BAB IV ANALISIS YURIDIS TENTANG AGUNAN DALAM PEMBIAYAAN MUDHARABAH BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan (agen of development). Hal ini dikarenakan adanya fungsi

BAB I PENDAHULUAN. pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Berdasarkan

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG MUDHARABAH, BAGI HASIL, DAN DEPOSITO BERJANGKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan

BAB IV PENERAPAN AKTA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN AL QARDH. A. Analisis Penerapan Akta Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan Al

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam linguistik, analisa atau analisis adalah kajian yang

I. Flow-chart. Dimas Hidim, mahasiswa EPI C, Penjelasan alur/flow chat akad musyarakah :

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB IV METODE PERHITUNGAN BAGI HASIL PEMBIAYAAN MUDHARABAH DI BSM CABANG PEKALONGAN DITINJAU DARI FATWA DSN-MUI NO.

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana dengan masyarakat yang kekurangan dana, sedangkan bank

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

BAB I PENDAHULUAN. Islam, seperti perbankan, reksadana, dan takaful. 1. Banking System, atau sistem perbankan ganda, di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

Hak Tanggungan. Oleh: Agus S. Primasta 2

BAB II LANDASAN TEORI. yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip. Menurut pendapat lain, Wadi ah adalah akad penitipan

BAB III AKIBAT HUKUM DILAKUKAN ADDENDUM TERHADAP AKAD PEMBIAYAAN AL-MUSYARAKAH. 1. Keberadaan Addendum Terhadap Akad Pembiayaan Al-Musyarakah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN. (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Amandemen ke IV menyebutkan bahwa:

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan

BAB II Landasan Teori

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

Halal Guide.INFO - Guide to Halal and Islamic Lifestyle

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract)

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dengan dilahirkannya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

MUDHARABAH dan MUSYARAKAH. Disusun untuk Memenuhi Tugas Manajemen Pembiayaan Bank Syariah C. Dosen Pengampu : H. Gita Danupranata, SE., MSI.

BAB II. A. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan adalah kuasa yang diberikan

BAB III PERBANDINGAN HUKUM JAMINAN FIDUSIA MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 DENGAN HUKUM RAHN TASJÎLÎ

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA TAKE OVER PEMBIAYAAN DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI CABANG MEDAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Penerapan Pembiayaan Mudharabah pada KJKS BMT Usaha

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Pelaksanaan Pembiayaan Mudharabah di Baitul maal wat. 1. Prosedur Pembiayaan di BMT Surya Parama Arta

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. Institusi keuangan mempunyai peranan yang sangat penting karena melalui

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

BAB V PENGAWASAN KEGIATAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH 1

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

Sistem Pembukuan Dan, Erida Ayu Asmarani, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UMP, 2017

BAB I PENDAHULUAN. Sejak Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, ada

BAB I PENDAHULUAN. di dalamnya juga mencakup berbagai aspek kehidupan, bahkan cakupannya

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

PERBANDINGAN PROSEDUR PEMBERIAN KREDIT KUPEDES DENGAN PEMBIAYAAN MUDHARABAH

PERLUNYA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI PASAR MODAL BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. segala kebutuhannya tersebut, bank mempunyai fungsi yang beragam dalam

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ekonomi Islam belakangan ini mulai menunjukkan. peningkatan yang berarti di Indonesia maupun dunia. Ekonomi Islam juga

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. ANALISIS PENERAPAN SISTEM BAGI HASIL PADA PEMBIAYAAN MUDHARABAH DI KJKS CEMERLANG WELERI

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELASANAAN AKAD MUDH ARABAH PADA SIMPANAN SERBAGUNA DI BMT BISMILLAH SUKOREJO

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

PEMBIAYAAN MUDHARABAH dan MUSYARAKAH. Disusun untuk Memenuhi Tugas Manajemen Pembiayaan Bank Syariah C. Dosen Pengampu : H. Gita Danupranata, SE.

BAB V PEMBAHASAN. A. Penerapan Akad Mudarabah di Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

PENYELESAIAN SECARA HUKUM PERJANJIAN KREDIT PADA LEMBAGA PERBANKAN APABILA PIHAK DEBITUR MENINGGAL DUNIA

LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-./BL/. Tanggal : PENERBITAN EFEK SYARIAH DI PASAR MODAL

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

LAMPIRAN. Lampiran : Fatwa Dewan Syariah Nasional NO: 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah.

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan pembiayaan jangka pendek dengan margin yang rendah. Salah. satunya pegadaian syariah yang saat ini semakin berkembang.

PELAKSANAAN PERJANJIAN FIDUSIA PADA FIF ASTRA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

No. 10/ 14 / DPbS Jakarta, 17 Maret S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK SYARIAH DI INDONESIA

BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. menghimpun dana dari masyarakat yang kelebihan dana (surplus of fund).

