TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL *) Oleh: Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M **)

dokumen-dokumen yang mirip
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 168, (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889)

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

Pembebanan Jaminan Fidusia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

HIPOTIK KAPAL LAUT. Abdul Salam Fakultas Hukum Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/19/PBI/2006 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

I. PENDAHULUAN. untuk menanggung pembayaran kembali suatu hutang, oleh karena itu

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN HAK TANGGUNGAN PADA PT. BPR ARTHA SAMUDRA DI KEDIRI

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBUK INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENYELESAIAN SECARA HUKUM PERJANJIAN KREDIT PADA LEMBAGA PERBANKAN APABILA PIHAK DEBITUR MENINGGAL DUNIA

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG PEMBERDAYAAN INDUSTRI PELAYARAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hak Tanggungan. Oleh: Agus S. Primasta 2

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/ 26 /PBI/2011 TENTANG

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/26/PBI/2011 TENTANG

PENJUALAN DIBAWAH TANGAN TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PENYELESAIAN KREDIT NARATAMA BERSADA CABANG CIKUPA, KABUPATEN

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH MENURUT UNDANG - UNDANG NOMOR 04 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69/PMK.06/2014 TENTANG

No Restrukturisasi Perbankan, Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan tentang Penanganan Permasalahan Solvabilitas Bank Sistemik, Peraturan Lembaga

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA TAKE OVER PEMBIAYAAN DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI CABANG MEDAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Kapal laut merupakan salah satu transportasi perairan yang sangat. Indonesia, baik dalam pengangkutan umum maupun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut pihak-pihak sebaiknya dituangkan dalam suatu surat yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu

PERLAWANAN TERHADAP EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DAN PENGOSONGAN OBJEK LELANG OLEH : H. DJAFNI DJAMAL, SH., MH. HAKIM AGUNG REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BAB III PERBANDINGAN HUKUM JAMINAN FIDUSIA MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 DENGAN HUKUM RAHN TASJÎLÎ

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/14/PBI/2011 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract)

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang

GUBERNUR BANK INDONESIA,

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 201/PMK.06/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 259/PMK.04/2010 TENTANG JAMINAN DALAM RANGKA KEPABEANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan

EKSEKUSI BARANG JAMINAN FIDUSIA DAN HAMBATANNYA DALAM PRAKTEK

HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan pendapatan perkapita masyarakat dan. meningkatnya kemajuan tersebut, maka semakin di perlukan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/ 11 /PBI/2002 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK UMUM PASCATRAGEDI BALI GUBERNUR BANK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan ini, maka banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN SUKINO Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Riau

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG SEKURITISASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukm normatife-terapan, karena didalam pelaksanaan

CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Pinjam meminjam merupakan salah satu bagian dari perjanjian pada

BENTUK-BENTUK JAMINAN MENURUT HUKUM INDONESIA

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERUBAHAN BANK GARANSI DALAM SUATU PENJAMINAN. A. Prosedur Perubahan/Amendment Bank Garansi Terhadap Perubahan Nilai

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata

BAB I PENDAHULUAN. nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga. Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB II KAPAL LAUT SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN KREDIT DAN PELAKSANAAN EKSEKUSINYA. A. Landasan Teori Tentang Kapal Laut Sebagai Jaminan

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/14/PBI/2011 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada masyarakat. Mengingat

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah kebutuhan akan modal usaha dan investasi sebagai penunjang bisnis

PEMERINTAH DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masyarakat yang sejahtera adil dan makmur berdasarkan Pancasila

Imma Indra Dewi Windajani

LEMBARAN-NEGARA Republik Indonesia No.42 Tahun 1996

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 259/PMK.04/2010 TENTANG JAMINAN DALAM RANGKA KEPABEANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha sangat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya iklim

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT. ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE KOTA JAYAPURA

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

Benda??? HUKUM/OBYEK HAK Pengertian Benda secara yuridis : Segala sesuatu yang dapat menjadi obyek Hak Milik (Sri soedewi M.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam suatu perjanjian kredit memerlukan adanya suatu jaminan. Namun

BAB 1 PENDAHULUAN. Bakti, 2006), hlm. xv. 1 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.v, (Bandung:Citra Aditya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan laju perekonomian akan menimbulkan tumbuh dan

KETERKAITAN PERBANKAN DALAM TRANSAKSI WAREHOUSE RECEIPT 1. Oleh: Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M 2

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan mempunyai peranan penting dalam menjalankan. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan diatur bahwa:

keuangan untuk menutupi risiko kerugian yang mungkin akan terjadi.

