BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Universitas Sumatera Utara

xvii Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. 7 Infeksi

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan beriklim tropis, termasuk Indonesia. Hal ini. iklim, suhu, kelembaban dan hal-hal yang berhubungan langsung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun

BAB I PENDAHULUAN. Helminthes (STH) merupakan masalah kesehatan di dunia. Menurut World Health

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia nematode usus sering disebut cacing perut, yang sebagian besar

CACING TAMBANG. Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria), dan

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan,

2. Strongyloides stercoralis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN 2. JENIS PENYAKIT CACINGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) PENYAKIT CACINGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dibutuhkan zat gizi yang lebih banyak, sistem imun masih lemah sehingga lebih mudah terkena

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

bio.unsoed.ac.id la l b T'b ', */'i I. PENDAHULUAN zt=r- (ttrt u1 II. JENIS PENYAKIT CACINGA}I '"/ *

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melalui tanah atau biasa disebut dengan cacing jenis soil transmitted

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari bentuk non-infektif

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia,

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. infeksi parasit usus merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang diperhatikan dunia global,

N E M A T H E L M I N T H E S

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Mewujudkan misi Indonesia sehat 2010 maka ditetapkan empat misi

BAB 1 PENDAHULUAN. diarahkan guna tercapainya kesadaran dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan kerja. Tenaga kerja yang terpapar dengan potensi bahaya lingkungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak

PREVALENSI NEMATODA USUS GOLONGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHES (STH) PADA PETERNAK DI LINGKUNGAN GATEP KELURAHAN AMPENAN SELATAN

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5

BAB 1 PENDAHULUAN. rawan terserang berbagai penyakit. (Depkes RI, 2007)

BAB 1 PENDAHULUAN. yang kurang bersih. Infeksi yang sering berkaitan dengan lingkungan yang kurang

BAB I PENDAHULUAN. (cacing) ke dalam tubuh manusia. Salah satu penyakit kecacingan yang paling

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Rusmartini, 2009). Cacing ini ditularkan melalui telur cacing yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Timur. Terdapat bukti berupa lukisan pada kuburan Mesir kuno yang

Gambaran Kejadian Kecacingan Dan Higiene Perorangan Pada Anak Jalanan Di Kecamatan Mariso Kota Makassar Tahun 2014

I. PENDAHULUAN. dengan sekitar 4,5 juta kasus di klinik. Secara epidemiologi, infeksi tersebut

I. PENDAHULUAN. tropis dan subtropis. Berdasarkan data dari World Health Organization

JUMLAH tahun tahun tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pribadi setiap harinya kita menghasilkan sampah yaitu melalui kegiatan makan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah masalah kejadian demam tifoid (Ma rufi, 2015). Demam Tifoid atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Nematoda Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik, panjang cacing ini mulai dari 2 mm sampai 1 m. Nematoda yang ditemukan pada manusia terdapat dalam organ usus, jaringan dan sistem peredaran darah, keberadaan cacing ini menimbulkan manifestasi klinik yang berbeda-beda tergantung pada spesiesnya dan organ yang dihinggapi. Menurut tempat hidupnya Nematoda pada manusia digolongkan menjadi dua yaitu Nematoda Usus dan Nematoda Jaringan/Darah. Spesies Nematoda Usus banyak, tetapi yang ditularkan melalui tanah ada tiga yaitu: Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang (Onggowaluyo, 2001). Cara penularan (transmisi) Nematoda dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Mekanisme penularan berkaitan erat dengan hygiene dan sanitasi lingkungan yang buruk. Penularan dapat terjadi dengan: menelan telur infektif (telur berisi embrio), larva (filariorm) menembus kulit, memakan larva dalam kista, dan perantaraan hewan vektor. Dewasa ini cara penularan Nematoda yang paling banyak adalah melalui aspek Soil Trasmitted Helminth yaitu penularan melalui media tanah (Onggowaluyo, 2001). 7

