BAB I PENDAHULUAN. akan pernah lepas dari sesuatu yang disebut hukum. Undang-Undang Dasar

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 1 Hal ini berarti setiap

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan yang wajar sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku dan normanorma

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan

BAB I PENDAHULUAN. Ketika seseorang yang melakukan kejahatan atau dapat juga disebut sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai salah satu institusi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai Negara Hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB III LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK DI INDONESIA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA ORIENTASI PRINSIP PEMIDAAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem pemasyarakatan yang merupakan proses pembinaan yang

P, 2015 PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA BANDUNG DALAM UPAYA MEREHABILITASI NARAPIDANA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini narapidana tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan

BAB I PENDAHULUAN. tugas pokok melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik. makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat.

menegakan tata tertib dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan juga adalah untuk

1 dari 8 26/09/ :15

BAB I PENDAHULUAN. barang siapa yang melanggar larangan tersebut 1. Tindak pidana juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum,

BAB I PENDAHULUAN. Indie (Kitab Undang Undang Hukum pidana untuk orang orang. berlaku sejak 1 januari 1873 dan ditetapkan dengan ordonasi pada tanggal

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD

BAB III. Pemasyarakatan Anak Blitar. 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan

BAB I PENDAHULUAN. Negeri tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan menejemen Pegawai. Negeri Sipil sebagai bagian dari Pegawai Negeri.

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan. mereka yang telah melanggar peraturan tersebut 1

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ingin meningkatkan pencapaian di berbagai sektor. Peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. hanya terbatas pada kuantitas dari bentuk kejahatan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab negara yang dalam hal ini diemban oleh lembaga-lembaga. 1) Kepolisian yang mengurusi proses penyidikan;

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan

Institute for Criminal Justice Reform

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan perdamaian dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di

BAB I PENDAHULUAN. sebutan penjara kini telah berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

FUNGSI SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM MEREHABILITASI DAN MEREINTEGRASI SOSIAL WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN Sri Wulandari

BAB I PENDAHULUAN. khusus untuk melaporkan aneka kriminalitas. di berbagai daerah menunjukkan peningkatan.

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

BAB I PENDAHULUAN. untuk anak-anak. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan; 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia;

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Salah satu tujuan negara Indonesia sebagaimana termuat dalam

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. penyiksaan dan diskriminatif secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan melalui

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan bermasyarakat, tidak lepas dari kaidah hukum yang mengatur

BAB II TINJAUAN UMUM. A. Tinjauan Umum Tentang Rumah Tahanan Negara

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan tempat atau kediaman bagi orang-orang yang telah dinyatakan bersalah oleh

Pengertian dan Sejarah Singkat Pemasyarakatan

ANALISIS MENGENAI SINGKRONISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SEBAGAI PENGGANTI PIDANA PENJARA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

SKRIPSI. Diajukan guna memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum. Oleh : SHELLY ANDRIA RIZKY

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Layanan perpustakaan..., Destiya Puji Prabowo, FIB UI, 2009

Institute for Criminal Justice Reform

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi hanya sekedar penjeraan bagi narapidana,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUHAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) adalah melindungi

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Penyelenggaraan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB 1 PENDAHULUAN. perbuatan melanggar hukum.penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. landasan pendiriannya yang telah tertuang dalam Undang-Undang Dasar

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun yang benar-benar menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tolak ukur segala hal mengenai harapan dan tujuan dari bangsa

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius dimana ada masyarakat disana ada hukum. Adagium tersebut begitu lekat terdengar. Hal ini mengisyaratkan bahwa kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang tergabung dalam kehidupan bermasyarakat tidak akan pernah lepas dari sesuatu yang disebut hukum. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sendiri menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara hukum (Pasal 1 ayat (3)). Secara umum hukum dapat diberi definisi sebagai himpunan peraturanperaturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi mereka yang melanggarnya. 1 Berdasarkan kepentingan yang diaturnya, hukum dapat dibagi menjadi dua macam yaitu hukum publik dan hukum privat. Hukum publik merupakan hukum yang berkaitan dengan fungsi negara sedangkan hukum privat berkaitan dengan kepentingan individu. 2 Berbicara tentang hukum publik tidak akan pernah lepas dari berbicara mengenai hukum pidana. Moeljatno mengatakan bahwa hukum pidana adalah Jakarta, h. 211. 1 R. Soeroso, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 38. 2 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,

