PENYELIDIKAN STABILITAS LERENG PADA JALUR JALAN KRUI-LIWA, KABUPATEN LIWA, PROVINSI LAMPUNG. Rachman SOBARNA

dokumen-dokumen yang mirip
GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT

KEJADIAN GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG PADA TANGGAL 20 APRIL 2008 DI KECAMATAN REMBON, KABUPATEN TANA TORAJA, PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan

GERAKAN TANAH DI KABUPATEN KARANGANYAR

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya

GERAKAN TANAH DI CANTILLEVER DAN JALUR JALAN CADAS PANGERAN, SUMEDANG Sumaryono, Sri Hidayati, dan Cecep Sulaeman. Sari

LANDSLIDE OCCURRENCE, 2004 STRATEGI MITIGASI DAN SIFAT GERAKAN TANAH PENYEBAB BENCANA DI INDONESIA. BENCANA GERAKAN TANAH 2005 dan 2006

BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... KATA PENGANTAR... PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL...

POTRET BENCANA BANJIR BANDANG DI WASIOR. Djadja, Agus Solihin, Agus Supriatna Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

ANALISIS STABILITAS LERENG TEBING SUNGAI GAJAHWONG DENGAN MEMANFAATKAN KURVA TAYLOR

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PEDOMAN TEKNIS PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH

KEJADIAN GERAKAN TANAH DI INDONESIA PERIODE MEI-AGUSTUS 2009

BAB 9. B ANGUNAN PELENGKAP JALAN

Pemeriksaan lokasi bencana gerakan tanah Bagian 1: Tata cara pemeriksaan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana geologi,

- : Jalur utama Bandung-Cirebon BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

MEKANIKA TANAH 2 KESTABILAN LERENG. UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA Jl. Boulevard Bintaro Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang Selatan 15224

PETUNJUK PRAKTIS PEMELIHARAAN RUTIN JALAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MEKANIKA TANAH (CIV -205)

ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH KABUPATEN GARUT BAGIAN SELATAN, PROVINSI JAWA BARAT. Eka Kadarsetia

DEFINISI. Thornbury, 1954 : Proses akibat gaya gravitasi secara langsung.

L O N G S O R BUDHI KUSWAN SUSILO

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

STUDI KASUS ANALISA KESTABILAN LERENG DISPOSAL DI DAERAH KARUH, KEC. KINTAP, KAB. TANAH LAUT, KALIMANTAN SELATAN

Gambar 1.1 Jalur tektonik di Indonesia (Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2015)

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. berpotensi rawan terhadap bencana longsoranlahan. Bencana longsorlahan akan

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Perancangan Perkuatan Longsoran Badan Jalan Pada Ruas Jalan Sumedang-Cijelag KM Menggunakan Tiang Bor Anna Apriliana

SNI Standar Nasional Indonesia SNI

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Pasirmunjul, Kabupaten Purwakarta, masuk ke dalam zona

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian

Pengaruh Tension Crack (Tegangan Retak) pada Analisis Stabilitas Lereng menggunakan Metode Elemen Hingga

BAB 1 PENDAHULUAN I-1

Mahasiswa, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Nasional 2

BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah

BAB III METODE PENELITIAN

1. 1. LATAR BELAKANG MASALAH

GEOTEKNIK TAMBANG DASAR DASAR ANALISIS GEOTEKNIK. September 2011 SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL (STTNAS) YOGYAKARTA.

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR. pengetahuan yang mencitrakan, menerangkan sifat-sifat bumi,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, terutama Pulau Jawa. Karena Pulau Jawa merupakan bagian dari

BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Identifikasi dan Delineasi Daerah Rawan Longsor

KEJADIAN BENCANA GERAKAN TANAH TAHUN 2007

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana.

Bab IV STABILITAS LERENG

BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI

Berfungsi mengendalikan limpasan air di permukaan jalan dan dari daerah. - Membawa air dari permukaan ke pembuangan air.