2.2 Penyebab Cacingan Di Indonesia masih banyak anggota masyarakat yang terjangkit penyakit cacingan, hal ini disebabkan karena kebersihan personal yang sangat kurang, serta sanitasi lingkungan yang masih buruk. Pengalaman membuktikan bahwa masyarakat yang sedang berkembang sangat sulit untuk mengembangkan sanitasi lingkungan yang baik terutama di dalam masyarakat yang mempunyai keadaan sosial-ekonomi rendah, dengan keadaan seperti: rumah-rumah berhimpitan di daerah kumuh (slum area) di kota-kota besar yang mempunyai sanitasi lingkungan buruk, khususnya tempat anak-anak balita tumbuh. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian (Ayu, 2002) di mana ditemukan 83,8% prevalensi infeksi cacing pada pemulung anak. Di daerah pedesaan anak berdefekasi dekat rumah dan orang dewasa berdefekasi di pinggir kali, di ladang dan perkebunan tempat bekerja. Menurut Harian Sriwijaya Post (10 Januari 2003) penduduk Palembang yang berdomisili di daerah pinggiran kali terancam terinfeksi cacingan, di mana di tepian kali tersebut masih banyak terdapat jamban helikopter yaitu jamban yang terbuat dari kayu, bertiang dan terletak di tepi kali, posisi jamban ini menjorok ke sungai di mana kotoran yang dibuang melalui jamban ini akan hanyut dan ketika air surut otomatis tinja tertinggal dan merupakan sumber penularan cacingan. Penggunaan tinja yang mengandung telur untuk pupuk di kebun sayuran juga merupakan sumber penularan telur cacing. Hasil penelitian Tjitra (2005) terdapat telur cacing Ascaris lumbricoides (6,16%) dan telur cacing tambang (36%) pada jenis

sayuran terutama kol dan selada, dan juga terdapat telur Nematoda usus 36,8% pada air dan lumpur yang digunakan untuk menyiram dan menanam sayuran di Bandung. Pengolahan tanah pertanian/perkebunan dan pertambangan yang memakai tangan dan kaki telanjang atau tidak ada pelindung juga merupakan sumber penularan. Data hasil penelitian (Setyawan, 2003) mengemukakan bahwa 80% infeksi kecacingan terjadi karena kontak dengan tanah melalui kuku yang kotor, makan menggunakan tangan dan sering lupa mencuci tangan sebelum makan yang semuanya merupakan potensi tertelannya telur cacing (yang akan menetas di dalam tubuh manusia). 2.3 Gejala Cacingan Kebanyakan penderita cacingan tidak sadar kalau sedang mengidap penyakit cacingan. Mereka tidak tahu kalau di perutnya ada cacing. Gejala cacingan muncul jika hospes yang ditumpangi Nematoda Usus sudah kekurangan gizi karena sebagian makanan dimakan Nematoda Usus. Semakin banyak Nematoda Usus semakin banyak makanan yang diambil (Jawetz, 2005). Gejala kurang gizi dapat beragam yaitu: berat badan turun, wajah pucat, kulit dan rambut kering, keadaan tubuh lemah, lesu, dan mudah sakit, mungkin selera makan kurang, kulit telapak tangan tidak merah, mudah lelah, kurang darah dan mungkin jantung berdebar-debar, sesak nafas dan sering pening. Gejala kurang gizi sendiri sering diabaikan dan gejala tersebut tidak mendorong penderita untuk berobat.

Penderita tidak merasa ada keluhan untuk berobat, akibatnya banyak penderita cacingan yang sudah lama mengidap cacingan yang menahun (Nadesul, 1997). 2.4 Jenis Nematoda Usus yang Ditularkan Melalui Tanah (Soil Trasmitted Helminth) Soil Trasmitted Helminth adalah cacing golongan Nematoda yang memerlukan tanah untuk perkembangannya. Di Indonesia golongan cacing ini yang penting menyebabkan masalah kesehatan masyarakat adalah: Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang (Tjitra, 2005). 2.4.1 Ascaris lumbricoides (Cacing gelang) a. Hospes dan Nama Penyakit Satu-satunya hospes definitive Nematoda ini adalah manusia. Penyakit yang disebabkan Nematoda ini disebut Ascariasis. b. Distribusi Geografis Karena parasit ini terdapat di seluruh dunia, maka bersifat kosmopolitan. Penyebaran parasit ini terutama berada di daerah tropis yang tingkat kelembabannya cukup tinggi (Hart, 1997). c. Morfologi dan Daur Hidup Cacing betina panjangnya sampai 20 sampai 35 cm, sedangkan yang jantan panjangnya 15 sampai 31 cm. Pada cacing jantan ujung posteriornya lancip dan melengkung ke arah ventral dilengkapi pepil kecil dan dua buah speculum berukuran 2 mm, sedangkan pada cacing betina bagian

