II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Domba Garut Asal usul domba Garut diyakini berasal dari Kabupaten Garut sebagai Sumber Daya Genetik Ternak dari Jawa Barat, yaitu dari daerah Cibuluh, Cikandang, dan Cikeris, di Kecamatan Cikajang serta Kecamatan Wanaraja (Heriyadi, 2011). Domba Garut adalah rumpun domba asli dari Jawa Barat, dengan ciri khas memiliki kuping rumpung (<4 cm) atau ngadaun hiris (4-8 cm) dengan ekor ngabuntut beurit atau ngabuntut bagong (Heriyadi, 2011). Perkembangan selanjutnya, pemeliharaan domba Garut mengarah pada dua sasaran utama, yaitu sebagai penghasil daging dan sebagai ternak atau untuk kesenangan. Domba Garut sendiri adalah ras domba tersendiri yang memiliki produktivitas tinggi dan lebih baik dibandingkan domba Lokal yang banyak tersebar di Jawa Barat. Domba ini tergolong tipe berat, akan tetapi bila dibanding dengan bangsa domba di Eropa, termasuk dalam tipe kecil (Heriyadi, dkk, 2002). Bobot badan yang dimiliki domba Garut jantan terbilang sangat variatif berkisar antara 30-70 kg, tidak jarang ditemukan domba jantan dengan bobot badan diatas 70 kg ( Heriyadi, dkk, 2001 disitasi oleh Heriyadi, dkk, 2002). 2.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Domba Pertumbuhan paling sederhana adalah perubahan ukuran yang meliputi bobot hidup, bentuk, dimensi linear dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang, dan organ serta
komponen kimia, terutama air, lemak, protein, dan abu karkas (Soeparno, 2005). Pertumbuhan dapat terjadi karena peningkatan jumlah dan pertambahan sel yang terjadi sejalan dengan bertambahnya volume tubuh, sehingga luas kulit yang membungkus permukaan tubuh akan meningkat pula. Domba jantan umumnya bertanduk sedangkan domba betina tidak bertanduk, ukuran telinga kecil sampai sedang dengan posisi menggantung, ekor kecil dengan tidak menunjukan adanya perlemakan dan panjangnya tidak mencapai pergelangan kaki. Perubahan organ-organ dan jaringan berlangsung secara gradual hingga tercapainya ukuran dan bentuk karateristik masing-masing organ dan jaringan tersebut. Pertumbuhan seekor ternak merupakan kumpulan dari pertumbuhan bagian-bagian komponennya. Pertumbuhan komponen-komponen tersebut berlangsung dengan kadar laju yang berbeda, sehingga perubahan ukuran komponen menghasilkan diferensiasi karateristik individual sel organ. Pola pertumbuhan normal merupakan gabungan dari pertumbuhan seluruh komponen penyusunnya. Pertumbuhan akan menghasilkan kurva berbentuk S (sigmoid), prosesnya dimulai secara perlahan-lahan, kemudian berlangsung secara cepat dan akhirnya pertumbuhan berjalan lambat atau sama sekali berhenti (Soeparno, 2005). Sejalan dengan pendapat Hammond yang disitasi oleh Soeparno (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan postnatal (setelah lahir) untuk setiap spesies ternak mamalia adalah serupa, lalu pertumbuhan postnatal mula-mula terjadi sangat lambat, kemudian cepat, selanjutnya berangsur-angsur menurun dan berhenti setelah dewasa, proses tersebut menghasilkan kurva yang berbentuk sigmoid
Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Domba berdasarkan Bobot Badan dan Umur (Soeparno, 2005) Dimensi tubuh dan bobot badan yang dihasilkan ternak merupakan manifestasi dari pertumbuhan dan perkembangan ternak, karena pertumbuhan adalah sebagai perubahan ukuran yang meliputi perubahan bobot hidup, pertambahan urat daging, tulang, lemak, dan organ lainnya. Pertambahan bobot badan akan diikuti oleh perubahan ukuran-ukuran tubuh sejalan dengan umur ternak. Pertumbuhan dan perkembangan bagian-bagian ternak (otot, tulang, lemak) tidak berlangsung secara bersamaan, namun pertumbuhan ini terjadi pada waktu dan laju pertumbuhan yang berbeda-beda. Pertumbuhan tulang, otot, dan lemak dipengaruhi oeh umur, pakan, bangsa, dan jenis kelamin (Boggs and Markel, 1993). Menjelang dewasa tubuh, pertumbuhan tulang dan otot akan mengalami penurunan, pada saat itu lemak mulai dideposisikan. Ukuran panjang dan lebar kulit sangat erat hubungannya dengan ukuran panjang badan dan lingkar dada. Pertambahan ukuran lingkar dada dan panjang badan akan diikuti oleh perubahan ukuran panjang kali lebar kulit (luas kulit).