Transkripsi:

TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL *) Oleh: Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M **) A. Pendahuluan Dari sisi hukum, adanya Undang- Undang yang mengatur suatu transaksi tentunya akan memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Sementara, bagi industri perbankan, adanya suatu undang-undang yang mengatur hipotek atas kapal juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan pembiayaan perbankan. Bank sebagai pemberi kredit (kreditur), dalam rangka pemberian kredit/pembiayaan kepada masyarakat harus hati-hati (prudent) karena dana yang disalurkan bank pada dasarnya bukan milik bank sendiri, melainkan bersumber dari dana masyarakat dalam bentuk simpanan masyarakat. Oleh karena itu, dalam memberikan pembiayaan kepada debitur bank harus memiliki keyakinan bahwa proyek yang dibiayainya tidak akan menimbulkan kerugian bagi bank. Mengingat filosofi dasar dari perkreditan adalah credo *) Beberapa materi dalam makalah ini telah disampaikan dalam seminar Telaah Kritis dan Konstruktif Terhadap RUU Klaim Maritim dan Hipotek Kapal pada tanggal 20 September 2006 di Hotel Milenium, Jakarta **) Deputi Direktur Hukum Bank Indonesia artinya keyakinan, untuk meminimalkan risiko, maka bank wajib mempunyai keyakinan atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk mengembalikan pinjamannya sesuai dengan perjanjian kredit. Untuk memperoleh keyakinan itu sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian atas watak,kemampuan,modal,agunan dan prospek usaha calon debitur. Agunan tersebut dapat berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan pembiayaan bank. Selain itu bank juga dapat meminta agunan tambahan. 1 Dalam hal bank memberikan pembiayaan dalam rangka membiayai suatu proyek, maka proyek yang dibiayai tersebut merupakan jaminan utama sumber pengembalian pembiayaan bank. Dalam hal bank memiliki keyakinan bahwa proyek yang dibiayai dapat mencukupi untuk pengembalian pembiayaan yang diberikan maka bank tidak perlu meminta jaminan tambahan. Namun, apabila bank menganggap masih perlu adanya jaminan tambahan, maka bank dapat meminta agunan tambahan di luar proyek yang dibiayai. Terkait 1 Bandingkan penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 24 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