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

BAB IV DI BANK BNI SYARIAH KANTOR CABANG SURABAYA. A. Analisis tentang Prosedur-Prosedur Pemberian Pembiayaan Mura>bah}ah di

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

1. Analisis Praktek Gadai Emas di Bank Syariah Mandiri Cabang Karangayu. akad rahn sebagai produk pelengkap yang berarti sebagi akad tambahan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di

BAB II LANDASAN TEORI. kepastian dana pendidikan anak sesuai rencana untuk setiap cita-cita yang

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut pihak-pihak sebaiknya dituangkan dalam suatu surat yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN HAK TANGGUNGAN PADA PT. BPR ARTHA SAMUDRA DI KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRINSIP BAGI HASIL DALAM PERBANKAN Oleh : Nafi Mubarok (Dosen Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel)

BAB II LANDASAN TEORITIS. (2000:59.1) mengemukakan pengertian Bank Syariah sebagai berikut :

ISTILAH-ISTILAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARI AH

PRINSIP=PRINSIP HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS YURIDIS TENTANG AGUNAN DALAM PEMBIAYAAN MUDHARABAH BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH A. Ketentuan Agunan Dalam Pembiayaan Mudharabah di Perbankan Syari ah Perbankan Syariah di Indonesia dalam melayani kebutuhan masyarakat yang menghendaki layanan jasa perbankan dengan prinsip syari ah berlandaskan hukum pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syaria`ah, sehingga Bank Syari ah dalam memberikan fasilitas pembiayaanpun mengikuti aturan pemerintah yaitu sesuai Pasal 23 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, bahwa ketentuan tersebut menghendaki adanya agunan tambahan di setiap pembiayaan yang berisiko tinggi seperti pembiayaan mudarabah. Kaidah yang dapat digunakan berkaitan dengan masalah agunan tambahan pada bank syari ah sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyatakan: Dalam memberikan kredit, atau pembiyaan berdasarkan prinsip syariah. Bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

Ketentuan tersebut di atas mengharuskan adanya agunan tambahan dalam pembiyaan mudarabah di perbankan syariah, walaupun pada prinsipnya agunan tidak dipebolekan dalam pembiayaan mudarabah mengingat lembaga bank syari ah merupakan lembaga intermediary (perantara) peredaran uang dalam masyarakat, sehingga bank harus menjaga amanah dana pihak ketiga yang di tabungkan, maka wajar kalau bank meminta agunan tambahan pada dengan berpijak pada kaidah ushul fiqh maslahah mursalah. Undang-undang perbankan sendiri sebenarnya sudah menentukan bahwa yang dapat dijadikan barang jaminan adalah salah satu dari elemen dari jaminan, permasalahan akan timbul jika penerima pembiayaan tidak dapat mengembalikan pembiayaan tersebut sedangkan jaminan terdiri dari proyek. Oleh karena itu perlu jaminan tambahan berupa benda-benda tanggungan personil dan corporate quaranty (Perusahaan Asuransi). 126) Kemudian Undang-Undang perbankan yang sudah diubah melalui Pasal 29 ayat 3 mengamanatkan bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dana kepadanya. Bank tetap memandang perlu untuk meminta agunan tambahan dalam memberikan kredit atau pembiayaan terutama untuk kredit atau pembiayaan beresiko tinggi. Kaidah yang dapat digunakan berkaitan dengan masalah agunan tambahan pada bank syari ah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari`ah yang menyatakan: 145. 126) Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hlm.

Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas Ketentuan di atas, juga merupakan amanat dari Pasal 23 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari`ah, yaitu : (1) Bank Syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada Nasabah Penerima Fasilitas. (2) Untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, Agunan, dan prospek usaha dari calon Nasabah Penerima Fasilitas. Berdasarkan pasal di atas, bahwa Bank Syari`ah dalam memberikan kredit atau pembiayaan wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dana kepadanya adalah kaidah usul fiqh yaitu maslahah mursalah yang mengacu pada kebutuhan, kepentingan, kebaikan dan kemaslahatan umum selama tidak bertentangan dengan prinsip dan dalil tegas syarat dan benar-benar membawa kepada kebaikan bersama yang tidak berdampak menyulitkan serta merugikan orang atau pihak lain secara umum. Selain itu yang menjadi pertimbangan diperbolehkannya Bank Syari`ah sebagai penyedia dana meminta agunan tambahan atas pembiayaan mudarabah yang diberikan adalah karena dana yang diberikan pihak ketiga yang dijadikan modal oleh bank adalah amanah, dan bank harus menjaga amanah tersebut bank harus siap jika sewaktu-waktu pihak ketiga mengambil dananya karena dana yang diberikan kepada bank adalah hajat bagi orang banyak (pihak ke-3) sehingga dengan sendirinya agunan tambahan yang dijadikan jaminan juga menjadi

kebutuhan bagi kontrak tersebut. Adanya tujuan berupa upaya mengurangi moral hazard dan untuk meyakinkan bahwa mudarib benar-benar melaksanakan segala ketentuan yang telah disepakati dalam kontrak juga merupakan bagian dari alasan diperbolehkannya penyediaan agunan tambahan oleh pengelola atas pembiayaan berisiko tinggi yang diberikan Bank Syariah. Berbeda halnya jika bank bertujuan untuk memastikan kembalinya modal yang telah dipinjamkan atau untuk mengamankan investasinya. Dengan tujuan seperti ini bank seolah-olah tidak peduli dengan keadan usaha pengelola (mudarib) bank hanya ingin berbagi keuntungan dan tidak ingin berbagi kerugian padahal dalam bentuk finansial. Misalnya dalam hal terjadinya kerugian akibat resiko bisnis, maka yang menanggung resiko finansial bank, sedangkan pengelolaannya tidak, karena adanya pembagian kerugian yang seperti inilah pembiayaan mudarabah kadang-kadang disebut juga dengan partnership in profit. Pada dasarnya ketentuan tidak diperbolehkannya agunan tambahan pada pembiayaan mudarabah tersebut berlaku jika konteksnya adalah busines risk (kerugian yang terjadi mungkin hanya diakibatkan oleh resiko bisnis pada kerugian yang terjadi karena resiko bisnis (bussines risk) nasabah pembiayaan tidak bersalah kerugian yang terjadi adalah sesuatu di luar kemampuanya sehingga apabila bank tetap menyita agunan tersebut maka bank hanya ingin berbagi keuntungann saja dalam perjanjian itu tanpa bersedia menanggung resiko kerugian padahal kerugian yang terjadi adalah resiko bisnis. Sikap bank yang demikian tidak sesuai dengan pengertian dari pembiayaan mudarabah itu sendiri yaitu akad kerja sama usaha antara dua pihak

