Ensefalopati Hepatikum Minimal

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi

B A B I PENDAHULUAN. kesehatan global karena prevalensinya yang cukup tinggi, etiologinya yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Berdasarkan data WHO (2004), sirosis hati merupakan penyebab kematian ke delapan belas di dunia, hal itu ditandai dengan semakin meningkatnya angka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Malnutrisi semakin diketahui sebagai faktor. prosnosis penting yang dapat mempengaruhi keluaran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, masih ditemukan berbagai masalah ganda di bidang kesehatan. Disatu sisi masih ditemukan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

PERANAN LAKTULOSA PADA PENATALAKSANAAN ENSEFALOPATI HEPATIKUM

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya malnutrisi pada pasien dan meningkatkan angka infeksi, atrofi otot,

BAB I PENDAHULUAN. Tingginya prevalensi malnutrisi pada pasien di rumah sakit masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. arsitektur hati dan pembentukan nodulus regeneratif (Sherlock dan Dooley,

EVIDENCE BASED CLINICAL REVIEW PERAN ZINC DALAM PENATALAKSANAAN ENSEFALOPATI HEPATIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenatif (Nurdjanah, 2009).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengukuran Hipertensi Portal dengan Metode Invasive (HVPG) dan Non Invasive (Fibroscan, Spleen size)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SKRINING DAN PENILAIAN NUTRISI

SIROSIS HEPATIS R E J O

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab 1 PENDAHULUAN. tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit perlemakan hati non alkohol atau non alcoholic fatty liver

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan sindroma klinik akibat respon yang berlebihan dari sistem

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. struktur otak dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Bila definisi ini

VALIDASI PSYCHOMETRIC HEPATIC ENCEPHALOPATHY SCORE (PHES) DALAM MENDIAGNOSIS ENSEFALOPATI HEPATIK MINIMAL PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

CRITICAL ILLNESS. Dr. Syafri Guricci, M.Sc

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B

Gambaran Derajat Varises Esofagus Berdasarkan Beratnya Sirosis Hepatis

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. etiologi berbeda yang ada dan berlangsung terus menerus, meliputi hepatitis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. WHO pada tahun 2002, memperkirakan pasien di dunia

Ensefalopati Hepatik:

Peran Rifaximin dalam Penatalaksanaan Ensefalopati Hepatik Akut

ABSTRAK GAMBARAN KADAR ASAM URAT SERUM PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal adalah organ vital yang berperan penting dalam mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya semakin meningkat setiap tahun di negara-negara berkembang

STUDI PENGGUNAAN LAKTULOSA PADA PASIEN SIROSIS DENGAN ENSEFALOPATI HEPATIK RAWAT INAP DI RSUD KABUPATEN SIDOARJO MARIA ELVINA LEKI

BAB I PENDAHULUAN. inap di rumah sakit. Pada penelitian Kusumayanti dkk (2004) di tiga Rumah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya

PENATALAKSANAAN DIET JANTUNG DAN STATUS GIZI PASIEN PENDERITA HIPERTENSI KOMPLIKASI PENYAKIT JANTUNG RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM BANDUNG MEDAN

RINGKASAN. Penyakit hati kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).

Perbedaan Kecepatan Kesembuhan Anak Gizi Buruk yang Diberi Modisco Susu Formula dan Modisco Susu Formula Elemental Di RSU dr.

BAB I PENDAHULUAN. Sirosis hati merupakan stadium akhir dari penyakit. kronis hati yang berkembang secara bertahap (Kuntz, 2006).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kasus terbanyak yaitu 91% dari seluruh kasus DM di dunia, meliputi individu

BAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Menurut data dari International Diabetes Federation (IDF)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesembilan di Amerika Serikat, sedangkan di seluruh dunia sirosis menempati urutan

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 Universitas Kristen Maranatha