posteriornya membulat dan lurus, dan 1 / 3 anteriornya tubuhnya terdapat cincin kopulasi, tubuhnya berwarna putih sampai kuning kecoklatan dan diselubungi oleh lapisan kutikula yang bergaris halus. Telur yang dibuahi besarnya 60 x 45 mikron, telur yang tidak dibuahi besarnya 90 x 45 mikron, telur matang berisi larva (embrio), menjadi infektif setelah berada di tanah kurang lebih 3 minggu (Gandahusada, 1998). Telur yang infektif bila tertelan manusia menetas menjadi larva di usus halus. Larva menembus di dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe kemudian terbawa oleh darah sampai ke jantung menuju paru-paru. Larva di paru-paru menembus dinding alveolus masuk ke rongga alveolus dan naik ke trakea, dari trakea larva menuju faring dan menimbulkan iritasi yang menyebabkan penderita akan batuk karena adanya rangsangan dari larva ini. Larva di faring tertelan dan terbawa ke esofagus, terakhir sampai di usus halus dan menjadi dewasa. Proses mulai dari telur sampai menjadi cacing dewasa membutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan (Onggowaluyo, 2001). d. Aspek Klinis Cairan tubuh cacing dewasa dapat menimbulkan reaksi toksik sehingga terjadi gejala mirip demam tifoid yang disertai alergi seperti urtikaria, udema di wajah, konjungtivitas, dan iritasi pada alat pernafasan bagian atas. Apabila jumlahnya banyak cacing dewasa dalam usus dapat menimbulkan gangguan gizi, kadang-kadang cacing dewasa juga

bermigrasi karena adanya rangsangan, efek dari migrasi ini dapat menimbulkan obstruksi usus, kemudian masuk ke dalam saluran empedu, saluran pankreas dan organ-organ lainnya. Migrasi sering juga menyebabkan cacing dewasa keluar spontan melalui anus, mulut dan hidung (Onggowaluyo, 2001). Menurut Harian Sriwijaya Post (10 Januari 2003) setiap ekor cacing gelang yang ada di tubuh manusia menghisap 0,04 gram karbohidrat setiap harinya dan bila jumlah cacing ini terlalu banyak maka dapat menyumbat usus dan saluran empedu. e. Diagnosis Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa dalam tinja. Telur cacing ini dapat ditemukan dengan mudah pada sediaan basah langsung atau sediaan basah dari sedimen yang sudah dikonsentrasikan. Cacing dewasa dapat ditemukan dengan pemberian antelmintik atau keluar dengan sendirinya melalui mulut karena muntah atau melalui anus bersama tinja (Adam, 1995). f. Pencegahan Karena penularan Ascariasis terutama tergantung dari kontaminasi tanah dengan tinja, penggunaan sanitasi yang baik merupakan tindakan pencegahan yang terpenting. Belum ada cara yang praktis untuk membunuh telur cacing yang terdapat di tanah liat dan lingkungan yang sesuai (Garcia, 1996).

2.4.2 Trichuris trichiura a. Hospes dan Nama Penyakit Hospes definitive cacing ini adalah manusia dan penyakit yang disebabkannya disebut Trikuriasis. b. Distribusi Geografis Cacing ini tersebar luas di daerah beriklim tropis yang lembab dan panas, namun dapat juga ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit), termasuk di Indonesia (Hart, 1997). c. Morfologi dan Daur Hidup Cacing dewasa betina panjangnya 35 sampai 50 mm, sedangkan cacing dewasa jantan penjangnya 30 sampai 45 mm. Telurnya berukuran 50 sampai 54 x 32 mikron. Bentuknya seperti tempayan (tong) dan kedua ujungnya dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari bahan mucus yang jernih. Kulit luar telur berwarna kuning tengguli dan bagian dalam jernih. Telur yang sudah dibuahi dalam waktu 3 sampai 6 minggu akan menjadi matang, manusia akan terinfeksi cacing ini apabila menelan telur matang, di dalam usus halus telur ini akan menjadi dewasa dan berkumpul di kolon terutama di daerah seklum. Proses dari telur sampai menjadi cacing dewasa memerlukan waktu kurang lebih 1 sampai 3 bulan (Prianto dkk, 2004). d. Aspek Klinis Infeksi berat terjadi terutama pada anak-anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum, cacing ini menyebabkan pendarahan di tempat