dengan RUU Hipotek Kapal, Perbankan diharapkan dapat memberikan pembiayaan untuk pembelian kapal baik baru maupun bekas. Dalam sejarah hipotek, lembaga hipotek diberlakukan sebagai jaminan yang melekat pada seluruh benda tidak bergerak, tetapi dalam perkembangannya jaminan atas tanah sebagai salah satu benda tidak bergerak telah diatur dalam lembaga sendiri yaitu hak tanggungan. Benda tidak bergerak yang masih dapat dijadikan obyek hipotek antara lain adalah kapal laut dengan ukuran isi kotor sekurangkurangnya 20 m3. 2 Saat ini di Indonesia hipotek kapal laut tunduk pada KUH Dagang dan konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, yaitu Konvensi Internasional tentang Piutang Maritim dan Mortgage 1993. 3 Selain itu, pengaturan hipotek yang terdapat di dalam KUH Perdata sebagian berlaku juga bagi hipotek kapal laut. Dalam KUH Dagang, diatur bahwa kapal yang dibukukan dalam register kapal dapat diletakkan hipotek. 4 Selanjutnya diatur pula tentang tingkatan diantara segala hipotek satu sama lain, yang ditentukan berdasarkan hari pembukuan. Hipotek yang 2 Vide Pasal 46 ayat (1) UU No. 21 tahun 1992 tentang Perkapalan. 3 Ditetapkan melalui Peraturan Presiden RI No. 44 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convention on Maritime Liens and Mortgages, 1993. 4 Vide Pasal 314 KUH Dagang. dibukukan pada hari yang sama, mempunyai tingkat yang sama pula. 5 KUH Dagang mengatur pula bahwa apabila sebuah kapal tidak lagi merupakan sebuah kapal Indonesia, maka segala piutang hipotek menjadi dapat ditagih walaupun piutang tersebut belum jatuh tempo. Piutangpiutang dimaksud, sampai saat dilunasinya, tetap dapat diambilkan pelunasannya dari kapal tersebut, secara mendahulukannya dari pada piutangpiutang yang terbit kemudian, biarpun piutang-piutang yang belakangan ini didaftarkan di luar wilayah Indonesia. 6 Apabila kapal yang dihipotekkan dilelang-sita di luar wilayah Indonesia, maka kapal itu tidak dibebaskan dari hipotek yang diletakkan di atasnya. 7 Kemudian diatur pula tentang piutangpiutang yang didahulukan atas kapal. 8 Pengaturan hipotek kapal laut di dalam KUH Dagang didilengkapi dengan diratifikasinya Konvensi Internasional tentang Piutang Maritim dan Mortgage 1993, khususnya pengaturan tentang perubahan pemilik dan pendaftaran, penyerahan dan subrogasi, pemberitahuan penjualan paksa, dan perubahan bendera sementara. Ketiga pengaturan dimaksud dibuat untuk melindungi pemegang hak hipotek atas kapal, khususnya yang berlayar antar negara. 5 Vide Pasal 315 KUH Dagang. 6 Vide Pasal 315d KUH Dagang. 7 Vide Pasal 315e KUH Dagang. 8 Vide Pasal 316 KUH Dagang. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 25 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

B. Pembahasan Bagi industri perbankan, hal penting yang senantiasa menjadi pertimbangan dalam pemberian pembiayaan adalah kepastian pengembalian dana dan bunga oleh debitur sesuai jangka waktu yang telah di sepakati dalam perjanjian kredit. Faktor penting yang seyogianya diperhatikan terkait dengan suatu agunan (proyek yang dibiayai) adalah kemudahan untuk menjual agunan dalam hal debitur gagal memenuhi kewajibannya untuk mengembalikan pembiayaan yang diterima pada saat pembiayaan jatuh tempo. Hal ini untuk menjamin likuiditas bank sebagai kreditur mengingat dana yang disalurkan oleh bank sebagian besar berasal dari simpanan masyarakat yang harus dijamin pengembaliannya oleh bank. Dalam hal perusahaan perkapalan (shipping company) sebagai debitur gagal mengembalikan pembiayaan yang diterimanya kepada bank, ketentuan saat ini yang mengatur tentang eksekusi kapal laut adalah: 1. Pasal 224 HIR berkaitan dengan hipotek pada umumnya mengatur bahwa gross atau copy pertama yang otentik dari akte hipotek mempunyai status yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sehingga pihak pemegang hipotek dapat meminta bantuan pengadilan untuk melakukan eksekusi atas obyek hipotek; 2. Dalam KUH Perdata yang berlaku untuk hipotek atas kapal laut disebutkan bahwa pemegang hipotek dapat melakukan penjualan sendiri atas obyek hipotek yang prosedurnya dilakukan dengan cara lelang umum. Berdasarkan hal-hal diatas dapat dikatakan bahwa sesuai peraturan perundangan yang berlaku saat ini, secara hukum penjualan atas kapal laut yang menjadi obyek hipotek tidak terlalu sulit, akan tetapi mendapatkan harga yang sesuai dengan nilai penjaminannya merupakan hal yang relatif sulit dilakukan sehingga butuhkan adanya price stability untuk jual beli kapal Dalam draft RUU Hipotek Kapal yang saat ini sedang dibahas oleh Depkumham, diatur bahwa Sertifikat hipotek mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan ini berarti pihak pemegang hipotek dapat meminta bantuan pengadilan untuk melakukan eksekusi atas obyek tersebut dan sertifikat hipotek tersebut berlaku sebagai pengganti grosse akta hipotek. Berkaitan dengan itu, draft RUU Hipotek Kapal memberikan kebebasan kepada kedua belah pihak (debitur dan kreditur) untuk memperjanjikan dalam akta hipotek tentang hak untuk menjual atas kuasa sendiri bagi pemegang hipotek tersebut, dalam hal debitor yang bersangkutan ingkar janji. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 26 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