pertama (sahib al mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola, dan bila kerugian diakibatkan kecurangan atau kelalaian pengelola, si pengelola bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Dalam hal ini mudarib hanya menanggung kehilangan kesempatan memperoleh hasil dari jerih payah serta waktu yang dikeluarkan selama mengelola usaha, kenyataan ini menjadi dasar sehingga para ahli berkesimpulan bahwa pembiayaan mudarabah merupakan bentuk kerja sama di bidang ekonomi yang memutlakkan adanya pembagian keuntungan dan resiko kerugian. Penulis sependapat dengan ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang mengharuskan adanya agunan tambahan dalam pembiyaan mudarabah di Perbankan Syariah, walaupun pada prinsipnya agunan tidak dipebolekan dalam pembiayaan mudarabah mengingat lembaga Bank Syari ah merupakan lembaga intermediary (perantara) peredaran uang dalam masyarakat, sehingga bank harus menjaga amanah dana pihak ketiga yang di tabungkan, maka wajar kalau bank meminta agunan tambahan pada dengan berpijak pada kaidah ushul fiqh maslahah mursalah. Pembiayaan mudarabah sebagai pembiayaan yang beresiko tinggi, karena bank akan selalu menghadapi permasalahan dari mudarib. Dalam kondisi sebaik apapun atau dengan analisis sebaik mungkin resiko pembiayaan yang macet tidak dapat di hindari, maka Bank Syariah mengambil inisiatif untuk meminta agunan

tambahan sebagai jaminan atas pembiayaan tersebut. Hal ini dilakukan dengan untuk meyakinkan bahwa modal yang diberikan kepada nasabah pembiayaan (mudarib) diharapkan dapat kembali seperti semula sesuai dengan ketentuan ketika berlangsungnya kontrak. Jaminan dalam hukum Islam disebut dengan rahn dan kafalah memiliki banyak kesamaan dengan jaminan dalam perundang-undangan di Indonesia. Prinsip-prinsip hukum jaminan dalam Islam antara lain Mabda` al-milkul mutlaq/prinsip absolut, Mabda` alimtiyaz/prinsip prefren, Mabda` faktubulah/prinsip publisitas, Mabda` mamluk lil rahin/prinsip spesialitas dan Mabda` al-qabth/prinsip inbeezittsteling, dan memiliki kesamaan dengan hukum jaminan positif. 127) Akad mudharabah merupakan al-aqd al-ashli sebab menimbulkan hak dan kewajiban bagi bank Syari`ah dan mudharib, mengingat akad pembiayaan ini memiliki resiko tinggi, maka bank syari`ah harus melaksanakan prinsip-prinsip kehati-hatian (prudential principle). Perjanjian jaminan dalam perbankan syari`ah merupakan al-aqd at-tabi` (perjanjian tambahan) mengingat pembiayaan mudharabah beresiko tinggi, maka diperbolehkan diikuti dengan perjanjian jaminan sebagaimana fatwa DSN MUI dan ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 128) Fatwa MUI dapat dijadikan ijma` (kebulatan pendapat para fuqaha/ahli hukum Islam) atau Lembaga Ijma` Ulama` Indonesia, yang dapat dijadikan sumber dalam penetapan agunan dalam pembiayaan mudharabah. Dasar 127) Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm.51. 128) Ibid, hlm. 52.

pertimbangan penormaan jaminan dalam pembiayaan mudharabah diatur dalam Pasal 1 ayat (26), dan Pasal 23 ayat (1) dan (2), Pasal 40 ayat (1) - (4) Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, serta fatwa DSN MUI No. 07/ DSN-MUI/IV/2000 tentang Mudharabah. Jaminan dalam akad mudhrabah berdasarkan teori istislah diperbolehkan bertujuan untuk melindungi dana masyarakat dari nasabah penerima fasilitas yang tidak bertanggung jawab sehingga dapat diikat melalui lembaga hak jaminan gadai, hipotik, hak tanggungan dan fidusia. Pengikatan jaminan dalam akad mudharabah pada Bank Syari`ah dilakukan dengan pengikatan Hak Tanggungan jika obyek jaminannya berupa tanah, dan fidusia jika benda bergerak sehingga tata cara dalam pengikatannya sesuai dengan ketentuan masing lembaga hak jaminan tersebut. Sebagaimana halnya Al-Qur'an, Hadits sebagai sumber hukum Islam keduapun tidak secara tegas menyebutkan mengenai penyediaan agunan tambahan oleh mudarib kepada sahib al mal, yang disebutkan hanya mengenai agunan tambahan yang ada pada akad hutang piutang dan berkaitan dengan tanggung jawab mudarib jika terjadi kerugian karena kesalahannya menyalahi peraturan yang ditetapkan oleh sahib al mal. Pengelola (mudharib) harus bertanggungjawab jika terjadi kerugian karena kesalahan yang dilakukannya yakni berupa tindakan menyalahi peraturan yang ditetapkan oleh pemilik dana (caracter risk). Di Bank Syariahpun adanya penyitaan terhadap agunan tambahan yang diberikan pengelola ini hanya dapat diberlakukan jika kerugian yang terjadi dalam konteks character risk bukan

