FLARE BERDURASI PANJANG DAN KAITANNYA DENGAN BILANGAN SUNSPOT

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang landas bumi maupun ruang angkasa dan membahayakan kehidupan dan

KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN AKTIVITAS GEOMAGNET DI BIAK TAHUN

DISTRIBUSI POSISI FLARE YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET SELAMA SIKLUS MATAHARI KE 22 DAN 23

SEMBURAN RADIO MATAHARI DAN KETERKAITANNYA DENGAN FLARE MATAHARI DAN AKTIVITAS GEOMAGNET

BAB I PENDAHULUAN. Matahari merupakan sumber energi terbesar di Bumi. Tanpa Matahari

PENENTUAN INDEKS AKTIV1TAS MATAHARI EKSTRIM HARIAN

BAB I PENDAHULUAN. Matahari adalah sebuah objek yang dinamik, banyak aktivitas yang terjadi

DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP CUACA ANTARIKSA

BAB I PENDAHULUAN. Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di

PENGUKURAN TEMPERATUR FLARE DI LAPISAN KROMOSFER BERDASARKAN INTENSITAS FLARE BERBASIS SOFTWARE IDL (INTERACTIVE DATA LANGUAGE) Abstrak

PREDIKSI JANGKA PENDEK B ULAN AN JUMLAH FLARE DENGAN MODEL ARIMA (p,d,[q]), (P,D,Q)' 32

PENENTUAN INDEKS IONOSFER T REGIONAL (DETERMINATION OF REGIONAL IONOSPHERE INDEX T )

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoana Nurul Asri, 2013

PREDIKSI BINTIK MATAHARI UNTUK SIKLUS 24 SECARA NUMERIK

ANALISIS PERGERAKAN BINTIK MATAHARI Dl DAERAH AKTIF NOAA 0375

METODE NON-LINIER FITTING UNTUK PRAKIRAAN SIKLUS MATAHARI KE-24

MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN H JANGKA PENDEK BERDASARKAN DAMPAK GANGGUAN REGULER

KLASIFIKASI DAN PERUBAHAN JUMLAH SUNSPOT DIAMATI DARI LABORATORIUM ASTRONOMI JURUSAN FISIKA FMIPA UM PADA BULAN AGUSTUS OKTOBER 2012

ANALISA KEJADIAN LUBANG KORONA (CORONAL HOLE) TERHADAP NILAI KOMPONEN MEDAN MAGNET DI STASIUN PENGAMATAN MEDAN MAGNET BUMI BAUMATA KUPANG

ANALIS1S EVOLUSI GRUP SUNSPOTSPD WATUKOSEK UNTUK MEMPEROLEH INDIKATOR KEMUNCULAN FLARE

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu

IDENTIFIKASI LUAS DAERAH AKTIF DI MATAHARI PENYEBAB KEJADIAN BADAI GEOMAGNET

PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI PADA KALA HIDUP SATELIT

IDENT1FIKASI FLUKS MAGNETIK DARI GERAK PASANGAN BINTIK BIPOLAR,

LIPUTAN AWAN TOTAL DI KAWASAN SEKITAR KHATULISTIWA SELAMA FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI SIKLUS 21 & 22 DAN KORELASINYA DENGAN INTENSITAS SINAR KOSMIK

Analisis Empirik Kejadian Flare Terkait dengan Perubahan Fisik Sunspot

HELISITAS MAGNETIK DAERAH AKTIF DI MATAHARI

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tari Fitriani, 2013

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

MODEL SPEKTRUM ENERGI FLUENS PROTON PADA SIKLUS MATAHARI KE-23

ANAL1SIS EMPIRIK KEJADIAN FLARE TIRKAIT DENGAN PERUBAHAN FIS1K SUNSPOT

BAB 1 PENDAHULUAN. Aktivitas Matahari merupakan faktor utama yang memicu perubahan cuaca

ANALISIS GERAK BINTIK MATAHARI BIPOLAR SEBELUM TERJADI FLARE PADA NOAA 0484 TANGGAL 21 DAN 22 OKTOBER 2003

ABSTRAK. Kata Kunci: Sunspot, Aktivitas Matahari, Klasifikasi Mcintosh, Flare

KARAKTERISTIK LONTARAN MASSA KORONA (CME) YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET

2015 PENGARUH FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS OBJEK LANGIT

PENGARUH SINAR KOSMIK TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN TOTAL DAN AWAN ATAS WILAYAH INDONESIA DALAM PERIODE