Terapi Suplementasi Zinc pada Ensefalopati Hepatikum

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan sifatnya irreversibel, ditandai dengan kadar ureum dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit kritis merupakan suatu keadaan sakit yang membutuhkan dukungan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Etiologi dan Patofisiologi Sirosis Hepatis. Oleh Rosiana Putri, , Kelas A. Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

LAPORAN PENDAHULUAN ASKEP PADA KLIEN DENGAN PERDARAHAN SALURAN CERNA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke secara nyata menjadi penyebab kematian dan kecacatan di seluruh

ASKEP GAWAT DARURAT ENDOKRIN

HUBUNGAN KADAR GLUKOSA DARAH DENGAN BETA HIDROKSI BUTIRAT PADA PENDERITA DIABETES MELITUS

BAB I PENDAHULUAN UKDW. pada sel beta mengalami gangguan dan jaringan perifer tidak mampu

BAB I PENDAHULUAN. kurang lebih 21 hari. Albumin mengisi 50% protein dalam darah dan menentukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sirosis hati merupakan penyakit kronis hati yang ditandai dengan fibrosis,

BAB I PENDAHULUAN. lokasinya dan kapsulnya yang tipis Glisson capsule. Cedera organ hepar

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga

BAB I PENDAHULUAN. macam, mulai dari virus, bakteri, jamur, parasit sampai dengan obat-obatan,

BAB I PENDAHULUAN UKDW. masyarakat. Menurut hasil laporan dari International Diabetes Federation (IDF),

LAPORAN PENDAHULUAN HEPATOMEGALI

BAB I PENDAHULUAN. Pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani hemodialisis reguler

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis

BAB I PENDAHULUAN. dari 14 tahun. Kasus SN lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. baru atau berulang. Kira-kira merupakan serangan pertama dan

1 Universitas Kristen Maranatha

Diabetes Mellitus Type II

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. glukosa darah tinggi (hiperglikemia) yang diakibatkan adanya gangguan pada sekresi

BAB I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Penyebab Kematian Neonatal di Indonesia (Kemenkes RI, 2010)

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut,

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. pada awalnya mungkin menimbulkan sedikit gejala, sementara komplikasi

Manfaat Terapi Ozon Manfaat Terapi Ozon Pengobatan / Terapi alternatif / komplementer diabetes, kanker, stroke, dll

BAB 3 METODE PENELITIAN

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. hepatitis virus B dan C. Selain itu, faktor risiko lain yang dapat bersama-sama atau berdiri

Transkripsi:

CONTINUING MEDICAL EDUCATION CONTINUING MEDICAL EDUCATION Akreditasi PB IDI 2 SKP Ensefalopati Hepatikum Minimal Suzanna Ndraha Ahli Penyakit Dalam, Konsultan Gastroenterohepatologi, Fakultas Kedokteran Ukrida, Jakarta, Indonesia ABSTRAK Ensefalopati hepatik (EH) merupakan salah satu komplikasi sirosis hati, angka kejadiannya lebih tinggi pada penderita sirosis hati malnutrisi. Ensefalopati hepatik minimal (EHM) adalah keadaan di mana tidak terdapat gangguan klinis, namun pada tes psikometrik di temukan kelainan. EHM penting karena mengurangi kualitas hidup dan berisiko berkembang menjadi EH. Beberapa tahun belakangan ini, tes critical flicker frequency (CFF) telah dikembangkan untuk mendiagnosis EHM. Tes ini telah divalidasi terhadap baku emas PHES. ESPEN 2006 merekomendasikan diet 35-40 kkal/kgbb/hari dan protein 1,5 g/kgbb/hari untuk sirosis hati dengan malnutrisi. L-ornitin-Laspartat (LOLA) terbukti dapat menurunkan kadar amonia darah. Beberapa studi telah membuktikan manfaat LOLA dan protein 1,5 g/ kgbb/hari termasuk BCAA dapat memperbaiki kondisi ensefalopati dan status gizi. Kata kunci: Ensefalopati hepatik, L-ornitin-L-aspartat, sirosis hati ABSTRACT Hepatic encephalopathy (HE) is one of the complications in liver cirrhosis, the incidence is higher in malnutrition. Minimal hepatic encephalopathy (MHE) is clinically asymptomatic, detected by impaired psychometric test. MHE has been found to affect the quality of life and is a risk to develop overt HE. In recent years, critical flicker frequency (CFF) test has been developed for the diagnosis of MHE. This test has been validated to the gold standard PHES. ESPEN 2006 recommend that diet 35-40 kcal/kgbw/day and protein 1.5 g/kgbw/day for liver cirrhosis with malnutrition. Recent studies proved the efficacy of L-ornithine-L-aspartate (LOLA) and 1.5 g protein/kgbw including BCAA improve encephalopathy as well as nutritional status. Suzanna Ndraha. Minimal Hepatic Encephalopathy. Keywords: Hepatic encephalopathy, L-ornithine-L-aspartate, liver cirrhosis PENDAHULUAN Sirosis hati merupakan perjalanan patologi akhir berbagai macam penyakit hati, seperti hepatitis virus kronik, alkoholisme, hepatitis autoimun, nonalcoholic steatohepatitis (NASH), sirosis bilier. Akibat proses sirosis, terjadi penurunan fungsi sintesis hati, penurunan kemampuan hati untuk detoksifikasi, dan hipertensi portal dengan segala penyulitnya. 1 Salah satu komplikasi yang perlu diwaspadai ialah ensefalopati hepatik. Ensefalopati hepatik (EH) adalah sindrom disfungsi neuropsikiatri yang disebabkan oleh portosystemic venous shunting, dengan atau tanpa penyakit intrinsik hepar. Pasien EH sering menunjukkan perubahan status mental mulai dari kelainan psikologik ringan hingga koma dalam. 1 PATOFISIOLOGI Banyak hipotesis diajukan untuk menerangkan mekanisme EH, yang paling banyak diterima adalah teori peningkatan amonia akibat berkurangnya fungsi hati dan pintasan portosistemik. 2 Amonia adalah neurotoksin yang pada dosis tinggi menimbulkan kejang dan kematian. Kadar amonia dalam otak, cairan serebrospinal, dan arteri berkorelasi baik dengan stadium klinik EH. 3 Peningkatan pembentukan amonia dapat terjadi akibat tingginya asupan protein, konstipasi, perdarahan saluran cerna, infeksi, azotemia, atau hipokalemia. Dehidrasi, hipotensi arteri, hipoksemia, serta anemia dapat menimbulkan hipoksia hepatik, sehingga kemampuan detoksifikasi hati berkurang, dan akibatnya kadar amonia meningkat. Progresivitas penyakit hati dan degenerasi hepatoma mengakibatkan penurunan fungsi cadangan hati, sehingga kemampuan metabolisme toksin oleh hati ikut ber kurang. Pada sirosis hati, sering terjadi perlambatan transit makanan di saluran cerna, sehingga paparan dengan bakteri usus terjadi lebih lama, mengakibatkan produksi amonia meningkat. 4 Norenberg (2006) mengajukan teori patogenesis EH yang melibatkan reseptor benzodiazepine perifer (PBR/Peripheral Benzodiazepine Receptor) dan neurosteroid. Dikemukakan bahwa amonia adalah toksin utama pada EH dan astrosit adalah target utama. Peningkatan amonia mengakibatkan peningkatan jumlah reseptor PBR, termasuk pada astrosit. PBR kemudian meningkatkan produksi radikal bebas (ROS/Reactive Alamat korespondensi email: susan_ndraha@yahoo.co.id 824