perlekatannya dan dapat menimbulkan anemia. Pada anak-anak infeksi terjadi menahun dan berat (hiperinfeksi), gejala-gejala yang terjadi adalah diare yang disertai sindrom, anemia, prolapsus rektal dan berat badan menurun (Onggowaluyo, 2001). Anemia ini terjadi karena penderita mengalami malnutrisi dan kehilangan darah akibat cacing menghisap darah dan kolon yang rapuh. e. Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja atau menemukan cacing dewasa pada penderita prolapsusrekti (pada anak). f. Pencegahan Infeksi yang disebabkan oleh Trichuris trichiura dapat dicegah dengan pengobatan, pembuatan jamban yang sehat dan penyuluhan tentang hygiene dan sanitasi kepada masyarakat (Onggowaluyo, 2001). 2.4.3 Cacing Tambang (Hookworm) Terdapat dua spesies yaitu: Necator americanus (new world Hookworm) dan Ancylostoma duodenale (old world Hookworm). a. Hospes dan Nama Penyakit Hospes definitive kedua cacing ini adalah manusia. Tempat hidupnya dalam usus halus, terutama jejunum dan duodenum. Penyakit yang disebabkan disebut Nekatoriasis dan Ankilostomiasis.

b. Distribusi Geografis Kedua parasit ini tersebar di seluruh dunia (kosmopolit), penyebaran yang paling banyak di daerah tropis dan sub tropis. Lingkungan yang paling cocok adalah habitat dengan suhu kelembaban yang tinggi, terutama daerah perkebunan dan pertambangan (Onggowaluyo, 2001). c. Morfologi dan Daur Hidup Ukuran cacing betina 9 13 mm dan cacing jantan 5 19 mm. Bentuk Necator americanus seperti huruf S, mulut dilengkapi gigi kittin, dengan waktu 1 15 hari telur telah menetas dan mengeluarkan larva rabditiform yang panjangnya kurang lebih 250 mikron. Selanjutnya dalam waktu kirakira 3 hari, satu larva rabditiform berkembang menjadi larva filariform (bentuk infektif) yang panjangnya kira-kira 500 mikron. Infeksi pada manusia terjadi apabila larva filariform menembus kulit atau tertelan (Jawetz, 2005). Daur hidup kedua cacing tambang ini dimulai dari larva filariform menembus kulit manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan berturutturut menuju jantung kanan, paru-paru, bronkus, trakea, laring dan terakhir dalam usus halus sampai menjadi dewasa (Prianto dkk, 2004). d. Aspek Klinis Gejala permulaan yang timbul setelah larva menembus kulit adalah timbulnya rasa gatal-gatal biasa. Apabila larva menembus kulit dalam jumlah yang banyak, rasa gatal-gatal semakin hebat dan kemungkinan

terjadi infeksi sekunder. Apabila larva mengadakan migrasi ke paru maka dapat menyebabkan pneumonitis yang tingkat gejalanya tergantung pada jumlah larva (Prianto dkk, 2004). e. Pencegahan Gandahusada (2000) mengemukakan hal-hal yang perlu dibiasakan agar terhindar dari penyakit cacingan adalah sebagai berikut: membiasakan buang air besar di WC atau kakus dan menjaga WC atau kakus tetap bersih, membiasakan mencuci tangan dengan air memakai sabun setelah buang air besar, setelah bekerja dan sebelum makan. Data hasil penelitian (Setyawan, 2003) mengemukakan bahwa 80% infeksi kecacingan terjadi karena kontak dengan tanah melalui kuku yang kotor, makan menggunakan tangan tanpa menggunakan sendok dan sering lupa mencuci tangan sebelum makan yang semuanya merupakan potensi tertelannya telur cacing (yang akan menetas di dalam tubuh manusia), pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencuci makanan, buah dan sayuran yang akan dimakan dengan memakai air bersih, memakan daging yang dimasak dengan matang, memakai sepatu atau sandal, minum air yang bersih, memberi pengobatan dengan obat antelmintik yang efektif, terutama golongan rawan, memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang baik dan cara menghindari infeksi cacing-cacing ini (Gandahusada, 2000).

