KAJIAN MANAJEMEN RULEBASE UNTUK MENENTUKAN KAWASAN BUDIDAYA KELAUTAN YANG BERKELANJUTAN

dokumen-dokumen yang mirip
UJI PARAMETER SPASIAL OSEANOGRAFI POTENSI SUMBERDAYA LAUT

PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR YANG BERKELANJUTAN DENGAN MEMPERHATIKAN POTENSI DAERAH STUDI KASUS DI KABUPATEN KONAWE SELATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian tingkat kesesuaian lahan dilakukan di Teluk Cikunyinyi,

BUDIDAYA RUMPUT LAUT DAN DAYA DUKUNG PERAIRAN TIMUR INDONESIA: STUDI KASUS KABUPATEN KONAWE SELATAN

METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisa kesesuaian lahan perairan Abalon ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

Titiek Suparwati Kepala Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial. Disampaikan dalam Workshop Nasional Akselerasi RZWP3K

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - September Tahapan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

ABSTRAK. Kata Kunci :Kesesuaian Perairan, Sistem Informasi Geografis (SIG), Keramba Jaring Apung KJA), Ikan Kerapu

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan

3. METODE PENELITIAN

Amonia (N-NH3) Nitrat (N-NO2) Orthophosphat (PO4) mg/l 3 Ekosistem

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kecamatan

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

BAB III METODE PENELITIAN. Tabel 3. Alat-alat Penelitian

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

STUDI KESESUAIAN PANTAI LAGUNA DESA MERPAS KECAMATAN NASAL KABUPATEN KAUR SEBAGAI DAERAH PENGEMBANGAN PARIWISATA DAN KONSERVASI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Journal Of Aquaculture Management and Technology Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS EKOLOGI TELUK CIKUNYINYI UNTUK BUDIDAYA KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) ABSTRAK

FORMASI SPASIAL PERAIRAN PULAU 3S (SALEMO, SAGARA, SABANGKO) KABUPATEN PANGKEP UNTUK BUDIDAYA LAUT Fathuddin dan Fadly Angriawan ABSTRAK

KESESUAIAN KUALITAS AIR KERAMBA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DI DANAU SENTANI DISTRIK SENTANI TIMUR KABUPATEN JAYAPURA PROVINSI PAPUA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Rofizar. A 1, Yales Veva Jaya 2, Henky Irawan 2 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. kerapu macan ini berada di perairan sekitar Pulau Maitam, Kabupaten Pesawaran,

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang

Key words: SIG, suitability region cultivation seaweed, Mantang Island.

BAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 1 PENDAHULUAN

KATA PENGANTAR. Jatinangor, 22 Juli Haris Pramana. iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

MASPARI JOURNAL Juli 2017, 9(2):85-94

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

KAJIAN SEBARAN SPASIAL PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN PADA MUSIM TIMUR DI PERAIRAN TELUK SEMARANG

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa

BAB 3 TINJAUAN LINGKUNGAN

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Teluk Ratai Kabupaten Pesawaran,

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Analisis Kesesuaian Lokasi dan Data Spasial Budidaya Laut berdasarkan Parameter Kualitas Perairan di Teluk Lasongko Kabupaten Buton Tengah

II. TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Taksonomi Kerapu Macan (Epinephelus fuscogutattus)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

PENDAHULUAN. sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk dikembangkan guna

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I-1

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Air adalah sebutan untuk senyawa yang memiliki rumus kimia H 2 O. Air. Conference on Water and the Environment)

Udayana, Denpasar. Alamat (Diterima Juli 2017 /Disetujui September 2017) ABSTRAK

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

UPAYA PENGEMBANGAN MINAPOLITAN KABUPATEN CILACAP MELALUI KONSEP BLUE ECONOMY

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemampuan suatu perairan dalam menerima suatu beban bahan tertentu

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

Prosedur Pelaksanaan ANDAL

UPAYA PENGEMBANGAN USAHA ALTERNATIF MASYARAKAT DALAM PEMANFAATAN POTENSI PULAU DI KABUPATEN PANGKEP PROVINSI SULAWESI SELATAN

Analisis Zonasi Sembilan Kawasan Konservasi Perairan Daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

KRITERIA LAHAN UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DI PULAU GILI GENTING, MADURA

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

Transkripsi:

KAJIAN MANAJEMEN RULEBASE UNTUK MENENTUKAN KAWASAN BUDIDAYA KELAUTAN YANG BERKELANJUTAN (The Assessment of Rulebase Management for Sustainable Marine Culture) oleh/by : Dewayany Sutrisno 1, Ati Rahadiati 2 dan Gatot H. Pramono 3 1 Balai Penelitian Geomatika Bakosurtanal, 2 Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut Bakosurtanal, 3 Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi Bakosurtanal Diterima (received): 10 Januari 2011; Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 17 Maret 2011 ABSTRAK Cuaca yang tidak menentu dan sarana prasarana perikanan yang minimal merupakan penghambat utama bagi para nelayan tradisional untuk meningkatkan ekonomi mereka. Untuk mengatasi hal ini usaha budidaya merupakan alternatif terbaik bagi para nelayan. Analisa geospasial dengan menggunakan rulebase yang akurat merupakan solusi terbaik dalam menentukan wilayah potensial guna mendapatkan perencanaan pembangunan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji parameter rulebase yang tepat untuk keperluan kajian spasial potensi budidaya. Dengan mengambil contoh kasus budidaya rumput laut di beberapa wilayah di kawasan timur Indonesia, seperti Kabupaten Gorontalo Utara dan Boalemo. Hasil analisis memperlihatkan adanya perbedaaan parameter rulebase yang sangat dipengaruhi kondisi lokal serta hasil yang berbeda berdasarkan pilihan metodenya. Dalam hal ini pengembangan sistem basismodel multi tematikal merupakan solusi yang terbaik untuk mengatasi perbedaaan ini, baik itu disebabkan oleh perbedaan parameter maupun metode analisanya. Kata Kunci: Basis Aturan, Basis Model, Budidaya Laut, Rumput Laut ABSTRACT Weather uncertainty and inadequate infrastructure become the main problems for traditional fisherman. The development of marine culture is the alternative solution to overcome those problems. For marine sustainable utilization, zonation or spatial planning of the coastal area has to be developing beforehand, especially for the marine cultural area. Geospatial analysis using accurate rule base model are the best method for determine the utilize area. The aim of the study is to assess the accurate parameters to construct the rule base system of marine culture. Using the eastern part of Indonesia as the study area, such as Gorontalo and Boalemo regency, and seaweed culture as the case, the study was employed. The result of assessment indicates that the parameters are regionally or localized dependable. And so does the methodology. In this case, multi theme model base development is supposed to be the best solution or bridging the differences in parameters or in method. Keywords: Rule Base, Model Base, Marine Culture, Seaweed 60