Gambar 1. Terjadinya disfungsi astrosit akibat hiperamonemia. 5 Gambar 2. Siklus glutamat-glutamin di otak. Glutamat presinaptik menuju reseptornya di postsinaps. Ambilan glutamat postsinaptik dimediasi oleh transporter glutamat astrosit/ Excitatory Amino Acid Transporters (EAAT). 6 Oxygen Species). Radikal bebas ini menimbulkan stres oksidatif pada mitokondria, sehingga terjadi disfungsi mitokondria. Disfungsi mitokondria ini ke mudian mengakibatkan disfungsi astrosit. 3 (Gambar 1) Lemberg (2009) mengajukan teori patofisiologi EH yang melibatkan amonia, glutamin, glutamat, dan stres oksidatif. Metabolisme amonia di otak terjadi melalui glutamin sintetase yang ada di astrosit. Glutamin sintetase mengubah amonia dan glutamat menjadi glutamin. 6 Glutamin bersifat osmotik aktif, sehingga peningkatan glutamin menyebabkan air masuk ke astrosit dan terjadi edema (Gambar 2,3). 6,7 Peningkatan amonia menimbulkan deplesi glutamat otak, padahal glutamat adalah neurotransmiter eksitatori utama di otak. Hiperamonemia juga menimbulkan stres oksidatif di mitokondria. Stres oksidatif ini Gambar 3. Peranan neurotoksin amonia pada astroglia 7 mengaktifkan nuclear factor kappa B, yang kemudian mengaktifkan inos (inducible nitric oxide synthase), lalu menghasilkan nitric oxide, yang akhirnya menyebabkan disfungsi astrosit. Penilaian beratnya EH, antara lain menggunakan klasifikasi status mental berdasarkan kriteria West Haven modifikasi oleh Conn dan Bircher 1994. 8 Ensefalopati hepatik derajat mild, yang juga disebut ensefalopati hepatik minimal (EHM), adalah keadaan klinis di mana tidak terdapat tanda gangguan mental, namun pada tes psikometrik sudah ditemukan kelainan. EHM penting karena mengurangi kualitas hidup, 9 dan merupakan risiko nyata EH. 10 Pasien EHM sering mengalami gangguan tidur, gangguan inteligensia, dan gangguan kemampuan mengemudi kendaraan yang sering mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. 9,10 DIAGNOSIS Tes diagnostik yang awalnya digunakan untuk EHM adalah tes psikometrik dan elektrofisiologik. Tes elektrofisiologik yang meliputi visual-evoked, somatosensory-evoked, dan brain stem auditory evoked potentials, ternyata tidak mudah dilakukan dalam praktik karena biayanya mahal, memerlukan peralatan canggih, dan ternyata sensitivitasnya masih di bawah tes psikometrik. Tes psikometrik yang meliputi 5 tes, yaitu the digit symbol test (DST), the number connection test A (NCTA), the number connection test B (NCT-B), the serial dotting test (SDT), dan the line drawing test (LDT), direkomendasikan sebagai baku emas diagnosis EHM dalam konsensus di Viena tahun 1998. 15 Kelima tes yang dinamakan PHES (the Psychometric Hepatic Encephalopathy Score) ini juga ternyata tidak mudah dalam pelaksanaan nya, karena memerlukan waktu lama dan sangat dipengaruhi oleh tingkat edukasi dan usia penderitanya. 11,12 Kesulitan tes psikometrik dan elektrofisiologik membuat EHM sulit didiagnosis. Hal ini mendorong para ahli untuk mencari alat diagnosis lain yang lebih mudah namun akurat. Kircheis (2002) mulai memperkenalkan tes critical flicker frequency (CFF) untuk diagnosis EHM. Berdasarkan hipotesis bahwa gliopati retina dapat dijadikan petanda adanya gliopati serebral, maka gangguan fungsi visual dapat menjadi dasar diagnosis EHM, dengan menggunakan cut off 39 Hz, dengan sensitivitas 76,2% dan spesifisitas 61,4%. Karena tes CFF kurang dipengaruhi 825