bussines risk. Penyerahan agunan tambahan oleh pengelola kepada bank tersebut merupakan bukti tanggung jawab pengelola atas kerugian yang terjadi karena kesalahannya. Mudharabah yang disebutkan pada hadis di atas adalah mudharabah muqayad ini terlihat dari adanya persyaratan yang ditetapkan sahib al mal kepada mudarib. Aplikasi mudharabah pada pembiayaan di bank syariahpun adalah pembiayaan mudharabah muqayad. Dalam hal ini bank sebagai penyedia dana mempunyai hak untuk menentukan syarat-syarat atas penggunaan dana tersebut yang menyangkut jenis dari kegiatan-kegiatan itu jangka waktu, lokasi dari proyek-proyek yang dibiayai, namun pembatasan-pembatasan ini tidak boleh diformulasikan sedemikian rupa sehingga merugikan kinerja-kinerja nasabah yang bersangkutan. Dalam terminologi perbankan syariah aplikasi pembiayaan mudharabah tersebut lazim disebut spesial investment. Mengingat al-qur'an dan Hadits tidak secara tegas menjelaskan mengenai agunan tambahan pada pembiayaan mudharabah masa para fuqoha pun berbeda pendapat mengenai hal ini. Namun pada prinsipnya para fuqaha berpendapat bahwa tidak boleh mensyaratkan agunan tambahan sebagaimana dalam akad syirkah lainnya. Diantara fuqaha yang berpendapat demikian adalah Imam Syafi I dan Imam Malik. Mereka berdua menyatakan bahwa mudharabah yang seperti ini adalah mudarabah yang rusak. Imam Malik memberikan alasan bahwa dengan adanya persyaratan adanya agunan tambahan pada perjanjian pembiayaan mudharabah tersebut berarti menambahkan kesamaran dalam perjanjian pembiayaan mudarabah, karena mudarabah tersebut menjadi rusak. Imam Abu

Hanifah dan Imam Ahmad menyatakan bahwa perjanjian mudharabah yang menggunakan agunan tambahan sebagai jaminan ini tetap berlaku, yang batal dan tidak berlaku itu hanya persyaratannya saja. Imam Abu Hanifah menyamakan mudharabah yang seperti ini dengan syarat yang rusak dalam jual beli. Seiring dengan pendapatnya yang menyatakan bahwa jual beli dibolehkan, tetapi syaratnya batal. Selain itu, yang menjadi pertimbangan diperbolehkannya Bank Syariah sebagai penyedia dana meminta agunan tambahan atas pembiayaan mudharabah yang diberikan adalah karena dana yang diberikan pihak ketiga yang dijadikan modal oleh bank adalah amanah, dan bank harus menjaga amanah tersebut, bank harus siap jika sewaktu-waktu pihak ketiga mengambil dananya karena dana yang diberikan kepada bank adalah hajat bagi orang banyak (pihak ke-3) sehingga dengan sendirinya agunan tambahan yang dijadikan jaminan juga menjadi kebutuhan bagi kontrak tersebut. Adanya tujuan berupa upaya mengurangi moral hazard dan untuk meyakinkan bahwa mudharib benar-benar melaksanakan segala ketentuan yang telah disepakati dalam kontrak juga merupakan bagian dari alasan diperbolehkannya penyediaan agunan tambahan oleh pengelola atas pembiayaan berisiko tinggi yang diberikan Bank Syariah. Berbeda halnya jika bank bertujuan untuk memastikan kembalinya modal yang telah dipinjamkan atau untuk mengamankan investasinya. Dengan tujuan seperti ini bank seolah-olah tidak peduli dengan keadan usaha pengelola (mudharib) bank hanya ingin berbagi keuntungan dan tidak ingin berbagi kerugian padahal dalam bentuk finansial.

Misalnya dalam hal terjadinya kerugian akibat resiko bisnis maka yang menanggung resiko finansial bank, sedangkan pengelolaannya tidak, karena adanya pembagian kerugian yang seperti inilah pembiayaan mudharabah kadangkadang disebut juga dengan partnership in profit. Pada dasarnya ketentuan tidak diperbolehkannya agunan tambahan pada pembiayaan mudharabah tersebut berlaku jika konteksnya adalah busines risk (kerugian yang terjadi mungkin hanya diakibatkan oleh resiko bisnis pada kerugian yang terjadi karena resiko bisnis (bussines risk) nasabah pembiayaan tidak bersalah kerugian yang terjadi adalah sesuatu di luar kemampuanya, sehingga apabila bank tetap menyita agunan tersebut, maka bank hanya ingin berbagi keuntungann saja dalam perjanjian itu tanpa bersedia menanggung resiko kerugian padahal kerugian yang terjadi adalah resiko bisnis. Sikap bank yang demikian tidak sesuai dengan pengertian dari pembiayaan mudharabah itu sendiri yaitu akad kerja sama usaha antara dua pihak pertama (sahib al mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola, dan bila kerugian diakibatkan kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Dalam hal ini mudharib hanya menanggung kehilangan kesempatan memperoleh hasil dari jerih payah serta waktu yang dikeluarkan selama mengelola usaha, kenyataan ini menjadi dasar sehingga para ahli berkesimpulan, bahwa pembiayaan mudharabah merupakan bentuk kerja