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR LAHAN DI KECAMATAN DAU, KABUPATEN MALANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI

BAB III METODOLOGI BAB III METODOLOGI

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV STUDI LONGSORAN

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan

ANALISA KESTABILAN LERENG METODE LOWE-KARAFIATH (STUDI KASUS : GLORY HILL CITRALAND)

RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengenalan Gerakan Tanah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Batasan Longsor 2.2 Jenis Longsor

BAPPEDA Kabupaten Probolinggo 1.1 LATAR BELAKANG

Pemetaan Karakteristik Dinamik Tanah Panti

JIME, Vol. 3. No. 1 ISSN April 2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. air. Melalui periode ulang, dapat ditentukan nilai debit rencana. Debit banjir

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG

INVESTIGASI GEOLOGI POTENSI LONGSOR BERDASARKAN ANALISIS SIFAT FISIK DAN MEKANIK BATUAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB I PENDAHULUAN. Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DEBIT AIR LIMPASAN SEBAGAI RISIKO BENCANA PERUBAHAN LUAS SUNGAI TUGURARA DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA

KEGEMPAAN DI INDONESIA PERIODE BULAN APRIL AGUSTUS 2008

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat,

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

Transkripsi:

PENYELIDIKAN TABILITA LERENG PADA JALUR JALAN KRUI-LIWA, KABUPATEN LIWA, PROVINI LAMPUNG Rachman OBARNA ari Jalur jalan Krui- Liwa merupakan jalur trans umatera bagian barat yang banyak digunakan para pengguna jalan khususnya yang berada di sekitar wilayah umatera bagian barat. Jalur jalan ini tergolong vital karena merupakan suatu pilihan bagi arus mudik serta transportasi barang maupun jasa yang lebih singkat bagi daerah yang berada di umatera selatan bagian barat. Keberadaan jalur jalan Krui Liwa menjadi salah satu perhatian dalam melaksanakan mitigasi bencana tanah longsor mengingat tebing di sekitar jalur jalan ini di beberapa titik rawan longsor sehingga diperlukan upaya penanggulangan teknis PENDAHULUAN Latar Belakang Jalur jalan yang menghubungkan kota Kecamatan Krui dan Liwa termasuk dalam wilayah Kabupaten LIwa, Provinsi Lampung dan merupakan jalur trans umatera bagian barat yang menghubungkan kawasan umatera bagian selatan dengan wilayah utara. Keberadaan jalur jalan ini tergolong penting bagi peningkatan perekonomian di kawasan tersebut terutama dengan meningkatnya konstribusi yang diberikan oleh daerah di kawasan Provinsi Lampung barat yang kaya dengan hasil hutan industri yaitu damar serta perkebunan kelapa sawit yang didistribusikan ke daerah lain melalui jalur jalan ini. Jalur jalan Krui-Liwa sebagian berada pada topografi perbukitan yang dibangun oleh batuan kurang kompak yang pelapukannya mudah digali/dikupas. Mengingat jalur jalan ini berada pada kawasan perbukitan, maka tebing jalan hasil penggalian/pengupasan tersebut umumnya tinggi dan terjal sehingga di beberapa tempat berpotensi longsor. Peristiwa tanah longsor yang pernah terjadi pada jalur jalan ini telah menimbulkan korban bagi pengguna jalan serta mengakibatkan terputusnya arus transportasi akibat tertimbunnya jalur jalan tersebut oleh tumpukan material bahan rombakan bercampur dengan batang pohon yang runtuh terbawa longsor. Penyelidikan ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat stabilitas lereng di daerah tersebut dan memberikan rekomendasi teknis penanggulangan dan pencegahan tanah longsor di sekitar jalur jalan. Geologi Topografi daerah pemeriksaan merupakan daerah dataran hingga daerah terjal. Daerah dataran dan landai memiliki kemiringan lereng medan 8 0 15 0 yang dijumpai di daerah Krui, sedangkan ke arah Liwa merupakan kawasan perbukitan terjal dengan kemiringan 17 0-27 0. Topografi di daerah ini secara umum menunjukkan adanya kelurusan, diduga akibat pengaruh sesar yang berarah hampir utara selatan, dan pada beberapa bagian lereng terdapat retakan tarik (tension crack) yang hampir searah dengan kelurusan bukit. Diperkirakan daerah ini dipengaruhi oleh kontrol sesar yang berarah hampir uataraselatan. Batuan penyusun umumnya berupa endapan tufa Fm. Ranau yang telah melapuk menjadi tanah lempung pasiran, dengan parameter berat isi tanah kering (γd) = 1,420 ton/m 3, berat isi tanah asli (γ) = 1,780 ton/m 3, berat isi tanah jenuh (γs) = 1,87 ton/m 3, kohesi (c) = 1,50 ton/m 2, dan sudut geser dalam (φ) = 15,0. erta batu pasir endapan Gn. Api Kuarter Tua, tanah pelapukan umumnya berupa lanau pasiran, dengan parameter berat isi tanah kering (γ) = 1,512 ton/m 3, berat isi tanah asli (γ) = 1,624 ton/m 3, berat isi tanah jenuh (γs) = 1,785 Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 2, Agustus 2011 : 11-18 Hal :11