2 bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk: a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan. c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 3 Secara ringkas hukum pidana merupakan hukum yang bersifat istimewa karena memiliki sanksi berupa penyengsaraan atau penderitaan (pidana) bagi yang melanggar. Sanksi tersebutlah yang membedakan hukum pidana dengan hukum lainnya. Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan pidana terdiri atas: a. Pidana pokok: 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda. b. Pidana tambahan: 1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan barang-barang tertentu; 3. pengumuman putusan hakim. Pidana tersebut ditujukan dengan maksud untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik (aliran klasik) dan untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan yang tidak baik 3 Moeljatno, 2009, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 1.

3 menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya (aliran modern). 4 Salah satu bentuk pidana yang paling banyak dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan adalah pidana penjara. Pidana penjara di dalam sejarah dikenal sebagai reaksi masyarakat terhadap adanya tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pelanggar hukum, pidana penjara juga disebut sebagai pidana hilang kemerdekaan dimana seseorang dibuat tidak berdaya dan diasingkan secara sosial dari lingkungannya. 5 Adanya hukum pidana beserta tujuannya tersebut tidak juga mengurangi secara signifikan tindak pidana yang terjadi di masyarakat. Bahkan seorang yang telah usai menjalani masa hukuman karena telah melakukan tindak pidana dapat mengulangi lagi perbuatannya tersebut secara berulang kali. Tindakan tersebut dikenal dengan istilah recidive dan pelakunya dikenal dengan istilah recidivis. Recidive terdapat dalam hal seseorang telah melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, di antara perbuatan mana satu atau lebih telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan. 6 Tindakan recidive merupakan dasar dari pemberatan penjatuhan pidana. Hal tersebut dikarenakan seseorang yang telah dijatuhi hukuman dan mengulang lagi melakukan kejahatan, membuktikan bahwa seseorang tersebut telah memiliki 4 Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 14. 5 Petrus Iwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, 1995, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 14. 6 Teguh Prasetyo, op.cit. h. 191.

4 tabiat buruk yang dianggap sangat membahayakan bagi keamanan dan ketertiban masyarakat. Seiring perkembangan sistem hukum berbagai upaya dilakukan guna menekan angka tindak kejahatan khususnya recidive. Diundangkannya Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut UU Pemasyarakatan) sistem penjatuhan pidana yang awalnya berupa pidana penjara berubah menjadi sistem pemasyarakatan yang dulunya terpidana dalam menjalani hukuman ditempatkan dalam penjara yang sangat membatasi gerak dari terpidana, kini telah berubah di dalam menjalani hukuman terpidana ditempatkan dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Istilah pemasyarakatan itu sendiri, untuk pertama kalinya telah diucapkan oleh Sahardjo di dalam pidato penerimaan gelar doktor honoris causanya dalam ilmu hukum dari Universitas Indonesia pada tanggal 5 Juli 1963, di dalam pidatonya beliau antara lain telah mengemukakan rumusannya mengenai tujuan dari pidana penjara, yaitu disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, dan mendidik mereka menjadi seorang anggota masyarakat sosial Indonesia yang berguna. Atau dengan perkataan lain, tujuan dari pidana penjara itu adalah pemasyarakatan. 7 Sebutan lembaga pemasyarakatan kemudian untuk pertama kalinya digunakan untuk merubah sebutan rumah penjara di Indonesia 7 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2012, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 32.

5 diberlakukan sejak bulan April 1964 sesuai gagasan dari Suhardjo yang pada kala itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Selaras dengan ajaran Pancasila yang merupakan ideologi bangsa yang di dalam sila ke-2 yang berbunyi Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab memberikan jaminan bahwa setiap warga negara Indonesia diperlakukan secara beradab dan dihargai hak-hak asasi manusianya meskipun berstatus sebagai narapidana. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dari Pasal 28A sampai Pasal 28J juga disebutkan bahwa Negara wajib menjamin dan melindungi hak-hak asasi dari setiap warga negaranya dari segi dan bidang apapun. Perlindungan terhadap HAM diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Jadi baik warga Negara biasa maupun warga Negara yang berstatus narapidana, Negara berkewajiban menjamin hak-hak asasi dari setiap warga negaranya. Teori pemidanaan yang berkembang dewasa ini lebih kearah teori pemidanaan yang modern yang dimaksudkan guna mendidik narapidana agar nantinya setelah usai dalam menjalani proses pemidanaan, narapidana tidak mengulangi lagi perbuatannya tersebut (recidive) dan juga agar nantinya dapat bersosialisasi lagi serta diterima di lingkungan masyarakat. Teori pemidanaan yang seperti ini dianggap lebih menghargai HAM dan mulai meninggalkan teori klasik yang lebih menitik beratkan pidana sebagai pembalasan. Sistem yang sedang berkembang dan dianut di Indonesia saat ini menuju pada usaha perbaikan narapidana agar menjadi orang yang lebih baik atau dapat dikatakan sebagai pemasyarakatan.