Selanjutnya, prosedur penjualan kapal dalam draft RUU Hipotek Kapal diatur dengan cara pengumuman melalui minimal 2 (dua) surat kabar harian yang beredar di daerah yang bersangkutan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara terbuka oleh pemberi dan/atau pemegang hipotek kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Penjualan dilakukan dengan cara pelelangan umum melalui seorang pejabat pelelangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, dalam draft RUU Hipotek Kapal juga diatur penjualan kapal oleh pemegang hipotek dapat dilakukan di bawah tangan jika dari penjualan tersebut dapat diperoleh harga yang tertinggi. Terkait dengan kewenangan untuk mengambil alih kapal sebagai agunan, khusus untuk perbankan dalam kaitannya dengan penentuan kualitas aktiva terdapat pembatasan waktu kepemilikan atas agunan yang diambil alih. 9 Selain itu, bank juga harus melakukan penilaian kembali atas agunan yang diambil alih untuk menetapkan net realizable value dari agunan dimaksud yang dilakukan pada 9 Vide Pasal 39 Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. PBI dimaksud mengatur kualitas agunan yang diambil alih sebagai berikut: a. Lancar, apabila dimiliki sampai dengan 1 tahun; b. Kurang Lancar apabila dimiliki lebih dari 1 tahun sampai dengan 3 tahun; c. Diragukan, apabila dimiliki lebih dari 3 tahun sampai dengan 5 tahun; d. Macet, apabila dimiliki lebih dari 5 tahun. saat pengambilalihan agunan. Penetapan net realizable value tersebut harus dilakukan oleh penilai independen apabila agunan bernilai Rp5.000.000.000 (lima milyar rupiah) atau lebih. Apabila nilainya di bawah Rp5.000.000.000 (lima milyar rupiah) penilaian dapat dilakukan oleh penilai intern bank yang bersangkutan. 10 Dalam pengambilalihan agunan ini, bank akan mengeluarkan biaya pengambilalihan dan pemeliharaan agunan yang diambil alih, dan oleh karena itu kiranya diperlukan mekanisme yang dapat mempercepat penjualan agunan. Bagi bank sebagai kreditur, semakin lama jangka waktu pemilikan atas agunan yang diambil alih akan berpengaruh terhadap biaya yang harus dikeluarkan terkait dengan biaya pemeliharaan agunan. Selain itu, dapat pula berpengaruh pada kinerja bank karena akan menurunkan kualitas aktiva produktif bank dan terjadinya peningkatan pencadangan yang harus dibentuk oleh bank. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mendorong bank agar segera menjual agunan yang diambil alih, karena bank sebagai institusi keuangan yang memiliki fungsi intermediasi seyogianya tidak memiliki agunan yang diambil alih. 11 10 Vide Pasal 38 Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. 11 Idealnya apabila debitur gagal memenuhi kewajibannya kepada bank maka agunan sebagai jaminan pengembalian kredit/pembiayaan harus segera dijual dan tidak diambil alih oleh bank untuk dimiliki dalam BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 27 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