Kajian Manajemen Rulebase untuk Menentukan Kawasan Budidaya. (Sutrisno, D., Ati R. dan Gatot HP.) PENDAHULUAN Latar Belakang Paradigma pemanfaatan sumberdaya kelautan Indonesia selama ini masih bersifat free come and free exit bases dikarena sifat pemanfaatan sumberdaya kelautan Indonesia yang bersifat open access dimana semua warga Negara bebas mengeksploitasi dan memanfaatkan sumberdaya yang ada. Paradigma ini tampaknya menjadi masalah sendiri bagi para nelayan, khususnya nelayan tradisional dalam meningkatkan rutinitas tangkapannya. Persaingan antar nelayan dengan peralatan canggih dengan daya tangkap yang besar merupakan salah satu contoh dampak dari paradigma ini. Selain itu, penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya terus terjadi di beberapa wilayah perairan Nusantara sebagai dampak dari paradigma tersebut. Contohnya, pada sektor perikanan tangkap terjadi ketimpangan sumberdaya dimana wilayah barat kondisi perikanan tangkap cenderung overfishing sementara di wilayah timur ketersediaan perikanan masih dapat dikatakan berlimpah. Oleh karena itu, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan haruslah dilaksanakan secara berkelanjutan melalui kajian beberapa skenario pengelolaan guna mencari solusi bagi pemanfaatan sumberdaya kelautan yang berkelanjutan namun dengan tetap menghargai karakteristik pengelolaan sumberdaya kelautan yang bersifat open access. Budidaya merupakan merupakan salah satu alternatif yang tepat untuk menangani masalah over exploitation sumberdaya kelautan. Budidaya perikanan dalam jaring apung, seperti kerapu, tiram mutiara maupun rumput laut merupakan pilihan untuk mengatasi masalah perikanan tangkap yang selama ini banyak dilakukan tidak berwawasan lingkungan, seperti penggunaan bom, racun dan sebagainya. Akan tetapi, penentuan bagian mana di wilayah pesisir yang tepat untuk usaha budidaya bukanlah suatu hal yang mudah. Beberapa kriteria karakteristik wilayah pesisir, baik itu dari sisi fisik, kimia, biologis maupun sosial ekonomi, harus ditentukan untuk mendapatkan daerah yang tepat untuk usaha budidaya dan dapat memberikan keuntungan optimal serta tidak berdampak pada lingkungan. Kriteria-kriteria yang disusun dari beragam parameter penentu inilah yang akan disusun dalam suatu sistem basis aturan atau rulebase yang akurat untuk menghasilkan data geospasial yang dapat dipertanggung jawabkan. Adapun tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengkaji parameter rulebase yang tepat untuk keperluan kajian spasial potensi budidaya. Dengan mengambil contoh kasus budidaya rumput laut di wilayah timur Indonesia.. Lokasi Sebagai contoh, tulisan ini menggunakan dua wilayah perairan yang berbeda yaitu Kabupaten Gorontalo Utara dan Boalemo. Kabupaten Gorontalo terletak di laut lepas dan berbatasan langsung dengan Philipina, sementara Kabupaten Boalemo terletak di Teluk Tomini yang kaya akan sumberdaya kelautan METODE Secara garis besar, pencarian lokasi yang potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan budidaya laut ditentukan oleh faktor fisik, kimiawi, biologi dan faktor lingkungan. Faktor fisik berkaitan dengan arus, gelombang, kedalaman, kecerahan maupun kondisi geologisnya seperti sedimentasi, kekeruhan dsb; faktor biologi berkaitan dengan kan-dungan plankton, khlorofil maupun sumberdaya perikanan lainnya; faktor kimia berkaitan dengan kimiawi air laut seperti salinitas, kandungan oksigen terlarut, nitrat, nitrit, pencemaran dsb, sedangkan faktor lingkungan berkaitan dengan kedekatan 61

dengan pemukiman, daerah industri, muara sungai, maupun faktor sosial seperti keamanan dan jalur transportasi laut dsb. Sedangkan metode yang digunakan untuk analisis penentuan lokasi yang potensi untuk pengembangan usaha budidaya secara spasial merujuk pada metode scoring dan pembobotan (Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut, 2010). Metode Scoring Pada metode ini, setiap parameter dihitung dengan pembobotan yang berbeda. Bobot yang digunakan sangat tergantung dari percobaan atau pengalaman empiris yang telah dilakukan. Semakin banyak diuji di lapangan, maka semakin akurat metode scoring yang digunakan. Di dalam melakukan metode scoring, ada empat tahapan yang perlu dilaksanakan, yaitu: a. pembobotan kesesuaian (bob kes ) pembobotan ini dimaksudkan untuk membedakan nilai pada tingkatan kesesuaian agar bisa diperhitungkan dalam perhitungan akhir zonasi dengan menggunakan metode scoring. Pembobotan didefinisikan sbb: 1. S1 = sangat sesuai: 80 2. S2 = cukup sesuai: 60 3. S3 = sesuai bersyarata: 40 4. N = tidak sesuai : 1 b. pembobotan parameter (bob par ) setiap parameter mempunyai peran yang berbeda dalam mendukung kehidupan suatu species budidaya. Parameter yang paling berpengaruh mempunyai bobot yang lebih tinggi dibandingkan yang kurang berpengaruh. Jumlah total dari semua bobot parameter adalah 100. c. pembobotan scoring (bob score ) untuk menghitung tingkatan potensi wilayah pesisir yang dihitung berdasarkan pembobotan kesesuaian dan pembobotan parameter. Untuk parameter 1 sampai n, perhitungannya adalah sbb: d. kesesuaian scoring (Kes score ) Ditetapkan berdasarkan nilai dari pembobotan scoring, dengan perhitungan sbb: 1. S1: apabila pembobotan scoring 80 2. S2: apabila pembobotan scoring antara 60 80 3. S3: apabila pembobotan scoring antara 40 60 4. N: apabila pembobotan scoring <40 Metode Matching Metode ini sesuai dengan hukum Liebig yang dikenal sebagai Law of Minimum, dan telah yang banyak digunakan dalam ilmu biologi, dimana suatu makhluk hidup sangat ditentukan oleh kondisi minimum yang diperlukannya (Liebig 1870 dalam Sofa, 2008). Dalam metode matching, potensi suatu kawasan dari seluruh parameter dibandingkan dengan tidak menggunakan pembobotan. Hasil tingkat potensi (Kes match) berdasarkan potensi terendah dari parameter (kes par) yang ada. Formulasinya dapat digambarkan sbb: Uji Lapangan Uji lapangan dilaksanakan dengan menggunakan kombinasi metode cluster dan metode purposive sampling pada wilayah wilayah dengan karakteristik yang berbeda. Uji yang dilaksanakan antara lain berupa uji verifikasi data spasial hasil analisis dengan menggunakan rulebase berbasis kualitas air serta pengamatan dan pengumpulan data. a. Data geospatial hasil analisis dibandingkan dengan kondisi eksisting 62