sama di bidang ekonomi yang memutlakkan adanya pembagian keuntungan dan resiko kerugian. Untuk character risk mudharib pada hakekatnya menjadi wakil dari sahib al-mal dalam mengelola dana dengan seizin sahib al mal sehingga wajib baginya berlaku amanah jika mudarib melakukan keteledoran, kelalaian dan kecerobohan dalam merawat dan menjaga dana, atau ia keluar dari ketentuan yang disepakati, maka mudharib harus menanggung kerugian pembiayaan mudharabah sebesar bagian kelalaiannya sebagai sanksi dan tanggung jawabnya. Mudharib telah menimbulkan kerugian karena kelalaian dan perilaku dzalim, karena ia telah memperlakukan harta orang lain yang dipercayakan kepadanya di luar ketentuan yang telah disepakati, mudharib tidak berhak pula menentukan sendiri mengambil bagian dari ketentuan tanpa kehadiran atau sepengetahuan sahib al mal, sehingga sohib al mal dirugikan. Dalam praktek pembiayaan mudarabah hubungan antara sahib al mal dengan mudharib sebenarnya terikat dalam suatu gadaian yang saling mempercayakan. Pihak sahib al mal terikat dalam gadaian saling mempercayakan melalui modalnya, dan pihak mudharib melalui mengelola usahanya, sehingga adanya agunan tambahan sebagai jaminan akan menjadikan kontrak menjadi tidak sah, oleh karena itu sahib al mal tidak dapat meminta agunan tambahan dari pihak mudharib untuk memastikan kembalinya modal yang diberikan atau modal beserta keuntungannya Keberadaan agunan tambahan pada pembiayaan mudharabah diperbankan syariah sendiri mempunyai dampak positif dan dampak negatif.

Dampak Positif Agunan Tambahan sendiri dalam pembiayaan mudarabah di Bank Syariah: 129) 1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan dana yang tidak diberikannya apabila nasabah pembiayaan cidera janji (wanprestasi). 2. Menjamin agar nasabah pembiayaan berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau setidaknya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil. 3. Dapat diminimalisasinya resiko kerugian akibat dan mudarib yang lalai atau menyalahi kontrak, karena agunan tambahan yang dijadikan jaminan atas pembiayaan yang telah diberikan bank tersebut menjadi harga dari penyelewengan atas perilakunya. 4. Memacu mudarib untuk menjalankan usahanya dengan baik dan tidak berusaha untuk menyalai kesepakatan yang telah dibuat karena jika tidak maka barang yang dijadikan Agunan Tambahan kepada bank akan disita, kesungguhan yang dimiliki mudarib ini tentu saja akan berdampak baik pada peningkatan produktivitas usahanya sehingga akan memberikan keuntungan baik pada pihak mudarib itu sendiri dan juga kepada bank. Dampak negatif adanya Agunan Tambahan sendiri dalam pembiayaan mudarabah di Bank Syariah adalah sebagai berikut: 130) 129) Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Perkreditan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm. 88. 130) Muhamad Muslehuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam, Tarjamahan Banking And Islamic Low, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm. 68.

1. Menghambat kesempatan bagi calon nasabah pembiayaan beresiko tinggi untuk mendapat dana pembiayaan karena ia tidak memiliki barang yang dapat dijadikan Agunan Tambahan. Padahal bila calon nasabah pembiayaan tersebut memiliki potensi dalam menjalankan usaha. Karena adanya Agunan Tambahan ini tentu saja akan membebani calon mudarib dan menurunkan niatnya untuk mengajukan pembiayaan kepada Bank syariah. 2. Menghambat laju perkembangan Perbankan Syariah. Dengan adanya Agunan bank syariah akan terkesan seperti bank konvensional dalam penyaluran dananya yakni berupa kredit padahal kehadiran bank syariah sendiri adalah atas dasar pemikiran memberikan pelayanan kepada sebagian masyarakat yang tidak menghendaki adanya instrumen bunga dalam transaksi perbankannya sebagaimana yang ada dalam perbankan konvensional. Dengan adanya agunan tambahan pada pembiayaan mudarabah bank syariah seolaholah hanya ingin keuntungannya saja dan tidak mau menanggung kerugian. Berdasarkan asumsi masyarakat terhadap Bank Syariah yang seperti itu, maka mereka kurang berminat untuk berhubungan dengan Bank Syariah dan pada akhirnya dapat menghambat laju perkembangannya. Dengan demikian tujuan pengenaan jaminan dalam akad mudarabah adalah untuk menghindari moral hazard mudarib bukan untuk mengamankan nilai investasi, jika terjadi kerugian karena faktor risiko bisnis.