Kembali pada eksekusi kapal, bahwa pada dasarnya pengaturan prosedur eksekusi kapal yang menjadi obyek hipotek sebagaimana diatur dalam draft RUU Hipotek Kapal adalah sama dengan peraturan yang berlaku saat ini, kesulitan yang mungkin timbul dalam lelang umum adalah penentuan acuan harga dasar lelang yang sangat sulit. Bagi bank, kemudahan dalam menentukan harga sebuah agunan sangat penting dan menjadi salah satu faktor dalam penilaian proposal permohonan pembiayaan yang diajukan oleh calon debitur. Sebagai bahan perbandingan, dalam praktek eksekusi jaminan yang terjadi saat ini, misalnya dalam hal eksekusi jaminan fidusia, akta jaminan fidusia juga memuat irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga akta tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sebelum melakukan eksekusi jaminan fidusia melalui pelelangan umum, tetap diperlukan adanya suatu mekanisme permohonan sita eksekusi terlebih dahulu yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. Oleh karenanya, hal ini juga turut menambah risiko meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan dan dibutuhkannya waktu yang lebih lama jangka waktu yang relatif lama. Hal ini dimaksudkan agar likuiditas bank tetap terjaga dengan baik dan bank tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. sehubungan dengan proses eksekusi jaminan tersebut. Eksekusi Terhadap Kapal Laut Yang Berada Di Luar Wilayah Indonesia Berdasarkan peraturan yang berlaku saat ini, eksekusi atas kapal yang menjadi obyek hipotek dapat dimintakan bantuan pengadilan karena kekuatan hukum grosse akta adalah sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Permasalahan dapat timbul dalam hal kapal yang menjadi obyek hipotek yang akan dieksekusi tersebut tidak berada di dalam wilayah Indonesia. Dalam hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia tidak ada pengaturan mengenai penyitaan benda yang berada di luar wilayah Indonesia, sehingga terhadap pengeksekusian benda yang berada di luar Indonesia belum ada dasar hukumnya. Upaya yang dapat dilakukan oleh kreditur adalah dengan mengajukan gugatan atau permohonan eksekusi kepada pengadilan tempat kapal tersebut berada atau meminta pengadilan Indonesia memerintahkan debitur untuk mengembalikan kapal tersebut ke Indonesia. Selain itu, Pasal 315e KUH Dagang mengatur bahwa terhadap kapal yang telah dihipotekkan di Indonesia yang akan dilakukan lelang sita di luar wilayah Indonesia, maka kapal-kapal tersebut tidak dibebaskan dari hipoteknya di Indonesia. RUU Hipotek Kapal juga belum secara jelas BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 28 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

mengatur cara melakukan eksekusi kapal di luar negeri apabila debitur wanprestasi. Akibat Hukum Dari Musnahnya Kapal Laut Yang Jadi Obyek Hipotek Pasal 1209 KUH Perdata mengatur bahwa hapusnya hipotek disebabkan karena (a) hapusnya perikatan pokoknya; (b) pelepasan hipotek oleh si berpiutang; dan (c) karena penetapan hakim. Hal ini berarti bahwa musnahnya kapal yang menjadi obyek hipotek tidak termasuk dalam hal yang menyebabkan hapusnya hipotek. Oleh karena tidak ada pengaturan yang jelas mengenai akibat hukum dari musnahnya kapal laut yang menjadi obyek hipotek, hal tersebut tentunya dikembalikan pada kesepakatan antara debitur dengan kreditur pada perjanjian hipotek (sebagai perjanjian accesoir) atau perjanjian kredit (sebagai perjanjian pokok). Apabila dalam perjanjian tersebut diatur mengenai akibat hukum dari musnahnya kapal, maka dapat pula diatur mengenai asuransi atas musnahnya kapal sebagai jaminan terhadap pembayaran utang debitur. Berbeda dengan KUH Perdata, draft RUU Hipotek Kapal mengatur tentang musnahnya kapal yang menjadi obyek hipotek serta akibat hukumnya. Dalam draft RUU Hipotek tersebut disebutkan bahwa musnahnya kapal merupakan salah satu sebab yang mengakibatkan hapusnya hipotek. Akibat hukum dari hapusnya hipotek adalah segala hak dan kewajiban debitur dan kreditur yang timbul dari perjanjian hipotek hilang bersamaan dengan hapusnya perjanjian hipotek, akan tetapi hapusnya hipotek tidak menghapuskan perjanjian pokoknya yaitu perjanjian pembiayaan antara debitur dan kreditur. Karena musnahnya kapal menghapuskan perjanjian hipotek antara kreditur dan debitur, draft RUU Hipotek Kapal memberikan jaminan pengembalian pembiayaan bank. Dalam RUU Hipotek tersebut disebutkan bahwa apabila kapal hilang atau rusak maka pembayaran ganti rugi kepada pemilik kapal, jumlah yang terutang kepada pemilik kapal dalam rangka kerugian laut umum dan ganti rugi asuransi harus menjadi jaminan untuk pelunasan utang debitur pada krediturnya. Berkenaan dengan itu, untuk menjamin pelunasan utang debitur, dalam perjanjian kredit atau perjanjian hipotek, kreditur dapat mewajibkan debitur untuk mengasuransikan kapal yang menjadi obyek hipotek. Meskipun draft RUU Hipotek Kapal tidak secara tegas mengatur kewajiban debitur untuk mengasuransikan kapal, Instruksi Presiden No. 5 tahun 2005 telah menginstruksikan kepada menteri yang berwenang untuk melakukan dan merumuskan kebijakan-kebijakan sebagai berikut : setiap kapal yang dimiliki dan/atau dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional, dan/atau kapal BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 29 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