6 Perspektif kebijakan pidana yang modern telah menimbulkan aliran penologi terbaru (The New Penology) yang menganut paham Reintegrasi Sosial (pemasyarakatan) yang dalam garis besarnya sebagai berikut: 1) Pelanggar hukum sebagai individu diakui tidak berbeda dengan anggota masyarakat yang bukan pelanggar hukum. 2) Konsepsi pemasyarakatan menitikberatkan kepada pulihnya kesatuan hubungan yang telah retak antara pelanggar hukum dengan masyarakat. 3) Dalam pola rehabilitasi, realisasi reaksi masyarakat terhadap pelanggar hukum yang diawali oleh instansi penegak hukum lebih diarahkan kepada pemberian derita, maka dalam pola reintegrasi sosial prinsip kasih sayang, yang seharusnya terkandung pula dalam pemberian derita (seperti pepatah jika sayang anak jangan sayang rotan) adalah menjadi tugas atau misi instansi yang diserahi menampung pelanggar hukum. 4) Pembinaan pelanggar hukum yang terpidana berdasarkan konsepsi pemasyarakatan tidak cukup hanya dilakukan setelah pelanggar hukum yang bersangkutan dijatuhi pidana. Pemberian pembinaan yang prinsipil harus sudah dilakukan sedini mungkin, yaitu sejak pelanggar hukum ditangkap dan ditahan oleh pihak kepolisian dan seterusnya. Adapun bentuk pembinaannya meliputi program diversi, probasi informal, dan intervensi sebelum persidangan. 8 Bandung, h. 43. 8 Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, PT Refika Aditama,

7 Berangkat atas dasar tersebutlah maka sistem kepenjaraan di Indonesia berubah menjadi sistem pemasyarakatan. Konsideran huruf a sampai huruf c UU Pemasyarakatan disebutkan: a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu; b. bahwa perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem kepenjaraan tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan; c. bahwa sistem pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, merupakan rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Denpasar merupakan salah satu lembaga pemasyarakatan di Indonesia yang sangat ramai diperbincangkan dikarenakan jumlah narapidana yang over kapasitas sehingga sering muncul permasalahan di lembaga pemasyarakatan tersebut antara lain seringnya terjadi keributan antar narapidana sampai kurangnya tenaga pembina dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana. Tentu permasalahan-permasalahan tersebut di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Denpasar akan berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan sistem pemasyarakatan terhadap pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan tersebut terutama pembinaan bagi narapidana recidive. Berubahnya sistem kepenjaraan di Indonesia menjadi sistem pemsyarakatan yang dikatakan lebih ditujukan terhadap mendidik narapidana dan bukan untuk membalas apa yang telah dilakukan narapidana terhadap korbannya masih dirasa kurang efektif dalam pelaksanaannya karena dalam prakteknya dilapangan masih

8 banyak narapidana yang seusai ia menjalani proses pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, ia mengulangi lagi melakukan tindak pidana dan menjadi recidivis. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi untuk mengangkat suatu permasalahan tersebut diatas ke dalam bentuk suatu karya ilmiah yang berupa skripsi dengan judul Efektivitas Sistem Pemasyarakatan Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Denpasar Dalam Menanggulangi Recidivis 1.2.Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dibatasi beberapa permasalahan pokok dalam bahasan usulan penelitian ini. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pelaksanaan sistem pemasyarakatan di LAPAS Kelas IIA Denpasar? 2. Apakah sistem pemasyarakatan efektif dalam menanggulangi recidivis? 1.3.Ruang Lingkup Masalah Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini, untuk itu perlu adanya pembatasan dalam ruang lingkup masalah sehingga pembahasan dalam tulisan ini bisa terfokus pada pokok permasalahan yang dibahas. Adapun pembatasan dalam ruang lingkup masalah yang akan dibahas di dalam tulisan ini yaitu:

9 1. Pembahasan pertama difokuskan terhadap pelaksanaan sistem pemasyarakatan di LAPAS Kelas IIA Denpasar. 2. Pembahasan kedua difokuskan terhadap efektifitas sistem pemasyarakatan dalam menanggulangi recidivis. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian terkait dengan efektifitas sistem pemasyarakatan dalam menanggulangi recidivis ini ada dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut antara lain : A. Tujuan Umum Untuk mengetahui efektifitas sistem pemasyarakatan dalam menanggulangi recidivis. B. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui pelaksanaan sistem pemasyarakatan di LAPAS Kelas IIA Denpasar. 2. Untuk mengetahui apakah sistem pemasyarakatan efektif dalam menanggulangi recidivis. 1.5. Manfaat Penelitian A. Manfaat Teoritis Penulisan penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan kontribusi pemikiran dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan

10 terutama di bidang ilmu hukum khususnya hukum pidana dibidang pelaksanaan sistem pemasyarakatan. B. Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan kontribusi pemikiran serta solusi kongkrit bagi para lembaga penegak hukum terutama di Lembaga Pemasyarakatan guna mengefektifkan pelaksanaan sistem pemasyarakatan dalam penanggulangan tindak recidive yang dalam prakteknya walaupun sistem kepenjaraan telah diubah menjadi sistem pemasyarakatan yang lebih mengutamakan pembinaan terhadap narapidana, tindak recidive masih saja terjadi. 1.6. Kerangka Teoritis 1. Sistem Pemasyarakatan Pasal 1 angka 1 UU Pemasyarakatan menyatakan bahwa Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Pasal 1 angka 2 UU Pemasyarakatan menyebutkan bahwa sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan,

11 memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Proses pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan sebagai pembaharuan pelaksanaan pidana penjara diharapkan merupakan satu kegiatan yang mengandung dua hal. Hal yang pertama, mengandung suatu pemikiran tentang bentuk pidana penjara yang akan mengalami revolusi berkenaan dengan upaya pelaksanaan pidana penjara baru, dan pada hal yang kedua, mengandung suatu kegiatan pemikiran tentang perlakuan cara baru terhadap narapidana dalam rangka sistem pemasyarakatan. 9 Pola pembinaan berdasarkan pemasyarakatan (re-integrasi sosial) dalam hal ini tidak terikat pada waktu, melainkan mengandalkan komitmen kegoyong royongan dalam pembinaan dalam rangka mencegah atau memperkecil timbulnya residivisme. 10 Konfrensi Lembang Bandung merumuskan sepuluh prinsip pemasyarakatan yang dijadikan dasar pembinaan. Prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan itu adalah: 1) Ayomi dan berikan bekal agar mereka dapat menjalankan peranan sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna ; 2) Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari Negara. Ini berarti tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana dan anak didik baik yang berupa tindakan, perlakuan, ucapan, cara perawatan 9 Bambang Poernomo, 1985, Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, h. 13. Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem 10 Marsono, 2002, Bunga Rampai Pemasvarakatan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 91.

12 ataupun penempatan. Satu-satunya derita yag dialami oleh narapidana dan anak didik hendaknya hanyalah dihilangkannya untuk bergerak dalam masyarakat bebas; 3) Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat. Berikan kepada mereka pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan dan sertakan mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatannya; 4) Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum dijatuhi pidana; 5) Selama kehilangan kemerdekaan beegerak narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat dan hal ini terjelma dalam bentuk kunjungan hiburan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan dari anggota-anggota masyarakat bebas dan kesempatan yang lebih banyak untuk berkumpul bersama sahabat dan keluarga; 6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukan bagi kepentingan lembaga atau Negara saja, pekerjaan yang diberikan harus ditunjukan untuk pembangunan Negara; 7) Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas pancasila. Ini berarti bahwa kepada mereka harus ditanamkan jiwa kegotongroyongan, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaan disamping pendidikan kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah agar memperoleh kekuatan spritual; 8) Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat tidak boleh ditujukan kepada narapidana bahwa ia penjahat; 9) Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dapat dialaminya; 10) Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan. 11 Kesepuluh prinsip pemasyarakatan tersebut setidaknya sudah cukup untuk mengajukan arah yang harus dituju oleh Sistem Pemasyarakatan dalam rangka pembinaan dan upaya penanggulangan kejahatan agar tindak muncul tindak recidive. Pembinaan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan 11 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2004, 40 Tahun Pemasyarakatan Mengukir Citra Profesionalisme, Dept. Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, h. 80.