ANALISIS ASOSIASI SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE III DENGAN FLARE SINAR-X DAN FREKUENSI MINIMUM IONOSFER

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini, data harian yang diambil merupakan data sekunder

ANALISIS KOMPATIBILITAS INDEKS IONOSFER REGIONAL [COMPATIBILITY ANALYSIS OF REGIONAL IONOSPHERIC INDEX]

ANALISIS MORFOLOGI GANGGUAN SINTILASI IONOSFER DI INDONESIA

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus

Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Fisika Jurusan Fisika. diajukan oleh SUMI DANIATI

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN

PERBANDINGAN PERHITUNGAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI SEKITAR STASIUN TANGERANG (175 4'BT; 17 6'LS)

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Studi literatur ini dilakukan dengan menganalisis keterkaitan

Prosiding Workshop Riset Medan Magnet Bumi dan Aplikasinya

Analisis Terjadinya Flare Berdasarkan Pergeseran Sudut Rotasi Group Sunspot pada Bulan Januari Maret 2015 Melalui LAPAN Watukosek

KAJIAN STUDI KASUS PERISTIWA PENINGKATAN ABSORPSI LAPISAN D PADA TANGGAL 7 MARET 2012 TERHADAP FREKUENSI KERJA JARINGAN KOMUNIKASI ALE

STUDI PUSTAKA PERUBAHAN KERAPATAN ELEKTRON LAPISAN D IONOSFER MENGGUNAKAN PENGAMATAN AMPLITUDO SINYAL VLF

PENERAPAN METODE POLARISASI SINYAL ULF DALAM PEMISAHAN PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI DARI ANOMALI GEOMAGNET TERKAIT GEMPA BUMI

STUDI PERBANDINGAN DISTRIBUSI INDEKS K GEOMAGNET ANTARA STASIUN BIAK DENGAN MAGNETOMETER DIGITAL DAN STASIUN TANGERANG DENGAN MAGNETOMETER ANALOG

PENENTUAN POLA HARI TENANG UNTUK MENDAPATKAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI TANGERANG

Model Empiris Variasi Harian Komponen H Pola Hari Tenang. Habirun. Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN Jl. Dr. Junjunan No.

IDENTIFIKASI MODEL FLUKTUASI INDEKS K HARIAN MENGGUNAKAN MODEL ARIMA (2.0.1) Habirun Peneliti Pusat Pemanlaatan Sains Antariksa, LAPAN

ANALISIS KEJADIAN SPREAD F IONOSFER PADA GEMPA SOLOK 6 MARET 2007

Analisis Terjadinya Flare Berdasarkan Pergeseran Sudut Rotasi Group Sunspot pada Bulan Januari Maret 2015 Melalui LAPAN Watukosek

Hubungan Variasi Radiasi Ultraviolet Matahari Di Permukaan Bumi Dan Variasi Aktivitas Matahari Selama Fase Menurun Siklus Matahari Ke - 22

STRUKTUR MATAHARI DAN FENOMENA SURIA

CUACA ANTARIKSA. Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN

Jurnal Fisika Unand Vol. 2, No. 4, Oktober 2013 ISSN

ANCAMAN BADAI MATAHARI

BAB III METODE PENELITIAN

STUD! PENGARUH SPREAD F TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI RADIO

STUDI KORELASI STATISTIK INDEKS K GEOMAGNET REGIONAL MENGGUNAKAN DISTRIBUSI GAUSS BERSYARAT

ANALISIS KONDISI ANTARIKSA DI ORBIT LAPAN A2 MENJELANG PUNCAK AKTIVITAS MATAHARI SIKLUS 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IDENTIFIKASI MODEL INDEKS K GEOMAGNET BERDASARKAN SIFAT STOKASTIK

ANALISIS KLASTER K-MEANS DARI DATA LUAS GRUP SUNSPOT DAN DATA GRUP SUNSPOT KLASIFIKASI MC.INTOSH YANG MEMBANGKITKAN FLARE SOFT X-RAY DAN Hα

DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP KENAIKAN TEMPERATUR GLOBAL

KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER DI ATAS PONTIANAK TERKAIT FLARE SINAR-X MATAHARI DAN BADAI GEOMAGNET

LAPISAN E IONOSFER INDONESIA

MODEL POLA HARI TENANG MEDAN GEOMAGNET DI SEKITAR STASIUN TANGERANG MENGGUNAKAN PERSAMAAN POLINOM ORDE-4

ANALISIS PERBANDINGAN DEVIASI ANTARA KOMPONEN H STASIUN BIAK SAAT BADAI GEOMAGNET

MATAHARI SEBAGAI SUMBER CUACA ANTARIKSA

TELAAH MODEL NUMERIK MEKANISME TERJADINYA FLARE DI MATAHARI

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS PERILAKU HAMBATAN ATMOSFER DARI MODEL ATMOSFER DAN DATA SATELIT

DAMPAK PERUBAHAN INDEKS IONOSFER TERHADAP PERUBAHAN MAXIMUM USABLE FREQUENCY (IMPACT OF IONOSPHERIC INDEX CHANGES ON MAXIMUM USABLE FREQUENCY)

VARIASI KETINGGIAN LAPISAN F IONOSFER PADA SAAT KEJADIAN SPREAD F

Analisis Distribusi Temperatur Atmosfer Matahari saat Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016 di Palu, Sulawesi Tengah

JURNAL SAINS DIRGANTARA Journal of Aerospace Sciences

Buldan Muslim Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BADAI MATAHARI DAN PENGARUHNYA PADA IONOSFER DAN GEOMAGNET DI INDONESIA

BAB II PROPAGASI GELOMBANG MENENGAH

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT (ALE) NASIONAL

MANAJEMEN FREKUENSI DAN EVALUASI KANAL HF SEBAGAI LANGKAH ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN KONDISI LAPISAN IONOSFER

LEDAKAN MATAHARI PEMICU ANOMALI DINAMIKA ATMOSFER BUMI

METODE BARU PRAKIRAAN SIKLUS AKTIVITAS MATAHARI DARI ANAL1SIS PERIODISITAS

BAB III METODE PENELITIAN

Fisika EBTANAS Tahun 2001

II. TINJAUAN PUSTAKA. R = k (10g+f)

EVALUASI DAN PREDIKSI CUACA ANTARIKSA BERDASARKAN PERUBAHAN HARIAN INDEKS AKTIVITAS MATAHARI:

ANALYSIS OF TIME SERIES DATA (EL NINO and Sunspot) BASED ON TIME- FREQUENCY

ANALISIS PERGERAKAN SUNSPOT UNTUK MENGKAJI POTENSI TERJADINYA FLARE PADA BULAN MARET-JUNI 2015 TUGAS AKHIR

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menerapkan metode deskripsi analitik dan menganalisis data

Transkripsi:

FLARE BERDURASI PANJANG DAN KAITANNYA DENGAN BILANGAN SUNSPOT Santi Sulistiani, Rasdewlta Kesumaningrum Peneliti Bidang Matahari dan Antariksa, LAPAN ABSTRACT In this paper we present the relationship between long duration H-alpha flare events and sunspot number during the period of 1980-2004. We counted as long duration events all those of one hour or more. It is shown that the long duration H-alpha flare events tend to trace the sunspot cycle with some anomalies. ABSTRAK Tulisan ini menampilkan kaitan antara kejadian flare H-alpha berdurasi panjang dengan bilangan sunspot selama tahun 1980-2004. Flare berdurasi panjang didefinisikan sebagai kejadian flare berdurasi satu jam atau lebih. Kami tunjukkan bahwa flare H-alpha berdurasi panjang mengikuti siklus sunspot walaupun terdapat beberapa anomali. 1 PENDAHULUAN Sunspot adalah ciri yang tampak paling menonjol dari matahari. Stmspot terjadi ketika medan magnetik yang kuat muncul ke permukaan matahari dan menyebabkan daerah tersebut mendingin, dari 6000 C menjadi 4200 C. Medan magnetik dalam sunspot menyimpan energi yang dilontarkan dalam flare. Akibatnya, flare mempunyai siklus yang menyerupai siklus 11 tahun sunspot. Sunspot biasanya terjadi dalam kelompokkelompok (biasanya sebagai pasangan sederhana) tapi kadang-kadang dalam susunan yang rumit dengan banyak bintik dan bentuk kompleks. Daerah yang tidak biasa ini sering menghasilkan flare. Dalam pengetahuan cuaca antariksa, kompleksitas dan bentuk-bentuk sunspot digunakan untuk prediksi flare semakin kompleks kelompok-kelompok bintik yang ada, semakin besar kemungkinan sebuah flare akan terjadi di situ. Dalam pengamatan sunspot, indeks yang paling penting adalah sunspot number atau bilangan sunspot. Bilangan sunspot didefinisikan sebagai R - k{n+10g), dengan n adalah jumlah bintik individu, g adalah jumlah grup sunspot dan k adalah konstanta yang bergantung pada peralatan dan pengamat. Selama bertahun-tahun, telah diketahui bahwa aktivitas sunspot dan flare sangat terkait, di mana frekuensi flare bersamaan dengan siklus 11 tahun matahari. Ketika siklus matahari minimum, daerah alctif kecil dan jarang, dan hanya sedikit flare yang diamati. Sebaliknya, jika matahari mencapai maksimum maka frekuensi flare cenderung meningkat. Flare didefinisikan sebagai variasi kecerlangan yang kuat, sangat cepat, dan tiba-tiba. Sebuah flare terjadi ketika energi magnetik yang terbentuk di dalam atmosfer matahari tiba-tiba dilepaskan. Flare umumnya diamati dari bumi menggunakan filter pita sempit, biasanya dengan lebar pita kurang dari 0,1 nm, dan sering berpusat di panjang gelombang H-alpha, yaitu 656,3 nm. Berdasarkan luas area saat kecerlangan maksimum, flare diklasifikasikan menjadi 5 kelas, seperti yang ditampilkan pada Tabel 1-1. Medan magnet yang kuat dan berputar di sekitar grup sunspot aktif diduga memberikan tenaga yang dilepaskan oleh flare. Untuk dapat diklasifikasikan sebagai flare, pencerlangan kromosfer harus 176

