MANA YANG LEBIH TINGGI PUTUSAN MA-RI (TENTANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN) DAN UNDANG-UNDANG (TENTANG HAK TANGGUNGAN)? TAUFIQURROHMAN SYAHURI

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN. yang diintrodusir oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang. Perdata. Dalam Pasal 51 UUPA ditentukan bahwa Hak Tanggungan dapat

AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract)

BAB I PENDAHULUAN. satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur

LEMBARAN-NEGARA Republik Indonesia No.42 Tahun 1996

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

PARATE EXECUTIE PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI PERLINDUNGAN ASET KREDITOR DAN DEBITOR

BAB 1 PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN SUKINO Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Riau

PERLAWANAN TERHADAP EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DAN PENGOSONGAN OBJEK LELANG OLEH : H. DJAFNI DJAMAL, SH., MH. HAKIM AGUNG REPUBLIK INDONESIA

2016, No objek materiil yang jumlahnya besar dan kecil, sehingga penyelesaian perkaranya memerlukan waktu yang lama; e. bahwa Mahkamah Agung d

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 168, (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889)

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kredit. Seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 2 Undang undang nomor 10 tahun 1998

SURAT KEPUTUSAN KETUA PENGADILAN AGAMA KLAS I.B BARABAI Nomor : W15-A3/1006/KU.04.2/VIII/2014 TENTANG

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Perbankan merupakan lembaga yang bergerak di bidang

BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN MELALUI PENJUALAN DI BAWAH TANGAN SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PD.

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Mengenai Hak Tanggungan. Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR PENERIMA JAMINAN HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH. Oleh Rizki Kurniawan

DAFTAR PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG

QUA VADIS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 49/PPU-X/2013 TERTANGGAL 28 MEI 2013

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DALAM UU.NO.4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA- BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

PRINSIP=PRINSIP HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG

PUTUSAN Nomor 70/PUU-VIII/2010 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN ATAS KREDIT MACET PADA PT. BANK SUMUT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Kekuatan Eksekutorial Hak Tanggungan dalam lelang

Pembebanan Jaminan Fidusia

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Dinamika Pembangunan dan Pengembangan Hukum di Indonesia sejak masa kolonial hingga era kemerdekaan

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pengertian Perjanjian Kredit

NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 1996

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan pendapatan perkapita masyarakat dan. meningkatnya kemajuan tersebut, maka semakin di perlukan berbagai

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBUK INDONESIA

BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI. mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 81/PUU-XIV/2016 Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

BAB I PENDAHULUAN. membuat keseimbangan dari kepentingan-kepentingan tersebut dalam sebuah

P U T U S A N. Nomor : 256/ PDT/2016/PT.BDG DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada masyarakat. Mengingat

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 6/Juni/2016. Konoras, SH, MH; Dr. Rodrigo F. Elias, SH, MH 2 Mahasiswa pada Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIII/2015 Proses Seleksi Pengangkatan Hakim

KUASA JUAL SEBAGAI JAMINAN EKSEKUSI TERHADAP AKTA PENGAKUAN HUTANG

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

KAPAN PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD DAPAT DIAJUKAN ULANG?

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG HAK TANGGUNGAN, HAK ATAS TANAH BARAT DAN PENDAFTARAN TANAH

: Guarantee of Mortgage Right, Public Auction, Chairman of District Court

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

P U T U S A N. NOMOR 207/Pdt/2014/PT.Bdg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. E. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Tanggungan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

LAMPIRAN II : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 600/PRT/M/2005 Tanggal : 23 Desember 2005

BAB I PENDAHULUAN. Belanda yaitu sejak tahun 1908 pada saat Vendu Reglement diumumkan dalam

I. PEMOHON Tomson Situmeang, S.H sebagai Pemohon I;

P U T U S A N. Perkara Nomor 007/PUU-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan ini, maka banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA

Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XIV/2016 Upaya Hukum Kasasi dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu

BAB 3 PARATE EKSEKUSI DALAM KAITANNYA DENGAN JANJI EKSEKUTORIAL DALAM HAK TANGGUNGAN, PERMASALAHAN YANG ADA SERTA PEMBAHASANNYA

BAB I PENDAHULUAN. atas tanah berikut atau tidak berikut benda- benda lain yang merupakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

Transkripsi:

MANA YANG LEBIH TINGGI PUTUSAN MA-RI (TENTANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN) DAN UNDANG-UNDANG (TENTANG HAK TANGGUNGAN)? TAUFIQURROHMAN SYAHURI BIRO REKRUTMEN, ADVOKASI DAN PENINGKATAN KAPASITAS HAKIM KYRI

