BAB I PENDAHULUAN. menjadi tolak ukur segala hal mengenai harapan dan tujuan dari bangsa

dokumen-dokumen yang mirip
SELF EFFICACY ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN DI LAPAS ANAK KLAS IIA BLITAR

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa

BAB III. Pemasyarakatan Anak Blitar. 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk anak-anak. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan

BAB I PENDAHULUAN. di masa mendatang sangat bergantung pada kondisi anak-anak sekarang. Anak

BAB I PENDAHULUAN. hanya terbatas pada kuantitas dari bentuk kejahatan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Layanan perpustakaan..., Destiya Puji Prabowo, FIB UI, 2009

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing

P, 2015 PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA BANDUNG DALAM UPAYA MEREHABILITASI NARAPIDANA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan bermasyarakat, tidak lepas dari kaidah hukum yang mengatur

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 yaitu melindungi segenap

BAB I PENDAHULUAN. aka dikenakan sangsi yang disebut pidana. mempunyai latar belakang serta kepentingan yang berbeda-beda, sehingga dalam

BAB I PENDAHULUAN. Merebaknya kasus kejahatan dari tahun ke tahun memang bervariasi,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan; 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia;

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. Negeri tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan menejemen Pegawai. Negeri Sipil sebagai bagian dari Pegawai Negeri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemasyarakatan mengalami keadaan yang jauh berbeda dibandingkan dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Ambon melalui peraturan tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional identik dengan cita-cita dan tujuan nasional, sebagaimana

BAB I PENDAHULUAN. boleh merampas hak hidup dan merdeka tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. bagi pembangunan. Ini berarti, bahwa pembinaan dan bimbingan yang. diberikan mencakup bidang mental dan keterampilan.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara,

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PENDAHULUAN. dalam penjelasan UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dimana penanganan

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

Pengertian dan Sejarah Singkat Pemasyarakatan

BAB I PENDAHULUAN. masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa.

kehidupan bangsa sesuai dengan tujuan nasional seperti tercantum pada alinea IV

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai salah satu institusi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat- zat adiktif lainnya (NAPZA)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat- zat adiktif lainnya (NAPZA)

BAB I PENDAHULUAN. Negara Hukum. Secara substansial, sebutan Negara Hukum lebih tepat

BAB I PENDAHULUHAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) adalah melindungi

BAB I PENDAHULUAN. dan martabat manusia, terutama masalah Hak Asasi Manusia. Hak Asasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam diri manusia selalu terdapat ketidak puasan, oleh sebab itu ia akan

PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah tingkah laku atau perbuatan manusia yang melanggar

PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Salah satu tujuan negara Indonesia sebagaimana termuat dalam

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah

2015, No Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pe

menegakan tata tertib dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan juga adalah untuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lesi Oktiwanti, 2014 Pembinaan Kesadaran Beragama Berbasis Pendidikan Orang Dewasa

BAB II KERANGKA KONSEP KEGIATAN. penilaian (judgement) diri sendiri dalam melakukan tugas dan memilih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan bagi

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

1 dari 8 26/09/ :15

BAB I PENDAHULUAN. penyiksaan dan diskriminatif secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan melalui

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati

GUILTY FEELING PADA RESIDIVIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili

BAB I PENDAHULUAN. menolong dalam menghadapi kesukaran. c). menentramkan batin. 1 Realitanya,

Institute for Criminal Justice Reform

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai Negara Hukum yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan permasalahan kesejahteraan sosial di Kota cenderung meningkat,

PENGARUH HARAPAN TERHADAP KECENDERUNGAN RESIDIVIS PADA NARAPIDANA DI LAPAS KLAS I MALANG

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS

KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB DAN HUKUMAN MATI

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Syofiyatul Lusiana, 2015

BAB I PENDAHULUAN. sebutan penjara kini telah berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan

BAB I PENDAHULUAN. perampokan, pembunuhan, narkoba, penipuan dan sebagainya. Dari semua tindak

BAB I PENDAHULUAN. Terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan

BAB I PENDAHULUAN. diamanatkan dalam Alinea ke-4 Pembukaan (Preamble) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, manfaat penelitian, definisi terminologi, cakupan dan batasan yang dipakai

I. PENDAHULUAN. melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan potensi

BAB I PENDAHULUAN. masalah ini merupakan masalah sensitif yang menyangkut masalah-masalah

BAB I PENDAHULUAN. dipersiapkan sebagai subjek pelaksana cita-cita perjuangan bangsa. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

2016 PROFIL JUMLAH WAKTU AKTIF BELAJAR SISWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI DI SEKOLAH TARUNA WIYATA MANDIRI

TATA CARA PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang segala bentuk pemerintahan negara ini telah diatur dalam undang-undang dasar 1945, UUD 45 menjadi tolak ukur segala hal mengenai harapan dan tujuan dari bangsa Indonesia. Pada undang-undang 45 alinea ke-4 menyatakan tujuan nasional negara Indonesia ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dapat dijelaskan bahwa negara Indonesia ingin mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan ini harus terwujud dalam kehidupan masyarakat. Penerapan tujuan nasional dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 45, dengan adanya pembangunan nasional. Salah satunya adalah pembangunan manusia dalam bidang hukum, terutama hukum pidana. Pada pembangunan hukum pidana terdapat lembaga-lembaga yang menaungi yakni, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan mempunyai peranan dalam pelaksanaan pembinaan bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan. 1

2 Lembaga pemasyarakatan tidak hanya berfungsi sebagai penjeraan bagi narapidana namun merupakan tempat rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan pemasyrakatan yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana di masa yang akan datang. Pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam peradilan pidana, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rangkaian proses penegakan hukum. Dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 1 ayat 2 menegaskan bahwa : Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Sistem pemasyarakatan di Indonesia saat ini bukanlah sistem pemenjaraan yang menekankan pada unsur pembalasan dan penjeraan yang berujung pada penderitaan dan penyiksaan. Namun lebih pada sistem pemasyarakatan yang menekankan pada pengayoman dan pembinaan dalam bimbingan dan pembinaan dibidang jasmani dan rohani. Tujuan dari pembinaan ini agar narapidana tidak melakukan pelanggaran hukum lagi setelah kembali ke masyarakat, serta dapat ikut

3 berperan aktif dan kreatif dalam pembangunan (penjelasan UU No. 12 Tahun 1995). Pada UU No. 12 Tahun 1995 dalam pasal 1 angka 8, dijelaskan bahwa anak didik pemasyarakatan terdapat tiga macam, yaitu: (1) anak pidana, anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas anak sampai berumur 18 tahun, (2) anak negara, anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas anak samapi berumur 18 tahun, (3) anak sipil, anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas anak sampai berumur 18 tahun. Dari penjelasan pasal diatas diketahui bahwa ada bermacam-macam anak didik yang berada dalam lapas, dan yang dimaksud anak didik pemasyarakatan di penelitian ini adalah anak pidana, karena sesuai dengan apa yang menjadi fokus peneliti mengenai anak yang tersangkut kasus tindak pidana. Pada proses pemasyarakatan perlu diperhatikan hak-hak narapidana dan perlu diberikan perlindungan hukum. Apalagi terpidana tersebut adalah anak-anak yang masih berusia dibawah 18 tahun. Undangundang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pada butir c dan d menyebutkan bahwa setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab melangsungkan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan, maka anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan

4 terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Perundang-undangan di Indonesia sering mengalami pembaharuan untuk mencapai undang-undang yang benar-benar sesuai. Baru-baru ini diberlakukan sistem perundangan baru bagi peradilan pidana anak yang mana seluruh proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum diberlakukan sistem keadilan restoratif yakni penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersamasama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan dan proses yang dilakukan ialah proses diversi yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana menurut Undang-undang No. 11 tahun 2012. Banyaknya anak yang berhadapan dengan hukum bisa dilihat dari sistem database pemasyarakatan menunjukkan setiap bulannya jumlah anak yang masuk lembaga pemasyarakatan anak klas IIA Blitar mengalami naik turun, karena setiap harinya ada yang keluar ataupun yang baru masuk, namun dari data lima tahun terakhir dari tahun 2011-2015 ini jumlah anak didik pemasyarakatan mengalami penurunan. Pada tahun 2011 terdapat 234 anak pidana, tahun 2012 terdapat 239 anak pidana, tahun 2013 terdapat 157 anak pidana, tahun 2014 terdapat 121 anak pidana, dan tahun 2015 hingga bulan Maret terdapat 109 anak

5 pidana. Ini terjadi karena ada pembaharuan undang-undang mengenai hukuman anak-anak yang lebih ditekankan pada proses diversi. Anak yang mengalami masalah dengan perilaku kejahatan dan pelanggaran dibina di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Mereka menjalani masa tahanan untuk proses pembinaan agar perilaku mereka setelah bebas bisa lebih baik dan dapat diterima kembali dalam lingkup masyarakat. Namun, kenyataanya masih banyak masyarakat memberikan penilaian yang kurang baik terhadap narapidana anak. Banyak dari masyarakat menilai bahwa anak yang telah melalui peradilan pidana biasanya setelah keluar dari pembinaan, anak-anak tersebut akan terlibat kembali dalam tindak pidana lain di masa yang akan datang. Penilaian tersebut sangat sulit dihilangkan dari pemikiran masyarakat yang masih belum bisa menerima kembali anak dari binaan pemasyarakatan. Sehingga itu bisa menjadi penyebab anak telah menilai bahwa diri mereka adalah penjahat dan tidak pantas lagi kembali ke lingkungan yang baik, dan akhirnya anak kembali ke lingkungan yang lama yakni lingkungan yang membuat anak menjadi seorang penjahat. Sesuai dengan pembicaraan secara tidak sengaja antara saya dengan salah satu anak didik lembaga pemasyarakatan. Pada pembicaaran yang tidak sengaja terjadi diparkiran lapas anak, anak tersebut berbicara mengenai kasusnya dan dia bercerita mengenai salah seorang anak yang telah bebas dari lembaga pemasyarakatan, namun

6 selang beberapa hari anak yang bebas tersebut masuk kembali dalam binaan pemasyarakatan dengan kasus yang sama. Menurut cerita subjek, anak tersebut tidak mendapat tempat lagi dalam keluarga dan lingkungannya sehingga dia kembali lagi ke dalam lingkungan yang bisa menerimanya dengan cara kembali melakukan tindak pidana. Sehingga dari cerita tersebut dapat dikatakan bahwa peran keluarga dan lingkungan sangatlah penting bagi perkembangan anak yang telah keluar dari pembinaan, karena mereka adalah tumpuan anak-anak tersebut untuk kembali ke kehidupan yang positif, bila tumpuan itu tidak memberikan kesempatan lagi jangan hanya menyalahkan anak tersebut bila kembali dalam lingkungan yang salah. Karena yang terjadi dalam kehidupan ini tidak hanya disebabkan oleh satu faktor melainkan dari banyak faktor pendukung. Menurut seorang tokoh, Akers (Akers & Jennings, 2009:325-327) menjelaskan bahwa ada empat proses yang menyebabkan terbentuknya sebuah perilaku dalam proses belajar sosial perilaku penyimpangan norma sosial. 1. proses asosiasi diferensial yakni, proses pembelajaran sosial yang didapatkan dari proses interaksi dengan lingkungan pergaulan, 2. proses definisi yakni, definisi pribadi seseorang akan terbentuk setelah ia berasosiasi dengan suatu lingkungan dengan norma tertentu, khususnya norma yang dianut sebagian besar anggota kelompok dimana dia terkait, 3. proses penguatan diferensial yakni, merupakan keseimbangan antara antisipasi dan actual rewards dengan