B. Mekanisme Penyertaan Agunan Dalam Pembiayaan Mudharabah Di Perbankan Syari ah Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari`ah Berdasarkan Pasal 1 ayat (26) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dijelaskan, bahwa agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas. Adapun tujuan diterapkannya jaminan/agunan ini adalah sebagai bentuk kehati-hatian bank apabila di akhir akad atau di tengah akad ternyata nasabah mengalami kerugian sehingga terjadi wanprestasi. Pada prinsipnya, akad mudharabah adalah akad kerjasama dengan para pihak, memperjanjikan untuk bagi hasil atau keuntungan. Bagi hasil dan keuntungan dalam akad mudharabah termasuk kedalam akad tijari, yaitu jika dilihat dari maksud dan tujuannya akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan dimana rukun dan syarat telah dipenuhi. Jadi, keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang digunakan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pihak pengelola. 131) Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut. Pada dasarnya akad pembiayaan mudharabah di Bank Syariah didasarkan pada obyek yang dibiayai, 131) R. Abdul Djamali, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm. 159.

yaitu akad mudharabah untuk pembiayaan modal kerja dan akad mudharabah untuk pembiayaan proyek. Untuk spesifikasinya dalam formulir permohonan pembiayaan, bank tidak mengatur secara rinci, yaitu barang yang dibiayai bisa dalam bentuk apa saja asal tidak bertentangan dengan syari at Islam. Atas suatu pelepasan pembiayaan mudharabah oleh Bank Syariah kepada mudharibnya, pertama-tama akan selalu dimulai dengan permohonan pembiayaan oleh mudharib yang bersangkutan. Apabila bank menganggap permohonan tersebut layak diberikan maka untuk dapat terlaksananya pelepasan pembiayaan, terlebih dahulu haruslah dengan diadakan suatu persetujuan atau kesepakatan dalam bentuk akad pembiayaan. Ketentuan mengenai akad yang harus dibuat dalam suatu perjanjian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, sebagai berikut: Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia Dalam penjelasan ayat tersebut, salah satu pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia adalah pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR tahun 1995 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 27/7/Undang-Undang Peraturan Perbankan tanggal 31

Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan Pelaksanaan Perkreditan Bagi Bank Umum juga telah diatur bahwa perjanjian kredit harus dalam bentuk tertulis yaitu berupa akta notariil dan akta di bawah tangan. Meskipun mudharabah bukan sebagai perjanjian pinjam meminjam, akan tetapi karena merupakan perjanjian yang memiliki hak dan kewajiban untuk waktu yang akan datang, maka sebaiknya penyertaan agunan dalam pembiayaan mudharabah dibuat secara tertulis dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang memenuhi syarat dan dirumuskan secara tegas dan jelas untuk menghindari salah satu tafsir yang secara lebih lanjut dapat menimbulkan salah pengertian yang dapat menimbulkan perbedaan pendapat yang tidak perlu diantara shahibul-mal dan mudharib. Dengan demikian pentingnya suatu akad tersebut harus dibuat secara tertulis yaitu adalah untuk kepastian hukum dalam memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya yang ada hubungannya langsung dengan pokok isi akta, yang biasanya tertuang dalam suatu akta. Unsur-unsur terpenting untuk suatu akta ialah suatu tulisan yang memang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Ketentuan akad yang tuangkan dalam bentuk tertulis dalam pembiayaan mudharabah, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari`ah, sebagai berikut: Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masingmasing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.

Penyertaan agunan dalam pembiayaan mudharabah di Perbankan Syari`ah, tidak terlepas dari rukun mudarabah, yang terdiri dari modal, pekerjaan, laba, sighat (akad) dan dua orang yang berakad. Terkait akad terhadap penyertaan agunan dalam pembiayaan mudharabah, maka terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Orang yang berakad (Muta aqidain) disyaratkan orang yang cakap bertindak hukum dalam hal ini adalah mampu mempertanggungjawabkan dan menanggung segala akibat hukum yang timbul akibat akad terkait penyertaan agunan dalam pembiayaan mudharabah; 2. Shighot Akad, yaitu terdiri dari ijab (ungkapan penyertaan agunan dari pemiliknya) dan qabul (ungkapan menerima dam menyetujui penyertaan agunan). Sighat mudarabah merupakan konsekuensi prinsip anta raddin minkum (sama-sama rela), sehingga kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudarabah. Sebagaimana telah diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR tahun 1995 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 27/7/Undang-Undang Peraturan Perbankan tanggal 31 Maret 1995 Tentang Kewajiban Penyusunan Perkreditan Bank Bagi Bank Umum, bahwa perjanjian kredit harus dalam bentuk tertulis yaitu berupa akta notariil dan akta di bawah tangan. Bentuk akad terhadap penyertaan agunan dalam pembiayaan mudharabah di Perbankan Syari`ah dapat berbentuk akta notariil maupun akta di bawah tangan. Akta notariil diperuntukkan untuk akad pembiayaan yang limitnya berkisar di atas