Gambar 2. Hubungan antara otot, tulang, dan lemak dengan bobot hidup (Soeparno, 2005) Judoamidjojo (1981) mengemukakan bahwa kulit yang berupa tenunan sel-sel hidup akan tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan ternak adapun besarnya organ kulit sekitar 10-12 % dari tubuh dan yang mendapat makanan bergizi tinggi selama penggemukan akan menyebabkan tingginya kandungan lemak dalam korium dan subkutis. 2.3 Kulit Kulit merupakan organ tubuh bagian luar yang membungkus tubuh hewan, baik hewan besar maupun kecil yang biasa disamak. Selanjutnya dikatakan pula bahwa kulit merupakan tenunan dari tubuh hewan yang terbentuk dari sel-sel hidup serta mempunyai struktur yang sangat kompleks (Judoamidjodjo, 1981). Kulit mempunyai beberapa fungsi yaitu untuk melindungi alat-alat tubuh yang terletak dibawahnya dari pengaruh luar, membantu pertukaran atau penjagaan temperatur tubuh dari lingkungan sekitarnya, mengatur pertukaran
zat dalam tubuh (pembentukan Vitamin D), membantu prose sekretorik dan eksketorik dari berbagai unsur di dalam tubuh, menghambat infeksi bakterial, menangkap dan meneruskan rangsangan dari luar tubuh ke pusat susunan syaraf dan tempat penyimpanan energi (Djodjowidagdo, 1984). Secara histologis kulit hewan dapat dibagi atas 3 lapisan yaitu, lapisan epidermis, lapisan corium, dan lapisan subcutis. 2.3.1 Tinjauan Makrokopis Kulit Berbagai hewan mempunyai bentuk kulit mentah yang berbeda sesuai dengan bentuk tubuh hewan maka kulitnya pun terdiri dari daerah punggung, perut, kaki, leher, dan ekor bahkan ada pula daerah kepala. Daerah satu dengan lainnya mempunyai sifat-sifat yang berbeda, di antaranya tebal kulit hewan kira-kira bergeser dari daerah pundak (gumba) yang tertebal dan berangsur-angsur sampai ke daerah ekor, sedangkan secara lateral maka daerah tulang punggung tertebal berangsur-angsur menipis ke daerah perut. Menurut Judoamidjodjo (1981) satu lembar kulit terbagi atas beberapa daerah, yaitu : (1) Daerah Croupon (butt) adalah daerah yang mempunyai mutu paling baik bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain dan meliputi 55% dari seluruh kulit, (2) Daerah kepala dan leher adalah darah yang paling tebal, memiliki tenunan yang lebih longar dan luas daerah ini 23% dari seluruh kulit, (3) Daerah kaki, perut, dan ekor, adalah daerah yang relatif tipis dan bertenun longgar, terutama pada bagian perut. Daerah ini meliputi 22% dari seluruh kulit. Kepadatan dari pada jaringan serat Collogenpun tidak sama pada daerah satu dan lainnya. Darah tulang punggung adalah yang terdapat yang berangsur-angsur semakin longgar pada daerah yang menjauhi daerah ini
kecuali didaerah kaki yang dibeberapa tempat terdapat daerah daerah yang berjarign padat. Secara umum dapat pula dipakai prinsi skema tebal kulit. Gambar 3. Skema Umum dari Ketebalan dan Kepadatan Kulit Hewan (Judoamidjodjo, 1981) 2.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Kulit Produksi kulit metah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : (1) Faktor Ante-Mortem adalah prose pemeliharaan hewan, mulai hewan lahir sampai hewan hendak dipotong. Faktor-faktor tersebut adalah jenis bangsa, jenis kelamin, umur pemotongan, dan iklim, (2) Faktor Post-Mortem adalah penanganan terhadap kulit setelah hewan dipotong sampai proses pengepakan. Faktor-faktor tersebut diantaranya cara pengulitan, penanganan kulit, pengawetan kulit, penanganan penyamakan kulit, dan penanganan penyimpanan kulit mentah (Judoamidjodjo, 1981)