Kajian Manajemen Rulebase untuk Menentukan Kawasan Budidaya. (Sutrisno, D., Ati R. dan Gatot HP.) di lapangan dengan mengisi matriks berisikan no stasiun, koordinat, analisis budidaya dan eksisting budidaya. b. Pada setiap stasiun dilaksanakan proses pengamatan untuk mencatat kondisi lingkungan di sekitar suatu usaha budidaya ataupun yang potensial untuk usaha budidaya berdasarkan kajian. Pengamatan lingkungan berkaitan dengan faktor lingkungan fisik dan faktor sosial budaya. Faktor lingkungan fisik berkaitan dengan penggunaan lahan di atasnya, kedekatan usaha budidaya dengan pemukiman, muara sungai, kawasan industri, jalur transportasi dan lainnya yang dapat berdampak pada pencemaran dan kekeruhan perairan. Sedangkan faktor sosial berkaitan dengan keamanan, sistem pemasaran dan lain sebagainya. c. Pengumpulan data terdiri dari pengumpulan data sekunder yang berkaitan dengan usaha budidaya serta pengumpulan data primer. Pengumpulan data primer berupa pengukuran data parameter kualitas air pada wilayah suatu budidaya tertentu yang dikaitkan dengan kendala dan akurasi parameter-parameter pada rulebase yang sudah tersusun serta wawancara dengan pelaksana, pengelola, perencana budidaya serta aparat pemerintah daerah dan masyarakat sekitar. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji lapangan dengan membandingkan data potensi wilayah pesisir yang diperoleh dari analisis rulebase berbasis kualitas air memperlihatkan tingkat ketepatan kurang dari 17 % (<17 %). Dimana terjadi perbedaan dari hasil budidaya dengan hasil analisis spasial. Sementara parameters penyusun rulebase berdasarkan hasil analisis matriks verifikasi rulebase hanya memenuhi 57 % kriteria untuk mencapai syarat hidup minimal, 14 % syarat hidup optimal dan 0% syarat hidup ideal. Tabel1. Hasil analisis spasial vs lapangan Sta Analisa Eksisting NIlai 101 Tdk Potensial Rumput 1 102 Tdk Potensial Rumput 1 103 Tdk Potensial Rumput 1 104 Tdk Potensial Rumput 1 201 Rumput Rumput 2 202 Tdk Potensial Rumput 1 203 Tdk Potensial Rumput 1 204 Tdk Potensial Rumput 1 205 Tdk Potensial Rumput 1 206 Rumput laut Rumput 2 207 Tdk Potensial Rumput 1 208 Rumput Rumput 1 1= tepat, 2=tidak tepat Adanya berbagai perbedaan parameter maupun kriteria pendukung rulebase untuk menentukan lokasi yang potensial guna mengembangan usaha budidaya ternyata menjadi penyebab semua ini. Kualitas air selama ini menjadi parameter utama untuk menentukan sebaran spasial wilayah perairan yang berpotensi atau sesuai untuk mengembangan usaha budidaya. Adapun uraian matriks untuk analisa potensi rumput laut berdasarkan kualitas air dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Matriks analisa Parameter S 1 [80] S 2 [60] Kedalaman perairan (m) [35] Oksigen terlarut (mg/i) [10] Salinitas (ppt) [10] Suhu ( 0 C) [10] Kecerahan (%) [25] ph [10] S 3 [40] N [1] 1 5 < 1 > 5 > 6 >5 6 4-5 < 4 28-36 >20 28 26 31 24 <26 >31-12 - 20 < 12 > 36 20 <24 >33 >75 50-75 25 <50 7,5-8,3 7 <7,5 >8,3 8,5 6.5 <7 >8.5 9 < 20 > 35 < 25 < 6.5 > 9 Verifikasi di lapangan dengan menggunakan rulebase yang berbasis kualitas air memperlihatkan hasil yang berbeda. Dalam hal ini untuk menetapkan suatu wilayah perairan pesisir yang 63