Rp.50.000.000,- sedangkan akta di bawah tangan diperuntukkan untuk akad pembiayaan yang limitnya di bawah Rp. 50.000.000,-60 Konsekuensi dari penggunaan dua bentuk akta berdasarkan jumlah pembiayaan mudharabah tersebut adalah: Pada akta notariil pembiayaan mudharabah: 132) a). Kekuatan pembuktiannya, adalah sebagai alat bukti yang bersifat otentik atau sempurna; b). Proses penandatanganannya, para pihak harus menghadap dan menandatangani aktanya dihadapan notaris. Adapun akta di bawah tangan pada pembiayaan mudharabah : 133) a). Kekuatan pembuktiannya, bukan sebagai sebagai alat bukti yang bersifat otentik atau sempurna, sehingga kebenarannya harus dibuktikan terlebih dahulu oleh para pihak; b). Proses penandatangnannya, dilakukan intern para pihak tanpa perlu menghadap ke notaris Meskipun akad pembiayaan mudharabah yang dibuat dalam bentuk akta notariil dan akta di bawah tangan mempunyai perbedaan dalam hal kekuatan pembuktian maupun proses penandatanganan, tetapi pada dasarnya isi atau klausul dalam kedua bentuk akad tersebut adalah sama. Pada dasarnya penyertaan agunan dalam pembiayaan mudharabah di Perbankan Syari`ah harus memenuhi syarat tentang klausul jaminan, 134) yang 132) Adiwarman Karim, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah, BPFE, Yogyakarta, 2005, hlm. 36. 133) Ibid, hlm.37.

termuat dalam akad pembiayaan di Bank Syariah sebagai upaya untuk melindungi pihak shahibul maal dalam pemberian fasilitas pembiayaan. Klausula jaminan merupakan serangkaian persyaratan yang diformulasikan dalam upaya pemberian fasilitas pembiayaan ditinjau dari aspek finansial dan hukum. Jika ditinjau dari aspek finansial, klausula jaminan ini dimaksudkan untuk melindungi shahibul maal agar dapat menuntut atau menarik kembali fasilitas pembiayaan yang telah diberikan kepada mudharib tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Sedangkan jika dilihat dari aspek hukum, klausula jaminan merupakan sarana untuk melakukan penegakan hukum agar mudharib dapat mematuhi substansi yang telah disepakati di dalam akad pembiayaan mudharabah di Bank Syariah. Pencantuman klausula jaminan maupun klausula-klausula yang berhubungan dengan jaminan di Bank Syariah menandakan bahwa jaminan adalah satu hal yang tidak kalah pentingnya dalam mewujudkan kesepakatan bersama yaitu adanya aturan tentang jaminan. Jaminan menjadi penting ketika shahib almal khawatir akan munculnya penyelewengan dari mudharib. Klausula jaminan dan beberapa klausula lainnya yang berhubungan dengan jaminan, yang terdapat dalam akad Perjanjian Pembiayaan Al- Mudharabah di Bank Syariah terdiri dari: 2. Klausula tentang maksimum kredit (amount clause) Besarnya maksimum pagu fasilitas pembiayaan merupakan batas maksimum pemberian pembiayaan yang ditentukan oleh bank dan dirumuskan dengan kata-kata sampai sejumlah-maksimal. Termasuk dalam pengertian pagu 134) Zainul Arifin, Memahami bank Syariah Lingkup Ruang Tantangan dan Prospek, Alvabet, Jakarta, 2000, hlm. 20.

pembiayaan adalah segala bentuk pendebetan nisbah bagi hasil, margin keuntungan dan biaya-biaya. 135) Maksimum pagu fasilitas pembiayaan tersebut harus ditentukan dan tercantum secara jelas dalam akad pembiayaan. Pencantuman tersebut tidak hanya untuk memenuhi salah satu syarat dalam isi suatu perjanjian kredit/pembiayaan juga berpengaruh terhadap nilai jaminan yang akan diikat. Karena sebagaimana diatur dalam pedoman umum yang berkaitan dengan mekanisme pembiayaan mudharabah, bahwa untuk pembiayaan yang berskala besar ditetapkan adanya jaminan yang besarnya 125% dari besarnya jumlah dana yang dipinjamkan. b. Klausula tentang biaya-biaya Klausula tentang biaya-biaya tercakup juga dalam semua biaya tersebut diatas adalah biaya untuk pengikatan jaminan. Misalnya apabila objek jaminannya berupa tanah dan bangunan, maka biaya-biaya pengikatan jaminan meliputi biaya pengikatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang, maupun biaya pendaftaran Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan Setempat. c. Klausula tentang rekening-rekening Klausula ini merupakan klausula conditions precedent, yang memberikan pengertian bahwa pembiayaan tidak akan diberikan apabila setiap pernyataan dokumen, contoh tanda tangan dan kelengkapan lainnya yang diminta oleh 135) Adiwarman Karim, Op Cit, hlm.40.

SHOHIBUL MAAL sesuai dengan ketentuan perjanjian yang berkaitan dengan jaminan belum diserahkan kepada shahibul maal. d. Klausula tentang jaminan Klausula tentang jaminan, yaitu kesediaan mudharib untuk memberikan jaminan atas pemenuhan kewajibannya kepada Bank Syariah selaku shahibul maal. Objek jaminan yang diikat sebagai jaminan dalam akad pembiayaan mudharabah di Bank Syariah, dapat berupa tanah dan bangunan yang diikat dengan lembaga jaminan Hak Tanggungan. Pemberian Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan pembiayaan tersebut didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan perjanjian pembiayaan mudharabah, sebagaimana telah termuat dalam Pasal 7 perjanjian pembiayaan mudharabah. Hal ini telah memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan sebagai berikut : Pemberian Hak Tanggungan di dahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang di tuangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Berdasarkan penjelasan dari pasal diatas, maka sesuai dengan sifat accessoir dari Hak Tanggungan, pemberiannya haruslah merupakan ikutan dari perjanjian pokok, yaitu akad yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang yang dijamin pelunasannya.