7 punishment yang mengikuti atau kosekuensi dari suatu perilaku. 4. proses imitasi yakni, ketika seseorang banyak terekspos model lalu mengobservasi model yang perilakunya menyimpang maka ia akan meingimitasi apa yang banyak dilihat dan diamatinya. Proses perilaku kriminal menurut Akers (2009) ini cocok dengan perilaku kriminal anak yang terjadi di Indonesia, karena semakin canggihnya teknologi pada saat ini yang tidak berimbang dengan pembangunan moral dan karakter pada anak, menyebabkan anak banyak melakukan imitasi perilaku. Sekarang anak semakin mudah dalam mengakses apapun melalui televisi, internet dan elektronik lainnya. Anak-anak yang telah menjadi seorang narapidana mengalami berbagai permasalahan dalam hidupnya, diantaranya hilangnya kebebasan, ada pola kehidupan yang berbeda, hak-hak yang dibatasi hingga sebuah label sebagai seorang penjahat. Semua itu membuat anak merasa tertekan dan memungkinkan suatu saat nanti mereka akan mengulangi kembali kejahatannya karena jiwa remaja itu jiwa yang penuh dengan gejolak (strum und drang) (Sarwono, 2011:280). Oleh karenanya mereka masih membutuhkan bimbingan, arahan, dan dampingan dari orang tua dan lingkungannya agar mereka dapat berkembang ke arah pendewasaan yang lebih positif (Sarwono, 2011). Anak didik pemasyarakatan menjalani kegiatan-kegiatan yang bermanfaat di dalam lembaga pemasyarakatan, kegiatan-kegiatan tersebut berguna bagi kehidupan mereka yang akan datang. Setiap

8 harinya mereka memiliki kegiatan yang telah menjadi rutinitas, kegiatan tersebut meliputi pembinaan kepribadian dari fisik, sosial, mental dan spiritual, dan juga pembinaan kemandirian (keterampilan/ skill) seperti jahit, montir, pertukangan kayu, peternakan, handycraft, seni ukir dll. Selain pengembangan yang bersifat eksternal, pengembangan dari internalnya juga perlu untuk memperkuat motivasi dari dalam diri mereka dalam menjalani kehidupan. Pengembangan internal ini dilakukan agar anak didik memiliki efikasi diri 1 yang baik. Pengembangan terhadap efikasi diri anak didik pemasyarakatan sangatlah penting karena itu sumber motivasi mereka kedepannya. Anak didik yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan mudah keluar dari keterpurukan dan mampu menjalani kehidupan selanjutnya dengan baik dan normal, sedangkan anak yang memiliki efikasi diri yang rendah sangat rentan dan mudah untuk kembali dalam pergaulan yang tidak baik dan bisa melakukan tindakan kriminal kembali. Penelitian mengenai efikasi diri telah banyak dilakukan, penelitian tersebut lebih banyak meneliti efikasi diri mengenai siswa/mahasiswa dalam proses pembelajaran. Namun masih jarang peneliti melakukan penelitian efikasi diri yang mengambil subyek narapidana. Adapun salah satu penelitian yang berjudul Depression, Self-Efficacy, and identity in Prisoners (2010) oleh Woods, yang mana dalam penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu sejauhmana identitas kriminal dalam 1 Self-efficacy adalah kepercayaan seseorang akan kemampuan dirinya dalam mengatur, menguasai suatu keadaan, dan mencapai keberhasilan dalam mengatasi situasi (Bandura)