Mana yang Lebih Tinggi Putusan MA-RI (Tentang Eksekusi Hak Tanggungan) dan Undang-Undang (Tentang Hak Tanggungan)? Agar Ada Kepastian Hukum Apa yang Harus Dilaksanakan 1 Taufiqurrohman Syahuri 2 Kekuatan Hukum Putusan Hakim Putusan hakim yang lazimnya disebut vonis melahirkan norma hukum baru, yang sebelumnya tidak ada. Dengan putusan hakim, subyek hukum baik orang atau badan hukum yang sebelumnya tidak berhak menjadi memiliki hak demikian juga sebaliknya yang tadinya ia memiliki hak menjadi tidak memiliki hak. Dari segi hukum tata Negara putusan hakim atau vonis tergolong kedalam kelompok keputusan Negara. Keputusan Negara dalam bentuk lain, adalah keputusan Negara yang bersifat mengatur (regeling) seperti Peraturan Pemerintah, undang-undang dan peraturan lain, serta keputusan Negara yang bersifat penetapan adminitrasi (beschikhing) seperti Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan keputusan lainnya. 3. Ketiga jenis keputusan negara tersebut apabila dipandang tidak benar atau merugikan warga Negara, dapat dilakukan upaya perlawanan hukum melalui mekanisme pengajuan permohonan ke pengadilan. Untuk keputusan negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan dapat diajukan melalui judicial rivieu atau pengujian melalui Mahkamah Agung apabila berupa peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, dan pengujian ke Mahkamah Konstitusi apabila yang diuji berupa undang-undang. Untuk keputusan Negara yang berupa penetapan administrasi dapat diajukan perlawanan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan untuk vonis hakim dilakukan melalui banding, kasasi ke pengadilan yang lebih tinggi kecuali terhadap vonis hakim yang telah mempunyai kekuatan final. Dalam hal ini dikecualikan upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali (PK) atas putusan yang telah final apabila ditemukan bukti baru di lingkungan peradilan umum. Upaya hukum peninjauan kembali ini tidak berlaku bagi putusan Mahkamah Konstitusi. Terkait dengan putusan pengadilan ini, pada tahun 1984 Mahkmah Agung telah mengeluarkan norma hukum baru yang dituangkan dalam Putusan Mahkamah Agung No.3201/K/Pdt/1984 (selanjutnya ditulis Putusan MA 3201/1984) yang intinya menyatakan bahwa eksekusi hak tanggungan tidak dapat dilaksanakan dengan serta merta harus melalui Ketua Pengadilan Negeri. 1 Disampaikan dalam Seminar Nasional QUO VADIS HAK EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN, diselenggarakan oleh LPSH HILC, di Hotel Sahid Jakarta, Selasa, 20 Januari 2009. 2 Dr. Taufiqurrohman Syahuri, SH, MH, Dosen FH Unib dan Penulis Buku Hukum Konstitusi, Jakarta: Ghalia Indonesia Tahun 1994. 3 Jimly Ashiddiqie, Perihal Perundang-undangan di Indonesia, Jakarta: Setjen MKRI, 2006 hal...

Pertimbangan dalam putusan MA ini disebutkan bahwa agar tidak ada pihak yang dirugikan atas eksekusi hak tanggungan tersebut. Terlepas dari pertimbangan hukum diatas, Putusan MA mengenai eksekusi hak tanggungan ini sebenarnya hanya mengikat atau berlaku bagi para pihak yang mengajukan perkara tersebut ke pengadilan (Pasal 21 AB) Ini berbeda dengan peraturan undang-undangan yang dengan sendirinya memiliki kekuatan hukum mengikat secara umum sejak saat diundangkan. Jadi keputusan hakim tidak berlaku sebagai peraturan umum. Oleh karena itu, apabila ada kasus lain mengenai eksekusi hak tanggungan tidak selalu harus mengikuti Putusan MA tersebut. Ini sesuai dengan doktrin sistem hukum civil law yang juga diikuti di Indonesia. Di Indonesia, putusan pengadilan (baca: putusan hakim) tidak serta merta harus diikuti oleh hakim lain yang memutus perkara yang sama dengan alasan putusan hakim sebelumnya telah menjadi yurisprudensi. Doktrin yurisprudensi tidak dikenal di Negara yang menganut aliran hukum civil law atau Eropa continental seperti Negara Indonesia. Dasar pembentukan norma hukum dalam sistem civil law adalah pembentukan undang-undang, tidak ada hukum kalau tidak diatur dalam undang-undang. Namun demikian tidak berarti hakim boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan peraturan perundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap (Baca Pasal 22 AB). Putusan yang dibuat oleh putusan hakim atas perkara yang norma hukumnya tidak ada, tidak jelas atau tidak lengkap itu merupakan penemuan hukum (rechtsvinding). Putusan hakim yang menyesuaikan undang-undang dengan peristiwa yang kongkrit yang dikenal dengan istilah rechtsvinding ini tidak sama dengan pengertian yurisprudensi yang dikenal di Negara-negara yang menganut sistem hukum common law. Arti yurisprudensi adalah putusan hakim terdahulu yang kemudian dijadikan dasar putusan hakim lainnya dalam mengadili perkara yang serupa dan seterunya akhrnya menjadi sumber hukum pagi pengadilan. Bagi Negara penganut sistem hukum common law, putusan hakim dapat menjadi yurisprudensi yang dipandang sebagai sumber hukum yang memiliki kedudukan yang sama dengan undang-undang. Berdasarkan pandangan diatas maka Putusan MA tahun 1984 tentang eksekusi hak tanggungan tersebut apabila dijadikan dasar putusan hakim belakangan, menurut sistem hukum common law, akan menjadi yurisprudensi sehingga akan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Persoalannya sekarang adalah bagaimana apabila diterapkan dalam Negara dengan sistem hukum civil law seperti Negara Indonseia, apakah Putusan MA no 3201/1984 memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara umum layaknya sebuah undang-undang? Uraian berikut akan mencoba menjawab pertanyaan ini.