Pengikatan jaminan pada pembiayaan mudharabah adalah dengan penyerahan sertifikat tanah yang akan dijaminkan kepada shahibul maal, kemudian akan dibuatkan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang, kemudian didaftarkan ke Kantor Pertanahan yang berwenang untuk dicatat di dalam buku tanah Hak Tanggungan. Salinan dari buku tanah Hak Tanggungan itu dikeluarkan dalam bentuk Sertifikat Hak Tanggungan (SHT). Selama pembiayaan yang tercantum dalam perjanjian pokok belum dilunasi oleh mudharib selaku pemberi Hak Tanggungan, maka sertipikat tanahnya, Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dan Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) nya dipegang oleh shahibul maal selaku penerima Hak Tanggungan. Mudharib dianggap iftiradh (wanprestasi) apabila telah melakukan pelanggaran (ta`addi) terhadap isi akad, lalai (taqhsir) dalam melaksanakan isi akad, dan menyalahi kesepakatan yang telah ditentukan (mukhalafatu al-syurut), dan bank syari`ah dapat menuntut ganti rugi atas akad pembiayaan tersebut melalui eksekusi obyek hak tanggungan yang dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu Eksekusi Penjualan dibawah tangan, Eksekusi Berdasarkan atas Kekuasaan Sendiri (Parate Eksekusi) dan Eksekusi Berdasarkan Sertifikat Hak tanggungan (Titel Eksekutorial). e. Klausula tentang pembatasan-pembatasan akad pembiayaan mudharabah Klausula-klausula ini merupakan klausula negative covenant, yaitu klausula yang mempunyai akibat yuridis dan ekonomis bagi kepentingan pengamanan bank selaku pemilik modal.

Beberapa hal yang merupakan tindakan yang tidak diperkenankan untuk dilakukan mudharib yang berkaitan dengan jaminan: 136) e. Dalam hal mudharib melakukan pengalihan dan membebankan sebagian atau seluruh asset dari mudharib kepada pihak lain, kecuali pengalihan atau penjualan tersebut sebagai akibat dari pelaksanaan eksekusi jaminan yang dilakukan oleh Bank Syariah. Hal ini tentu tidak diinginkan Bank Syariah selaku shahibul maal, karena tentunya akan mempersulit Bank Syariah ketika akan mengeksekusi sebagian atau seluruh asset mudharib yang dijadikan jaminan, demikian apabila ternyata mudharib melakukan wanprestasi. Mengenai hal ini memang tepat apabila Bank Syariah melakukan pembatasan, karena pengalihan tersebut biasanya dilakukan oleh mudharib yang tidak bertanggung jawab dengan menggunakan perjanjian di bawah tangan, hal ini tentu saja yang merupakan suatu tindakan yang illegal. Selain pengalihan hak atas tanah dan bangunan, dalam praktek juga banyak terjadi jaminan dikuasai oleh pihak ketiga, dapat disewakan atau dihuni oleh keluarga lainnya tanpa persetujuan dari bank. f. Hal yang lain yang dapat terjadi misalnya karena adanya keinginan diversifikasi usaha lain yang tidak disetujui ketika diusulkan kepada shahibul maal, maka mudharib kemudian meminjam dari bank lain untuk usaha yang sama atau usaha lainnya. Hal ini berkaitan dengan ketentuan sebelumnya, yaitu Bank Syariah selaku shahibul maal disini bermaksud agar jangan 136) Muhammad Syafi I Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001, hlm. 47.

sampai jaminan yang telah dijaminkan oleh mudharib kepada Bank Syariah, juga dijaminkan oleh mudharib kepada bank lain. g. Dalam hal yang berkaitan dengan kapasitas mudharib adalah Mudharib bertindak sebagai penanggung atau borg. Untuk tindakan ini akan berdampak secara langsung terhadap keuangan mudharib, jika pihak ketiga yang dijamin mudharib tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Maka bisa saja terjadi jaminan yang telah dijaminkan oleh mudharib kepada Bank Syariah selaku shahibul maal justru dieksekusi oleh pihak lain, dalam rangka pemenuhan tanggung jawab mudharib selaku penanggung atau borg. 1. Klausula tentang Pernyataan Kebenaran Keberadaan Jaminan Klausula kebenaran keberadaan jaminan menandakan bahwa pernyataan kebenaran mengenai keberadaan jaminan dalam pembiayaan mudharabah ini sangat diperlukan oleh Bank Syariah untuk memastikan jaminan tersebut benarbenar ada dan benar-benar dimiliki oleh mudharib. Berkaitan dengan jaminan Undang-Undang No 10 tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 8 ayat (1) telah mengatur bahwasanya dalam memberikan kredit atau pembiayaan dalam prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan di maksud sesuai yang diperjanjikan. Keyakinan disini adalah sesuatu yang sulit diukur, keyakinan yang diperoleh berdasarkan analisis bila hanya dapat dipastikan bila ada collateral atau jaminan. Agunan tambahan yang ada pada

pembiayaan mudarabah diperbolehkan jika konteknya adalah character risk bukan bussines risk dan juga berdasarkan kiadah usul fiqh yaitu maslahah mursalah serta dengan memperhatikan tujuan adanya agunan tambahan tersebut yakni bukan untuk mengamankan dana bank tetapi untuk menyakinkan bahwa pengelolaan benar-benar akan melaksanakan segala ketentuan yang telah disepakati dalam kontrak, dan untuk mengurangi resiko kerugian akibat adanya assymetric information, moral hazard dan advers selection (charakter risk).