potensial untuk dikembangkan usaha budidaya, perlu diperhatikan konsepkonsep dasar perikanan budidaya, yang antara lain mencakup : 1. Adanya keterkaitan dengan kegiatan di wilayah daratan, tidak menimbulkan pencemaran pada wilayah yang akan dikembangkan; 2. Jauh dari kawasan industri atau terbebas dari limbah rumah tangga, pertanian, pertambangan, migas, pelabuhan dll; 3. Bukan merupakan jalur transportasi laut; 4. Harus bersinergi dengan kegiatan lain dan tidak saling memberikan dampak negatif; 5. Terletak pada kawasan terlindung; 6. Memperhatikan faktor-faktor HIDRO- OSEANOGRAFI 7. Memperhatikan faktor-faktor geomorfologi pantai: batimetri, kemiringan dasar laut, substrat dasar, serta; 8. Aspek hidrologi lahan di atasnya. Oleh karena itu, parameter pendukung kajian ditentukan tidak hanya berdasarkan kualitas air, tetapi juga dengan mempertimbangkan pendekatan lingkungan dan konsep-konsep managemen. Tabel 3 di bawah menunjukan parameter yang dapat digunakan untuk analisa potensi budidaya rumput laut berikut urutan prioritasnya. Akan tetapi, kriteria masing-masing parameter yang tentu sangat berkaitan dengan scoring (nilai) yang akan digunakan dalam penyusunan rulebase ternyata juga sangat beragam. Sebagai contoh perbedaan dapat dilihat pada parameter keterlindungan dan salinitas yang diperoleh dari matriks verifikasi model seperti tersaji pada Tabel 4. Oleh karena itu, penyusunan rulebase haruslah memperhatikan prinsip-prinsip dasar dan komponen-komponen lingkungan yang optimal untuk perkembangbiakan suatu biota. Tabel 3. Parameter pendukung rulebase budidaya rumput laut No Parameter Prioritas 1. Keterlindungan 1 2. Kondisi gelombang (cm) 1 3. Arus (cm/detik) 1 4. Kedalaman air (m) 1 5. Salinitas ( ) 1 6. Suhu ( o C) 1 7. Kecerahan (cm) 1 8. Kekeruhan (NTU) 1 9 Sumber bibit 2 10 Endemik penyakit 2 11 Sarana penunjang 2 12 Pencemaran 2 13 Keamanan 2 14 Oksigen Terlarut 1 15 Derajat keasaman (ph) 1 16 Material dasar perairan 2 17 Potensi bahaya/bencana 2 Tabel 4. Terlindung dari pengaruh angin musim S1 S2 S3 N Wiradisastra, 2004 1 5 DKP (1991) Baik Sedang Kurang Mujio Tabel 5. Perbedaaan kriteria salinitas S1 S2 S3 N Wiradisastra, 2004 DKP (1991) Mujio (2010) 28-36 32 34 32 34 >20 28 30 32 30 32 12-20 < 30 dan > 34 28 30 < 1 ; > 5 < 12 ; > 36 < 28 & > 34 Tidak semata faktor oseanografi atau data-data kualitas airnya saja. Persyaratan yang diperhatikan dalam penyusunan rulebase ini antara lain: a. Syarat hidup minimal: merupakan syarat utama yang harus dipenuhi untuk kelangsungan hidup suatu biota. Dimana bila syarat ini tidak dipenuhi dapat menggagalkan budidaya yang diinginkan; b. Syarat optimal: syarat ini merupakan syarat sekunder yang harus dipenuhi dalam suatu budidaya perikanan laut 64

