademisi dari Australia tersebut dalam diskusi berbicara datar-datar saja. Akan tetapi, penuturan mereka membuai dan membuka tabir pemikiran. M ereka memperkuat penerawangan tentang pengelolaan ekonomi domestik yang baik. Tujuannya demi kemakmuran warga, bukan segelintir elite. Isinya bukan sesuatu yang baru karena para teknokrat Indonesia pun punya pemahaman soal itu. Sekadar informasi, Australia adalah negara yang masuk dalam urutan 10 besar kelompok negara tersejahtera di dunia. Sejahtera melebihi arti dari terkaya. Penuturan mereka sungguh memberi nuansa tentang bagaimana memakmurkan warga dengan sumber daya alam sendiri. Secara ekonomi hubungan bilateral Indonesia-Australia tidak luar biasa dari segi volume dan nilai perdagangan. Namun, ada banyak hal bisa ditiru Indonesia dari Australia. Australia, sama seperti Indonesia, kaya batubara, bijih besi, emas, gas, minyak, dan aluminium. Perbedaan kedua negara adalah pada bagaimana mengelola sumber daya alam itu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jika kurs dollar Australia kini setara dengan kurs dollar AS, hal itu lebih banyak disebabkan sukses mereka meraih penerimaan devisa yang besar dari sumber daya alam. Wakil Perdana Menteri yang juga Menteri Keuangan Australia Wayne Swan pada 9 Juni 2013 menyatakan, Ekonomi Australia mengalahkan rata-rata pertumbuhan negara-negara maju. Sektor pertambangan merupakan pendorong besar bagi produk domestik bruto (PDB) Australia. Total nilai produksi sektor pertambangan mencapai 140 miliar dollar Australia dan menyumbang lebih dari 50 persen total kegiatan manufaktur Australia. Mekanisme pasar vs nasionalisme Uniknya negara ini tidak direpotkan keterlibatan langsung eksplorasi. Mekanisme pasar sepenuhnya menjadi landasan utama pengelolaan sektor pertambangan. Ini berbeda dengan Indonesia yang memiliki unsur nasionalisme dan campur tangan pemerintah. Pemerintah Australia membiarkan eksplorasi ditangani korporasi dan negara mengambil manfaat melalui pungutan pajak sektor pertambangan yang diberlakukan progresif. Dengan sistem perpajakan yang diterapkan, dari tahun ke tahun penerimaan pajak di sektor pertambangan terus meningkat. Bagi pemerintah, hal terpenting adalah memaksimalkan penerimaan dari sektor pertambangan. Tidak banyak birokrasi terlibat dan siapa saja diperbolehkan terlibat dalam sektor ini. Hal terpenting dan kunci keberhasilan menjadikan pertambangan sumber kemakmuran masyarakat Australia adalah transparansi. Ada kejelasan besarnya produksi, biaya produksi, dan penerimaan. Pemerintah berkonsentrasi pada sistem yang menjamin transparansi keuangan penuh untuk mengikis potensi penggelapan volume produksi dan pembengkakan biaya produksi yang berpotensi merugikan negara dari sisi penerimaan. Pengalaman Australia itu mengingatkan pada pengelolaan sektor pertambangan di Indonesia yang memberi kesan tertutup, tidak transparan, dan menimbulkan pertanyaan. Hal itu tecermin dari gugupnya pemerintah saat harus memutuskan untuk mengurangi atau tidak mengurangi subsidi bahan bakar minyak. Ada gugatan soal transparansi pengelolaan sektor pertambangan migas yang hingga sekarang dipersepsikan sungguh tidak kredibel. Transparansi menjadi contoh yang layak ditiru dari Australia terlepas dari siapa pun yang terlibat dalam sektor pertambangan. Di sisi eksplorasi, Indonesia juga bisa belajar dari Australia yang termasuk andal dalam manajemen eksplorasi sumber daya mineral, terutama dikaitkan dengan isu lingkungan dan pengelolaan secara berkelanjutan. Tidak bisa lagi dibiarkan sumber daya alam diambil secara sembarangan dengan konsekuensi kerusakan lingkungan. Kultur korporasi Pola perekonomian Australia secara umum selalu berlandaskan pada mekanisme pasar dengan pengawasan ketat pemerintah. Korporasi Australia terbiasa bekerja dengan birokrasi yang tidak berliku-liku dan hanya mengandalkan kompetisi dengan sistem tender terbuka serta bersih. Dengan latar belakang kultur bisnis di negaranya, ternyata tidak mudah bagi pengusaha Australia masuk ke pasar Indonesia. Itu tidak lain karena pengusaha Australia terbiasa dengan kultur transparansi. Di satu sisi hal itu diakui sebagai kelemahan pihak Australia