bekas/kapal baru yang akan dibeli atau dibangun di dalam atau di luar negeri untuk jenis, ukuran dan batas usia tertentu wajib diasuransikan sekurang-kurangnya Hull & Machineries (rangka kapal); muatan/barang dan penumpang yang diangkut oleh perusahaan pelayaran nasional yang beroperasi baik di dalam negeri maupun di luar negeri, wajib diasuransikan; menetapkan kebijakan yang mendorong perusahaan asuransi nasional untuk bergerak di bidang asuransi perkapalan untuk menyesuaikan dengan standar kemampuan retensi asuransi perkapalan internasional. Dengan adanya pengaturan mengenai kewajiban asuransi bagi perkapalan sebagaimana dimaksud di atas, diharapkan hal ini dapat memberikan jaminan kepastian pelunasan utang terhadap kreditur dalam hal terjadi sesuatu terhadap kapal yang dijaminkan tersebut. Namun perlu diperhatikan bahwa kewajiban tersebut hanya sekurang-kurangnya atas rangka kapal. Oleh karena itu, kreditur harus melakukan analisis apakah nilai pertanggungan asuransi dimaksud mencukupi pembayaran seluruh kewajiban debitur. Selanjutnya, dalam draft RUU Hipotek Kapal tersebut juga diatur bahwa kreditur yang kreditnya dijamin oleh suatu hipotek kapal berhak untuk melaksanakan eksekusi jaminan yang terkait dengan kapal tersebut apabila debitur atau setiap orang yang menguasai kapal tersebut secara substansial diduga melakukan sesuatu tindakan atau kelalaian yang bersifat merugikan terhadap jaminan kreditur. Ketentuan dalam pasal dimaksud kiranya perlu disempurnakan, antara lain perlu menyebutkan secara jelas kondisi kapal yang dapat memberikan hak bagi kreditur untuk menjalankan hak eksekusinya sebelum pembiayaan yang dijamin jatuh tempo, misalnya dalam hal terjadi kecelakaan atau kelalaian dalam merawat kapal yang menyebabkan nilai kapal berkurang secara signifikan. Penetapan kondisi kapal dimaksud perlu diatur secara jelas untuk menghindarkan timbulnya perselisihan antara kreditur dan debitur tentang dapat tidaknya kreditur menjalankan hak eksekusinya sebelum berakhirnya jangka waktu pembiayaan. Selain itu, pengaturan hak eksekusi kreditur yang demikian itu akan mengurangi kemungkinan timbulnya kerugian yang lebih besar pada pihak kreditur. Akibat Hukum Dari Penggantian Bendera Kapal Yang Menjadi Obyek Hipotek Pasal 3 Konvensi International tentang Piutang Maritim dan Mortgage 1993 (International Convention on Maritime Liens and Mortgages, 1993) yang diratifikasi dengan Peraturan Presiden BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 30 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