melampaui sebuah ambang batas area dan ambang batas kecerlangan. Untuk pengamatan H-alpha, ambang batas kecerlangan adalah 150% dari latar belakang kromosfer, dan ambang batas area adalah 10 persejuta hemisfer matahari yang terlihat. Pencerlangan yang kurang dari 150% dari latar belakang kromosfer (walaupun memiliki lebih dan 10 persejuta area) dinamakan fluktuasi plage. Pencerlangan kecil yang melampaui 150% dari latar belakang kromosfer tetapi kurang dari 10 persejuta area dinamakan pencerlangan titik. Tabel 1-1:KLASIFIKASI FLARE BER- DASARKAN LUAS AREA SAAT KECERLANGAN MAKSIMUM Perilaku waktu flare ditandai dengan waktu mulai, waktu puncak dan waktu berakhir. Mulainya flare didefinisikan sebagai waktu ketika flare pertama kali mencapai ambang area dan kecerlangan. Waktu puncak flare didefinisikan sebagai waktu ketika kecerlangan maksimum di daerah manapun pada flare yang melampaui 10 persejuta daerah hemisfer. Waktu puncak bukanlah waktu ketika flare mencapai luas maksimum (melebihi 150% latar belakang). Waktu flare mencapai luas maksimum ini terjadi setelah flare mencapai kecerlangan maksimum. Waktu berakhirnya flare ditandai dengan waktu ketika kecerlangan dan luas daerah flare tersebut turun dari batas ambang. Durasi flare sebanding dengan energi total yang dilepaskannya. Semakin panjang durasi sebuah flare, maka semakin besar pula energi total yang dilepaskannya. Oleh sebab itu, kami memfokuskan bahasan pada flare berdurasi panjang. Antalova (1995) mendefinisikan flare berdurasi panjang (LDE: Long Duration Event) sebagai kejadian flare yang berlangsung selama dua jam atau lebih. Dalam tulisan ini kami menggunakan definisi LDE dari Solar-Geophysical Data (SGD), yaitu kejadian flare yang berlangsung selama satu jam atau lebih. Untuk mengetahui kecenderungan terjadinya flare berdurasi panjang selama siklus aktivitas matahari, maka akan dianalisa kaitan flare berdurasi panjang dengan bilangan sunspot. 2 DATA DAN METODE PENGOLAHAN Data bilangan sunspot dan flare kami peroleh masing-masing dari http:// www.ngdc.noaa.gov/stp/solar/ftpsuns potnumber.html dan http://www.ngdc. noaa.gov/stp/solar/ftpsolarflares.html yang menampilkan waktu awal, akhir, dan maksimum kejadian flare dengan posisinya pada piringan matahari dan klasifikasinya. Dari data flare yang sudah diseleksi, dilakukan penghitungan jumlah kejadian LDE flare pada setiap bulan baik secara keseluruhan maupun untuk tiap kelas importansi. Pengolahan dan analisa data yang dilakukan serupa dengan pekerjaan Koomen et. al. (1985) yang membandingkan bilangan sunspot dengan jumlah kejadian flare sinar-x berdurasi panjang. 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perhitungan diplotkan dalam grafik yang ditampilkan pada Gambar 3-1 s.d 3-6. Dari Gambar 3-1 dapat dilihat bahwa jumlah kejadian LDE flare importansi S cenderung mengikuti siklus sunspot, tetapi pada tahun 1984 dan 1993 jumlahnya meningkat walaupun siklus sunspot sedang dalam fase penurunan. Koefisien korelasi antara bilangan sunspot dengan LDE flare importansi S adalah 0,74. Begitu pula pada LDE flare importansi 1 dan 2, dengan koefisien korelasi terhadap bilangan sunspot adalah masingmasing 0,71 dan 0,67, cenderung mengikuti siklus sunspot, seperti yang ditunjuk- 177

kan pada Gambar 3-2 dan 3-3. Pada Gambar 3-4 dan 3-5 bisa dilihat bahwa LDE flare importansi 3 dan 4 tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan siklus sunspot karena flare dengan importansi 3 dan 4 merupakan kejadian yang langka. Koefisien korelasi untuk kedua kelas importansi ini dengan bilangan sunspot masing-masing adalah 0,42 dan 0,20. Dari hubungan LDE flare terhadap bilangan sunspot rata-rata bulanan untuk tahun 1980 hingga 2004 pada Gambar 3-6, terlihat bahwa naik dan turunnya jumlah event flare mengikuti naik dan turunnya bilangan sunspot. Faktor korelasinya adalah 0,75. Jumlah LDE Flare Importansi S dan Bilangan Sunspot Rata-rata Bulanan Gambar 3-1: Hubungan antara jumlah LDE flare kelas importansi S dengan bilangan sunspot rata-rata bulanan. Koefisien korelasi - 0,74 Jumlah LDE Flare Importansi 1 dan Bilangan Sunspot Rata-rata Bulanan Gambar 3-2: Hubungan antara jumlah kejadian LDE flare kelas importansi 1 dengan bilangan sunspot ratarata bulanan. Koefisien korelasi = 0,71 178

Jumlah LDE Flare Importansi 2 dan Bilangan Sunspot Rata-rata Bulanan Tan u n Gambar 3-3: Hubungan antara jumlah kejadian LDE flare kelas importansi 2 dengan bilangan sunspot rata-rata bulanan. Koefisien korelasi = 0,67 Jumlah LDE Flare Importansi 3 dan Bilangan Sunspot Rata-rata Bulanan Gambar 3-4: Hubungan antara jumlah kejadian LDE flare kelas importansi 3 dengan bilangan sunspot rata-rata bulanan. Koefisien korelasi = 0,42 179

Jumlah LDE Flare Importansi 4 dan Bilangan Sunspot Rata-rata Bulanan Gambar 3-5: Hubungan antara jumlah kejadian LDE flare kelas importansi 4 dengan bilangan sunspot rata-rata bulanan. Koefisien korelasi = 0,20 Jumlah LDE Flare Bulanan dan Bilangan Sunspot Rata-rata Bulanan 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Gambar 3-6: Hubungan antara jumlah LDE flare bulanan dengan bilangan sunspot rata-rata bulanan. Koefisien korelasi sebesar 0,75 180