13 Pembimbingan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yakni dalam ketentuan : Pasal 2 1) Program pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbing kepribadian dan kemandirian. 2) Program Pembinaan diperuntukkan bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. 3) Program Pembimbingan. Pasal 3 Pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandiriaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi hal-hal yang berkaitan dengan: a. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. Kesadaran berbangsa dan bernegara; c. Intelektual; d. Sikap dan perilaku; e. Kesehatan jasmani dan rohani; f. Kesadaran hukum; g. Reintegrasi sehat dengan masyarakat; h. Keterampilan kerja; dan i. Latihan kerja dan produksi. 2. Teori-Teori Pemidanaan Ada beberapa teori-teori tujuan pemidanaan yang pada umumnya dibagi dalam tiga golongan (teori) yaitu: a. Teori Absolut (Pembalasan), penganutnya Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl dan Leo Polak. Teori ini teori tertua (klasik) yang berpendapat pidana ltu merupakan suatu akibat hukum yang mutlak harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenar pidana terletak pada kejahatan itu sendiri. Menurut teori ini, oleh kafena kejahatan menimbulkan penderitaan bagi yang terkena kejahatan, maka penderitaan itu harus dibalas pula dengan penderitaan yang berupa pidana kepada seseorang yang melakukan kejahatan itu. Seperti halnya, siapa yang membunuh harus dibunuh.

14 b. Teori Relative (Tujuan), teori ini berpendapat dasar hukum bukanlah pembalasan kepada pembuat kejahatan, melainkan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanafaat. Mengenai tujuan pidana itu ada beberapa pendapat, yaitu tujuan pidana adalah untuk menentramkan masyarakat yang gelisah karena akibat dari telah terjadinya kejahatan. Selain itu, tujuan pidana adalah untuk mencegah kejahatan yang dapat dibedakan atas Pencegahan Umum (Generale Preventie) dan Pencegahan Khusus (Speciale Preventie). Selain itu, masih dikenal lagi Teori relative modern, penganutnya Frans Von Lizt, Van Hamel, dan D. Simons. Teori ini berpendapat dasar hukuman adalah untuk menjamin ketertiban hukum. Pokok pangkalnya adalah Negara, dimana negara melindungi masyarakat dengan cara membuat peraturan yang mengandung larangan dan keharusan yang berbentuk kaidah/ norma. c. Teori Gabungan (Verenegings Theorieen) merupakan gabungan dari Teori Absolut (Pembalasan) dengan Teori Relatif (Tujuan). Yang pertama kali mengajukan teori gabungan ini mlah Pellegrino Rossi (1787-1848), Teori ini menitikberatkan kepada pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melebihi daripada yang diperlukan dalam mempertahankan ketertiban masyarakat dan tidak boleh lebih berat dari beratnya penderitaan yang sesuai dengan beratnya perbuatan si terpidana Teori ini dalam juga melihat kemasa depan dalam pelaksanaan pidana atau pembalasaanya, yakni dengan melakukan pencegahan-pencegahan agar tidak terjadinya