2.5 Upaya Mencegah Penyakit Akibat Kerja Bagi pekerja di pabrik batu bata, cara yang paling baik untuk menghindari timbulnya penyakit adalah dengan memutuskan mata rantai penularan penyakit yaitu mengurangi kontak dengan sumber infeksi (tanah) dan ini dapat dilakukan dengan usaha kesehatan pribadi dan usaha perlindungan diri dalam bekerja. Usaha kesehatan pribadi adalah daya upaya seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri (Entjang, 1980). Usaha kesehatan pribadi tersebut antara lain: a. Memelihara kebersihan diri 1. Badan: mandi, gosok gigi, mencuci tangan sebelum makan. 2. Pakaian: dicuci, disetrika, senantiasa bersih. 3. Rumah dan lingkungan: disapu, membuang sampah atau limbah rumah tangga pada tempatnya. b. Makanan yang sehat: 1. Makan dan minum yang sudah dimasak. 2. Tidak makan dan minum yang sudah kotor, basi, dihinggapi lalat. 3. Makan yang bergizi dengan jumlah yang sesuai. c. Menghindari terjadinya penyakit: 1. Menghindari kontak dengan sumber penularan. 2. Membiasakan diri untuk mematuhi peraturan/norma kesehatan. 3. Berfikir dan bertindak yang sehat.

d. Meningkatkan taraf kecerdasan rohaniah: 1. Meningkatkan pengetahuan baik dengan membaca buku, sekolah dan belajar dari pengalaman hidup. 2. Patuh pada ajaran agama. e. Pemeriksaan kesehatan: 1. Segera memeriksakan diri bila merasa sakit. 2. Secara periodik, meskipun merasa sehat. 2.5.1 Konsep Perilaku a. Pengertian Perilaku Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri, yang merupakan bentangan yang sangat luas mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, berfikir, emosi dan lain-lain. Perilaku juga dapat diartikan sebagai aktivitas organisme, baik yang dapat diamati secara langsung ataupun tidak langsung. Menurut beberapa ahli (Notoatmodjo, 1997), perilaku dapat diartikan: 1. Skinner (1983) mengemukakan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon. 2. Robert Kwick (1974) mendefinisikan perilaku sebagai hasil tindakan atau perbuatan organisme, yang dapat diamati bahkan dipelajari. 3. Benyamin Bloom (1908) untuk tujuan pendidikan membagi perilaku menjadi 3 domain (ranah) yaitu: kognitif, afektif dan psikomotor dan ketiga domain diukur dari pengetahuan, sikap dan praktek atau tindakan peserta didik.

Bentuk operasional perilaku dapat dikelompokkan: a. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui situasi dan rangsangan dari luar. b. Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggapan batin terhadap rangsangan dari luar diri di objek, atau kecenderungan untuk berespon (secara positif dan negatif) terhadap orang, objek atau situasi tertentu. Sikap mengandung suatu penilaian emosional (senang, benci, sedih, dan sebagainya). c. Perilaku dalam bentuk tindakan, yaitu yang sudah konkrit, berupa perbuatan (action) terhadap situasi atau rangsangan dari luar. b. Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 1997). Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Penelitian Rogers (Notoatmodjo, 1997) mengungkapkan bahwa sebelum orang berperilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses perurutan, yaitu: a. Awareness (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek). b. Interest, di mana orang mulai tertarik pada stimulus. c. Evaluation, mempertimbangkan baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.

d. Trial, di mana orang telah mulai mencoba berperilaku baru. e. Adoption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikap terhadap stimulus. Namun demikian dari penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut di atas. c. Sikap Notoatmodjo (1997) mengemukakan bahwa sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap stimulus atau objek. Beberapa kelompok ahli psikologi (Azwar, 2002) menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas tetapi adalah predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup dan bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu uraian penghayatan terhadap objek. Disebutkan pula struktur sikap merupakan kombinasi tiga komponen: 1. Komponen kognitif, berisi kepercayaan, persepsi, stereotipe tentang sesuatu. 2. Komponen afektif, perasaan yang menyangkut aspek emosional. 3. Komponen konatif, aspek kecenderungan berperilaku tertentu.