yang tidak mau repot-repot dengan urusan birokrasi di Indonesia. Inilah yang membuat mereka terhambat melakukan penetrasi pasar di Indonesia. Paling banter Australia hanya dikenal melalui beberapa korporasi di sektor perbankan, produk pertanian seperti buah, dan beberapa usaha pertambangan. Di sisi lain Indonesia dapat memanfaatkan budaya transparansi dalam pengelolaan bisnis dan birokrasi pemerintahan yang tidak berbelit-belit yang dibawa korporasi Australia. Korporasi Australia secara eksplisit selalu ingin bekerja dengan kultur transparan yang merupakan darah daging mereka. Jika ingin mengikis pola bisnis yang didasari pada nepotisme, apalagi praktik suap dan korupsi, membuka pintu bagi korporasi Australia ke pasar Indonesia layak jadi pemikiran penting. Ada banyak pakar di Australia yang berpenduduk 22,3 juta jiwa itu yang paham soal Indonesia. Namun, tidak banyak pakar soal Australia di Indonesia. Australia boleh saja bukan negara mitra dagang Indonesia yang terpenting (lihat tabel). Namun, suprastruktur pengelolaan ekonomi yang baik bisa dipelajari dari Australia. Jika para anggota DPR serius melakukan studi banding ke negara lain bukan untuk jalan-jalan jauh demi liburan dengan biaya negara, Australia adalah tujuan tepat. Dari segi produk Indonesia dan Australia relatif tidak bersaing di pasar global. Kedua negara memiliki hubungan ekonomi saling melengkapi. Dengan demikian, kerja sama kedua negara tidak perlu dalam bentuk persaingan, termasuk dalam sektor pertanian. Bahkan, di sektor pertanian dan pangan, Indonesia bisa belajar banyak dari profesionalitas negara tetangga tersebut. Entah apakah para elite Indonesia sudah mampu menangkap potensi Australia yang berjarak dekat secara geografis itu, tetapi telah lama diabaikan karena masalah persepsi yang keliru di setiap negara. EKSPOR HASIL PERTANIAN AUSTRALIA China Jepang Asia Utara Lainnya Indonesia Asia Tenggara Lainnya Asia Selatan Afrika dan Timur Tengah Uni Eropa-27 Amerika 1990-1991 2000-2001 2010-2011 NERACA PERDAGANGAN INDONESIA-AUSTRALIA (MIGAS DAN NONMIGAS) (juta dollar AS) 2008 2009 2010 2011 2012 Jan-Feb Jan-Feb 2012 2013 Total perdagangan 8.108,5 6.700,2 8.343,4 10.759,6 10.203,1 1.488,6 1.212,5 Ekspor 4.111,0 3.264,2 4.244,4 5.582,5 4.905,4 703,8 505,3 Impor 3.997,5 3.436,0 4.099,0 5.177,1 5.297,6 784,8 707,2 Neraca perdagangan 113,4-171,8 145,4 405,5-392,2-81,0-201,8 NEGARA TUJUAN EKSPOR INDONESIA (miliar dollar AS) 2008 2009 2010 2011 2012 Jan-Feb Jan-Feb Perubahan 2012 2013 2012-2013 Total ekspor 137,0 116,5 157,8 203,5 190,0 31,3 30,4-2,80% 1. Jepang 27,7 18,6 25,8 33,7 30,1 5,4 4,7-14,15% 2. China 11,6 11,5 15,7 22,9 21,7 3,0 3,5 16,83% 3. Singapura 12,9 10,3 13,7 18,4 17,1 2,6 3,1 21,28% 4. Korea Selatan 9,1 8,1 12,6 16,4 15,0 3,0 2,0-33,81% 5. Amerika Serikat 13,0 10,9 14,3 16,5 14,9 2,5 2,5 2,65% 6. India 7,2 7,4 9,9 13,3 12,5 2,0 2,3 16,18% 7. Malaysia 6,4 6,8 9,4 11,0 11,3 1,8 1,8 0,10% 8. Thailand 3,7 3,2 4,6 5,9 6,6 1,1 1,0-1,94% 9. Taiwan 3,2 3,4 4,8 6,6 6,2 1,0 0,9-7,33% 10. Australia 4,1 3,3 4,2 5,6 4,9 0,7 0,5-28,20% NEGARA PENGEKSPOR KE INDONESIA (miliar dollar AS) 2008 2009 2010 2011 2012 Jan-Feb Jan-Feb Perubahan 2012 2013 2012-2013 Total ekspor 129,2 96,8 135,7 177,4 191,7 29,4 30,8 4,56% 1. China 15,2 14,0 20,4 26,2 29,4 4,4 4,5 3,41% 2. Singapura 21,8 15,6 20,2 26,0 26,1 4,1 4,8 14,56% 3. Jepang 15,1 9,8 17,0 19,4 22,8 3,6 3,1-13,31% 4. Malaysia 8,9 5,7 8,6 10,4 12,2 1,9 2,0 3,30% 5. Korea Selatan 6,9 4,7 7,7 13,0 12,0 1,7 2,2 32,55% 6. Amerika Serikat 7,9 7,1 9,4 10,8 11,6 1,6 1,2-25,39% 7. Thailand 6,3 4,6 7,5 10,4 11,4 1,7 1,8 5,89% 8. Australia 4,0 3,4 4,1 5,2 5,3 0,8 0,7-9,89% 9. Arab Saudi 4,8 3,1 4,4 5,4 5,2 0,7 0,9 33,24% 10. Taiwan 2,9 2,4 3,2 4,3 4,7 0,7 0,7 3,12% Perubahan 2012-2013 -18,5% -28,2% -9,9% 149,3% Tren 2008-2012 12,88% 7,91% 21,33% 12,30% 18,55% 7,04% 18,50% 17,38% 19,60% 22,52% 9,31% Tren 2008-2012 14,97% 21,40% 9,12% 16,16% 13,16% 23,42% 12,71% 22,08% 10,22% 7,32% 17,04% Tren 2008-2012 9,8% 9,3% 10,2% 0,0% Persentase 2012 100% 15,86% 11,40% 9,02% 7,92% 7,83% 6,58% 5,94% 3,49% 3,28% 2,58% Persentase 2012 100% 15,33% 13,61% 11,88% 6,39% 6,24% 6,05% 5,97% 2,76% 2,71% 2,45% 10