15 tindak pidana sebagaimana dalam teori relatif. 12 Jika diperhatikan dari teori-teori pemidanaan yang dipaparkan di atas, terdapat suatu perkembangan di dalam tujuan pemidanaan, penjatuhan pidana kini tidak hanya ditujukan terhadap bentuk pembalasan dari tindak pidana yang telah dilakukan oleh narapidana, namun penjatuhan pidana kini juga ditujukan guna mencegah terjadinya suatu tindak pidana dan membina para narapidana yang dalam menjalani masa pidananya agar nantinya tidak mengulangi lagi perbuatannya tersebut (recidive). Tujuan pemidanaan yang menitikberatkan terhadap pembinaan ini juga berkaitan dengan penggunaan istilah lembaga pemasyarakatan yang lebih menitikberatkan kepada pembinaan dengan tujuan memasyarakatkan kembali pelaku tindak pidana yang selama ini telah merugikan masyarakat dan mengembalikannya kembali ke arah yang benar dengan cara membina narapidana tersebut sehingga nantinya berguna bagi masyarakat pada umumnya yang telah dirugikannya pada saat ia melakukan tindak pidana. Sehingga pada saat ia bebas dapat diterima kembali dalam masyarakat dan tidak menjadi recidivis. 3. Recidivis Recidive merupakan dasar pemberatan hukuman yang dikarenakan seseorang yang telah dipidana mengulang lagi melakukan perbuatan jahatnya tersebut. Recidive berarti pengulangan. Recidive diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana pada Buku II Bab XXXI Pasal 486, Pasal 487, dan Pasal h. 53-60. 12 Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung,

16 488. Pengulangan menurut sifatnya terbagi dalam dua jenis: 1) Recidive umum a. Seorang telah melakukan kejahatan. b. Terhadap kejahatan mana telah dijatuhi hukuman yang telah dijalani. c. Kemudian ia mengulang kembali melakukan setiap jenis kejahatan. d. Maka pengulangan ini dapat dipergunakan sebagai dasar pemberatan hukuman. 2) Recidive khusus a. Seorang melakukan kejahatan. b. Yang telah dijatuhi hukuman. c. Setelah menjalani hukuman ia mengulang lagi melakukan kejahatan. d. Kejahatan mana merupakan kejahatan sejenisnya. 13 1.7. Hipotesis Berdasarkan atas kerangka teoritis yang telah dipaparkan di atas dan dikaitkan dengan permasalahan diangkat maka dapat ditarik suatu hipotesis sebagai berikut: 1. Jika penyelenggaraan sistem pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana yang dilakukan di LAPAS Kelas II A Denpasar guna menanggulangi recidivis adalah berdasarkan ketentuan yang di atur dalam UU Pemasyarakatan dan PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, maka Pembinaan 13 Teguh Prasetyo, op.cit, h. 192.

17 di LAPAS Denpasar adalah dengan memberikan bekal keterampilan berupa pelatihan-pelatihan pekerjaan maupun pembinaan secara mental dan psikologis agar nantinya diharapkan bekal tersebut dapat digunakan ketika kembali ke masyarakat agar narapidana tersebut tidak mengulangi lagi tindak pidananya tersebut. 2. Jika efektivitas pelaksanaan sistem pemasyarakatan dalam menanggulangi recidivis dapat dilihat dari tujuan dari pemidanaan atau tujuan dari penempatan orang di dalam lembaga pemasyarakatan berupa pemasyarakatan, maka hal tersebut tidak akan pernah dapat dicapai dengan efektif dan efisien apabila masih terdapat perbedaan pandangan di antara para penyidik, jaksa, hakim, dan para pelaksana pemasyarakatan tentang hakikat pemidanaan, khususnya tentang hakikat penempatan orang di lembaga pemasyarakatan. 1.8. Metode Penelitian A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris istilah lain yang digunakan adalah penelitian hukum sosiologis dan dapat disebut pula dengan penelitian lapangan. 14 Penelitian hukum sebagai penelitian sosiologis dapat direalisasikan kepada penelitian terhadap efektivitas hukum yang sedang berlaku ataupun 15. 14 Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h.

18 penelitian terhadap identifikasi hukum. 15 Penelitian hukum empiris ini objek yang akan diteliti yaitu efektivitas sistem pemasyarakatan guna menanggulangi recidivis di LAPAS Kelas IIA Denpasar. Permasalahan yang muncul dalam hal ini adalah sejauh mana sistem pemasyarakatan dapat menanggulangi terjadinya tindak recidive. B. Jenis Pendekatan Jenis pendekatan yang digunankan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach), pendekatan fakta (The Fact Approach), pendekatan kasus (The Case Approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & The Conseptual Approach). Pendekatan perundangundangan dan pendekatan analsisi konsep hukum digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang dikaitkan dengan konsep hukum, yang kemudian menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian ini. 16 Pendekatan perundang-undangan merupakan pendekatan yang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sistem pemasyarakatan yang dalam hal ini mangacu pada Undang-undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Pendekatan fakta merupakan pendekatan yang digunakan berdasarkan pada fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat terkait dengan efektivitas pelaksanaan sistem pemasyarakatan dalam menanggulangi tindak recidive. Pendekatan kasus merupakan pendekatan yang 15 Ibid, h. 16. 16 Ibrahim Johnny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, h. 302.