Sedangkan menurut Ahmadi (1990) sikap dapat dibedakan atas: a. Sikap positif, sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan menerima, mengakui, menyetujui serta melaksanakan norma-norma yang berlaku di mana individu itu berada. b. Sikap negatif, sikap yang menunjukkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku di mana individu itu berada. d. Tindakan Suatu sikap belum tentu otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi tindakan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain adalah fasilitas (Notoatmodjo, 1997). Tindakan mempunyai beberapa tingkatan antara lain: 1. Persepsi, yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil. 2. Respon terpimpin, melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar. 3. Mekanisme, yaitu apabila seseorang dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesudah itu sudah merupakan kebiasaan. 4. Adaptasi, yaitu tindakan yang sudah berkembang dengan baik artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. 2.6 Alat Pelindung Diri (APD) Menurut Harian Kompas (23 Januari 2007) cacingan bisa ditularkan melalui debu yang mengandung telur cacing, melalui tanah yang mengandung telur cacing

infektif, melalui tanah yang mengandung larva dan menembus pori-pori kulit kaki dan melalui kuku yang kotor sehingga untuk menghindari terjadinya infeksi perlu menggunakan APD seperti masker, sarung tangan, alas kaki dan baju kerja. Menurut Depkes RI (2005), penyakit akibat kerja di beberapa negara maju (dari beberapa pengamatan) menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi, penyebabnya karena kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai, banyak pekerja yang meremehkan resiko kerja sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman (pelindung). Sedangkan usaha perlindungan diri dalam bekerja dapat dilakukan melalui usaha-usaha teknis pengamanan tempat, peralatan dan perlindungan kerja. Namun kadang-kadang keadaan bahaya belum dapat dikendalikan sepenuhnya sehingga digunakan alat-alat pelindung diri. Alat pelindung diri harus memenuhi persyaratan seperti: 1. Enak dipakai. 2. Tidak mengganggu kerja. 3. Memberikan perlindungan efektif terhadap jenis bahaya. Menurut Suma mur (1988) alat perlindungan diri jenisnya beragam. Jika digolongkan menurut bagian tubuh yang dilindunginya, jenis alat pelindung diri: 1. Kepala : pengikat rambut, penutup rambut, topi dari berbagai bahan 2. Mata : kacamata dari berbagai gelas 3. Muka : perisai muka (masker) 4. Tangan & jari-jari : sarung tangan

5. Kaki : sepatu (bot) 6. Alat pernafasan : respirator (masker khusus) 7. Telinga : sumbat telinga, tutup telinga 8. Tubuh : pakaian kerja dari berbagai bahan Penggunaan alat pelindung diri sebagai salah satu usaha kesehatan dan keselamatan kerja erat hubungannya dengan perilaku seseorang. Banyak faktor yang mempengaruhi pekerja mau atau tidak mau memakai alat pelindung diri. Menurut Notoatmodjo (1984), faktor-faktor tersebut adalah: 1. Sejauhmana pemakai mengerti kegunaan alat pelindung diri. 2. Penggunaannya yang mudah dan nyaman pada prosedur kerja yang normal. Adanya sanksi ekonomis, sosial dan disiplin yang dapat digunakan mempengaruhi sikap pekerja. 2.7 Kesehatan Lingkungan Kerja Untuk menciptakan tempat kerja yang sehat dan produktif maka harus didukung agar lingkungan kerja memenuhi syarat-syarat kesehatan antara lain tidak terdapat parasit yang menyebabkan penyakit akibat kerja seperti cacingan. Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu keadaan atau kondisi lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain mencakup pembuangan kotoran manusia (tinja), pembuangan sampah dan pembuangan air limbah (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Harian Kompas (23 Januari 2007), cacingan merupakan penyakit khas daerah tropis dan banyak terdapat di daerah dengan kondisi sanitasinya masih buruk dengan prevalensi 90% terutama pada anak-anak, tetapi orang dewasa juga bisa cacingan walaupun gejalanya sering tidak kelihatan seperti pada anak-anak. Penelitian Tjitra (2005) di Cirebon Jawa Barat pada kelompok sosial ekonomi rendah dan sanitasi lingkungan buruk, prevalensi kecacingan juga tinggi yaitu Ascaris limbricoides 80%, Trichuris trichiura 92% dan cacing tambang 82%.

2.8 Kerangka Konsep Berdasarkan permasalahan dan teoritis maka disusunlah kerangka konsep sebagai berikut: Karakteristik Pekerja 1. Umur 2. Jenis Kelamin 3. Tingkat Pendidikan 4. Lama Bekerja Infeksi Nematoda Usus Perilaku 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Tindakan 4. Penggunaan APD Kondisi Sanitasi Tempat Kerja Gambar 1. Kerangka konsep penelitian