Kajian Manajemen Rulebase untuk Menentukan Kawasan Budidaya. (Sutrisno, D., Ati R. dan Gatot HP.) supaya biota tersebut dapat hidup lebih baik; c. Syarat ideal: Merupakan syarat tersier pada suatu usaha budidaya. Dimana keberadaaanya tidak berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan suatu biota dan hanya merupakan faktor pendukung dalam suatu usaha budidaya. Syarat-syarat ini disusun dalam suatu rulebase mulai dari yang paling berpengaruh hingga yang hanya merupakan faktor pendukung untuk mendapatkan produksi yang optimal. Berdasakan permasalahan ini, maka matrisk rulebase untuk menganalisa sebaran spasial wilayah perairan yang potensi untuk dikembangkan usaha budidaya sebagai contoh dapat dilihat pada Tabel 6. Akan tetapi, verifikasi matriks ini di lapangan pun menghadapi berbagai kendala dikarenakan kondisi lokal ternyata sangat mempengaruhi penyusunan parameter dan kriterianya. Sebagai contoh, pada wilayah Gorontalo utara, penyakit dan salinitas sangat mempengaruhi perkembangan usaha budidaya di wilayah ini. Selain itu, permasalahan keamanan juga menjadi kendala di beberapa tempat usaha budidaya. Parameter penyakit merupakan parameter yang tidak tercantum dalam matrisk di tabel 6 berikut ini. Sementara keamanan dan salinitas sudah terfasilitasi. Parameter penyakit kemungkinan berkaitan dengan musim dan kondisi lingkungan sekitar, yang sebagian mungkin dapat difasilitasi dalam matriks yang ada. Selain itu, pada Kabupaten Boalemo, lebih kepada wilayah pantainya yang mayoritas curam sehingga usaha budidaya rumput laut umumnya tidak banyak dilaksanakan disini. Parameter tipe pantai juga tidak terfasilitasi dalam matrisk yang sudah disusun. Terlepas dari itu, hasil analisa dengan menggunakan dua contoh metode, yaitu metode scoring dan metode Matching juga memperlihatkan hasil yang berbeda (Gambar 1 dan Gambar 2). Metode matching menghasilkan informasi sebaran wilayah yang lebih sempit untuk pengembangan usaha budidaya rumput laut dibandingkan dengan metode scoring. Demikian juga dengan klasifikasi potensinya yang hanya tersebar pada kelas sesuai. Sedangkan metode scoring memperlihatkan sebaran spasial wilayah perairan yang lebih luas untuk pengembangan usaha budidaya dibandingkan dengan metode matching. Sementara kelasnya tersebar dari sangat sesuai hingga sesuai. Terlepas dari itu, kedua metode tersebut memperlihatkan bahwa wilayah teluk merupakan wilayah yang paling potensi untuk pengembangan usaha budidaya rumput laut, terutama pada wilayah pesisirnya atau di wilayah perairan yang relatif dangkal. Selain itu, sebaran wilayahnya pun relatif sama dengan perbedaan luas yang sempit. 65

PETA POTENSI BUDIDAYA RUMPUT LAUT BERDASARKAN METODE MATCHING, DI SEKITAR KABUPATEN GORONTALO UTARA PROVINSI GORONTALO 122 20' 122 30' 122 40' 122 50' 123 00' 1 00' 1 00' 0 50' GORONTALO UTARA 0 50' BOALEMO GORONTALO 0 40' 122 20' 122 30' 122 40' 122 50' KOTA GO 123 00' 0 40' U LEGENDA : Tingkat Kesesuaian : 120 122 124 126 3 3 10 0 10Km Batas Kecamatan Jalan Lokal S1 (Sangat Sesuai) S2 (Sesuai) Laut Sulawesi 1 1 Jalan Utama S3 (Sesuai Bersyarat) 1 1 Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut BAKOSURTANAL Garis Pantai Sungai Danau N (Tidak Sesuai) 126 120 122 124 Sumber Data : - Data MCRMP tahun 2004 dan 2008 - Hasil Pengukuran Lapangan Bidang Basdal - PSSDAL, Juni 2009 - Hasil Analisis (Bidang BASDAL, PSSDAL, 2009) Gambar 1. Hasil analisa dengan Metode Matching PETA POTENSI BUDIDAYA RUMPUT LAUT BERDASARKAN METODE SCORING, DI SEKITAR KABUPATEN GORONTALO UTARA PROVINSI GORONTALO 122 20' 122 30' 122 40' 122 50' 123 00' 1 00' 1 00' 0 50' POHUWATO GORONTALO UTARA 0 50' BOALEMO GORONTALO 0 40' 0 40' 122 20' 122 30' 122 40' 122 50' 123 00' U LEGENDA : Tingkat Kesesuaian : 120 122 124 126 3 3 10 0 10Km Batas Kecamatan Jalan Lokal S1 (Sangat Sesuai) S2 (Sesuai) Laut Sulawesi 1 1 Jalan Utama S3 (Sesuai Bersyarat) 1 1 Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut BAKOSURTANAL Garis Pantai Sungai Danau N (Tidak Sesuai) 126 120 122 124 Sumber Data : - Data MCRMP tahun 2004 dan 2008 - Hasil Pengukuran Lapangan Bidang Basdal - PSSDAL, Juni 2009 - Hasil Analisis (Bidang BASDAL, PSSDAL, 2009) Gambar 2. Hasil analisa dengan Metode Scoring 66