19 digunakan dalam melihat kasus-kasus recidivis yang terjadi mengingat bagaimanakah efektifitas sistem pemasyarakatan dalam menanggulangi kasus recidivis tersebut. Pendekatan analisis konsep hukum merupakan pendekatan yang digunakan untuk memahami konsep-konsep aturan hukum yang jelas tentang sistem pemasyarakatan dalam efektifitasnya terhadap penanggulangan recidivis. C. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat eksplanatoris. Penelitian eksplanatoris merupakan suatu penelitian untuk menerangkan, memperkuat, atau menguji dan bahkan menolak suatu teori atau hipotesa-hipotesa serta terhadap hasil-hasil penelitian yang ada. 17 Jadi dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimanakah efektivitas sistem pemasyrakatan guna menanggulangi recidivis. Dalam penelitian tersebut terdapat keingintahuan terhadap pengaruh atau dampak suatu variabel terhadap variabel lainnya. Yang dalam hal ini sistem pemasyarakatan dan recidivis. D. Data dan Sumber Data Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang digunakan yaitu data primer dan data skunder. 1. Data primer adalah data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan. 18 Data primer yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui study lapangan di LAPAS Kelas IIA Denpasar melalui teknik pengumpulan data yang 17 Ibid, h. 9. 18 Ibid, h. 16.

20 telah ditentukan. 2. Data skunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan. Termasuk dalam data skunder meliputi buku-buku, buku-buku harian, surat-surat pribadi dan dokumen resmi dari pemerintah. 19 Dokumen resmi dari pemerintah meliputi instrumen-instrumen hukum antara lain: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. c. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. e. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. g. Peraturan Pemerintah Repulik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. h. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. 19 Ibid, h. 14.

21 E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Teknik Studi Dokumen, Teknik Wawancara (Interview), dan Teknik Penyebaran Kuisioner. Teknik Studi Dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian yaitu UU Pemasyarakatan, PP No.31 Tahun 1999 dan Surat Keputusan Kepala Direktorat Pemasyarakatan No.K.P.10/3/7 serta bahan bacaan yang berkaitan dengan pembinaan narapidana. Sedangkan Teknik Wawancara (Interview) dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada responden maupun informan yang yang telah dirancang sebelumnya untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dan mendukung permasalahan di dalam penelitian. Teknik penyebaran kuisioner dilakukan dengan menyebarkan kuisionar berupa daftar pertanyaan terhadap responden yang sudah ditentukan sesuai dengan teknik pengambilan sampling. Dari hasil pengumpulan data tersebut baru kemudian akan dilakukan pengolahan dan analisis data. F. Teknik Penentuan Sampel Penelitian Dalam penelitian ini batasan populasinya adalah seluruh narapidana yang ada di LAPAS Kelas IIA Denpasar. Kemudian teknik yang digunakan adalah teknik random sampling sehingga setiap elemen mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Dalam hal ini akan ditentukan dulu berapa jumlah narapidana yang ada di dalam LAPAS Kelas IIA Denpasar baik yang biasa maupun recidivis. Kemudian cara yang digunakan adalah systematic random simpling yaitu dari populasi yang ada akan diambil jumlah prosentasenya, dari

22 prosentase tersebut akan dibuat daftar random dari keseluruhan populasi. Dalam penentuan sample ini akan dipisah antara narapidana biasa dengan recidivis sehingga dapat diketahui secara jelah bagaimana sistem pemasyarakatan tersebut berdampak secara efektif terhadap narapidana biasa dan recidivis. G. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisis data akan digunakan analisis kuantitatif yaituanalisis yang diterapkan dalam penelitian yang sifatnya eksplanatoris, sifat data yang dikumpulkan berjumlah besar, mudah dikualifikasi kedalam kategorikategori, data yang terkumpul terdiri dari aneka gejala yang dapat diukur dengan angka-angka, hubungan antara variabel sngat jelas, pengambilan sampel dilakukan sangat cermat dan teliti, pengumpulan data menggunakan kuisioner.