Putusan MA dan Undang Undang Sepuluh tahun kemudian setelah putusan MA no 3201/1984, pada tahun 1996 Negara Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (UUHT). Undang-undang hak tanggungan ini di dalam beberapa pasalnya mengatur juga perihal eksekusi hak tanggungan yang sebelumnya pernah menjadi obyek Putusan Mahkamah Agung No. 3201 sebagaimana disebut di atas. Dengan demikian dalam praktek hukum terdapat dua norma hukum yang dapat dijadikan sebagau dasar hukum dalam pelaksanaan eksekusi hak tanggungan tersebut. Di satu sisi mengatur pelaksanaan eksekusi hak tanggungan harus melalui Ketua Pengadilan, disisi lain pelaksanaan eksekusi hak tanggungan dapat dilaksanakan atas kekuasaan sendiri tanpa melalui Ketua Pengadilan sebagaimana disebut dalam Pasal 6 UUHT. Pasal 6 UUHT secara jelas menyebutkan bahwa: Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Memperhatikan bunyi Pasal 6 diatas, dapat ditarik beberapa unsur sebagai berikut: a. debitor cedera janji; b. hak menjual obyek hak tanggungan; c. penjualan obyek melalui pelelangan; d. hak mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan Dengan demikian apabila unsur a terbukti/terpenuhi, maka pemegang hak tanggungan berhak menjual obyek hak tanggungan asalkan dilakukan melalui pelelangan, dan juga pemegang hak tanggungan berhak mengambil bagian dari hasil penjualannya itu untuk memenuhi membayar pelunsanan hutangnya pihak pemberi hak tanggungan. Untuk dipunyainya kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tersebut maka dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dicantumkan janji sebagaimana diperintahkan dalam 11 ayat (2) e yang berbunyi: Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji; Pemberian kewenangan untuk menjual sendiri atas obyek hak tanggungan melalui pelelangan ini sesuai dengan tujuan dikeluarkannya UUHT. Penjelasan umum UUHT angka 9 menyatakan, salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat

adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang- Undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Pasal 258 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura). Sehubungan dengan itu pada sertifikat Hak Tanggungan, yang berfungsi sebagai surat-tanda-bukti adanya Hak Tanggungan, dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu sertifikat hak tanggungan tersebut dinyatakan sebagai pengganti grosse acte Hypotheek, yang untuk eksekusi Hypotheek atas tanah ditetapkan sebagai syarat dalam melaksanakan ketentuan pasal-pasal kedua Reglemen diatas. Agar ada kesatuan pengertian dan kepastian mengenai penggunaan ketentuan-ketentuan tersebut, ditegaskan lebih lanjut dalam Undang-Undang ini, bahwa selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, peraturan mengenai eksekusi Hypotheek yang diatur dalam kedua Reglemen tersebut, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan. Ketentuan Pasal 6 dan Pasal 11 ayat (2) e yang cukup jelas itu, menjadi kabur apabila dikaitkan d engan Pasal 11 ayat (2) c yang berbunyi sebagai berikut: Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janjijanji, antara lain janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cidera janji. Dalam Penjelasannya disebutkan, janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan dapat merugikan pemberi Hak Tanggungan. Oleh karena itu, janji tersebut haruslah disertai persyaratan bahwa pelaksanaannya masih memerlukan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Sebelum mengeluarkan penetapan tersebut Ketua Pengadilan Negeri perlu memanggil dan mendengar pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu pemegang Hak Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan serta debitor apabila pemberi Hak Tanggungan bukan debitor Sungguhpun keterlibatan Ketua Pengeadilan Negari berdasarkan bunyi Pasal 11 ayat (2) c tersebut hanya sebatas pengaturan pengelolaan obyek hak