oleh tingkat pendidikan dan usia, dan mempunyai sensitivitas serta spesifisitas yang baik, disimpulkan bahwa tes CFF dapat digunakan untuk mendiagnosis dan memantau EHM. 11,12 Gomez (2007) melakukan penelitian CFF dengan menggunakan cut off lebih rendah, yaitu 38 Hz, didapatkan sensitivitas lebih baik (72,4%) dan spesifisitas 77,2%. Gomez juga melakukan validasi CFF terhadap baku emas EHM, yaitu PHES, dan didapatkan bahwa CFF berkorelasi baik dengan PHES dengan spesifisitas 77,2% dan sensitivitas 72,4%. Berdasarkan hasil ini, disimpulkan bahwa CFF merupakan alat diagnosis yang mudah dan akurat untuk menilai EHM. 12 Di India, Sharma (2007) menggunakan cut off 39 Hz, dan menyimpulkan bahwa CFF mempunyai sensitivitas serta spesifisitas yang baik (96% dan 77%), serta mempunyai akurasi 83,3% dibandingkan terhadap tes psikometri dan P300ERP. 11 Di Indonesia, juga telah dilakukan penelitian untuk menilai presisi tes CFF5 yang dibutuhkan untuk validasi tes CFF di Indonesia. Penelitian terhadap pasien sirosis hati di RSCM dan RS Koja mendapatkan hasil bahwa tes ini mempunyai presisi yang baik. 5,15 Berdasarkan uji validasi CFF di Spanyol dan India yang mendapatkan hasil baik, dan uji presisi CFF di Indonesia yang juga mendapatkan hasil baik, maka tes CFF dapat dilakukan sebagai alat diagnostik EHM di Indonesia. 5,10 Suatu pemeriksaan diagnostik mempunyai presisi tinggi jika hasilnya tidak jauh berbeda bila diulang, dengan Coeficient of Variation (CoV) <5%. Uji validasi membandingkan suatu pemeriksaan diagnostik dengan baku emasnya. Knottnerus (2009) menyatakan, agar dapat diaplikasikan dengan baik, maka suatu tes membutuhkan presisi yang baik. 13 Irwig (2009) mengemukakan, uji validasi di suatu negara tidak perlu diulang bila memenuhi persyaratan tertentu, yaitu definisi penyakit konstan dan tes yang digunakan sama; maka uji validasi CFF tidak perlu dilakukan di Indonesia. 14 PENGARUH MALNUTRISI Pembatasan asupan protein sering diberikan kepada pasien sirosis hati yang mengalami EH. Pada tahap akut diberikan 20 g/hari, kemudian ditingkatkan 10 gram tiap 3-5 hari. Para ahli kemudian menyadari bahwa pembatasan protein jangka panjang akan berakibat malnutrisi, yang berdampak pada meningkatnya angka mortalitas. Keseimbangan nitrogen positif dibutuhkan untuk regenerasi hati dan mempertahankan massa otot yang dibutuhkan untuk detoksifikasi amonia. 17 European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (1997) merekomendasikan diet 35-40 kkal/kgbb/hari dan protein 1,5 g/kgbb/hari untuk sirosis hati dengan malnutrisi. ESPEN juga merekomendasikan penggunaan asam amino rantai cabang (AARC) untuk meningkatkan status nutrisi pada sirosis hati dengan malnutrisi. Pada EH derajat 1-2, protein diturunkan menjadi 0,5 1,5 g/kgbb/hari. 16 Setelah ensefalopati membaik, secara bertahap pemberian protein ditingkatkan kembali menjadi 1,2-1,5 g/kgbb/hari. Namun, konsensus ESPEN 2006 tidak lagi merekomendasikan pembatasan protein pada EH derajat 1-2, karena makin disadari bahwa malnutrisi akan memperburuk prognosis. 18 Malnutrisi pada sirosis hati antara lain disebabkan oleh asupan yang kurang, Gambar 4. Mekanisme kerja L-ornitin L-aspartat di hepatosit 21 gangguan absorpsi, dan hipermetabolik. Asupan kurang dapat disebabkan karena ensefalopati, gangguan indra perasa/kecap, rasa cepat kenyang karena penekanan asites yang masif, ataupun batasan diet oleh dokter. Gangguan absorpsi dapat disebabkan karena berkurangnya garam empedu, overgrowth bakteri yang mengakibatkan gangguan motilitas usus halus, hipertensi portal, ataupun obat (misalnya neomisin). Sedangkan keadaan hipermetabolik dapat terjadi karena infeksi dan asites. 16 Malnutrisi dihubungkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien penyakit hati kronik. Penderita sirosis hati yang malnutrisi mempunyai angka kejadian ensefalopati, infeksi, dan perdarahan varises yang lebih tinggi. 16 Kalaitzakis, dkk. mempelajari status nutrisi dan kejadian EH pada sejumlah penderita sirosis hati. Didapatkan bahwa 40% pasien sirosis tergolong malnutrisi, dan ternyata pada kelompok pasien dengan malnutrisi lebih banyak kejadian EH. Pasien malnutrisi telah terbukti mempunyai angka survival lebih rendah. 17 Pembatasan asupan protein masih merupakan kontroversi dalam penatalaksanaan 826