No. 44 Tahun 2005, menyatakan bahwa negara peserta tidak akan membolehkan deregistrasi (penghapusan) dari suatu kapal kecuali apabila semua hipotek yang telah terdaftar dihapuskan terlebih dahulu atau harus mendapatkan suatu persetujuan tertulis terlebih dahulu dari semua pemegang hipotek. Ketentuan ini memberikan suatu jaminan bahwa suatu kapal hanya dapat dibalik nama apabila debitur telah melunasi kewajibannya kepada kreditur. Selain itu, pasal tersebut juga mengatur bahwa suatu kapal yang telah didaftarkan di dalam suatu negara peserta tidak boleh didaftarkan di negara peserta lainnya, kecuali: (a) telah dikeluarkan suatu sertifikat dari negara terdahulu yang menyatakan bahwa kapal dimaksud telah dideregistrasi; atau (b) suatu sertifikat telah diterbitkan oleh negara terdahulu dengan maksud bahwa kapal dimaksud akan dideregistrasi dengan segera, pada saat perndaftaran baru mulai berlaku. Berdasarkan Pasal 6 ayat (3) Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 14 Tahun 1996 tentang Penyederhanaan Tata Cara Pengadaan dan Pendaftaran Kapal, selama hipotek masih membebani suatu kapal Indonesia, maka Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal Indonesia tidak diperkenankan untuk melakukan deregistrasi terhadap kapal tersebut, oleh karenanya pemilik kapal akan kesulitan untuk mendaftarkan kapal tersebut di negara lain tanpa adanya bukti deregistrasi dari Indonesia. Dalam Pasal 25 RUU Hipotek Kapal diatur bahwa pencoretan kapal dari daftar kapal Indonesia mengakibatkan utang-utang yang dijamin oleh hipotek kapal yang bersangkutan mejadi dapat ditagih dan selama utang yang bersangkutan belum dibayar, utang tersebut dapat ditagih terhadap kapal tersebut seolah-olah kapal tersebut masih terdaftar di Indonesia. Pengaturan yang demikian belum cukup karena tidak diatur mengenai keharusan bagi kapal dimaksud untuk tetap berada di wilayah Indonesia. Apabila kapal tersebut setelah dideregistrasi dapat langsung meninggalkan wilayah Indonesia, maka perbedaan wilayah jurisdiksi akan menimbulkan kesulitan untuk menuntut pembayaran utang yang dijamin dengan kapal dimaksud. Oleh karena itu, kiranya perlu diatur jangka waktu pelunasan utang dalam hal suatu kapal akan dideregistrasi dari daftar kapal Indonesia. Perbandingan Kapal Laut Dengan Tanah Sebagai Jaminan Pemberian Pembiayaan Perbankan Berikut adalah perbandingan kapal laut dan tanah sebagai jaminan pemberian pembiayaan oleh perbankan: BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 31 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

Kapal Laut Nilai kapal laut cenderung menurun. Nilai kapal laut sulit ditentukan mengingat belum adanya harga pasar untuk kapal laut. Kapal laut merupakan benda tetap yang dapat bergerak sehingga pengeksekusian kapal laut cukup sulit untuk dilakukan apabila debitur gagal bayar. Risiko musnahnya kapal laut cukup besar. Tanah Nilai tanah selalu meningkat. Nilai tanah lebih mudah ditentukan karena sudah ada harga pasar untuk tanah (Nilai Jual Obyek Pajak untuk Pajak Bumi dan Bangunan). Tanah adalah benda tidak bergerak dan pengeksekusiannya relatif lebih mudah dibandingkan dengan kapal laut. Resiko musnahnya tanah relatif sangat kecil. Ketentuan hukum mengenai kapal laut dan hipotek terhadap kapal masih belum komprehensif Peminat kapal laut dan perusahaan perkapalan di Indonesia sangatlah terbatas. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap proses penjualan kapal. Pemahaman tentang hukum perkapalan dan usaha perkapalan masih terbatas. Dalam praktek, adanya kemungkinan satu kapal dimiliki oleh beberapa orang sehingga dapat menimbulkan kesulitan dalam proses eksekusi. Belum banyak dilakukan di Indonesia. Ketentuan hukum mengenai tanah lebih jelas. Proses penjualan tanah lebih gampang karena jumlah pembeli relatif banyak. Masyarakat umum relatif telah memahami proses jual beli tanah. Tanah hanya dapat didaftarkan atas satu nama. Merupakan agunan yang paling banyak digunakan di Indonesia. Pertimbangan Bisnis dalam Pemberian Pembiayaan Selain aspek hukum terkait kepastian pengikatan dan kepastian eksekusi kapal sebagai agunan, kiranya aspek bisnis perlu juga mendapatkan perhatian perusahaan perkapalan dalam rangka mendapatkan pembiayaan perbankan. Menyadari bahwa pembiayaan perkapalan termasuk pembiayaan dengan risiko tinggi, dalam pertimbangan untuk memberikan BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 32 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