ton/m 3, kohesi (c) = 1,65 ton/m 2, dan sudut geser dalam (φ) = 25. Kestabilan lereng di sekitar badan jalan Kejadian tanah longsor pada jalur jalan Krui- Liwa teramati di beberapa titik. Berdasarkan pengamatan potensi gerakan tanah, daerah di sepanjang jalur jalan ini berada pada potensi gerakan tanah menengah hingga tinggi, artinya di daerah ini dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan ataupun jika lereng mengalami gangguan, bahkan gerakan tanah lama yang ada di daerah ini dapat aktif kembali (Gambar 1). Gambar 1. Potensi gerakan tanah dan stasiun pemeriksaan Hal :12 Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 2, Agustus 2011 : 12-18

Dasar Teori Untuk melakukan analisis kestabilan lereng, maka dilakukan prinsip keseimbangan gaya, artinya suatu lereng dalam kondisi aman atau stabil apabila gaya penahan lebih besar dari gaya pendorong. Besaran nilai faktor keamanan F tersebut dapat dinyatakan dalam formula :. Gaya penahan (kuat geser) F = ------------------------------------------- Gaya pendorong τ mb (gaya geser) Dimana : τ mb = c/f + σ tan φ/f = c+σ tanφ c = kohesi σ = normal terhadap bidang gelincir φ = sudut geser dalam Untuk lereng yang memiliki retakan, akan terjadi proses infiltrasi yang akan mengakibatkan terjadinya penjenuhan. Kondisi lereng yang mengalami penjenuhan tersebut terlihat pada model garis aliran hidrogeologi (flow chart) di bawah (gambar 2) Mengambil model penyederhanaan dari Hoek and Bray (1981) dimana kondisi lereng yang retak dapat dinyatakan dalam kondisi setengah jenuh dan jenuh ke dalam besaran nilai x, y dan z, menunjukkan adanya hubungan antara tinggi lereng dengan sifat keteknikan tanah tersebut, yaitu : x = ( Tan ϕ / F ) y = [ c / ( s. H. tan ϕ )] z = [ c / ( s. H. F )] dimana : s = Berat isi tanah jenuh (ton/m 3 ) H = Tinggi lereng (m) c = kohesi (ton/m 2 ) Analisis Kemantapan Lereng Analisis kemantapan lereng dilakukan dengan mengambil besaran nilai faktor keamanan untuk lereng stabil (F) = 1,20. Hasil analisis terlihat pada tabel 1 dan 2 di bawah. Gambar 2. Garis aliran pada lereng terisi air Tabel 1. Tinggi Lereng Diijinkan Pada etiap Kondisi Kejenuhan Pada Pelapukan tufa Formasi Ranau Pelapukan Tufa Fm. Ranau Retakan belumi terisi oleh air Retakan Terisi Air sebagian (kondisi jenuh) Faktor Keamanan (F) Tan φ F C HF H (m) Tinggi lereng yang diijinkan 1,20 0,262 0,130 6,5 1,20 0,262 0,120 5,9 Hal : 14 Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 2, Agustus 2011 : 14-10