EH. Di masa lalu, asupan protein selalu dibatasi pada EH. Namun, pembatasan ini akan memperburuk malnutrisi, sedangkan pada beberapa penelitian didapatkan bahwa malnutrisi juga akan meningkatkan angka kejadian EH pada sirosis hati. 4,16 Sebagian ahli menganjurkan pembatasan protein, 7 dengan tujuan mengurangi pembentukan amonia. Namun, sebagian lain tidak menganjurkan karena akan memperburuk malnutrisi. Banyak penelitian kemudian membuktikan bahwa diet protein adekuat tidak memperburuk EH. Gheorghe 19 dan Parrish 20 membandingkan efek diet rendah protein terhadap protein normal pada EH, keduanya menyatakan bahwa pemberian diet protein normal tetap menunjukkan perbaikan EH, sehingga restriksi protein tidak dibutuhkan lagi pada EH. Konsensus ESPEN 2006 juga tidak lagi merekomendasikan pembatasan protein pada EH derajat 1-2, karena makin disadari bahwa malnutrisi akan memperburuk prognosis. 18 PERANAN LOLA LOLA adalah garam asam amino ornitin dan aspartat yang stabil dan telah terbukti menurunkan kadar amonia darah dan memperbaiki psychometric performance pasien EH dengan hiperamonia. LOLA menstimulasi siklus urea dan sintesis glutamin, yang merupakan mekanisme penting dalam detoksifikasi amonia (Gambar 4). 21 Pada hepatosit periportal, amonia akan diubah menjadi urea melalui siklus urea. Ornitin berfungsi mengaktifkan enzim carbamyl phosphate synthetase (Cbm-P), sehingga siklus urea bisa berlangsung, di samping itu ornitin juga menjadi substrat dalam siklus urea itu sendiri. Pada hepatosit perivenous, amonia akan diubah menjadi glutamin melalui siklus glutamin. Aspartat berfungsi membentuk dan mengaktifkan enzim glutamin sintetase, di mana enzim tersebut akan mengubah amonia menjadi glutamin. Pada sirosis, sel hati yang sehat tinggal sedikit sehingga dibutuhkan lebih banyak ornitin dan aspartat untuk mengimbangi detoksifikasi secara cepat. Demikian juga pada organ lain membutuhkan tambahan ornitin dan aspartat yang dibutuhkan juga dalam siklus glutamin. 22 TATALAKSANA Penatalaksanaan umum adalah dengan memperbaiki oksigenasi jaringan. 1 Penataksanaan khusus adalah dengan mengatasi faktor pencetus koma hepatik, misalnya asupan protein dikurangi atau dihentikan sementara, kemudian baru dinaikkan secara bertahap. 1,2 Namun, pembatasan asupan protein masih merupakan kontroversi dalam penatalaksanaan EH. Sumber protein yang diberikan pada ensefalopati hepatik terutama merupakan asam amino rantai cabang dengan harapan neurotransmiter asli dan palsu akan berimbang, dan dengan ini, metabolisme amonia di otot dapat bertambah. Selain itu, diberikan laktulosa dengan dosis 10-30 ml, 3 kali/hari dengan harapan ph asam pada usus akan menghambat penyerapan amonia. Sterilisasi usus juga harus dilakukan dengan pemberian neomisin 4 x 1-2 gram/hari per oral. 1,2 L-ornitin-L-aspartat (LOLA) saat ini sudah mulai banyak digunakan untuk mengatasi EH, karena terbukti dapat menurunkan kadar amonia darah. 