pembiayaan kepada debitur maka bank selaku calon kreditur selain memperhatikan aspek kepastian agunan dan pengikatan agunan, bank akan memperhatikan juga aspek risiko yang antara lain berupa risiko likuiditas,risiko operasional dan resiko pasar. Selain itu, bank juga mempertimbangkan aspek creditworthiness dari calon debitur. Dalam hal ini, bank akan cenderung mempertimbangkan untuk memberikan pembiayaan kepada perusahaan perkapalan yang memiliki better credit standing. Selanjutnya, aspek track record calon debitur juga akan dilihat oleh bank. Kemudian, bank juga akan memperhatikan aspek lokasi pembangunan kapal yakni apakah dibangun di dalam negeri atau luar negeri. Berikutnya, bank juga akan melihat perkembangan industri perkapalan khususnya di Indonesia untuk keperluan forecasting kepastian tren pasar kapal dimasa mendatang. Bank juga akan memperhatikan informasi yang diperoleh dari pasar kapal baik sebelum maupun sesudah pembiayaan diberikan. Dan juga, tentunya bank akan memperhatikan aspek prudensial sesuai peraturan perundangan yang berlaku misalnya ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit. Selain pertimbangan aspek hukum dan aspek bisnis tersebut, mengingat nilai pembiayaan pembelian kapal relatif besar, maka kiranya menjadi perhatian perusahaan perkapalan bahwa dari segi sumber dana nampaknya pembiayaan bank perlu dalam bentuk pembiayaan bersama antar bank (pembiayaan sindikasi). Sebagai alternatif, bentuk pembiayaan bersama antar bank dan lembaga keuangan lainnya. Dan, pembiayaan bersama ini tidak berarti hanya dilakukan oleh bank atau lembaga keuangan lainnya yang ada didalam negeri, namun dapat juga bekerja sama dengan bank atau lembaga keuangan lainnya di luar negeri. Dalam pelaksanaannya, pembiayaan bank dapat berupa pemberian kredit langsung kepada pembeli atau mengikuti mekanisme trade finance berupa penerbitan Letter of Credit atau Demand Guarantee kepada penjual kapal di luar negeri. Bagi bank, mekanisme trade finance lebih memberikan kepastian bisnis dibanding dengan pemberian kredit langsung. C. Penutup Dalam rangka pembiayaan pembelian kapal maka kapal yang dibeli akan dijadikan agunan dan diikat dengan hipotek (hipotek kapal). Kapal sebagai agunan dan pengikatannya ini telah diatur secara relatif komprehensif dalam RUU Hipotek Kapal. Namun, perlu dipahami bahwa aspek kepastian hukum bukanlah satu-satunya yang menjadi pertimbangan bank dalam memutuskan pemberian pembiayaan kepada perusahaan perkapalan. Aspek bisnis juga menjadi pertimbangan bank. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 33 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

Dengan demikian, jika RUU Hipotek Kapal telah diundangkan menjadi Undang-Undang kiranya dapat dipahami bahwa keberadaan Undang- Undang itu bukanlah jaminan bahwa perbankan akan memberikan pembiayaan kepada perusahaan perkapalan. Dalam pemberian pembiayaan, mengingat bank relatif sulit untuk memprediksi harga jual kapal ketika debitur wanprestasi maka bank kemungkinan akan meminta agunan tambahan dari debitur yang dapat berupa bank guarantee, Surety bond, corporate guarantee atau personal guaranty. Dan, permintaan agunan tambahan ini merupakan tambahan biaya bagi debitur. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 34 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008