Tabel 2. Tinggi Lereng Diijinkan Pada etiap Kondisi Kejenuhan Pada Pelapukan batu pasir satuan batuan Gn. Api Kuarter Tua Pelapukan Batu pasir batuan Gn. Api Kuarter Tua Retakan belumi terisi oleh air Retakan Terisi Air sebagian (kondisi jenuh) Faktor Keamanan (F) Tan φ F C HF H (m) Tinggi lereng yang diijinkan 1,20 0,388 0,092 8,4 1,20 0,388 0,108 7,14 Hasil Hasil pemeriksaan lapangan dan analisis yang dilakukan pada beberapa stasiun (t) terlihat pada Tabel 3 di bawah. Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Lokasi Lokasi : t 1 Kp. Wahyuni, Ds. Gunung Batu, Kec. Pesisir Tengah Km 6 dari Krui Lokasi : t 2 Kp. Palima, Ds. Labuan Mandi Kec. Pesisir Tengah, Km 10 dari Krui Hasil Analisis dan rekomendasi Kondisi retakan kering, tinggi lereng aman 8,4 m, pada kondisi retakan terisi air tinggi lereng aman 7,1 m aran Teknis : Melakukan drainase pada lereng bagian atas etempat-setempat dipasang bronjong dan dinding penahan Pohon-pohon berakar kuat dan bertangkai pendek perlu dipertahankan di lereng bukit bagian atas. Perlu dipasang rambu lalu lintas tanda bahaya longsor Pada kondisi retakan belum terisi air tinggi lereng aman 8,4 m, pada kondisi retakan mulai terisi air maka tinggi lereng aman 7,1 m aran Teknis : Melakukan drainase pada lereng bagian atas etempat-setempat dipasang bronjong dan dinding penahan Pohon-pohon berakar kuat dan bertangkai pendek perlu dipertahankan di lereng bukit bagian atas. Perlu dipasang rambu lalu lintas tanda bahaya longsor Hal : 14 Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 2, Agustus 2011 : 14-18

Lokasi : t3 Kp. Cuko, Ds. Labuan Mandi, Kec. Pesisir Tengah im Km 12 dari Krui Lokasi : t 4 Kp. Kubu, Ds. Kubu, Kec. Liwa, Km 30 dari Krui pada saat retakan belum terisi air, tinggi lereng aman 8,4 m, pada kondisi retakan mulai terisi air maka tinggi lereng aman 7,1 m aran Teknis : Membangun tembok dinding penahan di bagian kaki lereng, setinggi 1,5-2 m sepanjang 30 m. Dinding penahan berupa tembok diberi saluran air pembuang (subdrain). Di atas tembokan ditanami gebalan rumput Memperbaiki drainase di lereng atas. Pohon-pohon berakar kuat perlu dipertahankan di lereng bukit bagian atas. Perlu dipasang rambu lalu lintas tanda bahaya longsor Pada kondisi retakan belum terisi air, maka tinggi lereng aman 6,5 m, pada kondisi retakan terisi air maka tinggi lereng aman 5,9 m. aran Teknis : Tebing jalan diterasiring dan dipasang bronjong dengan tinggi terasiring 0,5-1 m Memperbaiki drainase di lereng atas Tidak membuat saluran air di sepanjang tebing lereng bagian atas, serta tidak mengalirkan air permukaan ke arah tebing tersebut Pohon-pohon berakar kuat perlu dipertahankan di lereng bukit bagian atas. Lokasi : t 5 Kp. lipas, Ds. lipas, Kec. Liwa, Km 34 dari Krui Pada kondisi retakan belum terisi air, maka tinggi lereng aman 6,5 m, pada kondisi retakan terisi air maka tinggi lereng aman 5,9 m. aran Teknis : Tebing jalan ditembok setinggi 1-1,5m Tebing lereng yang ditembok diberi saluran air pembuang (subdrain) Memperbaiki drainase badan jalan Tidak membuat saluran air di sepanjang tebing lereng bagian atas, serta tidak mengalirkan air permukaan ke arah tebing tersebut Pohon-pohon berakar kuat perlu dipertahankan di lereng bukit bagian atas. Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 2, Agustus 2011 : 15-18 Hal :15