21,23 Dengan adanya LOLA, maka upaya menurunkan kadar amonia darah tidak perlu melalui pembatasan asupan protein. Protein yang tidak dibatasi akan menguntungkan penderita EH yang malnutrisi, karena status nutrisi dapat diperbaiki tanpa kuatir terjadi EH. 22 LOLA bekerja melalui stimulasi siklus urea, maka tidak dianjurkan pada gangguan fungsi ginjal dengan kadar kreatinin di atas 3 mg/ dl. 7 Karena EHM dan malnutrisi meningkatkan mortalitas dan morbiditas pada sirosis hati, maka perlu dipikirkan pemberian LOLA bersama-sama dengan upaya perbaikan gizi. Ndraha, dkk. 22,24 dalam penelitiannya telah melaporkan manfaat pemberian LOLA dan diet protein 1,5 g/kgbb/hari pada EHM di Indonesia. Dalam penelitiannya, pada sirosis hati dengan malnutrisi, pemberian LOLA digabungkan dengan perbaikan gizi bersama substitusi asam amino rantai cabang (AARC), dengan perbaikan klinis dan parameter laboratorium yang signifikan. Didapatkan peningkatan kadar prealbumin yang merupakan parameter perbaikan status nutrisi, dan peningkatan nilai CFF yang merupakan parameter perbaikan ensefalopati hepatik. SIMPULAN EHM masih merupakan masalah dalam diagnosis dan tatalaksananya, khususnya bila disertai penyulit malnutrisi. Pemberian LOLA disertai diet protein 1,5 g/kgbb/hari dan substitusi asam amino rantai cabang (AARC) pada sirosis hati dengan malnutrisi diharapkan dapat memberi hasil yang menjanjikan. DAFTAR PUSTAKA 1. Kusumobroto HO. Sirosis hati. In: Sulaiman HA, Akbar HN, Lesmana LA, Noer HMS, editors. Buku ajar ilmu penyakit hati. 1 st ed. Jakarta: Jayabadi; 2007. p. 335-45. 2. Ndraha S. Sirosis hati. In: Ndraha S, editor. Bahan ajar gastroenteroheapatologi. 1 st ed. Jakarta: Balai Penerbit UKRIDA; 2013. p.173-90. 3. Norenberg MD, Jayakumar AR, Rama Rao KV, Panickar KS. The peripheral benzodiazepine receptor and neurosteroids in the pathogenesis of hepatic encephalopathy and amonia neurotoxicity. In: Häussinger, Kircheis G, Schliess F, ediotrs. Hepatic encephalopathy and nitrogen metabolism. The Netherlands: Springer; 2006. p.143-59. 4. Kalaitzakis E, Olsson R, Henfridsson P, Hugosson I, Bengtsson M, Jalan R. Malnutrition and diabetes mellitus are related to hepatic encephalopathy in patients with liver cirrhosis. Liver International 2007; 27: 1194-201. 5. Iskandar M, Ndraha S, Hasan I, Setiati S. Presisi ensefalopati minimal pada pasien sirosis hepatis rawat jalan di RS Cipto Mangunkusumo [Kumpulan Abstrak]. Jakarta: KOPAPDI; 2009. 6. Lemberg A, Fernández MA. Hepatic encephalopathy, amonia, glutamate, glutamin and oxidative stress. Annals of Hepatology 2009; 8: 95-102. 7. Merz Pharmaceuticals GmbH. Liver diseases and hepatic encephalopathy. Scientific Product Monograph. Frankfurt: Merz Pharmaceuticals GmbH; 2004. p.112-3. 8. Munoz SJ. Hepatic encephalopathy. Med Clin N Am. 2008; 92: 795-812. 9. Bajaj J. Management options for minimal hepatic encephalopathy. Expert Review of Gastroenterology & Hepatology 2008; 2: 785-90. 10. Ortiz M, Jacas C, Co rdoba J. Minimal hepatic encephalopathy: Diagnosis, clinical significance and recommendations. J Hepatol. 2005; 42: 45-53. 11. Sharma P, Sharma BC, Puri V, Sarin SK. Critical flicker frequency: Diagnostic tool for minimal hepatic encephalopathy. J Hepatol. 2007; 47: 67-73. doi:10.1016/j.jhep. 2007.02.022. 12. Gomez MR, Cordoba J, Jover R, Olmo JA, Ramirez M, Rey R. Value of the critical flicker frequency in patients with minimal hepatic encephalopathy. Hepatology 2007; 45: 879-85. 827