tanggungan oleh kriditor, kata pengelolaan ini dapat dikembangkan penafsirannya sehingga termasuk pelaksanaan eksekusi hak tanggungan yang sebenarnya telah diatur dalam Pasal 6 UUHT. Penafsiran demikian dapat dianggap mengada-ngada karena dalam Penjelasan Umum UUHT angka 10 sendiri memberikan batasan pengelolaan yang mencakup hal-hal penetapan yang berkaitan dengan permohonan pembersihan obyek Hak Tanggungan, dan pencoretan Hak Tanggungan. Tidak ada kata-kata eksekusi hak tanggungan. Berdasarkan pembahasan diatas dan dilihat dari tujuan UUHT tersebut dapat disimpulkan bahwa pasal 6 dan. Pasal 11 ayat (2) huruf e sudah jelas memberi hak kepada pemegang hak tanggungan Pertama untuk melaksanakan hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan, dan dalam hal Pemberi hak (debitur) cidera janji Pemegang hak hanggungan pertama dapat melakukan parate eksekusi, yaitu menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum tanpa persetujuan Ketua Pengadilan Negeri. Sebagaimana disebutkan diatas, UUHT lahir belakangan setelah Putusan MA tentang eksekusi hak tanggungan, maka dapat diartikan bahwa praktek eksekusi hak tanggungan yang selama itu mengacu kepada Putusan MA tesebut, setelah berlakunya UUHT dapat mengikuti norma hukum yang diatur dalam Pasal 6 jo Pasal 11 ayat (2) yang telah memberikan hak eksekusi sendiri atas obyek hak tanggungan sesuai dengan yang telah dijanjikan dalam akte hak tanggungan. Apalagi Putusan MA itu bukan norma hukum yang bersifat umum tetapi hanya mengikat kepada para pihak yang bersangkutan, meskipun dari segi hukum tata negara keduanya sama-sama tergolong ke dalam Keputusan Negara. Sebagai Keputusan Negara keduanya sama-sama mengikat warga negara hanya berbeda dalam ruang lingkup keberlakuannya. Putusan Pengadilan mengikat para pihak yang bersangkutan, sedangkan undang-undang mengikat secara umum. Kedua Keputusan negara itupun tidak berada dalam posisi hirarkhi atau berjenjang sebagaimana norma hukum dalam peraturan perundang-undang. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ditinjau dari sisi norma hukum, antara Putusan MA dan UUHT yang mengatur hak eksekusi hak tanggungan tidak ada persoalan. Persoalan baru muncul ketika norma hukum tersebut berhadapan dengan praktek. Lembaga Negara yang semestinya melaksanakan eksekusi hak tanggungan berdasarkan Pasl 6 UUHT tidak mau melaksanakannya dengan alasan terdapat Putusan MA aquo. Penutup dan Solusi Oleh karena persoalannya berada dalam praktek, pada dataran penerapan hukumnya maka ketidkapastian hukum pelaksanaan eksekusi hak tanggungan itu bukan terjadi karena akibat adanya UUHT itu sendiri, melainkan karena ketidak-

sediaan atau keengganan dari lembaga negara yang diberi kewenangan mengatur pelelangan untuk melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu apabila ingin dilakukan judicial review, pengujian UUHT ke Mahkamah Konstitusi akan dianggap salah alamat, karena UUHT itu sendiri sebenarnya tidak merugikan pihak kriditur bahkan justru memudahkan pemegang hak tanggungan untuk melaksanakan eksekusi apabila Pemberi hak tanggungan cidera janji. Salah satu syarat agar sebuah undang-undang dapat diuji di Mahkamah Konstitusi adalah apabila undang-undang atau pasal-pasal atau ayat-ayat atau rumusan anak kalimat dalam undang-undang itu merugikan warga negara. Namun demikian, apabila ketentuan eksekusi hak tanggungan dalam Pasal 6 UUHT ditafsirkan oleh Pengadilan (setelah UUHT diundangkan) masih sama dengan bunyi Putusan MA No 3201/1984 terdahulu, maka dalam ini bukan lagi mengenai penerapan hukum malainkan sudah ada penafsiran baru terhadap Pasal 6 UUHT. Artinya pelaksanaan eksekusi hak tanggungan harus melalui Ketua Pengadilan. Jika hal demikian terjadi maka Pasal 6 UUHT yang telah ditafsirkan tersebut dapat diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi, dengan harapan akan diberikan tafsir yang berderajat konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat ini akan didapat kepastian hukum yang mengikat semua warga negara, dan lembaga negara, termasuk Mahkamah Agung. Jakarta, Selasa 20 Januari 2009 Penulis, Taufiqurrohman Syahuri Email: tsyahuri@yahoo.com / Hp 081310515825