KEIMPULAN DAN ARAN UMUM Kesimpulan Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : Batuan penyusun di sekitar jalur jalan Krui-Liwa umumnya berupa batuan tufa dan batupasir yang bersifat kurang kompak dan di beberapa tempat memiliki retakan serta sebagian telah mengalami pelapukan menjadi tanah lanau pasiran yang bersifat lunak hingga teguh dengan ketebalan berkisar antara 1-3 m.. Jalur Jalan di daerah ini pada beberapa tempat tergolong rawan longsor sehingga diperlukan upaya penanggulangan teknis Hasil analisis secara umum menunjukkan bahwa tinggi lereng aman pada tanah pelapukan endapan batu pasir adalah 7,1 m dan tufa 5,9 m. Penanggulangan tanah longsor pada tebing jalan di lokasi ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pemotongan lereng, memasang dinding penahan, bronjong, mengupas lereng secara berjenjang (terasiring).ataupun dengan sistim drainase. aran Umum Untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh kejadian tanah longsor pada jalur jalan ini, maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut : Penurunan tinggi lereng dimaksudkan untuk mengurangi beban dari lereng bagian atas. Dalam menghadapi kendala medan terhadap upaya pemotongan lereng, tersebut, maka sebagaimana saran teknis dimuka cara memberi perkuatan pada tebing baik dengan memasang tembok penahan maupun bronjong menjadi suatu pilihan. Pembuatan terasiring dapat dilakukan dengan model Vertikal : Horizontal (V:H) 1:2. elanjutnya tanah kupasan diberi gebalan rumput untuk mengurangi rembesan air Drainase permukaan di lereng atas dilakukan dengan cara menghindari keberadaan lahan pertanian basah (sawah maupun kolam) yang berada dekat tebing jalan, bila perlu dibuat saluran penjebak agar air permukaan tidak menuju ke arah tebing jalan Drainase bawah permukaan (subdrain) dilakukan untuk mengurangi tekanan air dengan cara menurunkan muka air tanah. Dilakukan dengan menggunakan paralon 4 inc menembus dinding sedalam 20-40 cm yang dipasang miring sekitar 2 ke arah bawah per 0,75m secara zig- zag Untuk menjaga terjadinya penyumbatan pada saluran drainase, maka bagian ujung dalam paralon dibungkus ijuk atau ditutupi lembaran geotextile terutama pada T4 dan T5 yamg memiliki campuran tanah lunak dan mudah hancur Pada beberapa titik yang dianggap rawan longsor perlu diberi rambu peringatan bahaya longsor agar pengguna jalan tetap waspada terutama saat musim hujan Menjalin koordinasi antar instansi dalam mengantisipasi kemungkinan akan terjadinya bencana tanah longsor di sepanjang jalur jalan tersebut Pemerintah Daerah perlu memberikan sosialisasi terhadap masyarakat setempat serta selalu siap dengan peralatan terutama saat musim hujan sebagai antisipasi terhadap kemungkinan akan terjadinya tanah longsor Hal :16 Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 2, Agustus 2011 : 16-18

DAFTAR PUTAKA Easterbrook, 1969, Principles of Geomorphology, Mc- Graw Hill Book Company Hoek and bray, 1981, Rock lope Engineering,, The Institution of Mining and Metallurgy, London Lessing, et all, 1987, Landslide Risk Assement, Environmental Geology, Vol 5, No 2, p 93-99 Nichols D.R. and Edmunson J.R. 1975, Text to lope Map of part of West control, King country, Washington U Geol urvey Misc. Geol inv. Map1-852-E, cale1:48 udarto dkk, 1991, Peta Geologi Lembar Kota Agung, umatera, Puslitbang Geologi Wesley, L.D, 1976, Mekanika tanah dan batuan, Departemen Pekerjaan Umum, Cetakan Vl. Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 2, Agustus 2011 : 17-18 Hal :17

Foto 1. Gerakan tanah pada lereng terjal di daerah Liwa, perlu ditembok. Foto 3. Gerakan tanah pada lereng terjal di daerah Kubuperahu, perlu dipasang bronjong Foto 2. Gerakan tanah pada lereng terjal di daerah Liwa, perlu ditembok. Foto 4. Gerakan tanah di daerah kaki lereng G. Kemala, perlu dipasang bronjong. Hal :18 Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 2, Agustus 2011 : 18-18