13. Knottnerus JA, Muris JW. Assessment of the accuracy of diagnostic tests: The cross sectional study. The evidence base of clinical diagnosis: Theory and methods of diagnostic research. 2 nd ed. Singapore: Blackwell; 2009. p.42-62. 14. Knottnerus JA, Irwig LM, Bossuyt PMM, Glasziou PP, Lijme JG. Designing studies to ensure that estimates of test accuracy will travel. The evidence base of clinical diagnosis: Theory and methods of diagnostic research. 2 nd ed. Singapore: Blackwell; 2009. p.96-117. 15. Ndraha S, Hasan I. Critical flicker frequency pada sirosis hati di RSUD Koja. Kumpulan Abstrak (CD). Jakarta: KOPAPDI; 2009. 16. Henkel AS, Buchman AL. Nutritional support in patients with chronic liver disease. Nature Clinical Practice Gastroenterology & Hepatology 2006; 3: 202-9. 17. Abdo AA. An evidence-based update on hepatic encephalopathy. The Saudi Journal of gastroenterology 2006; 12: 8-15. 18. Plauth M, Cabre E, Riggio O, Camilo MA, Pirlich M, Kondrup J. ESPEN guidelines on enteral nutrition: Liver diseases. Clinical Nutrition 2006: 25: 285-94. 19. Gheorghe L, Iacob R, Vădan R, Iacob S, Gheorghe C. Improvement of hepatic encephalopathy using a modified high-calorie high-protein diet. Rom J Gastroenterol. 2005; 14: 231-8. 20. Perrish CR. Nutrition update in hepatic failure. Practical Gastroenterology [Internet]. 2014 April; 47-55. Available from: http://www.medicine.virginia.edu/clinical/departments/medicine/ divisions/ digestive-health/clinical-care/nutrition-support-team/practical-gastro/parrish%20april% 2014.pdf 21. Rose CF. Ammonia lowering strategies for the treatment of hepatic encephalopathy. Clin Pharmacol Ther. 2012; 92(3): 321-31. doi: 10.1038/clpt.2012.112. [Epub 2012 Aug 8]. 22. Ndraha S, Simadibrata M. Normal protein diet and L-ornithine-L-aspartate for hepatic encephalopathy. Acta Med Indones. 2010; 42(3): 158-61. 23. Poo JL, Gongora J, Avila FS, Castillo SA, Ramos GG, Zertuche MF. Efficacy of L-ornitin L-aspartate in cirrhotic patients with hyperammonemic hepatic encephalopathy. Results of a randomized, lactulose controlled study. Annals of Hepatology 2006; 5: 281-8. 24. Ndraha S, Hasan I, Simadibrata M. The effect of L-ornithine L aspartate and branch chain amino acids on encephalopathy and nutritional status in liver cirrhosis with malnutrition. Acta Med Indones. 2011; 43(1): 18-22. 828