Tabel 6. Matriks analisa budidaya laut Parameters Kriteria potensi wilayah Perairan Keterlindungan Gelombang (cm) < 10 10 30 >30 dan < 10 Arus (cm/detik) 20 30 10 20 dan 30 40 < 10 dan > 40 Bathymetry (m) 2,5 5 1 2,5 < 0,5 Materi dasar laut Berkarang Berpasir Berpasis/Berlumpur Salinitas ( ) 32 34 30 32 < 30 dan > 34 Suhu Permukaan Laut ( o C) 24 30 20 24 < 20 dan > 30 Kecerahan (cm) 110 60 30 40 < 30 Kesuburan perairan Ketersediaan bibit Sarana & Prasarana Polusi Keamanan Aman Agak Aman Tidak Aman KESIMPULAN DAN SARAN Parameter pendukung rulebase merupakan persyaratan utama yang harus diperhatikan untuk mendapatkan hasil analisa yang optimal untuk menjawab kebutuhan publik akan sebaran spasial wilayah wilayah perairan yang sesuai untuk pengembangan budidaya laut, khususnya rumput laut. Prinsipprinsip yang harus diperhatikan, antara lain: keterlindungan, tidak ada pencemaran, bukan merupakan jalur transportasi laut dan kegiatan-kegiatan wilayah daratan maupun geomorfologi daratan dan dasar pesisirnya yang cukup mendukung. Parameter ini dapat berbeda pada lokasi yang berbeda tergantung pada kondisi lingkungan yang dikaji. Oleh karena itu dalam pengembangan sistem management rulebase, sebaiknya dapat memfasilitasi semua parameter yang ada di lapangan, yang nantinya merupakan opsi yang dapat ditentukan oleh user. Dalam kaitannya dengan metode analisis masih diperlukan kajian lebih lanjut untuk mendapatkan metode yang tepat guna memfasilitasi berbagai kepentingan. Meto-de scoring untuk sementara ini dapat menjadi andalan guna keperluan analisis. Ke depannya sistim management rulebase juga harus mampu memfasilitasi faktor daya dukung untuk mendapatkan suatu usaha budidaya yang berbasis lingkungan dan berkelanjutan (sustainable). Daya dukung ini hendaknya dapat mencangkup aspek aspek fisik, sosial ekonomi,ligkungan dan infrastruktur. 67

DAFTAR PUSTAKA Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir dan Laut. Jakarta Mujio. 2010. Sistesis Kebijakan Penentuan Kawasan Berbasis Kelautan. Materi Pelatihan SDM Pemrograman Penentuan Kawasan Pesisir dan Lautan. Kerjasama Bakosurtanal dan PKSPL LPPM IPB. Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut. 2010. Prosedur dan Spesifikasi Teknis Analisis Kesesuaian Budidaya Rumput Laut Wiradisastra, U., et al. 2004. Laporan Akhir: Analisis Tingkat Kesesuaian Marine Culture Wilayah ALKI II, Buku I (Teknis Analisis). Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat IPB. Bogor Sofa, P. 2008. Ruang Lingkup Fisik, Kimia dan Biologi Lingkungan. http:// massofa.wordpress.com/2008/02/03/ ruang-lingkup-fisik-kimia-dan-biologilingkungan.. 68