9 narapidana mempunyai dampak yang signifikan pada kesejahteraan dan general self-efficacy mereka, penelitian ini menggunakan skala BDI, GSE, dan tiga sub-skala SIC. Diperoleh hasil bahwa terdapat korelasi positif antara efikasi diri dengan faktor dalam SIC, namun terdapat korelasi negatif antara depresi dengan efikasi diri. Penelitian tersebut memberikan kontribusi bahwa meneliti tentang efikasi diri tidak hanya digunakan dalam meneliti konteks anak dalam keadaan umum namun bisa pula di lakukan pada konteks anak yang berhadapan dengan hukum, yakni pada permasalahan manusia yang lebih berat dan kompleks. Selain penelitian diatas, adapula penelitian mengenai Hubungan Efikasi Diri Dengan Craving Pada Pecandu Narkoba (2008) oleh Noviza yang memperoleh hasil bahwa terdapat hubungan negatif antara efikasi diri dengan craving pada pecandu narkoba. Sehingga hal ini membuktikan semakin tinggi efikasi diri maka semakin rendah craving pada pecandu narkoba dan sebaliknya semakin rendah efikasi diri maka semakin tinggi craving pada pecandu narkoba. Self efficacy ini adalah sebuah konsep yang bermanfaat untuk memahami dan memprediksi tingkah laku. Seseorang yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan mampu membangun lebih banyak kemampuan-kemampuan melalui usaha-usaha mereka secara terus menerus dan mengubah kejadian-kejadian di sekitarnya, sedangkan efikasi diri yang rendah akan menghambat dan memperlambat

10 perkembangan dari kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan seseorang untuk mengerjakan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Individu dengan efikasi diri yang rendah cenderung percaya bahwa segala sesuatu sangat sulit dibandingkan keadaan yang sesungguhnya dan cenderung mudah menyerah. Sedangkan orang yang memiliki perasaan efikasi diri yang tinggi akan mengembangkan perhatian dan usahanya terhadap tuntutan situasi dan dipacu oleh rintangan sehingga seseorang akan berusaha lebih keras (Robbins, dalam Ghufron, 2010: 75). Begitu juga dengan anak didik pemasyarakatan yang sedang dalam masa pembinaan. Efikasi diri yang tinggi akan membuat mereka memiliki motivasi yang tinggi untuk melakukan tindakan-tindakan yang lebih positif dan memiliki usaha yang keras untuk berubah lebih baik lagi. Sebaliknya bila semakin rendah efikasi diri yang dimiliki maka seseorang kurang memiliki dorongan yang kuat dalam dirinya untuk berubah dan melakukan tindakan-tindakan yang lebih baik. Sehingga dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui seberapa tinggi efikasi diri yang dimiliki anak didik pemasyarakatan LAPAS Anak Klas IIA Blitar, agar dapat mengetahui seberapa baik dan seberapa besar motivasi yang dimiliki mereka dalam menjalani pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan

11 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tingkat efikasi diri anak didik permasyarakatan di LAPAS Anak Klas IIA Blitar? 2. Apa saja bentuk permasalahan yang dihadapi anak didik pemasyarakatan? 3. Siapa yang mendukung efikasi diri anak didik pemasyarakatan? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui tingkat efikasi diri anak didik pemasyarakatan di LAPAS Anak Klas Blitar? 2. Untuk mengetahui bentuk permasalahan yang dihadapi anak didik pemasyarakatan? 3. Untuk mengetahui pendukung efikasi diri anak didik pemasyarakatan? D. Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat secara teoritis maupun praktis. 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bidang ilmu psikologi perkembangan maupun hukum. Selain itu bisa memberikan sumbangan baik keilmuan psikologi kedepannya, sehingga dapat memberikan tambahan bahan dalam penelitian selanjutnya.

12 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman kepada keluarga, masyarakat, pihak aparat penegak hukum, bahkan mahasiswa tentang bagaimana keadaan remaja atau anak yang bermasalah dengan hukum. Juga, dapat memberikan informasi terhadap pihak lapas mengenai efikasi diri remaja dalam mengatasi permasalahan mereka.