Jumlah LDE Flare Bulanan dan Bilangan Sunspot Bulanan Gambar 3-7: Hubungan antara jumlah LDE flare bulanan dengan bilangan sunspot bulanan yang masing masing telah mengalami smoothing dengan moinng average Jumlah LDE Flare an dan Bilangan Sunspot Rata-rata an 1400 1300 1200 1100 1000 Gambar 3-8: Hubungan LDE flare dengan sunspot rata-rata tahunan. Koefisien korelasi = 0,85. 181

Korelasi ini dapat menjelaskan bahwa hanya sedikit LDE flare yang diamati ketika siklus matahari minimum di mana daerah aktif kecil dan jarang, dan bahwa peningkatan frekuensi LDE flare terjadi ketika siklus maksimum, dimana daerah aktif besar dan banyak. Dari Gambar 3-8, terlihat bahwa sejak pertengahan siklus 21 hingga pertengahan siklus 23, jumlah LDE flare mengikuti siklus sunspot. Hasil ini menunjukkan bahwa perilaku LDE flare sama dengan perilaku flare pada umumnya, seperti yang telah dilakukan oleh Jasman (2001) yang menganalisa data rata-rata bulanan bilangan sunspot dan flare pada siklus 22 (Solar Geophysical Data, 1999) yang memberikan harga korelasi sebesar 0,95. Selain itu, dilakukan oleh Taylor (1998) dengan menggunakan data American relative Sunspot Number dan total bulanan flare untuk tahun 1974,6-1987,6 dari Solar Geophysical Data. Periode yang dipilih untuk analisa adalah dari 2 tahun sebelum hingga 10 bulan sesudah siklus 21, di mana terdapat hubungan statistik yang kuat dengan koefisien korelasi sebesar 0,998. 4 KESIMPULAN Jumlah LDE flare selama periode tahun 1980-2004 dengan kelas importansi S, 1, dan 2 cenderung mengikuti bilangan sunspot walaupun terjadi sedikit anomali di beberapa titik, di mana terdapat peningkatan jumlah kejadian LDE flare pada penurunan siklus sunspot. Kejadian LDE flare dengan kelas importansi 3 dan 4 memiliki korelasi yang kecil (masingmasing sebesar 0,42 dan 0,20) terhadap bilangan sunspot, mungkin karena sangat jarangnya kejadian LDE flare dengan kelas importansi tersebut sehingga belum dapat ditarik simpulan mengenai hubungannya dengan bilangan sunspot. Untuk tahun 1980-2004, jumlah LDE flare bulanan mengikuti siklus sunspot, ditunjukkan dengan faktor korelasi yang kuat sebesar 0,75. Hal yang serupa juga ditunjukkan dengan membandingkan frekuensi flare tahunan dengan bilangan sunspot rata-rata tahunan, dengan faktor korelasi 0,85. Pengamatan sunspot memberikan salah satu alat terbaik untuk prediksi terjadinya flare dan sebaliknya, dapat dilakukan klasifikasi sunspot berdasarkan produktivitas flare. UCAPAN TERIMA KASIH Saya ucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Clara Y. Yatini, MSc, peneliti Bidang Matahari dan Antariksa LAPAN atas bimbingannya, dan kepada Bapak Nana Suryana yang telah membantu dalam entri data. DAFTAR RUJUKAN Antalova, A., 1995. Catalogue of LDE-type flares (1993-1994), Contrib. Astron. Obs. Skalnate Pleso 25, 121. Jasman, S., 2001. Kaitan Flare dengan Pemunculan Sunspot, Matahari dan Lingkungan Bumi 2, 13, Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa- LAPAN. Koomen, M. J., Sheeley, N. R., Jr., Howard, R. A., dan Michels D. J., 1985. The Frequency of Long Duration Solar X- ray Events, Solar Physics 97, 375. Taylor, O.P., 1998. The Relationship between Sunspot and Solar Flare Activities for the Period 1974,6-1987,6, Journ. Var. Star Obs. 17, 20. 182